Anda di halaman 1dari 12

J Depress Anxiety. 2016 January;5(1): .doi:10.4172/2167-1044.1000214.

Pelecehan Fisik dan Seksual pada Dewasa Muda dan Asosiasi dengan
Depresi, Stres Pasca Trauma, dan Pemutihan Kulit

Caryl James, Azizi A Seixas, Abigail Harrison, Girardin Jean-Louis, Mark Butler, Ferdinand Zizi, and
Alafia Samuels

Abstrak
Latar Belakang– Prevalensi depigmentasi/pemutihan kulit secara global di antara orang
kulit hitam, diperkirakan 35%, sedang meningkat dan dikaitkan dengan sejumlah
konsekuensi kesehatan dan medis yang negatif. Pendekatan etiologi saat ini tidak
sepenuhnya menangkap dasar emosional dan psikologis dari pemutihan kulit. Studi saat
ini menyelidiki peran mediasi potensial depresi, atau gejala stres pasca trauma (avoidace
atau penghindaran dan hiperarousal) terhadap hubungan antara pelecehan fisik dan seksual
masa kanak-kanak (Childhood Physical and Sexual Abuse/CPSA) dan pemutihan kulit.

Metode– Sebanyak 1226 peserta universitas (usia 18-30 tahun dan 63,4% perempuan) dari
tiga negara Karibia (Jamaika, Barbados, dan Grenada) menyediakan data untuk analisis
saat ini. Mereka semua menyelesaikan informasi demografis yang dilaporkan sendiri
bersamaan dengan skala skrining singkat untuk gangguan stres pasca trauma (DSM-IV),
trauma masa kecil, dan pertanyaan pemutihan kulit.

Hasil– Prevalensi pemutihan kulit dalam penelitian kami adalah 25,4%. Temuan kami
menunjukkan bahwa individu yang memutihkan kulit mereka lebih mungkin dilecehkan
saat kanak-kanak (21,6% berbanding 13,5%, p <0,001), cenderung memiliki gejala trauma
yang signifikan (34,1% berbanding 24,0%, p = 0,005), dan lebih cenderung mengalami
depresi secara signifikan (43,7% berbanding 35,1%, p = 0,032). Kami menemukan bahwa
gejala hiperarousal yang berhubungan dengan trauma secara positif memediasi hubungan
antara pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak dan pemutihan kulit (Pengaruh
Tidak Langsung = 0,03, p <0,05), sementara itu gejala penghindaran (Efek Tidak
Langsung = 0.000, p> 0,05) dan depresi (Efek Tidak Langsung = 0,005, p> 0,05) tidak
memediasi pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak dan pemutihan kulit.

Kesimpulan– Adanya gejala trauma dan pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak
(CPSA) dapat meningkatkan kemungkinan pemutihan kulit. Temuan menunjukkan bahwa
eksplorasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah adanya pemutihan kulit juga
diakibatkan karena peranan trauma.

Kata kunci
Pemutihan kulit; Trauma masa kecil; Depresi; Dewasa muda
PENDAHULUAN

Depigmentasi/pemutihan kulit, merupakan praktik penggunaan bahan kimia kosmetik


beracun untuk mempercerah warna kulit seseorang, dapat menimbulkan konsekuensi
kesehatan yang serius namun tidak terbatas pada kerusakan kulit ireversibel, kanker
kulit, dan gagal ginjal [1-3]. Meningkatnya prevalensi pemutihan kulit telah menjadi
epidemi global, terutama di wilayah Afro-diaspora seperti Karibia [4]. Meskipun
pemutihan kulit adalah praktik umum pada kedua jenis kelamin, namun hal ini paling
umum terjadi pada wanita [4-9]. Sebagian besar penjelasan yang berusaha untuk
menggambarkan akar penyebab pemutihan kulit terutama jatuh dalam paradigma
psikososial, di mana memiliki warna kulit yang lebih terang (suatu standar kecantikan
Eropa) disamakan dengan adanya daya tarik yang lebih besar [4-9] atau status sosial
yang lebih tinggi [10 ]. Sepengetahuan kami, tidak satu pun dari penjelasan psikososial
ini menawarkan mekanisme kognitif dan psikologis berbasis empiris untuk menjelaskan
bagaimana pemutihan kulit ditimbulkan dan dipelihara dan lebih spesifik faktor apa
yang mungkin mendorong pemutihan kulit yang terus-menerus meskipun efeknya
merugikan bagi kesehatan seseorang.

Hipotesis psikososial yang paling banyak dibahas untuk menjelaskan pemutihan kulit
meliputi: efek historis kolonialisme dan perbudakan dan idealisasi estetika Eropa,
sindrom pemutihan, dan teori harga diri [3-9]. Pemutihan kulit pada awalnya dianggap
endemik pada orang-orang asal Afrika karena bekas luka psikologis dari kolonialisme
dan perbudakan membuat generasi orang kulit hitam merasa bahwa mereka lebih
rendah daripada orang kulit putih [3]. Meskipun asal usul sejarah pemutihan kulit yang
diusulkan untuk orang Afrika berbeda bila dibandingkan dengan orang Asia, perasaan
superioritas orang kulit putih dan inferioritas pribadinya mencirikan praktik pemutihan
kulit [3]. 'Sindrom pemutihan' menutupi akar pemutihan kulit pada hubungan penting
faktor psikologis, sosiologis dan fisiologis. Hal ini menyatakan bahwa individu
menginternalisasi menjadi putih sebagai kecantikan yang ideal, dan jika setelah
mengevaluasi permukaan kulit mereka, mereka percaya ada ketidaksinambungan antara
kulit mereka dan idealnya kulit putih, sehingga mereka memaksa mencapai standar
putih melalui depigmentasi/pemutihan kulit [7]. Teori ini, bagaimanapun, tidak
menjelaskan keinginan untuk terlibat dalam pemutihan kulit, meskipun efeknya
berbahaya. Pengalaman hasil kesehatan fisik negatif akibat pemutihan kulit dan
penggunaannya terus berlanjut, menyiratkan bahwa perawatan atau pemeliharaan diri
mungkin dipertanyakan, membuat para periset berhipotesis, bahwa motivasi mendasar
harus dikaitkan dengan kebencian diri, yang diukur dengan harga diri yang rendah [10].

Gagasan bahwa harga diri mendorong pemutihan kulit adalah hal yang kontroversial.
Awalnya, diyakini bahwa orang memutihkan kulit mereka karena harga diri rendah [9]
dan ketidakpuasan terhadap etnisitas mereka. Namun, Charles menemukan bahwa nilai
harga diri rata-rata untuk kedua kelompok yang memutihkan kulit dan yang tidak
memutihkan kulit adalah sebanding, menunjukkan bahwa harga diri tidak sepenuhnya
menjelaskan keinginan untuk memutihkan kulit. Faktanya, sebuah studi kemudian
menunjukkan bahwa orang-orang yang memutihkan kulit mungkin puas dengan
identitas etnik mereka [11]. Teori harga diri tampaknya tidak mencukupi untuk
memberikan pemahaman yang jelas tentang pemutihan kulit. Menariknya, penelitian
terus menunjukkan bahwa ada beberapa penghargaan atau pujian ketika melakukan
pemutihan kulit, yaitu sampai 90% laporan dipenuhi dan terus digunakannya agen
pemutih kulit, meskipun orang-orang yang memutihkan kulit ini memiliki pengetahuan
dan pengalaman akan efek berbahayanya [12-14]. Pemutihan kulit dapat dianggap
serupa dengan bentuk lain dari perilaku modifikasi tubuh yang berbahaya seperti Body
Dysmorphic Disorder (BDD) [15-21] dan Eating Disorders (ED) [22]. Seperti BDD
dan ED, pemutihan kulit tampaknya memberikan penghargaan penguatan jangka
pendek, yang membuat penghentian perilaku seperti ini menjadi sulit[13,14]. Kedua
pasien BDD dan ED memiliki komorbiditas yang sama --- trauma, dan khususnya
trauma masa kecil. Trauma masa kecil secara historis telah dikaitkan dengan perilaku
merugikan diri sendiri seperti mutilasi diri dan berpesta minuman keras [23,24].
Trauma masa kanak-kanak, bersama dengan BDD dan DE juga lebih banyak terjadi
pada wanita [15-24]. Dengan studi yang menyoroti prevalensi CPSA dan pemutihan
kulit yang lebih tinggi di kalangan wanita, kemungkinan besar akan ada efek gender.
Hal ini mendorong kami untuk mempertimbangkan apakah mungkin ada hubungan
yang sama antara pemutihan kulit dan pelecehan masa kanak-kanak.

Dengan kerangka kerja yang diusulkan ini, kami mulai mengeksplorasi apakah
pemutihan kulit memiliki hubungan yang serupa dengan pelecehan fisik dan / atau
seksual masa kecil. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) menyediakan data prevalensi
pemutihan kulit dan pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak (CPSA) di Karibia;
2) menyelidiki apakah faktor psikologis, khususnya PTSD dan gejala depresi,
mendorong hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit; dan 3) mengeksplorasi
bagaimana gender dapat mempengaruhi asosiasi ini.

METODE

Sampel
Penelitian ini merupakan subset dari survei yang lebih besar di 26 negara di seluruh
dunia yang meneliti kesehatan dan perilaku di kalangan mahasiswa (usia 18-30 tahun)
[25]. Sampel acak mahasiswa direkrut dari universitas di Barbados (n = 1400), Grenada
(n = 823) dan Jamaika (n = 800). Dari 1400 mahasiswa yang direkrut di Barbados, 582
(42%) menyelesaikan kuesioner dan penelitian kami menggunakan data dari 577
mahasiswa ≤ 30 tahun. Dari sampel ini, 476 mahasiswa dari Barbados memiliki data
lengkap untuk semua variabel penelitian. Di Grenada, 431 dari 823 mahasiswa yang
direkrut (52%) menyelesaikan survei tersebut. Sampel tersebut selanjutnya dibatasi
untuk 300 mahasiswa yang berasal dari India Barat dan tidak lebih tua dari usia 30
tahun. Analisis data antropometri yang dibutuhkan dilakukan pada subset dari 300
mahasiswa di kelompok Grenadian yang telah diukur antropometrinya (n = 167) . Dari
sampel ini, 160 mahasiswa dari Grenada memiliki data survei lengkap. 95% dari 800
mahasiswa yang direkrut di Jamaika berpartisipasi (n = 756) dan setelah membatasi
usia ≤ 30 tahun, data dari 701 mahasiswa dianalisis. Dari sampel ini, 591 mahasiswa
Jamaika memiliki data lengkap untuk semua variabel penelitian. Akhirnya, penelitian
ini menghasilkan sampel akhir dari 1.227 mahasiswa untuk dianalisis. Studi ini
disetujui oleh dewan riset etis Universitas Hindia Barat dan sesuai dengan prinsip etika
Deklarasi Helsinki.

Ukuran

Pelecehan anak– Pada ukuran laporan diri, peserta ditanya apakah mereka mengalami
kejadian traumatis dengan menunjukkan 'ya' atau 'tidak' untuk yang pernah dilecehkan
secara fisik atau seksual selama masa kanak-kanak.

Pemutihan kulit– Pada ukuran laporan diri, para peserta ditanya apakah mereka
pernah menggunakan pencerah kulit dan kemudian frekuensi penggunaan dalam
setahun terakhir dinilai. Pilihan tanggapan berkisar dari 1 = tidak pernah sampai dengan
4 = lebih dari 10 kali.

Trauma: Hiperarousal dan Penghindaran– Skala skrining pendek untuk gangguan


stres pasca trauma DSM-IV, skala tujuh item yang menilai gejala gangguan stres pasc
trauma digunakan. Pada ukuran laporan diri ini, peserta diminta untuk menunjukkan
'ya' atau 'tidak' pada lima gejala yang menilai gejala penghindaran dan mati rasa dan
dua pertanyaan lainnya menanyakan gejala hiperarousal [26]. Skor 4 atau lebih pada
skala ini digunakan untuk mengetahui kasus positif PTSD dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan skala ini menunjukkan sensitivitas 80%, spesifisitas
97%, nilai prediksi positif 71%, dan nilai prediksi negatif 98% [26]. Dengan kata lain,
jika peserta menunjukkan ya untuk empat atau lebih pertanyaan, diagnosis PTSD
mungkin dapat ditegakkan [27]. Dalam penelitian kami, koefisien reliabilitas Cronbach
adalah 0,76.

Depresi– Gejala depresi diukur dengan menggunakan ukuran laporan diri dari Centre
for Epidemiologic Studies Depression Scale - versi singkat (CES-D - 10), yang
merupakan versi singkat dari kuesioner CES-D 20 item yang dikembangkan oleh
Anderson et al. (1994). Kuesioner ini menilai suasana hati yang tertekan selama
seminggu terakhir, dan terbukti dapat mengidentifikasi secara tepat depresi klinis pada
sampel anak-anak, remaja dan orang dewasa [28-30]. Setiap item diukur pada skala
Likert 4 poin, mulai dari yang jarang (kurang dari satu hari = 0) sampai sebagian besar
atau sepanjang waktu (5 - 7 hari = 3). Skor pada kisaran ini berkisar antara 0 sampai 30,
dengan skor 10 atau lebih menunjukkan adanya gejala depresi klinis yang signifikan.
CESD-10 telah menunjukkan keandalan suara dengan nilai konsistensi internal mulai
dari α Cronbach sebesar 0,71 sampai 0,85 [28-30]. Cronbach's untuk studi saat ini
adalah 0,76.

Analisis data

Data dianalisis dengan menggunakan IBM SPSS Statistics for Windows (Versi 20.0,
Armonk, NY, USA). Perbandingan berbasis gender dibuat dengan menggunakan uji T
sampel independen. Serangkaian analisis regresi bivariat dan multivariat dilakukan
untuk menguji hubungan antara pemutihan kulit (variabel dependen), jenis kelamin,
trauma pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak CPSA dan depresi (variabel
independen). Analisis mediasional juga dilakukan untuk memeriksa apakah gejala
trauma memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit. Akhirnya, kami
melakukan analisis mediasional untuk memeriksa apakah gejala trauma seperti
hiperarousal atau penghindaran memediasi efek CPSA pada pemutihan kulit.

HASIL

Statistik deskriptif

Data terdiri dari N = 1227 mahasiswa usia kuliah (18-30 tahun) dari tiga negara Karibia
- Barbados, Grenada dan Jamaika. Tiga belas persen perempuan (13,4%) dan 8,7%
laki-laki dilaporkan mengalami pelecehan seksual atau fisik masa kecil. Sekitar delapan
belas persen wanita (17,9%) dan 7,3% laki-laki melaporkan pemutihan kulit. Dari total
sampel gabungan, 30,3% berada dalam kisaran depresi klinis yang signifikan; dengan
prevalensi tertinggi di Jamaika (42%), diikuti oleh Barbados (28,9%) dan kemudian
Grenada (4,8%). Untuk pemutihan kulit, Jamaika memiliki prevalensi tertinggi (19%),
kemudian Grenada (11,9%) dan kemudian Barbados (7,6%). Untuk pelecehan anak,
Grenada memiliki prevalensi tertinggi (17,6%), kemudian Jamaica (16,9%) dan terakhir
Barbados (10,7%). Untuk trauma, Jamaika dilaporkan sebagai prevalensi tertinggi
(30,2%), tertinggi kedua Grenada (27%) dan Barbados (20,8%) terendah (Tabel 1).

Statistik inferensial

Hasil menunjukkan bahwa pelecehan anak (r = 0,193, p <0,001), depresi (r = 0,081, p =


0,005), dan gejala traumatis (r = 0,095, p = 0,001) berhubungan dengan pemutihan
kulit. Dua komponen gejala yang terkait trauma secara berbeda berhubungan dengan
pemutihan kulit– hiperarousal secara signifikan berkaitan (r = 0,11; p <0,001),
sedangkan penghindarannya tidak (r = 0,019; p = 0,501). Ada perbedaan gender dalam
sampel dengan wanita memiliki gejala depresi yang lebih banyak, gejala trauma,
pemutihan kulit yang lebih banyak, dan pelecehan masa kanak-kanak yang lebih
banyak (Tabel 2 dan3).

Sehubungan dengan model mediasi yang dianalisis, gejala trauma sebagian memediasi
hubungan antara pelecehan fisik dan seksual masa kecil dan frekuensi pemutihan kulit
(Model 1) Tabel 4. Pada Model 2, gejala hiperarousal sebagian memediasi hubungan
antara CPSA dan pemutihan kulit (Model 2). Pada Model 3, gejala penghindaran tidak
secara signifikan memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit, walaupun
CPSA dikaitkan dengan gejala penghindaran. Pada Model 4 dan Tabel 5, depresi tidak
secara signifikan memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit. Dalam Model
5, jenis kelamin tidak memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit.

DISKUSI

Studi saat ini membuat tiga kontribusi signifikan terhadap literatur. Pertama, kami
menemukan hubungan positif antara pelecehan pada anak-anak (fisik dan seksual),
depresi, trauma dan pemutihan kulit. Kedua, dari dua komponen trauma (hiperarousal
and penghindaran), hiperarousal sebagian memediasi hubungan antara pelecehan anak
dan frekuensi pemutihan kulit. Ketiga, kami menemukan perbedaan gender dengan
wanita yang menunjukkan gejala depresi lebih banyak, gejala trauma, seringnya
pemutihan kulit dan pelecehan masa kanak-kanak. Terakhir, seluruh ketiga negara
Karibia tersebut menunjukkan bukti pemutihan kulit. Beberapa temuan ini konsisten
dengan literatur, sementara temuan lain menambahkan pemahaman teoritis dan klinis
baru seputar peran pelecehan fisik dan seksual masa kecil yang memainkan peran
dalam penggunaan dan frekuensi pemutihan kulit dan apakah trauma dan / atau depresi
memediasi hubungan ini.

Temuan kami bahwa ada hubungan yang signifikan ada antara pelecehan fisik dan
seksual masa kecil, depresi dan pemutihan kulit, memegang peranan klinis dan
kesehatan masyarakat bagi kami untuk mengobati dan mengatasi prevalensi pemutihan
kulit yang meningkat di negara-negara Afro-diaspora [5,7,10,31-33]. Pembatasan
pemutihan kulit telah menjadi tujuan kesehatan masyarakat di negara-negara ini dan
pendekatan kesehatan masyarakat sebelumnya [17,32,33] belum dapat berhasil
membendung prevalensi pemutihan kulit. Mungkin, alasannya adalah pemutihan kulit
dipandang sebagai perilaku menyimpang, dan karena pendekatan pengobatan keadaan
semacam itu disesuaikan untuk menangani modifikasi perilaku, yang sangat bergantung
pada pengajaran tentang efek bahayanya dengan memusatkan perhatian pada respons
stimulus, prinsip pembelajaran terbuka. Kami mengusulkan bahwa pemutihan kulit,
seperti saat ini dikonseptualisasikan, mengabaikan akar psikologis yang mendalam
yang melampaui paradigma perubahan respons stimulus dan perilaku. Sebagai
gantinya, kami mengusulkan pendekatan alternatif, pendekatan yang mengeksplorasi
peran faktor emosional dan psikologis yang mendasarinya, seperti depresi dan trauma
dalam inisiasi dan perawatan praktik pemutihan kulit. Meskipun tidak spesifik untuk
pemutihan kulit, penelitian awal yang dilakukan pada dermatologi dan BDD,
tampaknya menyiratkan perlunya perubahan kulit terkait dengan trauma, khususnya
trauma masa kecil [28-33].

Pada Model 1, kami menemukan bahwa gejala trauma memediasi hubungan antara
pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak (CPSA) dan pemutihan kulit. Temuan
semacam itu memiliki implikasi klinis yang signifikan karena ini menunjukkan bahwa
mengatasi gejala trauma dapat menipiskan hubungan antara pelecehan fisik dan seksual
masa kecil dan pemutihan kulit. Namun, temuan ini hanya menawarkan mekanisme
kasar tentang bagaimana trauma global beroperasi, sementara mengabaikan efek
diferensial hiperarousal dan penghindaran (dua jenis gejala trauma) pada CPSA dan
pemutihan kulit. Untuk mengatasi hal ini, kami melakukan dua analisis model yang
menyelidiki apakah gejala hiperarousal dan / atau penghindaran memediasi hubungan
antara CPSA dan pemutihan kulit. Kami menemukan bahwa hiperarousal sebagian
memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit, sementara penghindaran tidak
terkait secara signifikan. Penelitian lain, meski tidak mengukur pemutihan kulit, telah
menemukan hasil serupa dari hiperarousal yang dikaitkan dengan komorbiditas lainnya
seperti depresi dan gejala kesehatan fisik [34-38].

Satu teori yang mungkin menjelaskan hubungan timbal balik antara CPSA, hiperarousal
dan pemutihan kulit menyoroti peran mati rasa secara emosional. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa mati rasa emosional sering terjadi bersamaan dengan trauma dan
gejala khusus hiperperousal. Mati rasa secara emosional, merupakan cara untuk
menghindari atau menekan pikiran mengganggu atau pemicu lingkungan yang terkait
dengan trauma, umumnya dianggap sebagai cara yang maladaptif untuk mengatasi
trauma dan gejala hiperarousal [36-39]. Secara khusus, individu saat terlibat dalam mati
rasa emosional berinvestasi dalam sejumlah besar energi kognitif, emosional dan
perilaku untuk mengelola atau menghindari gejala hiperaktif dan paparan ulang trauma
bagi mereka [36]. Ada dua cara yang dihindari individu, seseorang memerlukan upaya
sadar dan disengaja untuk menghindari situasi yang terkait dengan trauma tersebut, dan
yang lainnya adalah usaha yang tidak sadar untuk menghadapi keadaan rangsangan
hebat dari trauma [36]. Untuk penelitian kami, kami berpendapat bahwa pemutihan
kulit, dengan sendirinya merupakan bentuk mati rasa secara emosional, digunakan pada
tingkat bawah sadar untuk mengelola trauma dan gejala hiperarousal yang terkait
dengan CPSA.

Sementara penghindaran tidak memediasi hubungan antara CPSA dan pemutihan kulit,
penghindaran dikaitkan secara signifikan dengan CPSA, yang konsisten dengan
penelitian sebelumnya. Para ahli percaya bahwa korban trauma menggunakan perilaku
penghindaran untuk mengatasi gejala mengalami kembali (reexperiencing) trauma yang
menyakitkan. Van der Kolk dan Fisher menemukan bahwa individu yang mengalami
pelecehan pada masa kanak-kanak melaporkan perilaku koping yang lebih maladaptif
(seperti mutilasi diri dan pesta minuman keras) dibandingkan dengan orang-orang yang
mengalami pelecehan sebagai orang dewasa. Temuan ini memiliki implikasi untuk efek
jangka panjang dari pelecehan masa kecil serta kerentanan terhadap komorbiditas
lainnya seperti depresi.

Temuan kami bahwa depresi dikaitkan dengan CPSA konsisten dengan temuan
sebelumnya. Sementara peneliti mencatat bahwa perilaku penanganan maladaptif yang
parah dikaitkan dengan CPSA [39,40], yang lain juga menunjukkan bahwa trauma
membuat individu lebih rentan terhadap komorbiditas lain seperti depresi [41]. Selain
itu, para periset telah mencatat bahwa pengalaman masa kecil yang buruk (pelecehan
fisik dan seksual pada anak-anak) secara signifikan terkait dengan perkembangan
depresi seumur hidup [41].

Terakhir, temuan kami bahwa wanita lebih cenderung dilaporkan melakukan pemutihan
kulit, gejala depresi, gejala trauma dan pelecehan masa kanak-kanak menguatkan
temuan sebelumnya, menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok yang rentan
dalam perkembangan depresi, PTSD dan pemutihan kulit [42-45]. Studi menunjukkan
bahwa pemutihan kulit terus meningkat dan lebih umum terjadi pada wanita
[5,7,10,26,27], dan mereka yang memiliki prestasi akademik lebih tinggi [25].
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan mengapa pemutihan kulit lebih
umum terjadi pada wanita, termasuk lebih canggih, tampak lebih cantik, mendapatkan
lebih banyak perhatian atau menarik pasangan dan status sosial ekonomi yang lebih
tinggi [3,5,6,42-47]. Bagi korban trauma, masuk akal bahwa salah satu cara untuk
mengatasi perasaan tidak nyaman ini (rasa malu dan rasa bersalah yang terkait dengan
trauma) adalah menghindari terjadinya emosi dengan mengubah penampilan luar
mereka. Hal ini sebelumnya telah ditunjukkan dengan upaya untuk mengubah tubuh
melalui perkembangan gangguan makan, dan menyakiti diri untuk mengalihkan
perhatian atau mengurangi trauma. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa individu
tidak sadar bahwa perilaku ini terkait dengan perasaan mendasar yang terkait dengan
trauma [23,24,34]. Semua ini dapat menjadi predisposisi korban untuk
mengembangkan perubahan bentuk tubuh, yang menurut kami pemutihan kulit bisa
diklasifikasikan seperti BDD.

Pemutihan kulit sebagai bentuk varian gangguan dismorfik tubuh dipandu oleh
anggapan bahwa fenomenologi pemutihan kulit dan Body Dysmorphic Disorder (BDD)
sangat mirip [21]. Menurut DSM-V BDD adalah "kondisi di mana orang melakukan
perilaku berulang yang berlebihan atau memiliki pikiran mental yang berulang karena
cacat yang dirasakan atau sebenarnya dalam penampilan mereka". Kesamaan yang
dibagikan antara BDD dan pemutihan kulit adalah: 1) tindakan pemutihan kulit
memerlukan perilaku berlebihan dan berulang, terlepas dari konsekuensi kesehatan [1-
3]. 2) Berbagai teori telah diajukan yang menunjukkan bahwa pemutihan kulit didorong
oleh persepsi bahwa kulit seseorang bersifat inferior, ini termasuk supremasi kulit
putih, perbudakan dan kolonialisme dan sampai batas tertentu teori harga diri [3-9].
Praktek pemutihan kulit memberikan pikiran preokupasi kulit yang nampaknya tidak
berbeda dengan bentuk BDD lainnya, seperti pikiran preokupasi dengan dan aspek
tubuh seperti berat badan dan ukuran badan, seperti yang terlihat pada orang yang
didiagnosis dengan gangguan makan. Menerima bahwa pemutihan kulit dan BDD
secara fenomenologis serupa memungkinkan pertimbangan bahwa mereka mungkin
memiliki etiologi yang sama atau serupa.

Studi terbaru menunjukkan bahwa orang dewasa yang selamat dari pelecehan fisik dan
seksual pada masa kanak-kanak atau remaja cenderung mengembangkan BDD [21].
Individu yang mengalami pelecehan anak usia dini cenderung mengembangkan
kepercayaan dan sikap distorsi tubuh, yang mungkin berevolusi menjadi ketidakpuasan,
kesalahan, rasa malu, dan kebencian pada diri sendiri [34]. Temuan lain menunjukkan
bahwa pelecehan anak– hubungannya dengan BDD mungkin timbul karena adanya
gangguan psikologis seperti depresi berat, gangguan kecemasan umum, gangguan stres
pasca trauma, penyalahgunaan zat, gangguan panik, kepribadian dan gangguan makan
[21,34,35]. Temuan kami menunjukkan bahwa pemutihan kulit berhubungan positif
dengan pelecehan, depresi, dan trauma masa kecil yang konsisten dengan penelitian
yang menemukan hubungan antara pelecehan masa kecil dan BDD.

KETERBATASAN DAN REKOMENDASI

Meskipun temuan yang menarik ini muncul dari penelitian kami, ada beberapa
keterbatasan yang harus ditangani untuk penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian
kami terdiri dari peserta dari institusi tingkat tersier, yang tidak mewakili populasi
umum. Kedua, mengingat stigma yang terkait dengan pelaporan pelecehan, individu
yang mengalami CPSA dapat menahan atau tidak melaporkan kejadian ini. Selain itu
instrumen yang dipakai tidak memungkinkan untuk usia di mana individu tersebut
dilecehkan saat masih kecil. Ketiga, penelitian kami tidak menjelaskan efek besarnya
trauma terhadap pemutihan kulit. Keempat, penelitian kami mengandalkan tindakan
laporan diri, yang mungkin berdampak pada laporan perilaku stigmatisasi yang sangat
tinggi seperti pemutihan kulit dan trauma. Sebaiknya penelitian di masa depan harus
mencakup penilaian frekuensi dan besaran pemutihan kulit secara menyeluruh.
Penelitian selanjutnya harus mencakup tindakan perubahan bentuk atau dismorfia tubuh
dan gejala obsesif kompulsif, karena mungkin terkait dengan pemutihan kulit.
Penelitian selanjutnya juga harus mencakup peserta dari negara berpenghasilan rendah
sampai menengah untuk menentukan determinan transkultural pemutihan kulit.

KESIMPULAN

Pelecehan fisik dan seksual masa kanak-kanak dan psikopatologi yang terkait adalah
area yang telah dipelajari secara luas. Para periset telah mengindikasikan bahwa
pengalaman traumatis terakhir terjadi pada disregulasi biologis yang lebih luas dan
individu mengalami kesulitan yang lebih besar dalam mengatur keadaan internal dalam
diri mereka. Studi kami mengasumsikan bahwa pemutihan kulit bisa menjadi cara
untuk menenangkan disregulasi internal yang terkait dengan CPSA ini. Selain itu,
seperti temuan sebelumnya, kami menemukan bahwa CPSA dapat menyebabkan
terjadinya komorbiditas lainnya seperti gejala pasca trauma dan depresi. "Temuan ini
tepat waktu, karena penelitian sebelumnya telah mencoba memahami epidemi
pemutihan kulit namun mengkonseptualisasikan pemutihan kulit sebagai asal mula
psiko-sosial dan sementara ini mungkin penelitian kami menunjukkan bahwa
psikopatologi dapat berperan". Kami menawarkan paradigma baru untuk dieksplorasi.

Anda mungkin juga menyukai