Anda di halaman 1dari 17

Terbaru:

 Patuh Minum Obat, Untuk Kualitas Hidup Yang Lebih Baik


 Manajemen dan Tatalaksana Difteri di Rumah Sakit
 APOTEKER DI IGD
 Vaksin Difteri, Tak Kenal Maka Tak Sayang
 Kongres XX dan PIT IAI 2018

HISFARSI DIY
Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit Daerah Istimewa Yogyakarta

Kefarmasian

Kongres XX dan PIT IAI 2018


16 Desember 2017 hisfarsidiy 0
Artikel Artikel Kefarmasian

Patuh Minum Obat, Untuk Kualitas Hidup Yang Lebih


Baik
16 Februari 2018 hisfarsidiy 0

Artikel Artikel Kesehatan

Manajemen dan Tatalaksana Difteri di Rumah Sakit


6 Februari 2018 hisfarsidiy 0
Artikel Artikel Kefarmasian

APOTEKER DI IGD
21 Januari 2018 hisfarsidiy 0

Artikel Artikel Kefarmasian

Vaksin Difteri, Tak Kenal Maka Tak Sayang


18 Januari 2018 hisfarsidiy 0

Kefarmasian

Kongres XX dan PIT IAI 2018


16 Desember 2017 hisfarsidiy 0
Artikel Artikel Kefarmasian

Patuh Minum Obat, Untuk Kualitas Hidup Yang Lebih


Baik
16 Februari 2018 hisfarsidiy 0
 BERANDA
 PROFIL
 ARTIKEL
 KEGIATAN
 GALERI KEGIATAN
 DOWNLOAD
 KONTAK
 FORUM DISKUSI DAN TANYA JAWAB

Artikel Artikel Kefarmasian

Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba (PPRA)
6 Juni 2017 hisfarsidiy 0 Komentar antibiotik, antimikroba, ppra, resistensi
Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba
(PPRA)
Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak.


Peresepan dan penggunaan antibiotik yang kurang bijak akan meningkatkan
kejadian resistensi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah muncul mikroba
yang resisten antara lain Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
resistensi multi obat pada penyakit tuberkulosis (MDR TB) dan lain-lain. Dampak
resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan biaya
kesehatan.
Di rumah sakit, penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong
berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang akan
menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan (atau
kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri penyebab
infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat
melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan kebijakan
dan program pengendalian antibiotik yang efektif.

Komite Farmasi dan Terapi (KFT), Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit (KPPI-RS), Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
(PPRA) merupakan kepanitiaan di rumah sakit yang berperan dalam menetapkan
kebijakan penggunaan antibiotik, pencegahan dan penyebaran bakteri yang resisten
serta pengendalian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Pada setiap kepanitiaan
tersebut, apoteker berperan penting dalam meningkatkan penggunaan antibiotik
yang bijak.

Program pengendalian resistensi antibiotik bertujuan:

1. Menekan resistensi antibiotik


2. Mencegah toksisitas akibat penggunaan antibiotik
3. Menurunkan biaya akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak
4. Menurunkan risiko infeksi nosokomial
Program Pengendalian Resistensi Antibiotik dapat berjalan dengan baik bila danya
kolaborasi yang harmonis antar profesi kesehatan. Tim PPRA terdiri dari 4 Pilar,
yaitu :

1. Komite Farmasi dan Terapi


2. Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS
3. Farmasi Klinik
4. Mikrobiologi Klinik

Tugas Tim PPRA :


Membantu pimpinan dalam:

 Menerapkan kebijakan-kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba


(integrasi dengan 4 pilar)
 Menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan antibiotik
 Menetapkan program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA)
 Memonitor dan mengevaluasi PPRA
 Menyelenggarakan forum diskusi/kajian pengelolaan penderita penyakit infeksi
 Menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang
prinsip-prinsip pengendalian resistensi antimikroba yang terkait dengan
penggunaan antibiotik secara bijak
 Mengembangkan penelitian yang terkait dengan PPRA
KOMITE FARMASI DAN TERAPI
 Pengendalian pedoman penggunaan antibiotik
 Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy)
 Pembuatan & revisi pedoman penggunaan antibiotik (antibiotic guideline)
 Surveillance penggunaan antibiotik Drug Use Study
KOMITE PPI
Pengendalian penyebaran mikroba resisten

 Standar Precaution (kewaspadaan standar)


 Isolasi penderita
 Penanganan unit kerja sumber mikroba resisten (source control)
 Surveillance mikroba resisten
 Menyusun pedoman-pedoman terkait
PELAYANAN MIKROBIOLOGI KLINIK
 Laboratorium Mikrobiologi
 Identifikasi dan uji sensitivitas
 Hasil pemeriksaan mikrobiologi
 Konsultasi / Visitasi / Patient care
 Bersama klinisi ikut terlibat merawat pasien infeksi.
 Turn Around Time report
 Informasi Pola kuman
 Pengelolaan data mikroba
 menerbitkan informasi peta medan secara berkala
PELAYANAN FARMASI KLINIK
Peran Apoteker sebagai anggota Tim Pengendalian Resistensi antimikroba
Peran penting apoteker yang terlatih dalam penyakit infeksi untuk mengendalikan
resistensi antibiotik dapat dilakukan melalui:

A. Upaya mendorong penggunaan antibiotik secara bijak


 Meningkatkan kerjasama multidisiplin untuk menjamin bahwa penggunaan
antibiotik profilaksis, empiris dan definitif memberikan hasil terapi yang
optimal.
Kegiatan ini mencakup penyusunan kebijakan dan prosedur, Misalnya restriksi
penggunaan antibiotik, savingpenggunaan antibiotik, penggantian terapi antibiotik,
pedoman penggunaan antibiotik maupun kegiatan selama perawatan pasien
penyakit infeksi.
Kegiatan terkait perawatan pasien penyakit infeksi misalnya pemilihan antibiotik
yang tepat, mempertimbangkan pola kuman setempat, optimalisasi dosis,
pemberian antibiotik sedini mungkin pada pasien dengan indikasi infeksi, de-
eskalasi, pemantauan terapi antibiotik.

 Terlibat aktif dalam Komite Farmasi dan Terapi


B. Menurunkan transmisi infeksi melalui keterlibatan aktif dalam Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
C. Memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan, pasien dan masyarakat
tentang penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik yang bijak.

1. Peran Apoteker sebagai anggota Komite Farmasi dan Terapi


Apoteker terlibat aktif dalam kegiatan Komite Farmasi dan Terapi khususnya
terkait pengendalian penggunaan antibiotik, melalui:

1. Pemilihan jenis antibiotik yang akan dimasukkan dalam pedoman penggunaan


antibiotik, formularium, dan yang diuji kepekaan
2. Analisis hasil evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif maupun
kualitatif
3. Pembuatan kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit.
4. Analisis cost effective, Drug Use Evaluation (DUE), dan evaluasi kepatuhan
terhadap pedoman penggunaan antibiotik maupun kebijakan terkait yang telah
ditetapkan
5. Analisis dan pelaporan Efek Samping Obat (ESO)/Reaksi Obat yang Tidak
Diinginkan (ROTD).
2. Peran Apoteker Sebagai Anggota Komite Pencegahan Dan Pengendalian
Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS)
Apoteker berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada
pasien dan tenaga kesehatan melalui:

1. Penetapan kebijakan dan prosedur internal Instalasi Farmasi dalam penyiapan


sediaan steril. Misalnya penetapan kebijakan pencampuran dalam laminar air
flow cabinet oleh tenaga yang terlatih.
2. Penetapan kebijakan penggunaan sediaan antibiotik steril sekali pakai (single-
dose package) dan penggunaan sediaan steril dosis ganda (multiple-dose
container)
3. Penandaan yang benar termasuk pencantuman tanggal dan jam kadaluwarsa
serta kondisi penyimpanan sediaan antibiotik.
4. Peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku (standard precaution) oleh
tenaga kesehatan, pasien dan petugas lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
5. Kolaborasi dalam penyusunan pedoman penilaian risiko paparan, pengobatan
dan pemantauan terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang pernah kontak
dengan pasien penyakit infeksi.
6. Penyusunan pedoman penggunaan antiseptik dan disinfektan
7. Penurunan kejadian infeksi nosokomial dengan cara menjamin ketersediaan alat
kesehatan sekali pakai, antiseptik dan disinfektan
3. Peran apoteker pada penanganan pasien dengan penyakit infeksi
Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan pharmaceutical care pada pasien dengan
penyakit infeksi meliputi: Apoteker bekerjasama dengan Ahli Mikrobiologi untuk
menjamin bahwa hasil uji kepekaan antibiotik dilaporkan tepat waktu dan
ketepatan laboratorium mikrobiologi dalam melakukan interpretasi hasil
pemeriksaan laboratorium terkait penyakit infeksi.
Apoteker bekerja dengan sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga
dapat menurunkan kesalahan yang mungkin terjadi dan kejadian yang tidak
diharapkan akibat penggunaan antibiotik
4. Peran Apoteker Dalam Kegiatan Edukasi
Apoteker berperan dalam memberikan edukasi dan informasi tentang pengendalian
resistensi antibiotik serta pencegahan dan pengendalian infeksi kepada tenaga
kesehatan, pasien dan keluarga pasien. Kegiatan edukasi yang disertai dengan
sosialisasi tentang kebijakan dan prosedur restriksi antibiotik dapat meningkatkan
efektivitas edukasi

Faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap antibiotik:


 Tingkat penggunaan yang tinggi untuk jenis infeksi yang salah, dosis yang tidak
tepat, durasi yang tidak tepat
 Peningkatan pasien risiko tinggi (immunocompromised)
 Peningkatan tindakan invasif
Strategi penggunaan dan pengendalian antibiotik
 Menyusun kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik (profilaksis, terapi)
yang di-updatesecara berkala
 Program sosialisasi dan edukasi
 Menggolongkan peresepan antibiotik menjadi: non-restriksi dan restriksi
 Kontinuitas ketersediaan antibiotik yang diperlukan
 Ketersediaan laboratorium uji kepekaan dan pemilihan uji kepekaan
 Memberikan umpan balik secara berkala kepada klinisi tentang pola peresepan
antibiotik dan pola kepekaan kuman
 Keberadaan Apoteker farmasi klinik untuk optimalisasi terapi antibiotik
 Pengendalian promosi obat
 Penghentian otomatis (automatic stop order) untuk antibiotik tertentu
Penggunaan antibiotik secara bijak:
1. Spektrum sempit berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan
bakteri penyebab, indikasi ketat, dosis cukup, durasi cukup dan tidak berlebihan
2. Antibiotik empirik spektrum luas dapat digunakan dalam keadaan tertentu,
tetapi evaluasi klinis harus dilakukan setelah 3 hari. Lakukan streamlining/de-
escalation
3. Mengikuti kebijakan pembatasan peresepan antibiotik (restriksi)
4. Optimalisasi dosis dengan mempertimbangkan kondisi klinis, kuman penyebab,
lokasi infeksi, sifat farmakodinamik dan farmakokinetik obat.
5. Mengubah terapi dari parenteral ke oral sesegera mungkin
Pemantauan penggunaan antibiotik:
1. Melakukan evaluasi ulang setelah 72 jam tidak ada perbaikan klinis
2. Memantau Efek Samping Obat
Pedoman Penggunaan Antibiotik
 Pedoman disusun berdasarkan konsensus
 Pemilihan antibiotik berbasis bukti, peta kuman, ketersediaan obat
 Pedoman harus praktis dan dapat dilaksanakan
 Pedoman disusun berdasarkan klasifikasi penyakit dan pola pengobatan
(empirik dan definitif)
 Pemilihan antibiotik mengikuti kebijakan restriksi
Pendekatan sistematik pemilihan antibiotik yang rasional
 Konfirmasi adanya infeksi: anamnesis, tanda dan gejala,faktor risiko
 Identifikasi kuman patogen: ambil spesimen, lakukan gram stain, pemeriksaan
serologi, kultur dan kepekaan
 Pilih terapi dengan mempertimbangkan faktor pasien, obat
 Monitor respons terapeutik: pemeriksaan klinis, uji laboratorium, penilaian
kegagalan terapi
Dosis Antibiotik, tergantung pada :
 Umur
 BB
 Keparahan penyakit
 Fungsi organ ginjal, hati
 Lokasi infeksi
 Jenis infeksi
 Keparahan
Frekuensi Pemberian Antibiotik, tergantung pada :
 Concentration-dependent
 Time-Dependent
 Fungsi ginjal, hati
Durasi Pemberian Antibiotik, tergantung pada:
 Lokasi infeksi
 Jenis infeksi
 Keparahan
Kebijakan penggunaan antibiotika di Rumah Sakit, bertujuan untuk :
 Untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang salah dan berlebihan
 Pembatasan penggunaan antibiotik golongan tertentu
 Kebijakan stop order antibiotik
 Dapat menekan biaya penggunaan antibiotik
Upaya menurunkan angka resistensi antibiotik adalah:
 Pencegahan infeksi
 Diagnosis infeksi yang tepat
 Pemilihan antibiotik secara bijak
 Mencegah perpindahan infeksi
Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan di rumah sakit didasarkan pada
Kebijakan/Pedoman Penggunaan Antibiotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi/
Protokol Terapi serta Formularium Rumah Sakit yang disahkan oleh Direktur
Rumah Sakit.

Prinsip pemilihan antibiotik meliputi :


 Antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitifitas bakteri.
 Antibiotik yang bermutu
 Antibiotik yang cost effective
Apoteker memberikan informasi kepada dokter/perawat tentang antibiotik.
Informasi yang diberikan antara lain tentang seleksi, rejimen dosis, rekonstitusi,
pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan infus dan penyimpanan
antibiotik.

Pemberian informasi meliputi :


1. Tujuan terapi
2. Cara penggunaan yang benar dan teratur
3. Tidak boleh berhenti minum antibiotik tanpa sepengetahuan Dokter/Apoteker
(harus diminum sampai habis kecuali jika terjadi reaksi obat yang tidak
diinginkan),
4. Reaksi obat yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi serta tindakan yang
harus dilakukan
5. Cara penyimpanan

Konseling terutama ditujukan untuk:


 Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik
 Mencegah timbulnya resistensi bakteri
 Meningkatkan kewaspadaan pasien/keluarganya terhadap efek samping/reaksi
obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang mungkin terjadi, dalam rangka
menunjang pelaksanaan program patient safety di rumah sakit.
 Konseling tentang penggunaan antibiotik dapat diberikan pada pasien/keluarga
pasien rawat jalan maupun rawat inap secara aktif di ruang konseling khusus
untuk menjamin privacy pasien.
Setelah diberikan konseling dilakukan evaluasi pengetahuan pasien untuk
memastikan pasien memahami informasi yang telah diberikan. Bila perlu,
dilengkapi dengan informasi tertulis (leaflet atau booklet).

Antibiotik intravena dapat diganti peroral, apabila setelah 24-48 jam:


1. Kondisi klinis pasien membaik.
2. Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
3. Kesadaran baik.
4. Tidak demam (suhu > 36°C dan < 38°C), disertai tidak lebih dari satu kriteria
berikut:
 Nadi > 90 kali/menit
 Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
 Tekanan darah tidak stabil
 Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni).
Bagikan ini:

 16Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)16


 Klik untuk berbagi via Google+(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)

Menyukai ini:

Terkait
Mengapa Antibiotik Harus Dibatasi ?11 Mei 2016dalam "Artikel"
Seminar & Workshop Antibiotik di Rumah Sakit16 Juli 2016dalam "Kefarmasian"
Akibatnya jika Minum Obat Palsu20 Februari 2016dalam "Artikel"
 ← Bagaimana Cara Cerdas Minum Obat Saat Bulan Ramadhan?
 Mengenal Vaksin Dewasa →
Tinggalkan Balasan
Arsip Informasi/Kegiatan

Kegiatan HISFARSI DIY


Download Materi CPD Hisfarsi DIY
Materi-CPD-Hisfarsi-14-Januari-2018.zip
Update Materi CPD Hisfarsi 14 Januari 2018.zip

PIT & RAKERNAS HISFARSI 2018


Pendaftaran Peserta PIT & Rakernas HISFARSI 2018

Kongres XX & PIT IAI 2018

Link
 Ikatan Apoteker Indonesia
 Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit
 IAI PD Daerah Istimewa Yogyakarta
 Kementerian Kesehatan RI
 Badan POM RI
 Dinas Kesehatan DIY
 International Pharmaceutical Federation
 World Health Organization
 US Food and Drug Administration
 Centers for Disease Control and Prevention
 Federation of Asian Pharmaceutical Associations


Hak Cipta © 2018 HISFARSI DIY. Keseluruhan Hak Cipta.
Tema: ColorMag oleh ThemeGrill. Dipersembahkan oleh WordPress.

Anda mungkin juga menyukai