Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

DEMAM THYPOID

OLEH :

NI LUH TRISNAWATI
1302105079

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2016
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Brunner and
Suddarth, 2005 ).
Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi pada usus yang menimbulkan gejala gejala
sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thyphosa, S. Paratypi A, B, dan C. penularan
terjadi secara fekal oral, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Sumber
infeksi terutama “carier”. Carrier ini mungkin penderita yang sedang sakit (carier akut).
Carier menahun yang terus menularkan kuman atau carier pasif yaitu mereka yang
mengeluarkan kuman melalui ekskreta tetapi tidak pernah sakit (Nursalam et al 2008).
2. Epidemiologi/insiden kasus
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di
daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia
dijumpai dalam keadaan endemic.
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta kasus
demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian
dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian penyakit demam tifoid di
daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per
100.000 penduduk per tahun.
Demam tifoid merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000,
angka kejadian demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011). Data WHO tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.
3. Penyebab/faktor predisposisi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A, B dan C. Ada dua
sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus
mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia,
nyeri perut, konstipasi/diare (Dewi Pudiastuti R, 2010)
4. Patofisiologi terjadinya penyakit
Kuman S. typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke
usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat
terjadi. Kuman S. typhi kemudian menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe dan
mencapai kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati
kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk kealiran darah melalui duktus thoracicus.
Kuman-kuman S. typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi
bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial.
Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada
demam tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat S. typhi berkembang
biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S. typhi dan endotoksinnya merangsang
sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Suriadi &
Rita Yulianni, 2006).
5. Gejala Klinis
 Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan
yaitu 39ºC - 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, dengan
nadi antara 80-100x per menit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas
lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau
tremor. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung
3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna (Widodo, 2006).
 Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari.
Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita
yang mengalami delirium. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat
terjadi perdarahan (Widodo, 2006).
 Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya
kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia
memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani
masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga (Astuti, 2013).
 Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan, meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai
adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik : febris, kesadaran menurun, bradikardia relatif (peningkatan suhu 10C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri abdomen, roseolae
(jarang pada orang Indonesia).
7. Pemeriksaan diagnostik/Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit
normal,aneosinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia,
gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji
Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif
tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau
H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.
a. Kultur jaringan
Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari
specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah
sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena
kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum
mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi
20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%.6
b. Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s,thypi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antiboby yamg di
sebut aglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demem tifoid yaitu:
a) Aglutinin O dari tubuh kuman
b) Aglutinin H dari flagella kuman
c) Aglutinin v simpai dari simpai kuman
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di gunakan untuk
diagnostik demam tifoid semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinan
terinfeksi penyakit ini.
Ada beberapa faktor yang memepengaruhi uji widal yaitu
1) Pengobatan dini dengan antiboitik
2) Gangguan pembentukan antibody dan pemeberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu penigkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demem
tifoid akibat infeksi demem tifoid masa lalu atau vaksinasi.
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan starin
salmonella yang di gunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer glutinin yg bermakna
diagnostik untuk demem tifoid. Batas titer yg dipakai hanya kesepakatan saja, haya
berlaku setempat saja,dan dapat berbeda pada tiap-tiap laboratorium (Soedarto,
2009)
8. Diagnosis/kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis menurut Widodo, 2006 yaitu :
a. Deferential diagnosis
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak
khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal
yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid
berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf
pusat.
 Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada
malam hari.
 Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
 Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.
b. Working diagnosis
1. Influenza
2. Malaria
3. Bronchitis
4. Sepsis
5. Broncho Pneumonia
6. I.S.K
7. Gastroenteritis
8. Keganasan : - Leukemia
- Lymphoma
9. Tuberculosa
9. Theraphy/tindakan penanganan
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosa praduga tifoid harus dianggap dan dirawat
sebagai penderita demam tifoid secara garis besar mencakup 3 hal, menurut Widodo
(2006) dan Nelwan (2012) adalah :
a. Perawatan
Penderita demam tifoit perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, untuk mencegah
terjadianya komlikasi sangat fatal, tetapi tidak harus tirah baring sempurna.
Pergantian posisi tidur juga diperlukan untuk menghindari dekubitus dan bronchitis
hipostatik. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi
penderita dan dilakukan secara bertahap. Pada penderita dengan kesadaran yang
menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda- tanda komlikasi
demam tifoid yang lain, termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian.
b. Diet
Kualitas makanan dasn minuman perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan
kebuatuhan caiaran dan elektrolit, kalori, protein, vitamin maupun mineral serta
diusahakan makan makanan yang rendah atau bebas selulosa/ serat (pantang sayur
dan buah-buahan), menghindari makanan yang merangsang / menimbulkan gas. Pada
penderita dengan gangguan kesadaran diberikan makanan cair berupa nutrisional
parental begitu juga untuk penderita yang mengalami komplikasi, misalnya
perdarahan usus, maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
c. Medikamentosa
1) Antimikroba
Kloramfenikol
Keuntungannya adalah dapat menurunkan panas dengan cepat, harga murah, masa
toksik lebih singkat, gejala / keluhan lebih cepat hilang, menurunkan komplikasi.
Indikasi penggunaan kloramfenikol adalah :
 Typus yang pertama, bukan yang relaps / karier
 Tidak ada pansitopeni
 Lekosit > 3000 / mm
 Wanita tidak hamil (karena dapat sebabkan Gray Baby Sindrom)
Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3 dosis. Jika
tidak bisa peroral maka diberikan secara iv dengan dosis 50 mg, neonatus
sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25
mg/KgBB/hari.
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama, hanya komplikasi hematogen pada tiamfenikol lebih jarang
dilaporkan.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Indikasi untuk pengobatan demam tifoid relaps / karier (sebab disekrasikan lewat
empedu dalam bentuk aktif).
Cotrimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak yang controversial. Kelebihan
contrimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol. Penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya
kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahan obat ini adalah terjadinya skin rash (1-5%), Stevent Jhonson Sindrom,
Agranulositosis, Trombositopeni, Megaloblastik anemia. Hemolisis eritrosit
terutama pada penderita defesiensi G6PD. Dosis oral obat ini adalah 30-40
mg/Kg/KgBB/hari untuk trimetroprim, diberikan dalam 2 kali pemberiaan.
Ampisilin dan Amoksisilin
Ampisilin utamanya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
klorampenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurng toksik.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin
mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan per
oral lebih baik, sehingga kadar obat yang mencapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya
kekambuhan lebih sedikit (2-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dilanjutkan pada obat ini adalah :
- Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan lebih bila diberikan obat tunggal.
2) Simptomatis
Untuk menghilangkan gejal-gejala yang menyertai, misalnya antipiretik dan anti
flatulen.
3) Suportif
Untuk memperbaiki keadaan umum, misalnya :
Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps serta memperburuk regenerasi sel. Tetapi pada
kasus berat seperti toxsic sepsis (akibat kematian bakteri yang serempak dan
mengeluarkan toksik) maka penggunaan kortikosteroid dapat bermanfaat
menurunkan angka kematian. Efek samping obat ini adalah agronulositosis.
Ruboransia
Misalnya vitamin B komplek dan vitamin C.
10. Komplikasi
Menurut Dewi Pudiastuti R (2010) yaitu dapat terjadi pada
Usus halus
a) Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat
disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b) Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di ronggan peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafrkma pada foto roentgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang (defence muskulair) dan nyeri pada tekanan.
 Komplikasi di luar usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karean infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.
B. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian primer (ABCDE)

Pengkajian Data Masalah


Objektif Subjektif
Airway - Ronchi (-) - -
- Batuk (-)

Breathing - RR dalam rentang - -


normal.
- Pasien bernafas
spontan.
- Gerakan dada tampak
simetris
- Bentuk dada pasien
simetris antara kanan
dan kiri
Circulation - Sianosis (-) - Pasien Hipertermi
- Nadi dalam rentang mengatakan
normal badannya terasa
- CRT < 2 dtk panas.
- Suhu : >37,5oC
Disability - Kesadaran - -
komposmentis
- GCS E4V6M5
- Pupil isokor
- Reflek cahaya ada
- Reflex fisiologis ada
- Reflex patella +
- Reflex patologis
babinzki
Exposure - Kekuatan otot :tidak ada - -
- Deformitas : tidak ada
- Contusion : tidak ada
- Abrasi : tidak ada:
- Penetrasi : tidak ada
- Laserasi : tidak ada
- Edema : tidak ada
- Luka bakar : tidak ada

2. Pengkajian Sekunder (FGHI)

Pengkajian Data Masalah


Objektif Subjektif
Five - Monitoring Jantung - -
Intervensi - Kateter urine : tidak
- Pemasangan NGT :tidak
- Pemeriksaan
laboraturium
Give comfort - Nyeri : ada - Klien Nyeri akut
mengeluh nyeri
Head to toe - Kepala dan wajah : _ -
normal
- Leher : normal
- Dada : normal
- Abdomen dan Pinggang
: normal
- Ektremitas : -
Inspeksi - Jejas : tidak ada - -
back/posterio - Deformitas : tidak ada
r surface - Tenderness : tidak ada
- Crepitasi : tidak ada
- Laserasi : tidak ada

3. Diagnosa keperawatan

1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi ditandai dengan


demam, kulit teraba panas/hangat.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan keluhan nyeri
secara verbal
3. Mual berhubungan dengan iritasi gastrointestinal dan peningkatan asam lambung
yang ditandai dengan mual, nafsu makan menurun, mulut terasa pahit.
4. Rencana Asuhan Keperawatan
terlampir
5. Evaluasi
terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC
Dewi, Ratna Pudiastuti. 2012. Asuhan Kebidanan pada Hamil Normal dan Patologi.
Yogyakarta: Nuha Mediks.
Dochterman, Joanne McCloskey et al. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC).
Missouri : Mosby
Nanda. (2009). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Nelwan, R.H.H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM. Jakarta.
Nursalam, et al. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba
Sue Moorhead, dkk. (2008). Nursing Outcame Classification (NOC). United States of America :
Mosby
Suriadi, Rita Yuliani., 2006, Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung setia.
WHO (World Health Organization). Background Doc: The Diagnosis, Treatment and Prevention
of Typhoid Fever 2003. Geneva, Swizerland.
Widodo, D. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006.

Anda mungkin juga menyukai