Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi bakalan Australia. Sepanjang 2008

sebanyak 644.849 ekor atau 75 persen dari total ekspor sapi bakalan1 Australia ke pasar dunia

yang tercatat sejumlah 868.510 ekor. Impor Indonesia sepanjang 2008 naik 26 persen dari

impornya tahun 2007 yang mencapai 516.992 ekor.2

Kerjasama perdagangan antara Indonesia dan Australia dalam hal impor daging sapi dan

sapi bakalan tidak selalu berjalan mulus. Pada bulan Juni 2011 pemerintah Australia sempat

membekukan seluruh ekspor sapi bakalan ke Indonesia. Hal ini dikarenakan tersebarnya video

penyiksaan sapi Australia yang terungkap setelah laporan investigasi televisi ABC yang

merekam sadisnya proses pemotongan sapi bakalan di beberapa rumah pemotongan hewan

(RPH) di Indonesia.

Dalam laporan acara four corner ditemukan bahwa ada perlakuan yang tidak sesuai dengan

standar kesejahteraan hewan yang terjadi pada rumah pemotongan hewan (RPH) yang

bekerjasama dengan pemerintah Australia. Dalam video tersebut ditayangkan beberapa adegan-

adegan sebagai berikut : hewan-hewan yang membenturkan kepala mereka ke permukaan beton

karena pergerakannya dibatasi oleh tali pengekang. Beberapa hewan masih tampak tersiksa

beberapa menit setelah disembelih karena kecerobohan pekerja RPH di beberapa lokasi di

1
anak sapi berumur 1-2 tahun yang tidak layak bibit yang memenuhi persyaratan tertentu baik jantan maupun betina
untuk tujuan produksi atau hewan bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi
2
Mla, “Australia live cattle export by destination calendar year”, dalam
http://statistics.mla.com.au/Report/RunReport/9e41f807-1202-4d2c-a4bb-6248522b4089 , (diakses pada 20
Mei 2016)
Indonesia. Dalam bagian lain ditampilkan perlakuan keji terhadap hewan dalam proses

penyembelihan, seperti pukulan, tendangan, adanya perlakuan yang dapat menyakiti mata

hewan, dan juga pematahan ekor hewan ternak ketika proses penggiringan hewan ke kotak

pemotongan hewan.3

Tayangan hasil investigasi dalam acara tersebut memicu respon negatif dari penduduk

Australia. Respon ini muncul karena adanya perbedaan standarisasi penyembelihan di kedua

Negara. Di Australia sebagian besar penyembelihan dilakukan melelalui proses menggunakan

stungun yang diyakini dapat mengurangi tingkat kesakitan yang dialami oleh hewan yang

disembelih. Sedangkan di Indonesia sebagian besar RPH masih melakukan penyembelihan

hewan ternak dalam keadaan sadar, dengan bantuan alat pengekang berupa box ataupun tali.

Tanpa adanya penggunaan stungun untuk mengurangi rasa sakit pada hewan ternak.

Dalam waktu singkat rakyat Australia menuntut pada pemerintahnya agar segera

menghentikan kerjasama dengan rumah pemotongan hewan yang teridentifikasi dalam video.

Derasnya tuntutan masyarakat menyebabkan gangguan terhadap sistem komunikasi kementrian

pertanian Australia, puluhan ribu email terkirim kepada PM Julia Gillard, di saat bersamaan

hashtag #BanLiveExport menjadi trending topic di media social setempat,begitu pula

perkembangan petisi untuk menghentikan eksport ternak bakalan.4

Selain protes secara langsung kepada pemerintah, masyarakat Australia juga melakukan

protes dengan mengurangi konsumsi daging sapi. Hal ini terlihat dari angka penjualan daging

sapi yang menurun 15% setelah penayangan tersebut.

3
Abc, “A Bloody Business”, 30 Mei 2011, dalam http://www.abc.net.au/4corners/content/2011/s3228880.htm ,
(diakses pada 20 Mei 2016)
4
Animal Australia, “Our track record”, dalam http://www.animalsaustralia.org/about/track_record.php, (diakses
pada 20 Mei 2016)
Kegelisahan masyarakat Australia direspon cepat oleh pemerintah, pada tanggal 31 Mei

2011 , pemerintah Australia memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan beberapa

rumah pemotongan hewan yang tertangkap dalam laporan investigasi.5

Tidak cukup sampai disitu, Menteri Pertanian Australia Joe Ludwig menyatakan bahwa

Australia telah menghentikan ekspor sapi bakalan ke Indonesia sampai ada jaminan terkait

kesejahteraan hewan dalam proses penyembelihan dalam rumah pemotongan hewan.

"I want to work with both the industry, the Indonesian government and

through my department to ensure that we can do this as quickly as possible. The

suspension is there for up to six months to allow for time for this to occur, It will

[be] put in place until the Government establishes sufficient supply chain

assurance for cattle from Australia to Indonesia "6

Perdana Menteri Australia saat itu, Julia Gillard juga memberikan pernyataan bahwa

larangan ekspor sapi bakalan akan terus berlaku sampai ada tindakan dari pemerintah mengenai

isu kesejahteraan hewan.7

Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjelaskan bahwa keputusan ini dipicu meluasnya

kecaman publik di Australia, setelah ditemukanya bukti perlakuan buruk yang dilakukan rumah

pemotongan hewan di Indonesia terhadap sapi-sapi dari Australia.8

5
Abc, “Live exports to shamed abattoirs suspended “, 31 Mei 2011, dalam http://www.abc.net.au/news/2011-05-31/live-
exports-to-shamed-abattoirs-suspended/2738896 , (diakses pada 8 Mei 2016)
6Abc, “Government to suspend live cattle exports”,08 Juni 2011, dalam http://www.abc.net.au/news/2011-06-
08/government-to-suspend-live-cattle-exports/2750312 , (diakses pada 10 Mei 2016)
7Abc, “PM says live cattle export bans will stay”, 29 Juni 2011, dalam http://www.abc.net.au/news/2011-06-29/pm-

says-live-cattle-export-bans-will-stay/2776288, (diakses pada 10 Mei 2016)


8
DW, “Australia bekukan ekspor sapi ke Indonesia”, 8 juni 2011, dalam http://www.dw.de/australia-bekukan-
ekspor-sapi-ke-indonesia/a-15141088, (Diakses 8 Mei 2016)
Akan tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, p ada tanggal

6 Juli 2011 terjadi perubahan kebijakan luar negeri Australia terkait ekspor sapi ke Indonesia

ketika kebijakan larangan ekspor baru berjalan selama lima minggu.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang permasalahan di atas, kemudian muncul sebuah pertanyaan,

faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan ekspor sapi bakalan Australia ke

Indonesia yang dibuka kembali setelah menetapkan larangan ekspor sepenuhnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara garis besar peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang menyababkan terjadinya

dinamika kebijakan Australia terkait ekspor sapi ke Indonesia dalam waktu yang relatif singkat

1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.1 Teori pilihan rasional

Negara sebagai aktor yang rasional berusaha untuk memilih tiap pilihan alternatif untuk

memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian yang diterima. Untuk menganalisa

keuntungan dan kerugian yang diterima oleh negara, maka pada penelitian ini akan

menggunakan teori pilihan rasional. Rational choice theory atau teori pilihan rasional dalam

ilmu Hubungan Internasional terbentuk di awal 1960an. Teori pilihan rasional diartikan sebagai

instrumen mengenai maksud tujuan atau pilihan dari tujuan terarah suatu aktor.9

9
Robert Jackson & Geor Sorensen,Pengantar Studi Hubungan Internasional,(Yogyakarta:Pustaka Belajar,2009),
hal297.
Teori pilihan rasional menitikberatkan pada kajian aksi yang dilatarbelakangi oleh motif

tertentu, sehingga aktor yang melakukan kebijakan juga dipengaruhi oleh berbagai variabel dari

lingkungan pembentuk pemikiran rasionalnya. Aktor dalam konteks ini adalah negara, yang

mana menomorsatukan survivalitas dan kesejahteraan dalam setiap tindakan atau kebijakan yang

diberlakukan.10

Untuk memutuskan pilihan apa yang akan diambil oleh aktor, teori pilihan rasional

berupaya untuk memberikan penjelasan mengenai pilihan optimal bagi para pembuat keputusan.

Teori pilihan rasional merupakan teori yang digunakan untuk menjawab mengenai keputusan

terbaik untuk mencapai kepentingan dari aktor di lingkungan internasional. Penjelasan lebih rinci

mengenai teori pilihan rasional dinyatakan oleh Stephen M. Waltz dalam jurnalnya yang

berjudul “Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies”,Waltz menyatakan

bahwa:

Pertama, teori pilihan rasional bersifat individu yaitu hasil-hasil sosial dan politik

dipandang sebagai produk kolektif atas pilihan individu (atau sebagai produk dari pilihan yang

dibuat oleh aktor kesatuan). Dapat dikatakan Waltz menambahkan mengenai aktor kesatuan

(negara) pada aktor teori pilihan rasional, yang sebelumnya dijelaskan oleh Latsis yaitu individu.

Kedua, Waltz mengasumsikan bahwa aktor berusaha memaksimalkan kepentingannya, hal

tersebut dilakukan oleh aktor dengan mengambil suatu pilihan yang akan membawa hasil

maksimal terhadap pencapaian kepentingannya.

10Herrman, Richard K. 2002. “Linking Theory to Evidence in International Relations”, dalam Water Carlsnaes, Thomas Risse dan
Beth a. Simmons, Handbook of International Relations, London, SAGE Publications, pp. 120.
Ketiga, teori pilihan rasional menspesifikasikan preferensi dari aktor terhadap kendala

tertentu, misalkan aktor memiliki beberapa pilihan (artinya peneliti dapat membentuk urutan

peringkat dari preferensi untuk hasil yang berbeda).

Waltz menyatakan bahwa teori pilihan rasional merupakan alat untuk membuat kesimpulan

logis tentang bagaimana manusia (atau negara) membuat keputusan. Dari penjelasan mengenai

teori pilihan rasional dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional merupakan instrumen

mengenai maksud dan tujuan atau pilihan terarah dari negara untuk mencapai kepentingannya di

lingkungan internasional. Teori pilihan rasional digunakan pada penelitian ini untuk menganalisa

apa maksud dan tujuan dari negara, dan untuk menganalisa keuntungan dan kerugian dari pilihan

yang dilakukan negara untuk mencapai kepentingannya.

Pada bagian lain Heckathorn menyatakan bahwa, dilihat dari struktur umum teori pilihan

rasional, ternyata ia mencakup beberapa terminologi teoritik sebagai berikut; (1) sekumpulan

aktor yang berfungsi sebagai pemain dalam sistem, (2) Alternatif-alternatif yang tersedia bagi

masing-masing aktor, (3) Seperangkat hasil yang mungkin diperoleh dari sejumlah alternatif

yang tersedia bagi aktor, (4) Pemilihan kemungkinan hasil oleh aktor dan (5) Harapan aktor

terhadap akibat dari parameter-parameter system.11

1.4.2 Saling Ketergantungan

Interdependensi terjadi ketika dua negara atau lebih bekerjasama demi mencapai tujuan tertentu.

Kerjasama tersebut menyebabkan saling ketergantungan antara kedua negara, di mana kedua

11
Ibid.hlm276
negara saling membutuhkan satu sama lain. Dalam bukunya, Yanuar menjelaskan bahwa

interdependensi merupakan saling ketergantungan yang mempertemukan kekurangan dari

masing-masing negara melalui keunggulan komparatif masyarakat 12

Pemahaman tersebut berdasarkan pemikiran dari Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye

dalam bukunya Power and Interdependence. Menurut Keohane dan Nye, dapat ditarik

kesimpulan bahwa interdependensi merupakan hubungan saling ketergantungan ekonomi dan

ekologi global, dan juga mendekati karakteristik seluruh hubungan antara beberapa negara.

Ketergantungan yang cukup kompleks ini memunculkan proses politik yang khas, yaitu tujuan

suatu negara akan menjadi bervariasi berdasarkan masalah di wilayah dengan politik daerah yang

bersangkutan13

Pada teori interdependensi kompleks Robert Keohane dan Joseph Nye, menekankan tiga

hal dalam meningkatkan perekonomian, menyelesaikan konflik, maupun masalah sosial, yakni :

Pertama, Negara bukan satu-satunya aktor yang signifikan, terdapat actor transnasional

yang melintasi batas-batas Negara sebagai pemain utama.

Kedua Keohane dan Nye juga menyatakan Hardpower bukanlah satu-satunya instrument

yang signifikan.Manipulasi ekonomi dan penggunaan lembaga-lembaga internasional adalah

instrument dominan

Yang terakhir merupakan pernyataan bahwa keamanan bukanlah tujuan yang dominan,

kesejahteraan adalah tujuan yang dominan.

Interdependensi kompleks oleh Keohane dan Nye kemudian dijelaskan sebagai aliran

liberalisme interdependensi model baru atau neo-liberal interdependensi. Meskipun militer tidak

12
Ikbar Yanuar, Ekonomi Politik Internasional 2: Implementasi Konsep dan Teori , PT Refika Aditama, Bandung,
2007, hlm 183
13
Robert O Keohane & Joseph S. Nye, Power and Interdependence; Third Edition, Longman Pub. Group, Boston,
2000, hlm 5.
lagi menjadi instrument terpenting bagi perdamaian dunia, namun sistem ini tidak memungkiri

anarki internasional tetap ada dan nyata hingga saat ini.

Terdapat beberapa konsekuensi yang disebabkan oleh interdependensi kompleks. Yang

pertama,Tidak adanya hirarki yang jelas pada isu-isu yang ada memunculkan tujuan dan

kekuatan yang berbeda antar negara. Suatu negara yang unggul dalam bidang militer belum tentu

dapat memaksakan kepentingannya kepada negara lain yang tidak lebih kuat. Sebaliknya, negara

yang posisinya lebih minor akan mendapatkan keuntungan lebih. Kedua, agenda setting.

Kekuatan yang dimiliki suatu negara akan menjadi lebih spesifik pada isu-isu tertentu. Ketiga,

transnational and transgovernmental relations. Aktor internasional tidak dapat memaksakan

pengaruh yang dimiliki karena akan berdampak pada sistem internasional secara keseluruhan.

Dan keempat, role of international organizations. Eksistensi institusi internasional akan menjadi

sangat essensial dalam memperjuangkan agenda internasional.14

1.5 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

Perubahan kebijakan ekspor Australia terkait ekspor sapi bakalan merupakan pilihan

rasional dari faktor-faktor situasi saat ini yang meliputi faktor dimana dalam kerjasama yang

terjadi terbentuk pasar monopoli bilateral yang menyebabkan kedua belah pihak yaitu Australia

dan Indonesia saling bergantung satu dengan yang lain. Pada prosesnya Indonesia memiliki daya

tawar yang lebih besar dibandingkan Australia, dalam hal ini Indonesia memiliki pilihan lain

tanpa melakukan impor dari Australia. Sedangkan Australia telah mengalokasikan kuota ekspor

yang ditujukan untuk pasar Indonesia, larangan ekspor akan menyebabkan ketidakstabilan di

Australia.

14
Op.cit., hal. 28-29
1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Definisi Konseptual

1.6.1.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri

Menurut Joshua Goldstein mengatakan bahwa pengertian Kebijakan Luar Negeri adalah

kebijakan luar negeri adalah strategi-strategi yang diambil oleh pemerintah dalammenentukan
15
aksi mereka di dunia internasional. Sedangkan menurut K.J. Holsti kebijakan luar

negeri adalah tindakan atau gagasan yang dirancang untuk memecahkan masalah atau membuat

perubahan dalam suatu lingkungan.16

Tiap negara memiliki perbedaan tujuan kebijakan luar negerinya. Namun, Negara

mengeluarkan kebijakannya untuk memenuhi dan mencapai kepentingan pribadi maupun

kolektifnya.

Rosenau berpendapat bahwa tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan

fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang

dilihatdari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. 17

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka perubahan kebijakan luar negeri dapat di

definisikan sebagai pembaharuan dari kebijakan suatu Negara yang telah dikeluarkan

sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu.


18
Modelski menegaskan bahwa terdapat kemungkinan adanya perubahan dalam

pembuatan kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, setiap perilaku yang diambil oleh suatu

negara dalam menghadapi negara lain mungkin saja berubah dalam hitungan waktu. Hal ini

15
Joshua Goldstein, International Relations,.Longman ,New York, 1999, hlm .147
16
K.J. Holsti, International Politics : A Framework for Analysis . Prentice, New Jersey,1983, hlm.107
17
James N. Rosenau., International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory. The Free Press, New
York,1969, hlm.167
18
Vinsensio Dugis, “Explaining Foreign Policy Change” dalam Masyarakat Kebudayaan dan Politik,2008, hlm.101
disesuaikan dengan isu yang sedang berkembang, hubungan antara negara-negara tersebut,

situasi internasional, dan kepentingan dari pihak pembuat kebijakan.


19
Dugis menyebutkan bentuk perubahan dalam kebijakan luar negeri secara umum

terbagi menjadi dua, yaitu foreign policy redirection dan self-correcting. Pada

bentuk foreign policy redirection, perubahan kebijakan luar negeri terjadi karena adanya

perubahan rezim (transformasi negara) ataupun adanya perubahan sistem politik. Redireksi ini

membutuhkan faktor eksternal yang bersifat fundamental yang dapat memaksa para pengambil

kebijakan mengubah kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya. Hal ini biasanya terjadi

ketika pergantian presiden yang berujung pada perubahan kebijakan luar negeri. Dalam

bentuk self-correcting, perubahan kebijakan luar negeri terjadi karena pemerintah memutuskan

untuk mengubah arah kebijakannya dalam rangka mengoreksi dan mengevaluasi kebijakan yang

pernah dirumuskan. Dalam hal ini tidak diperlukan perubahan format pemerintahan, hanya arah

kebijakannya saja yang berubah.

Perubahan kebijakan luar negeri diidentifikasi Hermann20 ke dalam empat level,

yaitu adjustment, program, problem/goal, dan international orientation. Level pertama

merupakan level dengan perubahan minor dimana perubahan terjadi ketika usaha dalam

penerapan kebijakan luar negeri mengalami perubahan. Level yang kedua adalah adanya

perubahan program, terutama dalam cara dan metode penerapan kebijakan luar negeri. Level

yang ketiga adalah adanya perubahan dalam masalah yang dibahas ataupun perubahan tujuan

dari kebijakan luar negeri itu sendiri. Level yang terakhir adalah perubahan dalam sistem

internasional (dalam worldaffairs) yang akan mengubah orientasi negara secara fundamental.

Level terakhir ini mengarah kepada redirection kebijakan luar negeri. Gustavsson dalam hal ini

19
Op.cit, hlm 103
20
Op.cit, hlm 103
menambahkan langkah-langkah yang harus diambil dalam perubahan kebijakan luar negeri, yaitu

mengidentifikasi faktor-faktor latar belakang yang penting, memaksakan langkah menengah

sebagai faktor kognitif dan proses pengambilan keputusan (mengolah inputbaru), dan

menghubungkan dengan hasil21.

1.6.1.2 Monopoli Bilateral

Yang dimaksud monopoli bilateral adalah suatu model pasar dimana pasar tersebut hanya

terdapat satu penjual (monopolist) dan satu pembeli (monopsonist). Pada awalnya sistem

monopoli bilateral paling sering digunakan oleh para ekonom untuk menggambarkan pasar

tenaga kerja negara-negara industri pada tahun 1800an dan awal abad ke-20. Perusahaan besar

pada dasarnya akan memonopoli semua pekerjaan di satu kota dan menggunakan kekuatan

mereka untuk menaikkan upah ke tingkat yang lebih rendah. Pekerja, untuk meningkatkan daya

tawar mereka, membentuk serikat pekerja dengan kemampuan untuk menyerang, dan menjadi

kekuatan yang sama di meja perundingan mengenai upah yang dibayarkan.

Pada bentuk pasar monopoli bilateral penjual yang berposisi sebagai monopolist akan

berusaha untuk memperoleh keuntungan sebesar besarnya, sedangkan pembeli tunggal sebagai

monopsonist akan berusaha memperoleh harga paling rendah dari penawaran yang diberikan

oleh penjual.22

Karena pihak penjual dan pembeli memiliki kekuatan yang seimbang dalam penawaran

terhadap suatu komoditas,akan terdapat tarik-menarik kepentingan dari kedua belah pihak.

21
Jakob Gustavsson, How Should We Study Foreign Policy Change, Cooperation and Conflict Journal,1999
22
Grant F Rabey.(1976).some economic consideration pertaining the condoct and performance of large scale
enterprise in factor market
Dalam bentuk pasar ini pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih akan dapat mempengaruhi

keputusan pihak lain dalam proses kerjasama

1.6.1.3 Saling Ketergantungan

Kamus oxford mendefinisikan saling ketergantungan (interdependence) sebagai kondisi adanya

rasa saling bergantung satu dengan yang lain antara satu orang atau hal yang lainnya. 23

Interdependensi terjadi ketika dua negara atau lebih bekerjasama demi mencapai tujuan

tertentu. Kerjasama tersebut menyebabkan saling ketergantungan antara kedua negara, di mana

kedua negara saling membutuhkan satu sama lain. Dalam bukunya, Yanuar menjelaskan bahwa

interdependensi merupakan saling ketergantungan yang mempertemukan kekurangan dari

masing-masing negara melalui keunggulan komparatif masyarakat. 24

Dari konsep interdependensi diatas, muncul suatu teori yang berkaitan disebut Complex

Interdependence atau Interdependensi Kompleks. Konsep ini dikonstruksikan oleh Keohane dan

Nye dalam rangka memberikan pandangan baru disamping teori yang dicetuskan para realis

mengenai suatu tipe politik dunia yang mereka anggap ideal.25

Konsep interdependensi kompleks timbul di masa yang penuh modernisasi sosial pada

tahun 1950an dimana terdapat interaksi antar negara sehingga terbentuk hubungan antara

masyarakat transnasional selain bentuk hubungan politik antara pemerintah. Terlihat jelas

23
oxforddictionaries , “Definition of interdependence” dalam
https://en.oxforddictionaries.com/definition/interdependence (diakses pada 22 September 2016)
24
Ikbar Yanuar, Ekonomi Politik Internasional 2: Implementasi Konsep dan Teori, PT Refika Aditama, Bandung,
2007,hlm.183
25
Robert O. Keohane & Joseph S. Nye, Power and Interdependence; Third Edition, Longman Pub. Group, New
York,2000, hlm.23
terutama pada negara-negara pluralis industrisialis.26 Dahulu, hubungan antar negara hanya

terbatas pada hubungan para pemimpin negara dengan penggunaan kekuatan militeryang

menjadi pilihan utama. Namun, dengan adanya interdependensi kompleks, hal tersebut tidak lagi

berlaku. Karena, disamping pemerintah terdapat pula berbagai aktor yang berperan. Kekuatan

militer juga dianggap sebagai instrumen kebijakan yang kurang bermanfaat.27

Interdependensi kompleks memiliki beberapa karakteristik yaitu: adanya hubungan yang

beragam dan kompleks antara sub-unit, absennya hirearki pada isu-isu internasional, dan yang

terakhir berkurangnya signifikansi kekuatan militer.28

1.6.2 Definisi Operasional

1.6.2.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri dirumukan untuk suatu tujuan yang spesifik terhadap suatu isu, dan

dilaksanakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Operasionalisasi dari

perubahann kebijakan luar negeri disini dapat dilihat dari tujuan kebijakan itu dikeluarkan, yaitu

untuk memperbaharui kebijakan yang telah di buat sebelumnya.

Dalam kasus ini kebijakan luar negeri Australia dalam hal larangan ekspor sapi bakalan

ke Indonesia dikeluarkan pada bulan juni 2011 dan berlaku selama 6 bulan . kemudian di

keluarkan kebijakan mengenai ekspor sapi bakalan ke Indonesia berupa pencabutan larangan

ekspor pada bulan juli tahun 2011.

Berdasarkan dinamika yang terjadi penulis mengkatagorikan telah terjadi perubahan

kebijakan luar negeri yang berbentuk self-correcting oleh Australia dengan berdasarkan

kepentingan nasional mereka.

26
Op.cit., hlm. 27
27
Op.cit., hlm. 23
28
Op.cit., hlm. 21-22.
1.6.2.2 Monopoli Bilateral

Pada kasus ini penulis melihat interaksi kerjasama antara Indonesia dan Australia terjadi dalam

bentuk pasar persaingan yang tidak sempurna berupa pasar monopoli bilateral. Dalam definisi

sebelumnya dijelaskan bahwa pasar ini terbentuk akibat adanya hanya satu penjuan dan satu

pembeli terhadap suatu komoditas.

Penulis mengidentifikasi Australia sebagai penjual tunggal (monopolist) karena ketika

kasus ini terjadi Indonesia masih menganut sistem country based , yang menyebabkan Indonesia

tidak memiliki banyak opsi lain untuk memenuhi kebutuhan ternak bakalannya.

Disisi lain Indonesia diidentifikasi sebagai pembeli tunggal pada kerjasama yang terjadi

pada waktu itu. Australia sebagai salah satu eksportir terbesar hewan ternak di dunia telah

mengalokasikan beberapa zona untuk memenuhi kebutuhan ekspor hewan ternak terutama untuk

pasar asia tenggara.

Bentuk pasar ini memberikan daya saing yang seimbang di antara kedua pihak, akan

tetapi pada perkembangannya Indonesia memiliki daya tawar yang lebih kuat sehingga Australia

merubah kebihajan luar negerinya.

1.6.2.3 Saling Ketergantungan

Berdasarkan definisi konseptual pada bagian sebelumnya, saling ketergantungan dipandang

sebagai kondisi suatu Negara yang mengalami kondisi saling keterikatan dengan Negara lain.

Penulis mengidentifikasi suatu kondisi saling ketergantungan terjadi dalam praktik

hubungan internasional melalui hubungan aksi-reksi suatu Negara dengan Negara lain. Dalam
kasus ini hubungan Indonesia dengan Australia. Dinamika yang muncul dan reaksi dari kedua

Negara tersebut.

Melalui penggunaan perangkat analisis penulis memusatkan analisis ini dalam level

Negara.indikator ekonomi berupa nilai ekspor-impor terutama dalam kategori hewan ternak

bakalan beserta implikasinya pada perekonomian domestik Australia menjadi tolak ukur analisis

untuk melihat adanya faktor saling ketergantungan berdasarkan aksi-reaksi kedua negara yang

menjadi landasan munculnya perubahan kebijakan Australia.

1.6.3 Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe penelitian eksplanatif yakni menganalisis dan

menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Dalam

penelitian eksplanatif, perlu diidentifikasi berbagai variabel diluar masalah untuk

mengkonfirmasi penyebab terjadinya suatu masalah sehingga kemudian diketahui bagaimana

korelasi antara dua atau lebih variabel baik pola, arah, sifat, bentuk maupun kekuatan hubungan.

Pertanyaan penelitian ekplanatif berhubungan dengan “how” dan “why” tetapi terkait dengan

pertanyaan tersebut, dalam penelitian eksplanatif juga mencakup pertanyaan-pertanyaan seperti

“to what extent”, “how much”, “how far”, dan“how significant” yang meminta penjelasan

berdasarkan satu teori.29 Karenanya, berdasarkan pada pengertian ini kemudian penilitian ini

termasuk dalam penelitian eksplanatif yang berusaha untuk menjelaskan tentang perubahan

kebijakan australia terkait ekspor sapi pada tahun 2011.

1.6.4 Jangkauan Penelitian

29
Ulber Silalahi,”Pengenalan Dasar Penelitian Sosial ” dalam Metode Penelitian Sosial, Unpar Press,Bandung,
2006, hlm.28
Penelitian ini akan penulis batasi dari tahun 2007-2012. Momentum tahun 2007 diambil karena

pada tahun tersebut perdagangan ekspor sapi australia dan indonesia berada pada titik puncak.

Sementara itu momentum tahun 2012 sebagai batas akhir penelitian ini, karena pada tahun 2012,

terjadinya mulainya implementasi peraturan ESCAS pada sapi impor dari Australia .

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan

data dokumen atau kemudian lebih dikenal dengan pemanfaatan bahan pustaka . Semua proyek

penelitian selalu melibatkan penggunaan dan analisis dokumen baik dalam skala besar maupun

skala kecil. Tujuannya adalah agar penulis dapat membaca, memahami dan menganalisis secara

kritis pada tulisan orang lain. Dokumen yang dapat digunakan oleh peneliti dapat berupa

dokumen perpustakaan, dokumen berbasis komputer, dokumen yang memiliki fokus kebijakan,

dan dokumen yang memiliki orientasi historis. Penggunaan dokumen menekankan pada upaya

melacak langkah-langkah responden-responden awal melalui dokumen-dokumen yang

ditinggalkan. Sehingga, dalam penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data melalui

dokumen ini terdapat penggolongan sumber data yang dapat dibagi menjadi dua yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan

diteliti (responden). Sedangkan data sekunder lebih merupakan data yang diperoleh dari lembaga

atau institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Departemen-Departemen, dan lain-lain.30

1.6.6 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teknik analisis data kualitatif karena data

empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan

30
Sudarso, ”Prosedur Penelitian” dalam Metode Penelitian Sosial, Kencana, Jakarta,2008, hlm.55
rangkaian angka. Dalam prosesnya penulis akan mengacu pada kegiatan analisis menurut Miles

dan Huberman yang menyatakan bahwasanya terdapat tiga alur kegiatan dalam menganalisis

data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga

kegiatan ini akan berlangsung secara bersamaan yang mana berarti ketiga kegiatan ini akan jalin

menjalin dan membentuk proses siklus yang interaktif pada saat sebelum, selama, dan sesudah

pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut

analisis.31

1.6.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan penulis bagi menjadi empat bab, yang terdiri dari :

Bab pertama berisi pendahuluan.Dalam Bab ini peneliti akan menjelaskan tentang sub-bab

antara lain: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritik,

hipotesis, dan metodologi penelitian.

Dalam bagian kedua penulis akan mendeskripsikan mengenai dinamika hubungan bilateral

antara indonesia dengan australia, termasuk di dalamnya kronologi terjadinya larangan ekspor

sapi ke indonesia.

Dalam bab ketiga penulis melakukan analisis mengenai faktor apa yang menyebabkan

australia mencabut kebijakan larangan ekspor yang telah terjadi.

Bab keempat merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penelitian ini.

31
Ulber Silalahi,”Pengenalan Dasar Penelitian Sosial ” dalam Metode Penelitian Sosial, Unpar Press,
Bandung,2006, hlm.311

Anda mungkin juga menyukai