Anda di halaman 1dari 56

REFERAT

“ANEMIA”

Oleh:

Bisart Benedicto Ginting

Dear Apriyani Purba

Shafira Fauzia

Preceptor:

Dr. Ade Yonata, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia

terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita

anemia. Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada remaja dan ibu

hamil. Penyebab anemia bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan

oleh defisiensi besi, sehingga prevalensi defisiensi besi sering digunakan untuk

mewakili prevalensi anemia defisiensi besi (ADB). Pada tahun 2002, ADB

merupakan faktor terpenting yang memberi kontribusi global burden of disease

(Janus dan Moerschel 2010; WHO, 2008). Anemia pada remaja putri sampai

saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013),

prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%. Jumlah penduduk usia remaja (10-19

tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1%

perempuan (Kemenkes RI, 2013).

Anemia merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung kematian

ibu hamil. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah tertinggi bila

dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya. Perempuan yang meninggal


karena komplikasi selama kehamilan dan persalinan mengalami penurunan pada

tahun 2013 sebesar 289.000 orang. Target penurunan angka kematian ibu sebesar

75% antara tahun 1990 dan 2015 (WHO, 2015). Jika perempuan mengalami

anemia akan sangat berbahaya pada waktu hamil dan melahirkan. Perempuan

yang menderita anemia akan berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan

rendah (kurang dari 2,5 kg). Selain itu, anemia dapat mengakibatkan kematian

baik pada ibu maupun bayi pada waktu proses persalinan (Rajab, 2009).

Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia

yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan

18,4% penderita berumur 15-24 tahun (KemenkesRI, 2014). Data Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi

anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar

45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar

39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi terutama pada

remaja putri (KemenkesRI, 2013).


BAB II
ISI

2.1 Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

2.2 Kriteria

Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.

Kriteria anemia menurut WHO adalah:


- Ringan sekali Hb 10 gr% - 13 gr %
- Ringan Hb 80 gr% – 9.9 gr %
- Sedang Hb 6,0 gr% - 7.9 gr%
- Berat Hb < 6,0 gr%

2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin. Menurut etiologinya,
anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah
merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah
(eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah
(kehilangan darah atau hemolisis).
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia
hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:
a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya:
leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c.Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat.
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d.Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya:
interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan
hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat
pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi
besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat
dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.

2. Gangguan pematangan

Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”,
gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang
abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:

a. Gangguan pematangan inti


Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA
(seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga
dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih
disebabkan oleh defisiensi asam folat.

b. Gangguan pematangan sitoplasma


Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik
dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah
defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada
thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)

3. Penurunan waktu hidup sel darah merah

Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat
terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan
retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan
eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis
gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.

Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan
karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan
oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali,
krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun,
hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting)
Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit
3. Anemia Makrositik

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom

karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit

pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan

pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta

anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia).

Anemia Megloblastik

Definisi

Sekelompok anemia dengan eritroblas dalam sumsum tulang yang menunjukkan

kelainan yang khas-pematangan inti terlambat relatif terhadap pematangan

sitoplasma.defek yang mendasari pematangan inti tidak sinkron adalah sintesis DNA

yang tidak sempurna dan ini biasanya disebabkan oleh defisiensi vit b12 atau asam

folat.

Klasifikasi

1. Defisiensi kobalamin

 Asupan tidak cukup

 Mal absorbsi

 Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan

 Produksi faktro intrinsik yang tak mencukupi


 Gangguan dari ileum terminalis

 Kompetisi pada kobalamin

 Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin

 neomisin

 No anasthesia, defisiensi transkobalamin II

2. Defisiensi asam folat

 Asupan yang tidak adekuat

 Keperluan yang meningkat (kehamilan bayi, keganasan, peningkatan

hematopoiesis, (anemia hemolitik kronik), hemolisis

 Malabsorbsi obat-obat : phenythoin, ethnol

 Metabolisme yang terganggu : penghambat Dihydrofolat reductase(

metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin).

Alkohol, jarang defisiensi enzim.

a. Defisiensi Vitamin B12(kobalamin)

Vitamin ini disintesis oleh mikroorganisme;hewan mendapatkannya dengan

memakan hewan lain, melalui produksi dari usus (tidak pada manusia) atau

dengan memakan makanan yang tercemar bakteri. Vitamin ini ditemukan pada

makanan yang berasal dari hewan seperti hati, daging, ikan dan produksi susu,

tetapi tidak ditemukan dalam buah-buahan, sayur, dan serelia.


B12 dilepaskan dari pengikatan protein dalam makanan dan digabungkan dengan

glikoprotein faktor intrinsik (IF) yang disintesis oleh sel-sel parietal lambung.

Kompleks Ifb12, berikatan dengan reseptor spesifik terhdap IF, yaitu cubilin,

kemudian berikatan dengan reseptor kedua amnionless, yang mengarahkan

endositosis cubilin IF-b12 dalam ileum distal dimana B12 dan IF dihancurkan.

Vitamin B12 di absorbsi dan masuk ke dalam peredaran darah porta dimana b12

berikatan dengan protein pengikat plasma(transkobalamin/TC II) yang

menghantar B12 ke sumsum tulang dan jaringan lain. Dalam keadaan normal,

jumlah B12 dalam TC sangat rendah (<mg/L). Maka dari itu, jika terjadi

defisinesi TC, maka akan terjadi anemia megaloblastik.

Vitamin B12 merupakan koenzim untuk 2 reaksi biokima dalam tubuh:

 Sebagai metil B12 merupakan kofaktor untuk metionin sintase, enzim

yang bertanggung jawab untuk metilasi homosistein menjadi metionin

menggunakan metil tetrahidrofolat.

 Sebagai deoksi adenosil B12 membantu dalam konversi metilmalonil

koenzim A(Ko A) menjadi suksinil KoA.

Pemeriksaan homosistein dan suksinil Ko A dapat digunakan untuk melihat

deifisiensi B12.

Defisiensi B1 biasanya disebabkan oleh anemia pernisiosa. Anemia pernisiosa.

Anemia pernisiosa disebabkan oleh serangan autoimun pada mukosa lambung

yang menyebabkan atrofi lambung. Dinding lambung menjadi tipis , dengan


infiltrat sel plasma dan limfoid pada lamina propria. Kadar gastrin serum

meningkat. Infeksi Helicobacter pylori dapat menyebabkan defisiensi bagi subjek

yang lebih muda dan anemia pernisiosa pada orang tua. Lebih banyak wanita di

banding pria (16:1) dengan insidensi puncak pada umur 60 tahun. 90% pasien

menunjukkan antibodi sel parietal dlam serum yang ditujukan terhadap H+/K+-

ATPase dan 50% tipe I atau antibodi penghambat IF yang menghambat

pengikatan IF pada B12. 35% menunjukkan antibodi kedua terhadap IF yang

menghambat tempat pengikatannya di ileum.

Etiologi dan faktor resiko

- Tidak adanya intrinsic faktor

- Gangguan pada mukosa lambung, ileum dan pancreas

- Tidak adakuatnya intake vitamin B12, tapi asam folat banyak

- Obat-obatan yang mengganggu di absorbs di lambung (azathioprine, 5

FU, hidroksi urea, phenytoin, kontrasepsi oral )

- Obat-obatan yang merusak ileum (neomisin, metformin)

- Kerusakan absorbs (neoplasma, penyakit gastrointestinal, pembedahan

reseksi ileum)

Manifestasi klinik

- Hb, hematocrit, SDM rendah

- Anemia

- BB menurun, nafsu12 makan menurun, mual, muntah


- Distensi abdomen, diare, konstipasi

- Gangguan neurologi (parastesia tangan dan kaki, depresi, gangguan

kognitif dan hilang memori)

- Defisiensi vit B12 dengan cara test schilling (pasien puasa selama 12 jam,

kemudian minum air + vit B12 radioaktif kemudian berikan B12 non

radioaktif IM, bila diabsorbsi akan keluar melalui urin yang di tampung

dalam 24 jam.

Penatalaksanaan

 Hydrokobalamin 200mg/hari IM atau 1000 mg IM tiap minggu sampai 7

minggu. Dosis pemeliharaan 200mg tiap bulan atau 100mg tiap 3 bulan

 Bila membaik diberikan 1 bulan sekali

 Bias dilanjutkan oral 2mg/hari

 Bila perlu transfuse prc pelan-pelan

b. Defisiensi Asam Folat

Asam folat dalah senyawa induk untuk sekelompok besar senyawa yaitu folat.

Manusia tidak dapat mensintesis struktur asalm folat, sehingga memerlukan folat

yang sudah terbentuk sebagai vitamin. Folat dari makanan diubahh menjadi metil

THF selama absorbsi melalui usus kecil bagian atas. Di dalam sel folat diubah

menjadi folat poliglutamat. Protein pengikat folat terdapat dalam permukaan sel

termasuk pada eritrosit. Folat diperlukan dalam reaksi biokimia seperti


perubahan antar asam amino dan serin menjadi glisin atau sintesis prekursor

purin DNA.

DNA dibentuk oleh polimerisasi empat deoksiribonukleosida trifosfat. Defisiensi

folat menyebabkan anemia megaloblastik dengan menghmbat sintesis

thymidylate, suatu langkah pembatas laju sintesis DNA dimana timidin

monofosfat (dTMP) disintesis.

Gambaran klinis

 Pasien sedikit ikterik karena pemecahan hemoglobin berlebihan yang

disebabkan karena eritropoiesis inefektif yang meningkat dalam sum-sum

tulang.

 Glositis

 Stomatitis angularis

 Gejala malabsorbsi ringan dengan penurunan berat badan

Terapi

Asam Folat 1-5 mg, hari selama 4 bulan

Anemia normokromik normositer

a. Anemia aplastik

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang

diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan
platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan

sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan

oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh zat kimia beracun, virus

tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan. Anemia aplastik juga merupakan

anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh

kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia.

Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya

yaitu : anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial (inherited);

idiopathik (tidak diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer

(kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, penyebab lain).

Patogenesis

Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat

idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses

penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Penulusuran penyebab dilakukan melalui

penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua sebagai berikut:

Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain : (a) anemia fanconi, (b) non

fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson syndrome, amegakaryotic

thrombocytopenia, scwachman-diamond syndrome, dubowitz syndrome, diamond

blackfan syndrome, familial aplastic anemia,dan (c) dyskeratosis congenital.

Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain : (a) akibat infeksi Seperti virus

hepatitis, epstein barr virus, HIV, parovirus, dan mycobacteria, (b) akibat terpaparnya

radiasi, bahan kimia seperti Benzene, Chlorinated hycrocarbons, dan


organophospates, (c) akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,

phenylbutazone, (d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan

systemic lupus erythematosus (SLE), dan (e) akibat kehamilan.

Patofisiologi

Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses

hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif

hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang.

Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia

seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik

yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi

laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari

mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,

eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan

kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih

belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T

diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel hematopoetik

dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon

dan tumor nekrosis faktor. Efek dari imun sebagai media penghambat dalam

hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien

dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.

Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel
batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal

dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari

sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan

hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat. Dari patofisiologi dari anemia

aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendek atan utama untuk pengobatannya :

penggantian sel induk yang tidak sempurna dengan cara transplantasi

sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak.

GEJALA DAN TANDA KLINIK ANEMIA APLASTIK

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya,

yang d isertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga

menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai
panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain

yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat

memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah

superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan

pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi

pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi

pendarahan dapat bersifat fatal.

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau

pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet

kurang dari 10.000/ l (10 109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar

untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat

atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada

anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis

alternatif seperti leukemia atau limpoma.

Kelainan Laboratorium
Penemuan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik memiliki

tingkat pansitopenia yang beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit

yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan

mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang

tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat,

atau dari klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan
rendah, jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam

neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih

normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu

besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC)

normal, HbFmeningkat.

Penemuan pada Sumsum Tulang. Sumsum tulang biasanya mempunyai

tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan sedikit sel

hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin mencolok,

tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari pada

meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh

International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum tulang kurang dari

25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel

hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/ ul

(0.5x109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ul (20 x 109/liter), dan anemia

dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in vitro

menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming Unit-

Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming Unit-

Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda pengurangan

dalam sel primitif.

Penemuan Radiologi. Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat

digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat
memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada

teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik

dari anemia aplastik.

Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor

pertumbuhanhemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin,

dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi,

dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam

peredaran sel darah merah.

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah

pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adan ya

infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia aplastik dapat digolongkan

menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan pansitopenia.

Menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG)

kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai satu dari tiga

sebagai berikut : (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari

30%; (b) trombosit kurang dari 50 x 109/L; dan (c) leukosit kurang dari 3.5 x

109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 x 109/L. Retikulosit < 30 x 109/L (<1%).

Gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : (a) penurunan

selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau


selularitas normal oleh hyperplasia eritroid fokal dengan deplesi segi granulosit dan

megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.

Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia

aplastik.

Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan

diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al.

Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria

berikut : paling sedikit dua dari tiga : (a) granulosit < 0.5 x 109/L; (b)

trombosit < 20 x 109/L ; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum

tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <

30% sel-sel hematopoetik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil <

0.2 x 109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut

anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic anemia).

TERAPI

Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan

perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus

diputuskan segera. Obat- obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi

dan apakah itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat
inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode

infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).

Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4

yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi

sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta

terapi definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi

sumsum tulang. Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.

Terapi Kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan

pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini

sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat

dikoreksi.

Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.

Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene

mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan

adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang

dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat

penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai

sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil
dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5 -7hari panas tidak turun maka

pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin - B atau

flukonasol parenteral.

Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat


kuman gram
negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika

adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.

Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau

(PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang

sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal,

karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan

untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.

Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat


trombosit jika
terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm. Pemberian

trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya

antibodi anti -trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.

Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.

Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan

sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.

Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau

stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi


tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan

fungsi hati.

Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah belum

jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak

ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.

Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF)

atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan

untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus.

Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah

merah.

Terapi definitif

Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.

Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu : 1.) Terapi

imunosupresif;

2.) Transplantasi sumsum tulang.

Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama dalam

pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan

donor yang cocok.

Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte

globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses
imunologi. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic

growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun

sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif).

Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk penderita anemia aplastik

yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi imunosupresif lain : pemberian

metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A dilaporkan memberikan

hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.

Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi.

Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan

terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,

memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang

kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik

berat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur

dibawah 40 tahun, diberikan siklosforin -A untuk mengatasi graft versus host

disease (GvHD), transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka

panjang pada 60%-70% kasus, dengan kesembuhan

komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok dengan pendonor

terjadi pada

kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih muda dari 40 tahun

yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.

b. Anemia akibat penyakit kronik


Anemia yang terjadi pada penyakit kronis, tidak semua dapat digolongkan

sebagai anemia akibat penyakit kronis, walaupun beberapa penyakit kronis seringkali

disertai dengan anemia. Anemia pada penyakit kronis merupakan anemia yang

dijumpai pada keadaan penyakit kronis tertentu, yang khas ditandai dengan adanya

gangguan metabolisme besi sehingga dalam pemeriksaan darah tampak hipoferemia

dan menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis

hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia peyakit kronis

memiliki gambaran klinis sebagai berikut :

 Indeks dan morfologi eritrosit normositik normokromik atau hipokrom

ringan dengan MCV jarang <75 fl.

 Anemia bersifat ringan atau tidak progresif, kadar haemoglobin pada

pasien jarang ditemukan kurang dari 9,0 g/dl, namun perlu dicatat

bahwa beratnya anemia tergantung dari penyakit yang mendasari

terjadinya anemia tersebut.

 Kadar TIBC yang menurun dengan kadar sTfR yang normal.

 Kadar feritin serum yang normal maupun adanya peningkatan.

 Kadar besi cadangan di sumsum tulang masih normal, sedangkan kadar

besi dalam eritroblas berkurang.

A. Etiologi

Laporan dan data yang didapat dari penyakit tuberculosis, abses paru,

endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV telah
membuktikan bahwa anemia berkaitan dengan hampir semua infeksi supuratif kronis.

Untuk terjadinya anemia, diperlukan waktu sekitar satu hingga dua bulan setelah

infeksi terjadi pada pasien. Derajat anemia yang diderita sebanding dengan berat

ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum.

B. Epidemiologi

Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia hipokromik mikrositer

yang paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi, jadi anemia pada

penyakit kronik tergolong anemia yang cukup sering dijumpai baik di klinik maupun

di lapangan. Penyakit yang paling sering menyebabkannya adalah cronic kidney

disease (CKD), Human Immunodeficiency Virus (HIV), Inflammatory Bowel

Disease (IBD), Rheumatoid Arthritis (RA), dan Congestive Heart Failure.

Dilaporkan pada suatu studi bahwa telah ditemukan prevalensi yang cukup

tinggi, yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita

anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di

Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik

adalah tuberkulosis paru. Data epidemiologis anemia pada penyakit kronik di

Indonesia memang belum banyak dipublikasikan.

C. Patogenesis
Terdapat tiga abnormalitas utama pada patogenesis terjadinya anemia pada

penyakit kronis, yaitu : menurunnya umur eritrosit, adanya penurunan produksi

eritrosit akibat produksi eritropoitin yang menurun, dan gangguan metabolisme

berupa gangguan reutilisasi besi.

Derajat anemia sebanding dengan berat ringanya gejala, seperti demam ,

penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan

waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan

antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.

Berikut adalah patogenesis secara umum penyebab terjadinya anemia penyakit

kronis:

 Pemendekan masa hidup eritrosit

Anemia yang terjadi diduga merupakan bagian dari sindrom stress

hematologic, adalah keadaan dimana terjadinya produksi sitokin yang berlebihan

karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut

dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag sehingga mangikat lebih banyak zat

besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoetin

oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di

sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan

penurunan transformasi T4 manjadi T3, menyebabkan hipotirod fungsional

dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis

eritropetin-pun akhirnya berkurang.


 Penghancuran eritrosit

Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada

sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila

eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.

Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis

makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa, menjadi kurang toleran

terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit.

 Produksi eritrosit

- Gangguan metabolisme zat besi.

Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan

adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini

memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan

kemampuan Fe dalam sintesis Hb.

- Fungsi sumsum tulang.

Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan

masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat

anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang

diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau menurunya respon terhadap

eritropoetin.
Pengaruh dari sitokin proinflamasi, IL-1, dan TNFalfa terhadap proses

eritripoiesis dapat menyebabkan perubahan-perubahan diatas. Gangguan pelepasan

besi ke plasma menyebabkan berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis yang

berakibat pada gangguan pembentukan hemoglobin sehingga terjadi anemia

hipokromik mikrositer.

D. Diagnosis

Anemia tersebut disebut sebagai anemia pada penyakit kronis hanya apabila

anemia yang terjadi adalah :

 anemia sedang

 selularitas sumsum tulang normal

 kadar besi serum rendah

 TIBC (Total Iron Binding Capacity) rendah

 kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal ataupun meningkat

 feritin serum yang meningkat

Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka anemia tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meskipun banyak pasien dengan

infeksi kronis, inflamasi dan keganasan menderita anemia.


Karena anemia yang terjadi umumnya dengan derajat yang ringan dan sedang,

gejalanya seringkali tertutup oleh gejala dari penyakit dasarnya dan kadar Hb sekitar

7-11 gr/dL juga umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila demam atau

debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan

memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik, biasanya hanya ditemukan konjungtiva yang pucat

tanpa adanya kelainan yang khas dari anemia dan diagnosis biasanya hanya

bergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.

E. Penatalaksanaan

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati penyakit

dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada penyakit

kronis, diantaranya yaitu :

 Transfusi

Transfusi merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan

dengan gangguan hemodinamik. Beberapa literature menyebutkan bahwa

pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi

dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan yang

pasti pemberian transfusi harus dilakukan pada kadar hemoglobin berapa,

namun sebaiknya kadar hemoglobin pada pasien dipertahankan pada 10-11

gr/dL.
 Eritropoietin

Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi beserta efek

sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai beberapa keuntungan,

yaitu:

a. Mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi dari

TNF-α dan interferon-γ.

b. Pemberian eritropoetin juga akan menambah proliferasi dari sel-sel

kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan

leher.

Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa,

eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda struktur

kimiawi, afinitas terhadap reseptor serta waktu paruhnya sehingga memungkinkan

untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu kasus.

Anemia Hipokromik Mikrositer

a. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya

penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)

yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta,

2006).

Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah,

yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi
transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang

menurun (Abdulmuthalib, 2009).

Etiologi

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena

rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan

menahun:

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau

NSAID,

kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing

tambang.

b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.

c. Saluran kemih: hematuria.

d. Saluran nafas: hemoptisis.

2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan

(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.

3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan, dan kehamilan.


4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau

dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi),

polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).

Patogenesis

Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi

yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun

(Bakta, 2006)
Gambar 2.5. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C.,

1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95)

Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang

negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh

penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta

pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut

terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk

eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi

anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient

erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan

kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi

transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC)

meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan

jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar

hemoglobin mulai menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul anemia hipokromik

mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).


M

anife

stasi

Klini

1. G

a Umum Anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia

(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar

hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,

cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada

pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada

konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada

umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl

maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

2. Gejala Khas Defisiensi Besi


Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak

dijumpai pada anemia jenis lain adalah (Bakta, 2006):

a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi

rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga

mirip sendok.

b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan

mengkilap karena papil lidah menghilang.

c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan

pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna

pucat keputihan.

d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel

hipofaring

Pemeriksaan

Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang

dapat dilakukan antara lain:

A. Pemeriksaan Laboratorium

1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu

ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia

berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan

menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali

selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.

2. Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri

atau menggunakan rumus:

a. Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata

eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan

pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan

zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis

disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah

merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)

MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah.

Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai

normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung

dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan

hipokrom < 30%.

3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.

Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan

ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan

flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif

baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi

anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat

anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi

hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,

jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW

adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan

eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.


5. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa

tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap

lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan

besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi

serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas

dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah

cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum

karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang

rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi

kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai

kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

7. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama –sama dengan besi serum.

Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara

keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)

Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,

merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.

Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi

yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun

pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi

yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang

menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.

Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan

kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara

khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan

cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan

pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat

besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai

diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan

awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi

karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak

pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin.

Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang
menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat

pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun.

Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai

sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian

mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara

dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang

mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga

meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum

feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),

Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

B. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun

mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan

untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari

kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti

sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum

yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu

teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam

populasi umum.

Pencegahan dan Pengobatan Anemia Defisiensi Besi


Upaya yang dilakukan dalam pencegahandan penanggulangan anemia adalah

a. Suplementasi tabet Fe

b. Fortifikasi makanan dengan besi

c. Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi pangan yang

memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin C.

d. Penurunan kehilangan besi dengan pemberantasan cacing.Dalam upaya mencegah

dan menanggulangi anemia adalah dengan mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah

terbukti dari berbagai penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan

kadar Hemoglobin.

e. Pengobatan Anemia Defisiensi Besi Sejak tahun 1997 pemerintah telah merintis

langkah baru dalam mencegah dan menanggulangi anemia, salah satu pilihannya

adalah mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai peneltian

bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan hemoglobin.

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi

Dapat dilakukan antara lain dengan cara:

a. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan Mengkonsumsi pangan hewani

dalam jumlah
cukup. Namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit

menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia

gizi besi. Memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling

melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti

vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat

meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan

sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C

akan rusak.Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat

besi seperti : fitat, fosfat, tannin.

b. Suplementasi zat besi

Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status

hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Di Indonesia pil besi yang umum

digunakan dalam suplementasi zat besi adalah frrous sulfat. Persentase dan jumlah zat

besi di dalam tablet Fe bisa dilihat pada tabel dibawah ini.


Efek samping dari pemberian besi feroral adalah mual, ketidaknyamanan epigastrium,

kejang perut, konstipasi dan diare. Efek ini tergantung dosis yang diberikan dan dapat

diatasi dengan mengurangi dosis dan meminum tablet segera setelah makan atau

bersamaan dengan makanan.

a. Fortifikasi zat besi

Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan untuk

meningkatkan kualitas pangan . Kesulitan untuk fortifikasi zat besi adalah sifat zat

besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilanm bahan yang di fortifikasi.

Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna, penampakan dan daya

simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang difortifikasi adalah yang banyak

dikonsumsi masyarakat seperti tepung gandum untuk pembuatan roti.

b. Penanggulangan penyakit infeksi dan parasit

Penyakt infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia gizi besi. Dengan

menanggulangi penyakit infeksi dan memberantas parasit diharapkan bisa

meningkatkan status besi tubuh.

Pemantauan Terapi

a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu

b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat


c. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan

gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen

dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

Tumbuh Kembang

a. Penimbangan berat badan setiap bulan

b. Perubahan tingkah laku

c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan

konsultasi ke ahli psikologi

d. Aktifitas motorik

a. Thalasemia

Defenisi Thalasemia

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan

pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak

dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah

mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah

anemia.7

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi

mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna

merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan

globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang

terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2

rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β).6

Penderita Thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein

tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak

terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut

oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia

mengalami anemia sepanjang hidupnya.9

Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai

alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin.

Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan

dari kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis

yang paling berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor. Penderita
Thalasemia mayor akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran

hemoglobin dan membuat penderita harus menjalani transfusi darah seumur

hidup setiap bulan sekali.1

Klasifikasi Thalasemia

Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu

Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya

produksi rantai-polipeptida.11

Thalasemia Alfa12

Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin

rantai

alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari:

a. Silent Carrier State

Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul

gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang

tampak lebih pucat.

b. Thalasemia Alfa Trait

Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami

anemia ringan

dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi

carrier.

c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi

mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang

disertai dengan perbesaran limpa (splinomegali).

d. Thalasemia Alfa Mayor

Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini

merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa.

Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak

ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa

Thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia,

membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa.

Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama

setelah dilahirkan.

Thalasemia Beta

Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta

yang ada. Thalasemia beta terdiri dari:

a. Thalasemia Beta Trait (Minor)

Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.

Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang

mengecil (mikrositer).

b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai

beta globin. menderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat

mutasi gen yang terjadi.

c. Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai

beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang

berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup

sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang

lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun

kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan

perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.13

Gambaran Klinis Thalasemia16

Tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di

dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat selsel darah

merah dan hemoglobin. Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki

tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak

terlalu banyak sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal.

Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan

dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi

anemia kekurangan zat besi. Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami
anemia ringan sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah

kesehatan lainnya, seperti:

a. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak

b. Masalah tulang, Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak

berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang menjadi

rapuh.

c. Pembesaran limpa.

Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat.

Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Penderita akan

mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti:

a. Pucat dan lesu

b. Nafsu makan menurun

c. Urin lebih pekat

d. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat

e. Kulit berwarna kekuningan

f. Pembesaran hati dan limpa

g. Masalah tulang (terutama tulang wajah)16


Pencegahan Thalasemia

Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah mencegah seseorang agar tidak menderita

Thalasemia ataupun menjadi carrier Thalasemia. Pencegahan primer yang

dapat dilakukan adalah konseling genetik pranikah. Konseling ini ditujukan

kepada pasangan pranikah terutama pada populasi yang beresiko tinggi agar

mereka memeriksakan diri apakah mereka carrier Thalasemia atau tidak.

Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita

Thalasemia. Tujuan utama konseling pranikah ini adalah mencegah terjadinya

pernikahan antar carrier Thalasemia karena berpeluang 50% untuk mendapat

keturunan carrier Thalasemia, 25% Thalasemia mayor, dan 25% bebas

Thalasemia.23

Pencegahan Sekunder

a. Diagnosis

a.1. Anamnesis14
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan,

gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran hati dan

limpa. Umumnya, keluhan ini muncul pada usia 6 bulan.

a.2. Pemeriksaan fisik14

Pemeriksaan fisik pada penderita Thalasemia berupa pucat, bentuk muka

mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, dan

splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar.

Medikamentosa

Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah

kadar feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi transferin lebih

dari 50%, atau sekitar 10 – 20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25 –

50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8 – 12

jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.

c.1. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk

meningkatkan efek khelasi besi.

c.2. Asam folat 2 – 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

c.3. Vitamin E 200 – 400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat

memperpanjang umur sel darah merah.14


Splenektomi

Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah.

Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya

resiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan

dengan indikasi: d.1. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak

penderita akan menimbulkan peningkatan tekanan intra abdominal dan

memungkinkan terjadinya ruptur.

Hiperplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau

kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu

tahun.14

Transfusi Darah

Pengobatan paling umum pada penderita Thalasemia adalah transfusi

komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk menyuplai sel darah

merah sehat bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan

untuk mempertahankan hemoglobin penderita diatas 10 g/dL setiap saat. Hal

ini biasanya membutuhkan 2 – 3 unit tiap 4 – 6 minggu.21 Keadaan ini akan

mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum tulang


dan juga mengurangi absorbsi Fe di traktus digestivus, serta dapat

mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.14

Anemia Sideroblastik

Anemia sideroblastik adalah kelompok anemia yang ditandai oleh akumulasi

deposit besi pada mitokondria sel darah merah imatur. Sel-sel darah merah

imatur abnormal ini gagal menjadi matang dan banyak yang hancur dalam

sumsum tulang sebelum mencapai sirkulasi. Anemia sideroblastik dapat

diturunkan, idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), atau disebabkan oleh

faktor-faktor yang beragam seperti obat-obatan tertentu, alkohol, atau

kekurangan tembaga.
Dapus:

Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps
TJ.

Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.

Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi


Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.

Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment.

[serial online]1999;70:46-52
Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes.

In: Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of

Hematology. 2nd ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.

Muhammad A, Sianipar O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit


Kronis Menggunakan Peran Indeks sTRfR-F. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005. Diakses melalui:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf pada 14 April
2016.

Kumar, Cotran, Robbins. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku Ajar


Patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007;h.463

A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss, Ahli bahasa : dr. Lyana Setiawan.
Buku Kapita Selekta Hematologi Edisi IV. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2013.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Abdulmuthalib, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5, Jilid 1, hal

1446-1453. Interna publishing, Jakarta.

Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.1-2,9.11.

Anda mungkin juga menyukai