“ANEMIA”
Oleh:
Shafira Fauzia
Preceptor:
A. Latar Belakang
anemia. Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada remaja dan ibu
oleh defisiensi besi, sehingga prevalensi defisiensi besi sering digunakan untuk
mewakili prevalensi anemia defisiensi besi (ADB). Pada tahun 2002, ADB
(Janus dan Moerschel 2010; WHO, 2008). Anemia pada remaja putri sampai
saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013),
prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%. Jumlah penduduk usia remaja (10-19
tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1%
ibu hamil. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah tertinggi bila
tahun 2013 sebesar 289.000 orang. Target penurunan angka kematian ibu sebesar
75% antara tahun 1990 dan 2015 (WHO, 2015). Jika perempuan mengalami
anemia akan sangat berbahaya pada waktu hamil dan melahirkan. Perempuan
yang menderita anemia akan berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan
rendah (kurang dari 2,5 kg). Selain itu, anemia dapat mengakibatkan kematian
baik pada ibu maupun bayi pada waktu proses persalinan (Rajab, 2009).
yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan
anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar
45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar
39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi terutama pada
2.1 Definisi
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin. Menurut etiologinya,
anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah
merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah
(eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah
(kehilangan darah atau hemolisis).
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia
hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:
a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya:
leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c.Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat.
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d.Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya:
interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan
hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat
pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi
besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat
dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”,
gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang
abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat
terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan
retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan
eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis
gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan
karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan
oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali,
krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun,
hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting)
Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit
3. Anemia Makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan
Anemia Megloblastik
Definisi
sitoplasma.defek yang mendasari pematangan inti tidak sinkron adalah sintesis DNA
yang tidak sempurna dan ini biasanya disebabkan oleh defisiensi vit b12 atau asam
folat.
Klasifikasi
1. Defisiensi kobalamin
Mal absorbsi
neomisin
memakan hewan lain, melalui produksi dari usus (tidak pada manusia) atau
dengan memakan makanan yang tercemar bakteri. Vitamin ini ditemukan pada
makanan yang berasal dari hewan seperti hati, daging, ikan dan produksi susu,
glikoprotein faktor intrinsik (IF) yang disintesis oleh sel-sel parietal lambung.
Kompleks Ifb12, berikatan dengan reseptor spesifik terhdap IF, yaitu cubilin,
endositosis cubilin IF-b12 dalam ileum distal dimana B12 dan IF dihancurkan.
Vitamin B12 di absorbsi dan masuk ke dalam peredaran darah porta dimana b12
menghantar B12 ke sumsum tulang dan jaringan lain. Dalam keadaan normal,
jumlah B12 dalam TC sangat rendah (<mg/L). Maka dari itu, jika terjadi
deifisiensi B12.
yang lebih muda dan anemia pernisiosa pada orang tua. Lebih banyak wanita di
banding pria (16:1) dengan insidensi puncak pada umur 60 tahun. 90% pasien
menunjukkan antibodi sel parietal dlam serum yang ditujukan terhadap H+/K+-
reseksi ileum)
Manifestasi klinik
- Anemia
- Defisiensi vit B12 dengan cara test schilling (pasien puasa selama 12 jam,
kemudian minum air + vit B12 radioaktif kemudian berikan B12 non
radioaktif IM, bila diabsorbsi akan keluar melalui urin yang di tampung
dalam 24 jam.
Penatalaksanaan
minggu. Dosis pemeliharaan 200mg tiap bulan atau 100mg tiap 3 bulan
Asam folat dalah senyawa induk untuk sekelompok besar senyawa yaitu folat.
Manusia tidak dapat mensintesis struktur asalm folat, sehingga memerlukan folat
yang sudah terbentuk sebagai vitamin. Folat dari makanan diubahh menjadi metil
THF selama absorbsi melalui usus kecil bagian atas. Di dalam sel folat diubah
menjadi folat poliglutamat. Protein pengikat folat terdapat dalam permukaan sel
purin DNA.
Gambaran klinis
tulang.
Glositis
Stomatitis angularis
Terapi
a. Anemia aplastik
diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan
platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan
sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan
oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh zat kimia beracun, virus
tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan. Anemia aplastik juga merupakan
anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh
kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia.
Patogenesis
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses
penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua sebagai berikut:
Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain : (a) anemia fanconi, (b) non
Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain : (a) akibat infeksi Seperti virus
hepatitis, epstein barr virus, HIV, parovirus, dan mycobacteria, (b) akibat terpaparnya
phenylbutazone, (d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan
Patofisiologi
seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik
yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi
laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari
mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih
belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T
dan tumor nekrosis faktor. Efek dari imun sebagai media penghambat dalam
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel
batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal
dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari
sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan
hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat. Dari patofisiologi dari anemia
aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendek atan utama untuk pengobatannya :
yang d isertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga
menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai
panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain
yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat
memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah
superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan
pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi
pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/ l (10 109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar
untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat
anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis
Kelainan Laboratorium
Penemuan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik memiliki
yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan
tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat,
atau dari klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan
rendah, jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam
normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu
besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC)
normal, HbFmeningkat.
tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan sedikit sel
hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin mencolok,
tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari pada
International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum tulang kurang dari
25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel
(0.5x109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ul (20 x 109/liter), dan anemia
digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat
memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada
dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi,
DIAGNOSIS LABORATORIUM
infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia aplastik dapat digolongkan
kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai satu dari tiga
sebagai berikut : (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari
30%; (b) trombosit kurang dari 50 x 109/L; dan (c) leukosit kurang dari 3.5 x
109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 x 109/L. Retikulosit < 30 x 109/L (<1%).
megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
aplastik.
Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan
diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al.
Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria
berikut : paling sedikit dua dari tiga : (a) granulosit < 0.5 x 109/L; (b)
trombosit < 20 x 109/L ; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum
30% sel-sel hematopoetik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil <
0.2 x 109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut
TERAPI
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus
diputuskan segera. Obat- obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi
dan apakah itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat
inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode
infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4
yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi
sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta
sumsum tulang. Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
Terapi Kausal
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat
dikoreksi.
Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang
dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat
sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil
dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5 -7hari panas tidak turun maka
flukonasol parenteral.
adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau
(PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang
karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan
fungsi hati.
jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak
ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat diberikan
Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah.
Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu : 1.) Terapi
imunosupresif;
pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan
globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses
imunologi. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic
growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun
sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif).
hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik
berat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur
terjadi pada
kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih muda dari 40 tahun
sebagai anemia akibat penyakit kronis, walaupun beberapa penyakit kronis seringkali
disertai dengan anemia. Anemia pada penyakit kronis merupakan anemia yang
dijumpai pada keadaan penyakit kronis tertentu, yang khas ditandai dengan adanya
hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia peyakit kronis
pasien jarang ditemukan kurang dari 9,0 g/dl, namun perlu dicatat
A. Etiologi
Laporan dan data yang didapat dari penyakit tuberculosis, abses paru,
endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV telah
membuktikan bahwa anemia berkaitan dengan hampir semua infeksi supuratif kronis.
Untuk terjadinya anemia, diperlukan waktu sekitar satu hingga dua bulan setelah
infeksi terjadi pada pasien. Derajat anemia yang diderita sebanding dengan berat
ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum.
B. Epidemiologi
yang paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi, jadi anemia pada
penyakit kronik tergolong anemia yang cukup sering dijumpai baik di klinik maupun
Dilaporkan pada suatu studi bahwa telah ditemukan prevalensi yang cukup
tinggi, yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita
anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di
Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik
C. Patogenesis
Terdapat tiga abnormalitas utama pada patogenesis terjadinya anemia pada
penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan
waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan
kronis:
karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut
sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila
makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa, menjadi kurang toleran
Produksi eritrosit
adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini
anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang
eritropoetin.
Pengaruh dari sitokin proinflamasi, IL-1, dan TNFalfa terhadap proses
hipokromik mikrositer.
D. Diagnosis
Anemia tersebut disebut sebagai anemia pada penyakit kronis hanya apabila
anemia sedang
kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal ataupun meningkat
Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka anemia tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meskipun banyak pasien dengan
gejalanya seringkali tertutup oleh gejala dari penyakit dasarnya dan kadar Hb sekitar
7-11 gr/dL juga umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila demam atau
tanpa adanya kelainan yang khas dari anemia dan diagnosis biasanya hanya
E. Penatalaksanaan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada penyakit
Transfusi
pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi
dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan yang
gr/dL.
Eritropoietin
yaitu:
leher.
Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa,
eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda struktur
untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu kasus.
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
2006).
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah,
yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi
transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang
Etiologi
Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena
rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:
NSAID,
tambang.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan
(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).
Patogenesis
yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun
(Bakta, 2006)
Gambar 2.5. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C.,
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang
negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC)
jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
anife
stasi
Klini
1. G
a Umum Anemia
hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,
mirip sendok.
pucat keputihan.
hipofaring
Pemeriksaan
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan
zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif
baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi
anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW
adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan
tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap
lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan
serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas
dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama –sama dengan besi serum.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara
keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi
pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi
yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat
besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan
awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi
karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak
pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin.
Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang
menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat
pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun.
Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai
sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga
meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari
kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti
yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu
teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam
populasi umum.
a. Suplementasi tabet Fe
dan menanggulangi anemia adalah dengan mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah
terbukti dari berbagai penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan
kadar Hemoglobin.
e. Pengobatan Anemia Defisiensi Besi Sejak tahun 1997 pemerintah telah merintis
langkah baru dalam mencegah dan menanggulangi anemia, salah satu pilihannya
adalah mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai peneltian
dalam jumlah
cukup. Namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit
menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia
gizi besi. Memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling
melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti
vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat
meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan
hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Di Indonesia pil besi yang umum
digunakan dalam suplementasi zat besi adalah frrous sulfat. Persentase dan jumlah zat
kejang perut, konstipasi dan diare. Efek ini tergantung dosis yang diberikan dan dapat
diatasi dengan mengurangi dosis dan meminum tablet segera setelah makan atau
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan untuk
meningkatkan kualitas pangan . Kesulitan untuk fortifikasi zat besi adalah sifat zat
besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilanm bahan yang di fortifikasi.
Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna, penampakan dan daya
simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang difortifikasi adalah yang banyak
Penyakt infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia gizi besi. Dengan
Pemantauan Terapi
gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen
dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
Tumbuh Kembang
c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan
d. Aktifitas motorik
a. Thalasemia
Defenisi Thalasemia
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak
dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah
mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah
anemia.7
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna
merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan
globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang
terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2
tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak
oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia
alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin.
Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan
dari kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis
yang paling berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor. Penderita
Thalasemia mayor akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran
Klasifikasi Thalasemia
produksi rantai-polipeptida.11
Thalasemia Alfa12
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai
gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang
anemia ringan
carrier.
c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi
mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang
Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak
ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa
setelah dilahirkan.
Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai
beta globin. menderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai
beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang
berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup
sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang
lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun
kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan
Tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di
dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat selsel darah
merah dan hemoglobin. Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki
tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak
terlalu banyak sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal.
Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan
dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi
anemia kekurangan zat besi. Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami
anemia ringan sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah
berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang menjadi
rapuh.
c. Pembesaran limpa.
Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat.
Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Penderita akan
Pencegahan Primer
kepada pasangan pranikah terutama pada populasi yang beresiko tinggi agar
Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita
Thalasemia.23
Pencegahan Sekunder
a. Diagnosis
a.1. Anamnesis14
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran hati dan
Medikamentosa
kadar feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi transferin lebih
jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
c.1. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk
Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya
dengan indikasi: d.1. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.14
Transfusi Darah
komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk menyuplai sel darah
merah sehat bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan
Anemia Sideroblastik
deposit besi pada mitokondria sel darah merah imatur. Sel-sel darah merah
imatur abnormal ini gagal menjadi matang dan banyak yang hancur dalam
kekurangan tembaga.
Dapus:
Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps
TJ.
[serial online]1999;70:46-52
Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes.
In: Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of
A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss, Ahli bahasa : dr. Lyana Setiawan.
Buku Kapita Selekta Hematologi Edisi IV. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2013.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu