Anda di halaman 1dari 8

A.

Parasetamol

1. Pengertian
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) .
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak
menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak
mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung.
Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan
dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol
bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono
1996)
1. Farmakoterapeutik
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
2. Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak
dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3
% diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan
asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari
pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan
berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus
sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
3. Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam
basa.(Mahar Mardjono 1971)
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang
ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi
demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian
pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009)

4. Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini.
(Yulida 2009)

5. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik.
Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim
G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis
terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia
baru merupakan masalah pada takar lajak.
Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi
karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar
disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih
mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik
dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati
analgetik.

6. Interaksi Obat (Paracetamol)


a. Alkohol
Peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada pengunaan paracetamol bersama
alkohol.
b. Antikonvulsan
Paracetamol dapat menurunkan kadar antikonvulsan (fenitoin, barbiturat,
karbamazepin) dalam darah.

c. Probenecid
Paracetamol dapat meningkatkan kadar probenecid dalam darah.

d. Chloramphenicol
Paracetamol dapat meningkatkan kadar chloramphenicol.

e. Warfarin
Paracetamol dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin dan dapat
menyebabkan pendarahan.

f. Leflunomide
Penggunaan bersama aracetamol dapat meningkatkan resiko kerusakan hati.
7. Diagnosis
1. Adanya riwayat penggunaan obat.

2. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian.
Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan,
tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan
ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan
cepat. Uji ini sangat sensitive
3. Kuantitatif:
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat
normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
Pemeriksaan laboratorium:
Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.

B. Allopurinol

1. Pengertian
Allopurinol adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit asam urat dan
komplikasinya, termasuk penyakit gout kronis. Obat ini termasuk golongan inhibitor
xanthine oxidase (xanthine oxidase inhibitor).
Allopurinol bekerja dengan cara menghambat enzim xanthine oksidase sehingga
mengurangi pembentukan asam urat dan juga dapat menghambat sintesis purin. Enzim
xanthine oksidase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk oksidasi hypoxanthine
dan xanthine. Hal ini adalah suatu rangkaian proses metabolisme purin dalam tubuh
manusia yang menghasilkan asam urat. Obat ini biasanya dipasarkan dalam bentuk
allopurinol 100 mg dan 300 mg tablet, kaplet atau kapsul.

2. Farmakoterapeutik
Obat ini digunakan untuk
1. Hiperurisemia primer (penyakit gout / asam urat)
2. Hiperurisemia sekunder : mencegah pengendapan asam urat dan kalsium oksalat.
3. Produksi berlebihan asam urat antara lain pada keganasan, polisitemia vera, terapi
sitostatik.

3. Farmakokinetik

Hampir 90% obat ini di arbsorbsi dari saluran pencernaan.hambatan xantin oksidase
efektif dipertahankan lebih dari 24 jam dengan dosis harian tunggal.
Allopurinol diekskresi oleh filtrasi glomerulus, oksipurinol di rearbsorbsi di tubulus
ginjal.

Indikasi : profilaksis gout dan batu asam urat dan kalsium oksalat di ginjal.
Kontraindikasi : bukan pengobatan untuk gout akut terapi teruskan jika terjadi serangan
ketika sudah memakai allopurinol, dan atasi serangan secara khusus.
Peringatan: berikan kolkisin profilaktik atau AINS (bukan asetosal atau salisilat) hingga
setidaknya 1 bulan setelah hiperuresimia dikoreksi, pastikan asupan cairan yang memadai
(2 liter sehari) gagak hati dan ginjal. Dalam kondisi neoplastic, pengobatan dengan
allopurinol (bila perlu) harus dimulai sebelum pemberian obat sitotoksik.

4. Farmakodinamik

Diet purin di dalam makanan bukan merupakan sumber uric acid yang penting. Jumlah
penting secara kuantitatif dari purine dibentuk dari asam amino, formate, dan
karbondoksida dalam tubuh. Ribonukleotida purine tersebut tidak tergabung ke dalam
nucleic acid (asam nukleat) dan yang berasal dari degradasi nucleic acid dikonversi
menjadi xantine atau hypoxanthine dan dioksida menjadi uric acid. Bilamana langkah
terakhir ini dihambat oleh allopurinol, maka ada penurunan pada kadar plasma urate dan
penurunan pada timbunan urate dengan peningkatan yang bersamaan pada xantine dan
hypoxanthine yang lebih mudah larut (Katzung, 2004).

Purin dibentuk dari asam amino, asam format, dan karbondioksida dalam tubuh. Namun
purin juga dibentuk dari degradasi asam nukleat yang kemudian dikonversi menjadi
xantin atau hipoksantin dan dioksidasi menjadi asam urat. Jadi hipoksantin akan diubah
menjadi xantin oleh enzim xantin oksidase dan kemudian xantin akan diubah menjadi
asam urat ( 2, 6, 8-trioksipurin) oleh enzim xantin oksidase.

Dengan adanya alopurinol, akan menghambat enzim xantin oksidase sehingga terjadi
penurunan kadar asam urat dalam plasma dan penurunan timbunan asam urat disertai
dengan peningkatan xantin dan hipoksantin yang lebih larut. Mekanisme penghambatan
pembentukan asam urat oleh alopurinol yaitu alopurinol yang merupakan isomer dari
hipoksantin, bekerja sebagai antagonis kompetitif dari hipoksantin yang dapat dioksidasi
oleh enzim xantin oksidase menjadi aloksantin. Hal ini menyebabkan jumlah enzim
xantin oksidase yang seharusnya mengubah hipoksantin menjadi xantin dan dari xantin
menjadi asam urat berkurang sehingga pada akhirnya produksi asam urat menurun.

5. KONTRAINDIKASI
1. Penderita yang yang hipersensitif atau alergi terhadap allopurinol.
2. Penderita yang sedang mengalami gout akut / asam urat akut.
6. EFEK SAMPING
1. Gejala hipersensitifitas atau alergi seperti kulit kemerahan, gatal-gatal, dan urtikaria.
2. Gangguan saluran pencernaan seperti : mual, diare.
3. Sakit kepala, vertigo, mengantuk.
4. Gangguan mata dan rasa.
5. Gangguan darah : leukopenia, trombositopenia, anemia hemolitik, anemia aplastik.
7. INTERAKSI OBAT
1. Allopurinol dapat meningkatkan toksisitas siklofosfamid dan sitotoksik lain.
2. Allopurinol dapat menghambat metabolisme obat di hati, misalnya warfarin.
3. Allopurinol dapat meningkatkan efek dari azathioprin dan merkaptopurin, sehingga
dosis perhari dari obat-obat tersebut harus dikurangi sebelum dilakukan pengobatan
dengan allopurinol.
4. Allopurinol dapat memperpanjang waktu paruh klorpropamid dan meningkatkan risiko
hipoglikemia, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
5. Efek allopurinol dapat diturunkan oleh golongan salisilat dan urikosurik,seperti
probenesid.

Anda mungkin juga menyukai