Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA THORAX

1. Pengertian
Trauma dada adalah trauma tajam atau tumpul thorax yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, pneumothorax, hematothorax, dan sebagainya . Trauma thorax adalah
semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul. (Hudak, 2004).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
sistem pernapasan (Suzanne & Smetzler, 2001).
Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Trauma Dada / Thorax
adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul maupun tajam pada dada
atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk) pada rangka thorax.
Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau
cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru-paru, sehingga
dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti Haematothorax,
Pneumothorax, Tamponade Jantung, dan sebagainya.

2. Etiologi
1) Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada

2) Penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan

3) Penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.

4) Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel
flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.

5) Tusukan paru dengan prosedur invasif.

6) Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.

7) Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)

8) Pukulan daerah thorax dan Fraktur tulang iga

9) Tindakan medis (operasi)

3. Klasifikasi
Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Trauma Tajam
a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusio Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
2) Trauma Tumpul
a. Tension pneumothoraks
b. Trauma tracheobronkhial
c. Flail Chest
d. Ruptur diafragma
e. Trauma mediastinal
f. Fraktur kosta

4. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian dada / thorax baik dalam bentuk kompresi maupun
ruda-paksa (deselerasi / akselerasi), biasanya menyebabkan memar / jejas trauma pada
bagian yang terkena. Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio
miocard jantung atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan
tamponade pada jantung, atau tampak kesukaran bernapas jika kontusio terjadi pada paru-
paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding thorax juga seringkali
menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup maupun terbuka. Kondisi fraktur
tulang iga juga dapat menyebabkan Flail Chest, yaitu suatu kondisi dimana segmen dada
tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut
terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih
garis fraktur. Adanya semen fail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan
pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai
dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang serius.
Sedangkan trauma dada / thorax dengan benda tajam seringkali berdampak lenih buruk
daripada yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam dapat langsung
menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek pembuluh darah intercosta, dan
menembus organ yang berada pada posisi tusukannya. Kondisi ini menyebabkan
perdaharan pada rongga dada (Hemothorax), dan jika berlangsung lama akan
menyebabkan peningkatan tekanan didalam rongga baik rongga thorax maupun rongga
pleura jika tertembus. Kemudian dampak negatif akan terus meningkat secara progresif
dalam waktu yang relatif singkat seperti Pneumothorax,penurunan ekspansi paru,
gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan jantung. Adapun gambaran proses
perjalanan patofisiologi lebih lanjut dapat dilihat pada skema.

5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
b. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
c. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
d. Dyspnea, takipnea
e. Takikardi
f. Tekanan darah menurun.
g. Gelisah dan agitasi
h. Kemungkinan cyanosis.
i. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
j. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
k. Ada jejas pada thorak
l. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
m. Bunyi muffle pada jantung
n. Perfusi jaringan tidak adekuat
o. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan )
dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

6. Pemeriksaan diagnostik
a. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma,
seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang
ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
b. Radiologi (Photo Thorax)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan trauma
toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto
toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari
pemeriksaan foto toraks.
c. Gasd Darah Arteri dan pH
Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-pasien
penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk
menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam darah, serta kadar
karbondioksida dalam darah.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP,
yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi
pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
Didalam tabel berikut ini dapat dilihat nilai normal dari GDA dan pH, serta
kemungkinan diagnosis terhadap perubahan nilai dari hasil pemeriksaannya :

Nilai Normal Asidosis Alkaliosis

pH ( 7,35 s/d 7,45 ) Turun Naik

HCO3 (22 s/d 26) Turun Naik

PaCO2 (35 s/d 45) Naik Turun

BE (–2 s/d +2) Turun Naik

PaO2 ( 80 s/d 100 ) Turun Naik

Pemeriksaan AGD dan pH tidak hanya dilakukan untuk penegakan diagnosis


penyakit tertentu, namun pemeriksaan ini juga dapat dilakukan dalam rangka
pemantauan hasil / respon terhadap pemberian terapi / intervensi tertentu kepada klien
dengan keadaan nilai AGD dan pH yang tidak normal baik Asidosis maupun
Alkaliosis, baik Respiratori maupun Metabolik. Dari pemantauan yang dilakukan
dengan pemeriksaan AGD dan pH, dapat diketahui ketidakseimbangan sudah
terkompensasi atau belum / tidak terkompensasi.
Pada tabel berikut ini dapat dilihat acuan perubahan nilai yang menunjukkan
kondisi sudah / tidak terkompensasi.

Jenis Gangguan Asam Basa PH Total CO2 PCO2

Asidosis respiratorik tidak terkonpensasi Rendah Tinggi Tinggi

Alkalosis respiratorik tidak terkonfensasi Tinggi Rendah Rendah

Asidosis metabolic tidak terkonfensasi Rendah Rendah Normal

Alkalosis metabolic tidak terkonfensasi Tinggi Tinggi Rendah

Asidosis respiratorik kompensasi alkalosis Normal Tinggi Normal


metabolic

Alkalosis respiratorik kompensasi asidosis Normal Rendah Normal


metabolic

Asidosis metabolic kompensasi alkalosis Normal Rendah Rendah


respiratorik

Alkalosis metabolic kompensasi asidosis Normal Tinggi Tinggi


respiratorik

d. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks, seperti
fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma
serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya
pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan
pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi.
e. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnosa
adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada
esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub
jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang
ahli, kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
f. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat
trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya abnormalitas
gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat
menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti
hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti
kontusi jantung.
g. Angiografi

Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya


cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
h. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
i. Hb (Hemoglobin) : Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen
jaringan tubuh
7. Penatalkasanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum
penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang
hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
a) Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di
bagian masuknya slang dapat dikurangi.
b) Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan
pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan,
atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.


a) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
b) Latihan napas dalam.
c) Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan
batuk waktu slang diklem.
d) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan
setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
a. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
b. Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
c. Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
d. Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan
slang harus tetap steril.
e. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
f. Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,
misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
3. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
Tidak ada pus dari selang WSD.
8. Komplikasi
1) tension penumototrax
2) penumotoraks bilateral
3) emfiema
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas
Sering terjadi pada usia 18-30 tahun
b. Keluhan Utama
Adanya rasa nyeri, sesak pada dada yang terkena
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Kejadian kronologis kejadian trauma pada thoraks dan bagaimana keadaan pasien,
dapat ditemukan adanya edema, jejas, dan massa pada dada, takikardi, takipnea, dan
sesak.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adakah riwayat operasi, tumor atau trauma thoraks sebelumnya
e. Pemeriksaan Fisik
a) Sistem Pernafasan
1) Sesak napas
2) Nyeri, batuk-batuk.
3) Terdapat retraksi klavikula/dada.
4) Pengambangan paru tidak simetris.
5) Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
6) Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks
(redup)
7) Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
8) Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
9) Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
10) Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b) Sistem Kardiovaskuler :
1) Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
2) Takhikardia, lemah
3) Pucat, Hb turun /normal.
4) Hipotensi.
c) Sistem Persyarafan :
Tidak ada kelainan.
d) Sistem Perkemihan.
Tidak ada kelainan.
e) Sistem Pencernaan :
Tidak ada kelainan.
f) Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
1) Kemampuan sendi terbatas.
2) Ada luka bekas tusukan benda tajam.
3) Terdapat kelemahan.
4) Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
g) Sistem Endokrine :
1) Terjadi peningkatan metabolisme.
2) Kelemahan.
h) Sistem Sosial / Interaksi.
Tidak ada hambatan.
i) Spiritual :
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena trauma
b. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
e. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
g. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.

3. Perencanaan
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
- Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
- Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
- Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi
pada sisi yang tidak sakit.
2) Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan
tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan
dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-
paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
5) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
6) Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
 Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang
meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara
atmosfir masuk ke area pleural
 Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring
dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung
dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
 Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak
terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage.
Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang
mengubah tekanan negative yang diinginkan.
 Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang
memerlukan upaya intervensi.
7) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain. Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

b. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
- Menunjukkan batuk yang efektif.
- Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
- Klien nyaman.

Intervensi :
1) Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
2) Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan
frustasi.
3) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
5) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui mulut.Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi
sekret.
6) Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7) Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan
hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari
bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus,
yang mengarah pada atelektasis.
8) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
- Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
- Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
- Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non
invasif.
2) R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
3) Ajarkan Relaksasi : Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka,
yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan
terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
4) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
5) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
6) Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa
lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
7) Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
8) Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian
obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk
mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Lynda Juall, Carpenito. 2006. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Rab, Tabrani. 2010. Ilmu penyakit Paru. Jakarta : TIM

Suzzanae, Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and

Suddarth. Jakarta : EGC

Hudak, Gallo. 2004. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC.

NANDA International. 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi Dan Klasifikasinya.

Jakarta: EGC.

Suzanne and Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai