BAB V
Garut. Desa Jatiwangi memiliki empat dusun (Ciakar, Pasir Kaliki, Halimun, dan
Bojong), tiga belas rukun warga (RW), dan 54 rukun tetangga (RT) dengan luas
wilayah 2.242,43 hektar yang membentang dari utara ke selatan, dengan lahan
tegalan seluas 904,33 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi terletak antara
300-700 meter di atas permukaan laut (dpl) sedangkan jenis tanah termasuk jenis
tanah latosol sebagian andosol dengan tekstur liat lempung sebagian berbatuan
dan terjal dan pH-nya berkisar antara 4-6. Adapun batas–batas wilayahnya adalah
sebagai berikut :
bergelombang dengan tipologi desa sekitar pangkuan daerah hutan serta diapit
oleh dua aliran sungai yaitu sungai Cikandang dan Ciarinem. Suhu harian rata-rata
di Desa Jatiwangi berkisar antar 20º C sampai 27º C dengan curah hujan 2.000
luar desa adalah Elf. Terdapat ± 50 unit Elf yang beroperasi dengan rute
32
Elf karena berada diantara Bungbulang dengan Garut. Dari arah Bungbulang Elf
beroperasi pukul 06.00-18.00 WIB dan dari arah Garut pukul 10.00-22.00 WIB
Rp 20.000,00. Jalan yang dilalui Elf adalah jalan aspal sehingga tidak sukar untuk
dilalui dan lancar hanya saja pada beberapa titik rentan terjadi longsor yang
disebabkan oleh labilnya konstruksi tanah. Jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota
propinsi adalah 115 kilometer dengan waktu tempuh sekitar empat jam dan jarak
sekitar dua jam sementara jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota kecamatan satu
rakyat, dan tanah negara. Data luas lahan dan peruntukkannya di Desa Jatiwangi
Jatiwangi yaitu sebesar 41,96 persen dari luas total Desa Jatiwangi. Urutan kedua
sebesar 34,94 persen dan urutan ketiga adalah perkebunan rakyat sebesar 15,25
persen.
jiwa penduduk laki-laki dan 3.839 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak 2.242 KK dan kepadatan penduduk (Man Land Ratio)
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama sebagian besar
penduduk di Desa Jatiwangi adalah bertani, baik sebagai petani dan buruh tani.
Tidak semua petani memiliki lahan sendiri untuk digarap, ada petani yang
menggarap lahan petani lain seperti yang dialami oleh responden dengan inisial
”N” (petani di Dusun Sindang Sari). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”N”
Box 2. Petani yang Menggarap Lahan Petani Lain Karena Tidak Memiliki Lahan
Sendiri
”N” adalah petani muda yang masih berumur 29 tahun. Beliau memiliki
satu orang istri yang baru dinikahinya 1 tahun lalu. Orangtua beliau dan istrinya
adalah petani tetapi orangtua mereka tidak meninggalkan warisan lahan bagi
mereka karena lahan yang dimiliki orangtua mereka telah dijual untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu, beliau tidak memiliki lahan sendiri
untuk bertani. Beliau menggarap lahan petani lain. Luas lahan yang beliau garap
tidak tentu tiap musim sesuai dengan permintaan petani yang meminta beliau
menggarap lahannya. Petani-petani yang sering meminta beliau untuk menggarap
lahannya adalah petani-petani sesama kelompok tani.
Selain bertani, beliau juga beternak dan berdagang menjual sayuran
keliling desa. Beliau memiliki dua ekor domba dari bantuan pemerintah. Selain
dua ekor kambing tersebut, beliau juga memelihara dan merawat domba-domba
(dari bantuan pemerintah juga) petani lain. Pemeliharaan dan perawatan terhadap
domba-domba, beliau lakukan tiap hari tepatnya sore hari setelah menggarap
lahan pada pagi hari sampai siang hari. Sementara berdagang beliau lakukan saat
masa-masa transisi dari satu musim ke musim lain. Pendapatan dari bertani,
beternak, dan berdagang, beliau gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan sebagian beliau tabung untuk membeli lahan
lahan yang sangat luas tetapi tidak dapat menggarap semua lahannya karena
kekurangan modal seperti yang dialami oleh responden dengan inisial ”D” (petani
35
di Dusun Arinem). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”D” dapat dilihat pada Box
3.
Box 3. Petani yang Memiliki Lahan Luas Tetapi Tidak Dapat Menggarap Semua
Lahannya
”D” memiliki lahan yang sangat luas yaitu 8 hektar untuk bertani tetapi
karena kekurangan modal beliau hanya dapat menggarap 3 hektar. Pada lahan
tersebut beliau menanami padi, cabai keriting, singkong, dan kacang panjang.
Sedangkan 5 hektar lainnya tidak digarap sama sekali dan dibiarkan begitu saja.
Bila memiliki modal, lahan tersebut ingin beliau tanami kayu alba. Menurut
beliau kayu alba lebih menguntungkan daripada padi karena biaya produksinya
lebih rendah dan harganya relatif mahal dari waktu ke waktu. Selain itu, jarak
lahan yang sangat jauh dari rumah juga sedikit banyaknya mempengaruhi
keinginan mananam kayu alba. “Bila menanam padi misalnya, terus terang saya
tidak sanggup karena letaknya sangat jauh dari rumah saya. Tidak hanya itu,
medannya juga berat karena harus melalui sungai dan mendaki bukit. Untuk jalan
saja saya tidak kuat palagi sambil mengangkut bibit, pupuk, dan obat yang luar
biasa berat. Kalau menyuruh orang saya harus mengeluarkan uang lagi. Terus
kalau padi kan kita harus rajin merawatnya karena rentan dengan hama penyakit
tetapi kalau kayu alba kan tidak”.
”D” pernah ditawari kerjasama oleh orang dari desa lain untuk menggarap
lahan tersebut dengan bagi untung-rugi, 20 persen bagi beliau dan 80 persen bagi
orang itu. Orang itu bersedia menanggung semua biaya produksi seperti membeli
bibit, pupuk, dan obat-obatan dan lain-lain. Tawaran tersebut ditolak oleh ”D”
dengan alasan panen kayu sangat lama, kurang lebih 5 tahun. “Pada selang waktu
tersebut saya bisa berusaha mendapatkan modal dan kemudian menanam sendiri
dengan keuntungan 100 persen”. Beliau juga pernah berencana menjual lahan
tersebut untuk dijadikan tambahan modal untuk menggarap lahannya yang 3
hektar, tetapi beliau urungkan karena tanah menurut beliau adalah aset bagi
keluarga khususnya anak-anaknya. “tanah dari waktu ke waktu harganya terus
naik. Sayang sekali kalau saya jual sekarang. Biarlah tanah ini nanti buat sekolah
anak-anak saya”.
Keinginan beliau untuk memiliki modal agar dapat menggarap lahan 5
hektar-nya sangat besar. Beliau pernah berkeinginan menjadi anggota kelompok
tani di dusunnya agar mendapatkan kemudahan dalam meminjam uang sebagai
modal -hal ini beliau dengar dari petani lain yang menjadi anggota kelompok tani
di dusunny- tetapi keinginan tersebut beliau urungkan karena beliau tidak enak
mengajukan diri dan lagipula beliau tidak diajak atau diundang oleh pengurus
kelompok tani untuk menjadi anggota. Menurut beliau hanya orang-orang tertentu
saja yang berada dalam kelompok tani yaitu keluarga dan kerabat ketua kelompok
tani.
36
Diantara sekian banyak petani pria yang terdapat di Desa Jatiwangi ada
petani wanita yang harus mengganti pekerjaan suami di sawah dan ladang. Suami
mereka bekerja di kota sebagai usaha untuk meningkatkan taraf hidup keluarga.
”M” dan ”D” (petani wanita di Desa Jatisari). Penjelasan lebih lengkap mengenai
”M” adalah salah satu petani wanita yang berada di Desa Jatiwangi Dusun
Jatisari. Beliau memiliki satu orang anak buah perkawinannya dengan ”B” yang
berumur sekitar 5 tahun. Beliau dan anak jarang sekali bertemu dan berkumpul
bersama suami karena sang suami bekerja di luar desa tepatnya di kota Garut.
Dalam setahun, mereka hanya bisa bertemu dan berkumpul selama 2 bulan, 10
bulan selebihnya tidak bisa. Pekerjaan suaminya adalah supir angkutan kota.
Pekerjaan ini menuntutnya untuk jauh lebih lama tinggal di kota daripada di desa
bersama istri dan anak. Pendapatan dari pekerjaan ini sedikit banyak dapat
mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam seminggu pendapatan suaminya rata-rata
sebesar Rp 120.000, sebulan sebesar Rp 480.000, dan setahun sebesar Rp
4.800.000.
Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pendapatan suami digunakan
juga untuk membayar biaya-biaya produksi usahatani seperti membeli benih/bibit,
pupuk, obat-obatan, dan membayar tenaga kerja. Dana biaya-biaya produksi ini,
diatur dan dikelola sepenuhnya oleh bu Mulyati. Secara lebih besar, semua urusan
mengenai usahatani dilakukan oleh bu Mulyati mulai dari menanam sampai
memanen.
Sama seperti ”M”, ”Diah” juga mengatur dan mengelola sepenuhnya
urusan usaha tani di desa dan suaminya bekerja di kota. Hanya saja pekerjaan
suami ”D” tidak sama dengan ”Mulyati”. Suami ”D” bekerja sebagai kuli
bangunan. Suaminya bekerja di kota rata-rata 10 bulan/tahun dan upah dari
pekerjaan suaminya rata-rata sebesar Rp 225.000/minggu, Rp 900.000/bulan, dan
Rp 9.000.000/tahun
Dalam berusaha tani beliau mengalami sedikit kerepotan karena beliau
memiliki seorang baduta. Seringkali anaknya menangis apabila beliau titipkan di
rumah neneknya atau di rumah kerabat keluarga lain. Oleh karena itu, mau tidak
mau anaknya sering beliau bawa ke sawah dan ladang dalam merawat padinya.
37
Pada lahan sawah, dalam setahun petani dapat menanam sebanyak tiga
kali dengan pola menanam padi pada musim pertama dan musim kedua, pada
musim ketiga (musim kemarau) menanam cabe keriting. Varietas padi yang
banyak digunakan adalah Sarinah dan IR64. Dalam satu musim petani dapat
memanen ± 8 ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga
padi yang telah dipanen. Pupuk yang biasa digunakan adalah Urea, TSP, dan KCL
dengan komposisi satu kwintal Urea, 50 kg TSP, 25 kg KCL pada luas lahan satu
hektar sementara obat yang biasa digunakan adalah obat dengan merek dagang
Matador sebanyak dua kaleng. Pupuk dan obat ini dibeli di Cikajang dengan harga
untuk ditanami pada musim kemarau karena pendapatan dari panen cukup
menjanjikan. Dalam satu musim, jumlah cabe keriting yang dapat dipanen adalah
sebesar Rp 3.000.000,00. Varietas yang sering ditanam adalah TM 999, Lado F1,
Pada lahan kering, dalam setahun petani dapat menanam padi paling
banyak dua kali tetapi lebih sering satu kali tergantung ketersedian air. Varietas
padi yang sering ditanami adalah varietas padi gogo Situ Patenggang dan Situ
Bagendit. Dua varietas ini merupakan dua varietas unggul dari empat varietas
yang diperkenalkan Prima Tani. Dalam satu musim petani dapat memanen ±
38
empat ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga Rp
250.000,00-Rp 300.000,00 sama seperti varietas Sarinah dan IR64. Benih dibeli di
Cikajang, begitu pula pupuk dan obat. Untuk luas lahan satu ha, jumlah benih
yang biasa dibeli adalah sebanyak sepuluh kantong dengan satu kantong berharga
Rp 30.000,00 sementara pupuk dan obat yang digunakan sama seperti pada lahan
sawah akan tetapi komposisinya lebih banyak. Selain padi gogo, pada lahan
kering petani juga menanam kacang kedelai, kacang tanah, pisang, jagung, nilam,
buruh tani untuk efektifitas kerja dan efisiensi waktu kerja. Upah untuk buruh tani
upah ini adalah tingkat kesulitan kerja yang dilakukan. Pekerjaan yang dilakukan
oleh buruh tani pria lebih sulit dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh buruh tani wanita. Selain mendapatkan upah tersebut, buruh tani juga
mendapatkan konsumsi makan siang dari petani. Dalam satu hari kerja, buruh tani
biasa bekerja dari pagi sampai siang, namun ada juga yang bekerja sampai sore
5.4 Pendidikan
penduduk Desa Jatiwangi yang belum sekolah yaitu sebesar 44,83 persen dan
penduduk tamat SD sebesar 18,61 persen serta tamat SLTP sebesar 11,21 persen.
Walau begitu tetapi masih ada penduduk yang menempuh pendidikan sampai
39
jenjang diploma dan sarjana yaitu sebesar 0,32 persen dan 0,19 persen. Data
sebanyak empat unit, sekolah dasar (SD) sebanyak lima unit, sekolah lanjut
tingkat pertama (SLTP) sebanyak satu unit, dan sekolah menengah umum (SMU)
sebanyak satu unit. Untuk SD, jumlah siswanya 1.047 sedangkan untuk TK/RA,
SLTP, dan SMU tidak terdapat data disebabkan pada saat penelitian pengurus