Anda di halaman 1dari 3

Menenun Kebaikan

Iwan Pranoto

Memang tak adil menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan.
Meski demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak
untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada bahan serta cara ajar yang
justru menyemai kejahatan seperti kebencian terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang
berbeda? Negara dan rakyat perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang
kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat.

Kejuangan semu

Pendidikan pada hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian
sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam hakikat pendidikan dan
diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya, sistem pendidikan berperan sebagai salah satu
sumber kebaikan dan pembangun keteraturan sosial.

Pada praktiknya di beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri
selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain ditempatkan sebagai pihak yang
salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak. Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis
dan formal, ”kebencian” terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada
anak akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses bernalar.

Bagaimana pula mata pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia
senantiasa dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara terprogram
pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap liyan melalui mata pelajaran
yang umumnya diasumsikan agung dan digadang-gadang sebagai sumber moral.

Melalui buku Education and Social Order (1932, pp 92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand
Russell sudah tegas menyatakan kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era
kolonial. Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya Britania
Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah jajahan.
Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah
wilayah lain. Kejuangan jadi identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos
mencederai nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi bahan
transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi.

Dengan mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang sebagai suatu
kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan pemikiran tak baik lambat laun jadi
”kebenaran”. Keadaan ini akan menyokong kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai
menyakiti kelompok berkeyakinan lain jadi bukan saja ”masuk akal” dan wajar, melainkan juga baik,
bahkan dipuji.

Jika anggapan ”kebenaran” ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan fisik, agama,
dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu keteraturan sosial. Kini
saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan
subur bagi kebaikan bertumbuh di dalam kelas.

Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain.
Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok berkeyakinan lain.
Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat penting. Ini dapat dimulai dengan hal
sederhana, seperti membangun hasrat mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya.

Dua unsur penting

Guna memungkinkan persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya


membenahi dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.

Untuk unsur pertama, dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar
Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan 1920-an menggagas
Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar kita bernalar tak kalah dibandingkan
kegagahan mengangkat senjata. Mengulas sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan
membuat pelajaran Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan.

Kemudian, juga perlu diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu
masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau bagaimana
transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu sekitar perebutan kekuasaan,
kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya
menyangkut semua kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang.

Unsur kedua, cara ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus lagi,
anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai perspektif atau sudut pandang. Anak
menerampilkan diri dalam sekali-kali menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam
mengkaji topik, kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998).

Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar dengan
mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai tiap anak. Dalam hal ini
Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi.
Guru tidak dilatih atau diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif belajar
dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih. Jika diinginkan anak percaya diri,
guru pun perlu pula percaya diri.

Dalam daftar kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu
menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif ini pula, evaluasi
pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara lebih utuh dan andal.

Dengan pembenahan dua hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya
kecakapan bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis kejuangan
semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan.

Iwan Pranoto; Guru Besar Matematika ITB


Kritik

1. Terdapat kata “liyan” yang tertulis dalam opini tersebut. Kata ini mungkin oleh beberapa
masyarakat banyak yang belum mengetahui. Kata “liyan” arti sebenarnya adalah kualitas,
keadaaan lain, atau berbeda.
2. Terdapat paragraf yang sulit untuk dipahami. “Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri
tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain.”. Paragraf ini seharusnya ditulis “sudah
semestinya mencintai bangsa sendiri adalah kewajiban namun menghormati bangsa lain juga
merupakan hal baik”.
3. Pemilihan kata “bahan ajar” dan “cara ajar”, seharusnya ditulis dengan materi belajar dan
cara belajar.
4. Sebuah instansi pemerintah tidak dituliskan menggunakan singkatan namun ditulis lengkap.
Kemdikbud seharusnya Kmenterian Pendidikan dan Kebudayaan.
5. Kata andal seharusnya ditulis handal.
6. Kata ke depan seharusnya ditulis kedepan.

Anda mungkin juga menyukai