Anda di halaman 1dari 6

EDITORIAL

HEMOPTISIS

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu


penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak
bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju
perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah
ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring,
atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk
darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar
sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang
dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan
penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan
dapat mengganggun kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila
tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.

Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi


pulmoner atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan
umumnya berasal dari sirkulasi bronkial ( 95 % ). Sirkulasi pulmoner
memperdarahi alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan
rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial
memperdarahi trakea, bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan
penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior dan vasa vasorum
arteri pulmoner. Sirkulasi bronkial ini terdiri dari arteri bronkialis dan
vena bronkialis. Asal anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik
tertentu: (a). bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di
mukosa, (b) TB paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri
pulmoner (dinding kaviti “aneurisma Rassmussen”). atau akibat
pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri
bronkialis, (c) infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi
pembesaran & proliferasi arteri bronchial misal : bronkiektasis,
aspergilosis atau fibrosis kistik,(d) kanker paru akibat pembuluh darah
yg terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah.
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain :

1. Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella),


jamur, virus

2. Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru,


kistik fibrosis, emfisema bulosa
3. Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis

4. Kelainan hematologi : disfungsi trombosit, trombositopenia,


disseminated intravascular coagulation (DIC)
5. Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid

6. Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner, malformasi


arterivena, aneurisma aorta
7. Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak

8. Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi


swan-ganz, limfangiografi
9. Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary
hemosiderosis, systemic lupus erytematosus, vaskulitis
(granulomatosis wagener, purpura henoch schoenlein, sindrom
chrug-strauss)
10. Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain

11. Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura,


benda asing, hemoptisis kriptogenik, amiloidosis

Penelitian yang dilakukan di RS persahabatan oleh Retno dkk : 323


pasien hemoptisis di IGD RS Persahabatan didapatkan TB paru 64,43 %,
bronkiektasis 16,71 % , karsinoma paru 3,4 % dan Maria : 102 pasien
hemoptisis rawat inap dan IGD RS Persahabatan didapatkan TB paru
75,6 %, bekas TB paru 16,7 %, bronkiektasis 7,8 %

Penalaksanaan hemoptisis masif memerlukan penanganan


khusus agar tidak berakibat fatal dengan angka mortaliti hemoptisis
masif 75 % disebabkan oleh asfiksia. Pasien dengan hemoptisis masif
seharusnya dirawat di unit perawatan intensif untuk memonitor status
hemodinamik dan penilaian jumlah darah yang hilang. Penatalaksanaan
dilakukan melalui tiga tahap:
1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien

2. Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan

3. Terapi spesifik

Tahap 1 adalah mempertahankan jalan napas yang adekuat,


pemberian suplementasi oksigen, koreksi koagulapati, resusitasi cairan,
dan berusah melokalisir sumber perdarahan. Tahap 2 setelah pasien
dalam keaadan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mencari
sumber perdarahan dan penyebab perdarahan. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain : foto toraks,CT scann toraks, angiografi,
bronkoskopi ( BSOL atau bronkoskop kaku ). Tahap 3 adalah
menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan berulang. Terapi ini
dibagi 2 yaitu ( a ) dengan bronkoskop antara lain melakukan bilasan
garam fisiologis , epinefrin , pemberian trombin fibrinogen , tamponade
dengan balon., ( b ) tanpa bronkoskop antara lain pemberian obat dan
antifibrinolitik pengobatan penyakit primernya

Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner

Teknik ini pertama kali dilakukan oleh Remy dkk pada tahun 1973.
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi
sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi ini dapat
dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik ini
terutama dipilih untuk penderita dengan kelaina paru bilateral, fungsi
paru sisa yang minimal, menolak operasi ataupun memiliki
kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali
untuk mengontrol perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan
dalam mengontrol perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%. Pada
evaluasi lanjut selama 3-5 tahun, Rabkin dkk mengamati terjadinya
rekurensi perdarahan pada 23% penderita. Komplikasi yang dapat terjadi
yaitu akibat oklusi arteri bronkialis yaitu nyeri dada, demam maupun
emboli ektopik.
Pembedahan

Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan. Tindakan bedah


dilakukan bila pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut : a.
diketahui jelas sumber perdarahan, . b. tidak ada kontra indikasi medik,
c. setelah dilakukan pembedahan sisa paru masih mempunyai fungsi
yang adekuat ( faal paru adekuat ), d. pasien bersedia dilakukan tindakan
bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Dweik RA, Stoller JK. Role of bronchoscopy in massive hemoptysis.


Clin Chest Med.
1992;20:80-105
2. Florees RJ. Sandur S. Massive Hemoptysis. Hospital Physician.
2006;37-43
3. Arif N. Batuk darah dalam pulmonologi klinik. Bagian pulmonologi
FKUI; Jakarta :
1992, 179-183
4. Wihastuti R, Maria, Situmeang T, Yunus F. Profil penderita batuk
darah yang berobat ke bagian paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir
Indo 1999;19:54-9
5. Eddy JB. Clinical assesment and management of massive hemoptysis.
Crit Care Med
2000 ; 28 (5) : 1642 – 7 6.http//www.pulmonologychannel.
com/hemoptysis /treatment
/shtml 7.http//www. endonurse.com/articles/07/aprfeat5.html

a. Bagaimana hubungan demam dengan keluhan utama ?


Jawab :
Menunjukkan bahwa keluhan utama Tn. Wawan yaitu batuk merupakan
suatu efek dari akibat adanya infeksi bakteri yang menunjukkan telah
adanya proses peradangan yang ditandai dengan adanya demam.
Apa etiologi demam ?

Jawab :

 Penyebab Infeksi
– Parasit
– Bakteri
– Virus
– Jamur
 lPenyebab Non Infeksi
– Neoplasma
– Nekro sis Jaringan
– Kelainan Kolagen Vaskular
– Emboli Paru / Trombosis vena dalam
– Obat
Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu
normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi,
vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag,
interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal,
trauma, suntikan intramuskular, luka bakar), keganasan (leukemia,
limfoma, hepatoma, penyakit metastasis), obat-obatan (demam obat,
kokain, amfoterisin B), gangguan imunologik-reumatologik (lupus
eritematosus sistemik, artritis reumatoid), penyakit radang (penyakit
radang usus), penyakit granulomatosis (sarkoidosis), ganggguan
endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma), ganggguan metabolik (gout,
uremia, penyakit fabry, hiperlipidemia tipe 1).
a. Bagaimana patofisiologi demam ?

Jawab :

Infeksi mikroorganisme  aktivasi respon imun seluler  aktivasi


makrofag  produksi IL1,IL6, TNF-a,AFN  aktivasi jalur PGE2
melalui asam arakidonat  peningkatan set point di hipotalamus 
demam

Demam dapat dipicu oleh bahan exogenous maupun endogenous. Bahan


exogenous pun ternyata harus lewat endogenous pyrogen, polipeptida
yang diproduksi oleh jajaran monosit dan makrofag dan sel lain. Pemicu
kenaikan suhu yang diketahui al IL-1. TNF, IFN dan Il-6. Sitokin ini bila
telah terbentuk akan masuk sirkulasi sistemik dan pada daerah praeoptik
hypothalamus merangsang phospholipase A2, melepas plama membrane
arachidonic acid untuk masuk ke jalur cyclooxigenase, yang
meningkatkan ekspresi cyclooxigenase dalam melepas prostaglandin E2,
yang mudah masuk blood-brain barrier, sehingga merangsang
thermoregulatory neuron untuk menaikkan thermostat setpoint. Set point
yang tinggi memerintahkan tubuh untuk menaikkan suhu lewat
rangkaian simpatetik dan saraf efferent adrenergik akan memicu
konservasi panas (dengan cara vaskonstriksi) dan kontraksi otot
(menggigil). Selain itu jalur autonomik dan endokrine ikut menurunkan
penguapan dan mengurangi jumlah cairan yang akan dipanaskan. Proses
ini berjalan terus sampai suhu sudah sesuai dengan termostat, suhu tubuh
terukur akan diatas suhu ratarata. Bilamana rangsangan sitokin telah
menurun, thermostat diturunkan kembali, sehingga proses pengeluaran
panas dan penambahan jumlah cairan akan berjalan. Termoregulasi ini
dibantu korteks serebri dalam menyesuaikan dengan perilaku.

Anda mungkin juga menyukai