Abstrak
Jurnal ilmiah ini berjudul Sosial Budaya Masyarakat Jawa dalam Novel Gadis Pantai.
Tujuan penelitian untuk: 1) untuk mengetahui nilai sosial-budaya, terutama sistem kelas dan
feodalisme di kalangan masyarakat Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer. Penelitian ini temasuk penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif.
Instrument penelitian adalah peneliti sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sistem
kelas dan feodalisme di kalangan Masyarakat Jawa dalam Novel Gadis Pantai Karya
PEMBAHASAN
Perkembangan karya sastra ini memang sangat cepat terutama novel. Dalam istilah
novel tercakup pengertian roman: karena roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum
perang di Indonesia. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan yaitu setelah
sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan berbahasa Inggris (Semi, 1993:
32).
Karya sastra tidak lahir begitu saja. Karya sastra lahir dari hasil kreativitas, realitas dan
imajinasi pengarang. Hasil imajinasi pengarang bukanlah kitab pelajaran dan tidak sama
dengan kitab pelajaran, maka karya hasil imajinasi tidak dapat dikaji seperti mengkaji kitab
pelajaran. Suatu karya sastra bukanlah buku katekismus dan buku sejarah (Jassin, 1970 : 18).
Dengan imajinasinya pengarang ingin mewujudkan kembali sederetan pengalaman-
pengalaman tertentu yang pernah akrab dengan lingkungan dan kehidupannya. Maka orang
dapat mengetahui nilai-nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan
Setiap karya adalah manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai
oleh pembaca agar karya yang dibacanya dapat diberi makna (Teeuw, 1984 : 318). Maka
dari itu kita harus dapat menguasai dan dapat menganalisis karya sastra tersebut. Kita pun
Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah yang merupakan
jamak dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi manusia.
Menurut Edward Burnett Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang
didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebudayaan adalah hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat serta
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
Istilah feodalisme ikut masuk dalam novel aliran realisme sosialis ini. Sistem feodal
adalah sistem kemasyarakatan berdasarkan pemilikan tanah luas atau raja (Hans Antlov dan
20 Mei 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia feodalisme adalah sistem sosial atau
Sejak abad ke-16 di Jawa telah tumbuh 3 akar kekuatan yang akan menjadi sendi-sendi
kekuatan masyarakat dikemudian hari. kelompok pertama adalah kaum priyayi dan
merupakan kelompok yang berkuasa. Mereka berakar pada kebudayaan Jawa-Hindu, sebagai
bangsawan mereka berpusat di kantor-kantor. Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa
yaitu para dan yayi yang secara harfiah artinya “para adik”. Yang dimaksud adalah para adik
raja. Namun menurut Robson, kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekerta priya, yang
berarti kekasih.
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas
sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan suatu golongan tertinggi dalam masyarakat
karena memilki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi
Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam
berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga
Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang
masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam 3
golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada
orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk
mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun pengelompokkan ini tidaklah
terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis
dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi
yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada yang non muslim.
Pada awal abad ke-20, muncullah pendidikan yang dimulai orang Belanda. Dalam
waktu singkat telah mulai keluar para lulusan sekolah – sekolah yang diselenggarakan
Belanda itu untuk ditampung dalam masyarakat. Jika di sekolah murid – murid indonesia itu
mendapatkan pendidikan kebudayaan dan sejarah Barat, maka dengan sendirinya ia mulai
menyadarkan mereka tentang makna kebebasan, kemerdekaan dan hak asasi manusia. Sejarah
berbeda sekali dengan kenyataan sehari-hari yang mereka lihat dan alami. Diskriminasi sosial
yang sangat mencolok telah menyadarkan pelajar indonesia akan harga dirinya sebagai
manusia.
Karya Sastra yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Hasta Mitra. Jakarta, April 2000, cetakan
ketujuh. Novel ini tebalnya 272 halaman, gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang
merupakan campuran antara bahasa Indonesia zaman dahulu dengan bahasa Jawa.
Novel ini secara ringkas menceritakan tentang perjalanan hidup seorang gadis yang tak
bernama. Ia hanya disebut sebagai Gadis Pantai. Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat
lugu. Saat itu usianya 14 tahun. Ia tidak pernah merasa miskin walaupun rumahnya sebuah
gubuk reyot. Laut adalah tempat ayahnya menunjukan bakti kepada keluarganya. Suatu hari
Gadis Pantai dinikahi oleh seorang pembesar yang tak dikenalinya yang diwakili dengan
sebilah keris. Saat itu juga Gadis Pantai harus meninggalkan semuanya. Ayah-ibunya,
keluarganya, kampugnya, pantai dan lautnya yang tanpa sekat itu untuk masuk ke dalam
rumah bertembok tinggi yang diyakini semua orang akan memuliakan dirinya. Menjadi istri
priyayi kota merupakan kehormatan, prestasi tertinggi bagi anak nelayan miskin berwajah
cantik. Karena itu kepala dusun pun turut serta mengantarkan dirinya sebagai sesembahan
Di dalam rumah itu Gadis Pantai belajar bahwa hubungan suami-istri yang Ia alami
berbeda sekali dengan contoh-contoh yang dilihatnya di kampung halaman. Disini Gadis
Pantai adalah mutlak milik suaminya, sementara suaminya milik kelas sosialnya. Jadi status
suami-istri tidak lantas membuat mereka jadi sepadan. Namun, apalah yang bisa Ia lakukan
dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Pada suatu hari datang Mardinah, seorang
pelayan baru. Ia adalah anak seorang jurutulis dari kota. Sikap berani dan lancangnya kepada
Gadis Pantai membuat Gadis Pantai tidak nyaman dengannya. Akhirnya terungkap bahwa
Mardinah diutus oleh Bendoro Demak. Mardinah dijanjikan menjadi istri kelima Bendoro
Demak jika Ia berhasil mengupayakan putri Bendoro Demak kawin dengan Bendoro, suami
Gadis Pantai.
Secara ekonomi dan sosial memang Gadis Pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas
sosial dan ekonomi. Ketika dia pulang ke desanya untuk menjenguk orang tuanya, orang se-
Ketika Gadis Pantai hamil dan kemudian melahirkan melahirkan seorang anak
perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Ayah Gadis Pantai
datang untuk melihat anak dan cucunya. Dan kemudian Bendoro memanggil Ayah Gadis
Pantai keruangannya. Ketika keluar wajahnya sudah suram karena Gadis pantai sudah
dicerai. Bendoro memberi uang kepada Ayah Gadis Pantai dan dia harus membawa Gadis
pantai meninggalkan rumah Bendoro segera, dan yang lebih menyayat hati, Gadis Pantai
terpaksa harus meninggalkan darah dagingnya yang baru berusia beberapa hari itu karena
perintah dari suaminya yang tega membuangnya begitu saja bagai sampah.
Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu
dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya
sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi
dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme
daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang
ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas
tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga
perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.
Dari novel Gadis Pantai ini juga didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi
penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa
terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan, yaitu kebudayaan
Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu.
Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk
disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk
mengawini anak-anak gadis mereka yang dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya
Golongan priyayi selalu menjadi golongan penguasa. Penguasa atas semua akses, baik
akses informasi, ekonomi, dan pendidikan. Sedangkan golongan rakyat bawahan tidak
mempunyai akses yang luas atas informasi, ekonomi, dan pendidikan. Akibatnya, mereka
selalu diperintah oleh golongan priyayi. Mereka tidak punya kekuasaan untuk menolak
perintah dari golongan priyayi. Seolah-olah mereka ditakdirkan untuk diperintah. Golongan
priyayi terpelajar, beragama, beradab, dan tidak perlu bersusah payah bekerja keras
Para priyayi bersikap sewenang-wenang karena mereka menganggap dirinya seperti raja. Jika
seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu
belum dianggap sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah
Oleh karena itu, kaum priyayi Jawa merasa bahwa mereka memiliki kedudukan yang
tinggi sehingga mereka layak dan pantas untuk dihargai. Sedangkan untuk kaum abangan,
paradigma-paradigma seperti itulah yang membuat kaum abangan cenderung layak untuk
ditindas dan dikucilkan oleh kaum priyayi karena keterbatasan apa yang mereka miliki
Dalam novel ini juga diceritakan bahwa golongan priyayi identik dengan kota, karena
sebagian besar golongan priyayi hidup mewah di kota. Sementara golongan abangan sebagian
besarnya tinggal di kampung. Golongan priyayi santri yang tinggal di kota, memandang
bahwa gaya hidup golongan rakyat kebanyakan di kampung selalu kotor karena tidak
Dalam novel ini terdapat pula isu-isu gender, penindasan laki-laki terhadap perempuan,
pengekangan hak ibu terhadap anak, laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan
dijadikan budak nafsu baginya. Anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak
yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak
perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan.
Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa gadis pantai melahirkan seorang
Novel ini memiliki latar tempat di Jepara, Jawa Tengah. Adapun, rangkaian latar
tempat dalam Novel Gadis Pantai diketahui saling beroposisi. Oposisi tersebut di antaranya
yaitu kampung dengan kota, gedung besar beroposisi dengan gubuk, kebun yang luas
beroposisi dengan laut. Kontras latar tempat yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai
merupakan aspek pendukung yang mempertajam penyajian konflik antara tokoh Gadis Pantai
dengan Bendoro.
Di dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis
Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara terpisah
dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan dan membuat
Sedangkan tokoh dan penokohan dalam novel ini ialah Gadis Pantai: seorang gadis
yang polos karena dalam cerita ia sama sekali tak tau apa itu kawin dan ketakutan saat
melihat darahnya -darah haid- di atas tempat tidur. Selain itu Ia juga seorang gadis yang
cekatan terbukti ketika ia diajari menjahit, membatik dan menyulam -kegiatan wanita utama
di pendopo- ia langsung mahir. Bendoro (Suami Gadis Pantai): seorang priyayi yang sopan
terbukti dari semua tingkah lakunya sebagai seorang pendopo dengan segala aturan
bangsawan. Kejam karena ia memanfaatkan banyak gadis yang cantik-cantik dari kampung
untuk menjadi ‘istri percobaan’nya. Selain itu Bendoro memiliki sifat yang Alim karena ia
Emak: seorang emak yang polos karena begitu mengetahui anaknya dinikahi
Bendoro, ia langsung menyerahkannya tanpa tahu untuk apa sebenarnya Bendoro menikahi
Gadis Pantai. Emak juga penyayang terbukti ia terus menenangkan Gadis Pantai saat Gadis
Pantai bingung tentang perkawinannya yang diwakili dengan keris. Bapak: seorang bapak
yang keras terbukti di dalam cerita, ia sering memukuli Gadis Pantai ketika Gadis Pantai
berbuat salah. Cerdik terbukti ia mengelabui Mardinah dan pengawalnya yang memiliki niat
buruk pada Gadis Pantai dengan menyuruh tetangganya untuk mengumumkan kedatangan
berkeringat saban kejadian penyerahan Gadis Pantai pada Bendoro. Mbok: seorang mbok
yang setia kepada majikannya karena dalam cerita, ia sampai rela diusir demi mengabdi pada
bendoronya dan membuat Karim terusir. Rendah diri karena ia berkali-kali mengatakan
bahwa ia hanya seorang budak dan orang rendahan dan tak pantas begini begitu. Jujur karena
ia selalu menolak tiap kali Gadis Pantai menyuruhnya mengambil perhiasan mana saja jika ia
mau.
Mardinah: anak seorang jurutulis, Ia memiliki sifat yang Licik terbukti ia ingin
mencelakai Gadis Pantai ketika menyuruhnya pulang diantar pengawalnya. Matre karena ia
hendak membunuh Gadis Pantai karena iming-iming bahwa ia akan dijadikan istri kelima
Bendoro. Dul: seorang warga kampung yang hobinya bersyair sambil memukul gendang
yang selalu Ia bawa. Pintar karena ia dengan cepat dapat mengerti situasi ‘bajak laut’ buatan
Bapak Gadis Pantai walaupun ia dikurung. Penakut karena dalam cerita, ia tidak mau melaut
seperti nelayan lain karena takut mati tenggelam atau dimakan ikan besar.
Novel Gadis Pantai ini disajikan dengan pencerita ekstern. Sudut pandang tersebut
dikenal juga dengan istilah sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, sudut penglihatan yang
berkuasa, atau pengarang serba tahu. Novel Gadis Pantai juga menggunakan pendekatan
ekspresif karena Gadis Pantai merupakan sebuah roman keluarga karena berkait dengan
Dalam penyajian Novel Gadis Pantai menggunakan gaya bahasa berupa majas dan gaya
bahasa retoris berupa pencitraan. Kedua gaya bahasa itulah yang dominan dijumpai dalam
Novel Gadis Pantai. Majas yang digunakan dalam Novel Gadis Pantai ini di antaranya
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari1925, sebagai anak
sulung Bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah.Pramoedya Ananta Toer terlahir di kalangan
keluarga yang terdidik dan religius. Hal tersebut dapat dijelaskan karana ayah Pramoedya
Ananta Toer merupakan seorang guru di Instituut Boedi Oetomo (IBO). Adapun, sisi
religiusitas dalam keluarga Pramoedya Ananta Toer berasal dari silsilah ibundaya yang
merupakan anak Penghulu Rembang Haji Ibrahim. 96 Pramoedya Ananta Toer adalah
seorang terdidik. Ia telah mengenyam berbagai tingkat pendidikan di antarnya sekolah dasar
hingga meneruskan ke sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya. Lain dari itu,
ia juga pernah bersekolah di Jakarta mengikuti pendidikan Taman Siswa tingkat dewasa
(SLP) dan pernah juga masuk di Sekolah Tinggi Islam. Setelah mengenyam berbagai
ke dunia kerja. Pramoedya Ananta Toer pernah bekerja sebagai juru ketik di kantor berita
Jepang Domei. Disebabkan beberapa hal akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari
pekerjaanya sebagai juru ketik tersenut. Pada Bulan Oktober 1945 akhirnya ia bergabung
dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bertugas di Cikampek. Beberapa tahun di BKR
akhirnya Pramoedya Ananta Toer resmi keluar pada 1 Januari 1947 dan kemudian
Pekerjaan Pram sebagai redaktur penerbitan ini tak berlangsung lama karena ia harus
dipenjara untuk pertama kalinya oleh Belanda pada Juli 1947 sampai Desember 1949.
Adapun, selanjutnya Pramoedya Ananta Toer juga kembali dipenjara selama 14 tahun oleh
pemerintahan Orde Baru dengan tuduhan terlibat dengan parpol PKI sejak tahun 1965 sampai
1979. Pada 21 Desember 1979 tersebut ia mendapat surat pembebasan secara hukum tidak
Novel Gadis Pantai bukan salah satu karya sastra yang dihasilkan oleh Pramoedya
Ananta Toer. Pada tahun 1950 sampai tahun 1952 ia berhasil menerbitkan tiga kumpulan
cerpen dan empat novel. Kumpulan cerpen tersebut yaitu Pertjikan Revolusi, Subuh, Tjerita
dari Blora, dan keempat roman tersebut adalah Perburuan, Keluarga Gerilja, Ditepi Kali
Bekasi, dan Mereka Jang Dilumpuhkan. Sejak tahun 1950 itulah ia mulai terkenal dan aktif
yang menghindarkan diri dari tanggung jawab sosialnya dan menikmati kebudayaannya yang
selalu dipuji dengan mendzalimi dan menghinakan sesama manusia. Pengarang juga secara
daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang
ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas
tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga
perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.
Perbedaan kasta sangat kental terlihat dan terasa antara orang kampung dengan orang
kota, orang rendahan dengan orang atasan. Prengarang benar-benar menceritakan secara
gamblang bagaimana Feodalisme yang dibencinya itu merangkak jauh dari rasa kemanusiaan
http://akihabaranime.blogspot.co.id/2013/09/analisis-roman-gadis-pantai-pramoedya.html
http://digilib.unila.ac.id/6480/107/BAB%20IV.pdf
https://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/novel-gadis-pantai-karya-pramoedya-ananta-
toer-analisis-struktural-levi-strauss-siminto.pdf
http://fayzaaveiroo.blogspot.co.id/2012/11/analisis-gadis-pantai-pramoedya-ananta.html
http://nengetykawaii.blogspot.co.id/2010/06/roman-gadis-pantai-karya-pramoedya.html
http://akihabaranime.blogspot.co.id/2013/09/analisis-roman-gadis-pantai-pramoedya.html
http://www.eviindrawanto.com/2012/09/gadis-pantai-pramoedya-ananta-toer/