Anda di halaman 1dari 13

Sosial Budaya Masyarakat Jawa dalam Novel Gadis Pantai

Karya Pramoedya Ananta Toer

Oleh: Hilly Silvia/0003956874/MAN Insan Cendekia Siak

Abstrak

Jurnal ilmiah ini berjudul Sosial Budaya Masyarakat Jawa dalam Novel Gadis Pantai.

Tujuan penelitian untuk: 1) untuk mengetahui nilai sosial-budaya, terutama sistem kelas dan

feodalisme di kalangan masyarakat Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta

Toer. Penelitian ini temasuk penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif.

Instrument penelitian adalah peneliti sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sistem

kelas dan feodalisme di kalangan Masyarakat Jawa dalam Novel Gadis Pantai Karya

Pramoedya Ananta Toer.

Kata Kunci : Sosial Budaya, Jawa, Gadis Pantai

PEMBAHASAN

Perkembangan karya sastra ini memang sangat cepat terutama novel. Dalam istilah

novel tercakup pengertian roman: karena roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum

perang di Indonesia. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan yaitu setelah

sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan berbahasa Inggris (Semi, 1993:

32).

Karya sastra tidak lahir begitu saja. Karya sastra lahir dari hasil kreativitas, realitas dan

imajinasi pengarang. Hasil imajinasi pengarang bukanlah kitab pelajaran dan tidak sama

dengan kitab pelajaran, maka karya hasil imajinasi tidak dapat dikaji seperti mengkaji kitab

pelajaran. Suatu karya sastra bukanlah buku katekismus dan buku sejarah (Jassin, 1970 : 18).
Dengan imajinasinya pengarang ingin mewujudkan kembali sederetan pengalaman-

pengalaman tertentu yang pernah akrab dengan lingkungan dan kehidupannya. Maka orang

dapat mengetahui nilai-nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan

hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra.

Setiap karya adalah manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai

oleh pembaca agar karya yang dibacanya dapat diberi makna (Teeuw, 1984 : 318). Maka

dari itu kita harus dapat menguasai dan dapat menganalisis karya sastra tersebut. Kita pun

harus dapat membedakan pembagian setiap periode-periode sastra.

Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah yang merupakan

jamak dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi manusia.

Menurut Edward Burnett Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang

didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan

kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebudayaan adalah hasil kegiatan dan

penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat serta

keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami

lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Istilah feodalisme ikut masuk dalam novel aliran realisme sosialis ini. Sistem feodal

adalah sistem kemasyarakatan berdasarkan pemilikan tanah luas atau raja (Hans Antlov dan

Sven Cederroth, diakses dari http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel/s8.html#_ftn7

20 Mei 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia feodalisme adalah sistem sosial atau

politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.

Sejak abad ke-16 di Jawa telah tumbuh 3 akar kekuatan yang akan menjadi sendi-sendi

kekuatan masyarakat dikemudian hari. kelompok pertama adalah kaum priyayi dan

merupakan kelompok yang berkuasa. Mereka berakar pada kebudayaan Jawa-Hindu, sebagai
bangsawan mereka berpusat di kantor-kantor. Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa

yaitu para dan yayi yang secara harfiah artinya “para adik”. Yang dimaksud adalah para adik

raja. Namun menurut Robson, kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekerta priya, yang

berarti kekasih.

Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas

sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan suatu golongan tertinggi dalam masyarakat

karena memilki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi

Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam

berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga

dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.

Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang

masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam 3

golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada

orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk

mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun pengelompokkan ini tidaklah

terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis

keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri – abangan dibuat berdasarkan sikap

dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi

yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada yang non muslim.

Pada awal abad ke-20, muncullah pendidikan yang dimulai orang Belanda. Dalam

waktu singkat telah mulai keluar para lulusan sekolah – sekolah yang diselenggarakan

Belanda itu untuk ditampung dalam masyarakat. Jika di sekolah murid – murid indonesia itu

mendapatkan pendidikan kebudayaan dan sejarah Barat, maka dengan sendirinya ia mulai

menyadarkan mereka tentang makna kebebasan, kemerdekaan dan hak asasi manusia. Sejarah

perjuangan rakyat-rakyat Eropa melawan depotisme juga merangsang mereka melawan


“depotisme” Belanda. Apa yang mereka pelajari tentang hak – hak pribadi manusia, ternyata

berbeda sekali dengan kenyataan sehari-hari yang mereka lihat dan alami. Diskriminasi sosial

yang sangat mencolok telah menyadarkan pelajar indonesia akan harga dirinya sebagai

manusia.

Karya Sastra yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya

Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Hasta Mitra. Jakarta, April 2000, cetakan

ketujuh. Novel ini tebalnya 272 halaman, gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang

merupakan campuran antara bahasa Indonesia zaman dahulu dengan bahasa Jawa.

Novel ini secara ringkas menceritakan tentang perjalanan hidup seorang gadis yang tak

bernama. Ia hanya disebut sebagai Gadis Pantai. Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat

lugu. Saat itu usianya 14 tahun. Ia tidak pernah merasa miskin walaupun rumahnya sebuah

gubuk reyot. Laut adalah tempat ayahnya menunjukan bakti kepada keluarganya. Suatu hari

Gadis Pantai dinikahi oleh seorang pembesar yang tak dikenalinya yang diwakili dengan

sebilah keris. Saat itu juga Gadis Pantai harus meninggalkan semuanya. Ayah-ibunya,

keluarganya, kampugnya, pantai dan lautnya yang tanpa sekat itu untuk masuk ke dalam

rumah bertembok tinggi yang diyakini semua orang akan memuliakan dirinya. Menjadi istri

priyayi kota merupakan kehormatan, prestasi tertinggi bagi anak nelayan miskin berwajah

cantik. Karena itu kepala dusun pun turut serta mengantarkan dirinya sebagai sesembahan

bagi Sang Bendoro yang agung.

Di dalam rumah itu Gadis Pantai belajar bahwa hubungan suami-istri yang Ia alami

berbeda sekali dengan contoh-contoh yang dilihatnya di kampung halaman. Disini Gadis

Pantai adalah mutlak milik suaminya, sementara suaminya milik kelas sosialnya. Jadi status

suami-istri tidak lantas membuat mereka jadi sepadan. Namun, apalah yang bisa Ia lakukan

hanyalah menghormati dan mentaati suaminya yang Ia panggil dengan Bendoro.


Sampai menikah dan punya anakpun Gadis Pantai tidak memiliki hubungan hati ke hati

dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Pada suatu hari datang Mardinah, seorang

pelayan baru. Ia adalah anak seorang jurutulis dari kota. Sikap berani dan lancangnya kepada

Gadis Pantai membuat Gadis Pantai tidak nyaman dengannya. Akhirnya terungkap bahwa

Mardinah diutus oleh Bendoro Demak. Mardinah dijanjikan menjadi istri kelima Bendoro

Demak jika Ia berhasil mengupayakan putri Bendoro Demak kawin dengan Bendoro, suami

Gadis Pantai.

Secara ekonomi dan sosial memang Gadis Pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas

sosial dan ekonomi. Ketika dia pulang ke desanya untuk menjenguk orang tuanya, orang se-

desa menyambut meriah dan memperlakukannya dengan istimewa.

Ketika Gadis Pantai hamil dan kemudian melahirkan melahirkan seorang anak

perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Ayah Gadis Pantai

datang untuk melihat anak dan cucunya. Dan kemudian Bendoro memanggil Ayah Gadis

Pantai keruangannya. Ketika keluar wajahnya sudah suram karena Gadis pantai sudah

dicerai. Bendoro memberi uang kepada Ayah Gadis Pantai dan dia harus membawa Gadis

pantai meninggalkan rumah Bendoro segera, dan yang lebih menyayat hati, Gadis Pantai

terpaksa harus meninggalkan darah dagingnya yang baru berusia beberapa hari itu karena

perintah dari suaminya yang tega membuangnya begitu saja bagai sampah.

Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu

dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya

sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi

ia berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi

keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.


Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada

dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme

Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda.

Penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang menjalar ke darah

daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang

mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan

ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas

tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga

perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.

Dari novel Gadis Pantai ini juga didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi

penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa

terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan, yaitu kebudayaan

abangan, santri, dan priyayi.

Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu.

Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk

disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk

mengawini anak-anak gadis mereka yang dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya

dicampakkan begitu saja.

Golongan priyayi selalu menjadi golongan penguasa. Penguasa atas semua akses, baik

akses informasi, ekonomi, dan pendidikan. Sedangkan golongan rakyat bawahan tidak

mempunyai akses yang luas atas informasi, ekonomi, dan pendidikan. Akibatnya, mereka

selalu diperintah oleh golongan priyayi. Mereka tidak punya kekuasaan untuk menolak

perintah dari golongan priyayi. Seolah-olah mereka ditakdirkan untuk diperintah. Golongan

priyayi terpelajar, beragama, beradab, dan tidak perlu bersusah payah bekerja keras

membanting tulang untuk mendapatkan kekayaan.


Priyayi selalu merasa lebih tinggi dan berhak mengatur hidup kelas yang lebih rendah.

Para priyayi bersikap sewenang-wenang karena mereka menganggap dirinya seperti raja. Jika

seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu

belum dianggap sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah

dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengannya.

Oleh karena itu, kaum priyayi Jawa merasa bahwa mereka memiliki kedudukan yang

tinggi sehingga mereka layak dan pantas untuk dihargai. Sedangkan untuk kaum abangan,

paradigma-paradigma seperti itulah yang membuat kaum abangan cenderung layak untuk

ditindas dan dikucilkan oleh kaum priyayi karena keterbatasan apa yang mereka miliki

sebagai petani atau nelayan.

Dalam novel ini juga diceritakan bahwa golongan priyayi identik dengan kota, karena

sebagian besar golongan priyayi hidup mewah di kota. Sementara golongan abangan sebagian

besarnya tinggal di kampung. Golongan priyayi santri yang tinggal di kota, memandang

bahwa gaya hidup golongan rakyat kebanyakan di kampung selalu kotor karena tidak

beriman. Tidak beriman membuat manusia menjadi miskin.

Dalam novel ini terdapat pula isu-isu gender, penindasan laki-laki terhadap perempuan,

pengekangan hak ibu terhadap anak, laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan

dijadikan budak nafsu baginya. Anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak

yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak

perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan.

Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa gadis pantai melahirkan seorang

bayi perempuan, betapa murkanya ia.

Novel ini memiliki latar tempat di Jepara, Jawa Tengah. Adapun, rangkaian latar

tempat dalam Novel Gadis Pantai diketahui saling beroposisi. Oposisi tersebut di antaranya

yaitu kampung dengan kota, gedung besar beroposisi dengan gubuk, kebun yang luas
beroposisi dengan laut. Kontras latar tempat yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai

merupakan aspek pendukung yang mempertajam penyajian konflik antara tokoh Gadis Pantai

dengan Bendoro.

Di dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis

Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara terpisah

dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan dan membuat

gerakan waktu yang terus bergerak maju.

Sedangkan tokoh dan penokohan dalam novel ini ialah Gadis Pantai: seorang gadis

yang polos karena dalam cerita ia sama sekali tak tau apa itu kawin dan ketakutan saat

melihat darahnya -darah haid- di atas tempat tidur. Selain itu Ia juga seorang gadis yang

cekatan terbukti ketika ia diajari menjahit, membatik dan menyulam -kegiatan wanita utama

di pendopo- ia langsung mahir. Bendoro (Suami Gadis Pantai): seorang priyayi yang sopan

terbukti dari semua tingkah lakunya sebagai seorang pendopo dengan segala aturan

bangsawan. Kejam karena ia memanfaatkan banyak gadis yang cantik-cantik dari kampung

untuk menjadi ‘istri percobaan’nya. Selain itu Bendoro memiliki sifat yang Alim karena ia

selalu melaksanakan sholat dan mengaji, serta membaca buku-buku hadits.

Emak: seorang emak yang polos karena begitu mengetahui anaknya dinikahi

Bendoro, ia langsung menyerahkannya tanpa tahu untuk apa sebenarnya Bendoro menikahi

Gadis Pantai. Emak juga penyayang terbukti ia terus menenangkan Gadis Pantai saat Gadis

Pantai bingung tentang perkawinannya yang diwakili dengan keris. Bapak: seorang bapak

yang keras terbukti di dalam cerita, ia sering memukuli Gadis Pantai ketika Gadis Pantai

berbuat salah. Cerdik terbukti ia mengelabui Mardinah dan pengawalnya yang memiliki niat

buruk pada Gadis Pantai dengan menyuruh tetangganya untuk mengumumkan kedatangan

bajak laut yang sebenarnya tidak ada.


Kepala Kampung:seorang pemimpin yang mudah gugup terbukti ia selalu

berkeringat saban kejadian penyerahan Gadis Pantai pada Bendoro. Mbok: seorang mbok

yang setia kepada majikannya karena dalam cerita, ia sampai rela diusir demi mengabdi pada

bendoronya dan membuat Karim terusir. Rendah diri karena ia berkali-kali mengatakan

bahwa ia hanya seorang budak dan orang rendahan dan tak pantas begini begitu. Jujur karena

ia selalu menolak tiap kali Gadis Pantai menyuruhnya mengambil perhiasan mana saja jika ia

mau.

Mardinah: anak seorang jurutulis, Ia memiliki sifat yang Licik terbukti ia ingin

mencelakai Gadis Pantai ketika menyuruhnya pulang diantar pengawalnya. Matre karena ia

hendak membunuh Gadis Pantai karena iming-iming bahwa ia akan dijadikan istri kelima

Bendoro. Dul: seorang warga kampung yang hobinya bersyair sambil memukul gendang

yang selalu Ia bawa. Pintar karena ia dengan cepat dapat mengerti situasi ‘bajak laut’ buatan

Bapak Gadis Pantai walaupun ia dikurung. Penakut karena dalam cerita, ia tidak mau melaut

seperti nelayan lain karena takut mati tenggelam atau dimakan ikan besar.

Novel Gadis Pantai ini disajikan dengan pencerita ekstern. Sudut pandang tersebut

dikenal juga dengan istilah sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, sudut penglihatan yang

berkuasa, atau pengarang serba tahu. Novel Gadis Pantai juga menggunakan pendekatan

ekspresif karena Gadis Pantai merupakan sebuah roman keluarga karena berkait dengan

keluarga pengarang sendiri.

Dalam penyajian Novel Gadis Pantai menggunakan gaya bahasa berupa majas dan gaya

bahasa retoris berupa pencitraan. Kedua gaya bahasa itulah yang dominan dijumpai dalam

Novel Gadis Pantai. Majas yang digunakan dalam Novel Gadis Pantai ini di antaranya

mencakup majas perumpamaan (simile), metafora dan personifikasi.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari1925, sebagai anak

sulung Bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah.Pramoedya Ananta Toer terlahir di kalangan
keluarga yang terdidik dan religius. Hal tersebut dapat dijelaskan karana ayah Pramoedya

Ananta Toer merupakan seorang guru di Instituut Boedi Oetomo (IBO). Adapun, sisi

religiusitas dalam keluarga Pramoedya Ananta Toer berasal dari silsilah ibundaya yang

merupakan anak Penghulu Rembang Haji Ibrahim. 96 Pramoedya Ananta Toer adalah

seorang terdidik. Ia telah mengenyam berbagai tingkat pendidikan di antarnya sekolah dasar

hingga meneruskan ke sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya. Lain dari itu,

ia juga pernah bersekolah di Jakarta mengikuti pendidikan Taman Siswa tingkat dewasa

(SLP) dan pernah juga masuk di Sekolah Tinggi Islam. Setelah mengenyam berbagai

pendidikan, ia juga lulus dari kursus mengetik dan stenograf.

Seletah menempuh beberapa tingkat pendidikan akhirnya menghantarkan Pramoedya

ke dunia kerja. Pramoedya Ananta Toer pernah bekerja sebagai juru ketik di kantor berita

Jepang Domei. Disebabkan beberapa hal akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari

pekerjaanya sebagai juru ketik tersenut. Pada Bulan Oktober 1945 akhirnya ia bergabung

dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bertugas di Cikampek. Beberapa tahun di BKR

akhirnya Pramoedya Ananta Toer resmi keluar pada 1 Januari 1947 dan kemudian

mendapatkan pekerjaan baru pada „ The Voice of Free Indonesia‟ .

Pekerjaan Pram sebagai redaktur penerbitan ini tak berlangsung lama karena ia harus

dipenjara untuk pertama kalinya oleh Belanda pada Juli 1947 sampai Desember 1949.

Adapun, selanjutnya Pramoedya Ananta Toer juga kembali dipenjara selama 14 tahun oleh

pemerintahan Orde Baru dengan tuduhan terlibat dengan parpol PKI sejak tahun 1965 sampai

1979. Pada 21 Desember 1979 tersebut ia mendapat surat pembebasan secara hukum tidak

bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI.

Novel Gadis Pantai bukan salah satu karya sastra yang dihasilkan oleh Pramoedya

Ananta Toer. Pada tahun 1950 sampai tahun 1952 ia berhasil menerbitkan tiga kumpulan

cerpen dan empat novel. Kumpulan cerpen tersebut yaitu Pertjikan Revolusi, Subuh, Tjerita
dari Blora, dan keempat roman tersebut adalah Perburuan, Keluarga Gerilja, Ditepi Kali

Bekasi, dan Mereka Jang Dilumpuhkan. Sejak tahun 1950 itulah ia mulai terkenal dan aktif

berkarya di dunia sastra.


KESIMPULAN

Melalui roman ini Pengarang tampak mencemooh mentalitas priyayi, orang-orang

yang menghindarkan diri dari tanggung jawab sosialnya dan menikmati kebudayaannya yang

selalu dipuji dengan mendzalimi dan menghinakan sesama manusia. Pengarang juga secara

terang-terangan mencoba menggambarkan dunia kepriyayian yang penuh kesewenang-

wenangan, yang tak berperasaan dan tak berprikemanusiaan.

Penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang menjalar ke darah

daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang

mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan

ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas

tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga

perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.

Perbedaan kasta sangat kental terlihat dan terasa antara orang kampung dengan orang

kota, orang rendahan dengan orang atasan. Prengarang benar-benar menceritakan secara

gamblang bagaimana Feodalisme yang dibencinya itu merangkak jauh dari rasa kemanusiaan

yang seharusnya ada dalam diri setiap manusia.


DAFTAR PUSTAKA

http://akihabaranime.blogspot.co.id/2013/09/analisis-roman-gadis-pantai-pramoedya.html

http://digilib.unila.ac.id/6480/107/BAB%20IV.pdf

https://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/novel-gadis-pantai-karya-pramoedya-ananta-

toer-analisis-struktural-levi-strauss-siminto.pdf

http://fayzaaveiroo.blogspot.co.id/2012/11/analisis-gadis-pantai-pramoedya-ananta.html

http://nengetykawaii.blogspot.co.id/2010/06/roman-gadis-pantai-karya-pramoedya.html

http://akihabaranime.blogspot.co.id/2013/09/analisis-roman-gadis-pantai-pramoedya.html

http://www.eviindrawanto.com/2012/09/gadis-pantai-pramoedya-ananta-toer/

Anda mungkin juga menyukai