Jbptitbpp GDL Adeyudiria 30424 3 2008ts 2
Jbptitbpp GDL Adeyudiria 30424 3 2008ts 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dengan kata lain karakter rancangan dan potensi tempat yang unik menjadi
acuan utama dalam menghasilkan bentukan rancangan, yang dikenal dengan istilah
regionalisme kritis. Faham regionalisme kritis muncul pada pengamatan wilayah yang
tidak mempunyai warisan budaya tradisional sehingga untuk menunjukkan karakter
yang unik, titik tolak sebuah rancangan mengacu pada keunikan tempat/place bukan
pada tipologi. Hal ini umumnya terdapat pada sebuah daerah yang terbentuk pada era
modern tanpa sebuah warisan identitas orisinal pada masa lalu (atau memiliki rentang
budaya yang terlampau jauh dari masa silam karena akulturasi budaya yang semakin
beragam) . Metode ini menghasilkan rancangan yang berbeda dengan transformasi
klasik (mengolah bentuk dasar lewat tipologi semantik, skala dan proporsi) karena
wujud akhir dari regionalisme kritis adalah non-tipologi. Beberapa praktek rancangan
oleh arsitek asing di Bali seringkali meloncati kaidah tipologi klasik tersebut (baca
antara lain: Cheong Yew Kuan pada Pieris,Anoma. 2004. New Directions in Tropical
Asian Architecture, Periplus). Identitas pengenalan/familiarisasi terhadap referensi
masa lalu diwujudkan lewat ekspresi material, elemen-elemen pembentuk ruang yang
umumnya terdapat pada arsitektur tradisional seperti; kolam, courtyard, atau motif
racana yang menjadi bagian dari keunikan lokal sedangkan wujud utuh rancangan
melepaskan diri dari khasanah umum yang dikenal lewat dogma kepala-badan-kaki.
Regionalisme kritis bukanlah gaya arsitektur melainkan sebuah sikap.
Mengambil bentuk dari konteks yang ada, bukan kembali ke arsitektur vernakuler
melainkan menuju hybrid world culture, persilangan budaya antara budaya lokal dengan
peradaban universal.
et.all (2002) memaparkan perlu ditentukan penetapan arah dan titik berat transformasi
apakah mengarah pada fungsi, bentuk dan elemen, struktur material ataukah makna
simbol.
Transformasi dapat dilakukan terhadap seluruh konsep atau menitikberatkan
pada salah satu yang paling sesuai dengan konsep baru yang diinginkan. Menentukan
pendekatan yang akan dilakukan dapat dengan memilih beberapa metoda antara lain
menurut Koesariani et.all (2002) :
1. Distorting, mendistorsikan atau menyimpangkan bentuk lama dalam komposisi,
skala dan ukuran yang baru.
2. Regrouping/ reassembling, menyusun atau mengumpulkan kembali elemen-
elemen arsitektur yang dijadikan acuan ke dalam suatu pengelompokan baru
atau menyusunnya menjadi kesatuan baru.
3. General Altering, mengganti secara umum konsep-konsep yang lama menjadi
baru.
4. Analogi, membuat bentuk baru berdasarkan bentuk arsitektur atau bentuk dasar
yang dijadikan contoh.
5. Metafora, memakai bentukan lama namun bukan dengan makna yang
sebenarnya, berarti melakukan perubahan makna
6. Simbiosis, pembentukan karya baru akibat penerapan dua konsep budaya yang
berbeda
7. Metamorfosis, yaitu perubahan yang terjadi secara bertahap dari bentuk dasar
sehingga ditemukan bentuk yang terbaik untuk dipilih.
Sementara itu, metode yang dikenalkan lewat regionalisme kritis awal mula
diperkenalkan oleh sastrawan Schlovsky (1961) yakni: Metode defamiliarisasi,
defamiliarisasi adalah usaha untuk menemukan pemahaman baru melalui proses
pengenalan (identifying), penguraian (decomposing) dan pembentukan kembali
(recomposing). Metode defamiliarisasi bekerja dengan cara memilih elemen regional
yang memiliki potensi untuk bertindak sebagai ‘place-defining elements’ dan
menggunakannya secara baru dibanding ‘familiar’ yang membuat mereka terasa
berjarak, Pada akhirnya mengarahkan pengamat pada kondisi ‘metacognitive’ yang
merupakan ‘forum of possible worlds’. ( Nesbitt, 1995)
Bila ditelaah secara komparatif, perbedaan tahapan metode transformasi secara
klasikal dibandingkan dengan metode defamiliarisasi terletak pada eksekusi keputusan
12
untuk mendekonstruksikan tatanan yang ada. Pada metode transformasi klasik, formasi
dan proporsi merupakan merupakan batasan sehingga langkah-langkah yang tidak
dikehendaki harus dihindari, seperti dekomposisi atau dekonstruksi karena akan
mengaburkan pemahaman yang berujung ada salah penafsiran/misinterpretasi
(Koesaerini, 2002). Wujud akhir dari transformasi ala Antoniades ini adalah berupa
regionalisme romantik yang cenderung bersifat narsistik dan artifisial. Sementara itu
pada proses defamiliarisasi, dekomposisi/penguraian merupakan bagian dari rangkaian
proses yang dimaksudkan untuk mendapatkan esensi dari bentuk yang hadir sehingga
didapat hakikat dari keunikan tanpa harus terbelenggu pada tipologi bentuk.
Konsekuensi dari tahapan ini adalah tahap recomposing/penyusunan ulang akan
berangkat dari tatanan nilai yang membentuk ruang, atau tatanan tektonika material
yang membentuk citra. Familiarisasi bukan berangkat dari aras pemahaman bentuk
melainkan pada ekspresi elemen-elemen yang menyusun bentuk itu sendiri.
menyangkut tiga hal: pernyataan, penjelasan dan penerjemahan makna obyek rancangan
yang dibaca. Secara deskriptif praksis langkah-langkah demikian dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1. Identifikasi falsafah arsitektur tradisional, memahami komponen pembentuk
arsitektur tradisional baik tatanan fisik yang nampak dalam ragam
arsitekturnya (bentuk, elemen, struktur, material) maupun tatanan kosmologis
yang mendasari terbentuknya ruang. Dalam arsitektur tradisional khususnya
Jawa, seringkali terdapat penamaan istilah-istilah yang berasosiasi pada dua
hal; bentuk dan fungsi. Bentuk atap memiliki varian nama-nama tersendiri
sesuai dengan fungsi yang diwadahi sedangkan fungsi bangunan pun memiliki
nama tersendiri. Seperti contoh; terdapat makna yang tak sama untuk pendopo
dan joglo, sekalipun orang seringkali menyamakan kedua pengertian ini.
Sejatinya, pendopo merupakan fungsi sebuah fasilitas sedangkan joglo
merupakan bentukan atap dan topangan sokoguru dibawahnya. Hal ini perlu
diketahui agar tidak terjadi generalisasi yang didasarkan atas satu pemahaman
saja sehingga berujung pada salah tafsir..
2. interpretasi-reinterpretasi, membaca makna rancangan salah satunya adalah
lewat tanda bahasa visual. Interpretasi merupakan pemaknaan dari hasil
pembacaan wujud bentukan yang ada. Metode ini menjelajahi beberapa
konsep-konsep falsafah arsitektur yang terdapat pada wujud rancangan itu
sendiri. Salah satu metode yang berkembang digunakan antara lain metode
hermeneutika, yang membaca tanda lambang lewat pendekatan sastra. Sastra
dianggap memiliki padanan kata yang bersifat konotatif. Sehingga antara teks
dan kenyataan dibatasi oleh ruang, waktu dan keadaan. Sastra dan arsitektur
(terutama arsitektur tradisional) memiliki kesamaan yakni sebagai karya
bermakna. Dalam dunia rancangan, permasalahan dalam membaca rancangan
adalah kualitas alat bacanya yang dalam hal ini metodologi untuk membaca
tanda makna rancangan tersebut. Arsitektur yang berkembang melalui teori
Fenomenologi dipicu salah satunya oleh teks-sastra Martin Heidegger
(Nesbitt, 1995), yang berarti arsitektur sendiri adalah hasil dari pemaknaan
ulang dari membaca realitas sebuah tanda teks. Antara teks sastra dan
arsitektur sendiri sebenarnya memiliki kesamaan yakni sebagai sebuah
rancangan bermakna. Sastra sebagai kreasi dalam dunia teks sedang arsitektur
merupakan kreasi dalam dunia material /kebendaan. Karena yang menjadi
14
obyek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung,
maka untuk dapat beralih dalam pemaknaan baru (rancangan Arsitektur)
sebenarnya adalah tingkat keabsahan dan kevalidan dalam interpretasi.
Validitas interpretasi diperoleh dengan beberapa pendekatan seperti
pendekatan lintas pengetahuan dan keilmuan atau dengan pembacaan yang
didasarkan atas pemahaman karya-karya terdahulu. Hal ini dicapai dengan
membaca antar beberapa teks secara berdampingan pada saat yang sama atau
membaca teks yang dilatarbelakangi oleh pemahaman teks-teks sebelumnya.
Dalam metode hermeneutika, obyek dipandang sebagai teks yang harus
dibaca. Pembacaan akan dilakukan dengan landasan bahwa penguraian obyek
menjadi bagian-bagian untuk dibaca harus dikembalikan pada kesatuan obyek
yang tak terpisahkan untuk kemudian diinterpretasikan kembali.
3. rekontekstualisasi dan rekomposisi. Merupakan tahapan penyusunan ulang
yang didasarkan atas pemahaman ulang hasil pembacaan melalui makna tanda
lambang. Penyusunan ini tidak terpaku pada batasan bentuk luar karena esensi
terpenting dari pembentuk rancangan lama tersebut telah didapatkan melalui
serangkaian pembacaan obyek. Familiarisasi/Kedekatan antara pengamat dan
obyek pada kondisi masa lampau di dapat melalui susunan elemen-elemen
romantik yang disusun ulang secara fragmentasi. Fragmentasi dengan tetap
memperhatikan unsur kedekatan antara pengamat dan obyek..
Secara skematik penjabaran metodologi tersebut dapat didiagramkan pada halaman
berikut.
15
15
16
Gambar 2.1: sketsa mandapa di India yang berfungsi sebagai koridor pavilliun menuju kuil Hindu
Sumber: Hinduism and the Religious Arts. www. En.wikipedia.com
17
Arsitektur Jawa berangkat dari arsitektur rumah tinggal yang dalam kaidah bahasa
Jawa disebut sebagai omah. pendopo merupakan bagian dari omah yang keberadaannya
ada di bagian paling depan, atau berada pada bagian yang menjadi perantara yang
menjembatani menuju ruang yang lebih privat. Pengertian etimologi pendopo
menunjukkan pengertian bahwa sifat pendopo merupakan satu rangkaian dari hirarki
rumah Jawa dan berurutan dari tingkat publik hingga privat. Beberapa pengertian
pendopo tersebut inilah yang mengarahkan kedudukan pendopo sebagai ruang
antara/transisi yang menjembatani dunia luar (outer) dengan dunia dalam (inner) pada
falsafah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa melihat sistem kehidupan secara dualisme
18
Gambar 2.2: skema peralihan ruang dari sifat abstrak imajiner menuju kongkret.
Sumber: analisa
3. pendopo sebagai ruang sosial. Sifat ruang pada arsitektur Jawa yang cair dapat
ditemukan pada pendopo yang digunakan sebagai ruang penerima tamu atau
ruang penunggu. Sementara di lain waktu untuk ruang yang sama fungsinya
dapat berupa ruang pertunjukan sosial budaya. Pola Aktifitas ini
mendekonstruksi fungsi sebelumnya. Untuk ruang yang sama namun telah
memiliki setting yang berbeda. (Fleksibilitas ruang dalam budaya Jawa)
4. pendopo sebagai ekspresi otoritas kekuasaan, karakter ini dimunculkan pada
lingkungan kraton sebagai wujud kekuasaan dari raja saat menerima tamu
(Ronald, 2000) Lokasi penerimaan tamu berada di pendopo dimana raja duduk
menghadap keluar sementara para tamu duduk bersila menghadap ke lingkungan
dalam. Fungsi ini terjadi pada lingkungan pendopo yang memang satu bagian
integral dari lingkungan keraton secara keseluruhan.
Dari fenomena tersebut di atas nampak bahwa posisi pendopo merupakan ruang
situasional. Menjembatani satu proses ritual pada proses lainnya, berubah fungsi dan
kedudukan pada ruang yang sama, serta merupakan wilayah antara (Pangarsa, 2001).
21
23
bagian service Bagian pribadi
Bagian umum
pawon gadri
Potongann membujur
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
Sumber: Ronald . 1998
24
24
Bagian servis Bagian dalam Bagian umum
dapur
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
Sumber: Ronald . 1998
25
25
Bagian pribadi dan servis
Bagian umum
Lumbung gandok
Gedong gongso
Halaman mujka
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
Sumber: Ronald . 1998
26
26
Bagian servis
Bagian pribadi Bagian umum
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
Sumber: Ronald . 1998
27
27
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
Sumber: Ronald . 1998
28
Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa
28
Sumber: Ronald . 1998
29
Perbedaan antara pendopo di wilayah yogyakarta dengan arsitektur pendoopo di Blitar Jawa
Timur adalah kompleksitas massa yang mengelilinginya..
Site Rumah kyai di desa Gogourung Blitar
29
tidak semua lapisan masyarakat memiliki pendopo sebagai ruang sosial. Selain strata tertentu
saja yang memiliki ruang sosial pada masyarakat umum hanya digantikan pada latar.
Gambar 2.6 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa di daerah Blitar, Jawa Timur
Sumber: Mudjijono .1992
30
lebih informal daripada bentuk joglo yang berkesan formal. Dari pola alih rupaan ini dapat
disimpul-ulangkan bahwa bentukan pendopo tidak harus berupa Joglo sebagai medium naung.
Sumber: www.alambina.net , tardiyana. Et.all
Ragam motif
Detil ornamen, Stilistika, tanda bahasa Stilistika
nanasan, visual
bubungan,
tumpangsari