Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan atau transisi

dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

sampai 21 tahun dan ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan

psikososial (Dewi, 2012). Menurut Sunartini, istilah anak dan remaja

berkebutuhan khusus ialah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik,

psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Anak dan

remaja berkebutuhan khusus ini dapat diartikan sebagai anak dan remaja yang

memiliki kekhususan baik dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan

pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan

kebutuhan akan kesejahteraan sosial serta bantuan sosial (Republika, 2009).

Tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orang tua

dan guru menurut Kauffman & Hallahan (2005) dalam FIP – UPI (2007):

1) Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hambatan

perkembangan (Child with development impaiment)

2) Kesulitan belajar (Learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah

(Specific Learning Disability)

3) Hyperactive (Attention Deficit Disorder With Hyperactive)

4) Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)

5) Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang

mengalami hambatan dalam penglihatan

6) Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)


8
9

7) Anak autistik (Autistic children)

8) Tunadaksa (Physical disability)

9) Tunaganda (Multiple Handicapped)

10) Anak berbakat (Giftendess and special talents)

Menurut Erickson dalam BKKBN (2012), masa remaja adalah masa

terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini

dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas

diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure

dan identity achieved (BKKBN, 2012). Pada masa remaja labilnya emosi erat

kaitannya dengan perubahan hormon dalam tubuh. Ketidakstabilan emosi

menyebabkan remaja mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari

tahu yang sifatnya eksperimen dan eksploratif.

Pada beberapa remaja, proses penyesuaian ini bisa berlangsung tanpa

masalah berarti karena mereka berhasil mengenali identitas diri dan mendapat

dukungan sosial yang cukup. Namun sebagian remaja yang lain dapat

mengalami persoalan penyesuaian diri. Kesulitan penyesuaian diri remaja

biasanya diawali dengan munculnya perilaku-perilaku yang berisiko

menimbulkan persoalan psikososial remaja baik pada level personal maupun

sosial. Menurut Smet dalam Lestari & Sugiharti (2011), perilaku remaja yang

berdampak pada masalah kesehatan yaitu merokok, minum minuman

beralkohol, penyalahgunaan narkoba dan melakukan hubungan seksual pranikah

(free sex).

Berdasarkan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia

(SKRRI) tahun 2007 pada remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-19 tahun

yang belum menikah diketahui bahwa perokok aktif pada perempuan yaitu
10

sebesar 0,7% sedangkan laki-laki sebesar 47%, peminum minuman beralkohol

aktif pada perempuan yaitu sebesar 3,7% sedangkan laki-laki 15,5%, pengguna

zat adiktif pada laki-laki dengan cara dihisap sebesar 2,3%; dihirup sebesar

0,3%; ditelan sebesar 1,3% serta pengalaman seksual pada perempuan sebesar

1,3% sedangkan pada laki-laki sebesar 3,7%. Laki-laki yang memiliki

pengalaman seks untuk pertama kali pada usia: <15 tahun: 1,0%; usia 16 tahun :

0,8%; usia 17 tahun: 1,2%; usia 18 tahun: 0,5%; usia 19 tahun: 0,1%

(Kementerian Kesehatan RI, 2007 dalam Margaretha, 2012).

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012

pada laporan pendahuluan kesehatan reproduksi remaja tercatat presentase

perokok pada wanita umur 15-19 tahun sebesar 8,9%; umur 20-24 tahun sebesar

14% sedangkan perokok pada pria umur 15-19 tahun sebesar 74,4%; umur 20-24

tahun sebesar 89,2%; wanita umur 15-19 tahun yang minum minuman

beralkohol sebesar 3,5%; umur 20-24 tahun sebesar 7,1% sedangkan peminum

pada pria umur 15-19 tahun sebesar 30,2%; umur 20-24 tahun sebesar 52,9%;

wanita umur 15-19 tahun yang menggunakan obat terlarang sebesar 0,1%; umur

20-24 tahun sebesar 0,5% sedangkan pria umur 15-19 tahun yang menggunakan

obat terlarang sebesar 2,8%; umur 20-24 tahun sebesar 6,7%; wanita umur 15-19

tahun yang pernah melakukan hubungan seksual yaitu sebesar 0,7%; umur 20-24

tahun sebesar 1,8% sedangkan pria umur 15-19 tahun yang pernah melakukan

hubungan seksual yaitu sebesar 4,5% dan umur 20-24 sebesar 14,6%

(Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Perilaku berisiko remaja yang disebabkan oleh gangguan penyesuaian

diri muncul karena dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri remaja (internal)

maupun faktor dari luar diri (eksternal). Faktor internal tersebut yaitu problem
11

psikologis dan sosial yang sedang dihadapi dan kontrol diri yang lemah.

Beberapa faktor eksternal diantaranya adalah persoalan keluarga baik itu

pendidikan nilai yang salah dalam keluarga, problem komunikasi antar anggota

keluarga dan perselisihan keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja,

pengaruh negatif teman sebaya, pengaruh negatif komunitas seperti kemiskinan,

kurangnya akses pendidikan, komunitas yang acuh dan permisif pada

pelanggaran dapat membuat remaja lebih rentan terjerumus dalam perilaku

berisiko dan menghambat perkembangan diri remaja (Margaretha, 2012).

Arus informasi melalui media masa baik berupa majalah, surat kabar,

tabloid maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan komputer,

mempercepat terjadinya perubahan. Meskipun arus informasi ini menunjang

berbagai sektor pembangunan, namun arus informasi ini juga melemahkan

sistem sosial ekonomi yang menunjang masyarakat Indonesia. Remaja

merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus

informasi baik yang negatif maupun yang positif. Perbaikan status wanita, yang

terjadi lebih cepat sebagai akibat dari transisi demografi dan program keluarga

berencana telah mengakibatkan meningkatnya umur kawin pertama dan

bertambah besarnya proporsi remaja yang belum kawin. Hal ini adalah akibat

dari makin banyaknya remaja baik laki-laki maupun perempuan yang

meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan makin banyaknya

remaja yang berpartisipasi dalam pasar kerja.

Masyarakat Hindu di Bali memiliki sistem dan struktur sosial

kemasyarakatan yang unik dan khas. Salah satunya adalah adanya ikatan

kelompok-kelompok kepentingan khusus sering disebut organisasi sekaa. Sekaa

teruna-teruni merupakan organisasi pembinaan generasi muda khususnya anal


12

yang masih berusia sekolah maupun tidak sekolah guna mendalami dan

menerapkan arti penting kegiatan sosial dalam masyarakat yang dihubungkan

dengan adat istiadat Hindu di Bali. Anggota sekaa teruna-teruni ini adalah

remaja-remaja dari setiap Banjar yang ada di suatu wilayah desa yang berkisar

antara umur 12 tahun sampai usia belum menikah (Sutama, 2015).

2.2 Kesehatan Reproduksi pada Remaja

Definisi kesehatan reproduksi menurut WHO dalam Rohan & Siyoto

(2013) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social yang utuh bukan

hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan

dengan system reproduksi, fungsi dan prosesnya.

Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ reproduksi juga

mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami kematangan.

Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan

perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Masalah

kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat

berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan

kesejahteraan social dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut

tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap

keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya. Permasalahan prioritas

kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Kehamilan tak dikehendaki

Salah satu risiko dari seks pranikah atau seks bebas adalah terjadinya

kehamilan yang tidak diharapkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Muhamad Azinar di Universitas Negeri Semarang dengan

metode explanatory research dengan pendekatan cross sectional menunjukkan


13

hasil bahwa 12,1% mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah berisiko

terhadap kehamilan tidak diinginkan (KTD). Analisis bivariat dengan

menggunakan uji chi square menunjukkan ada lima variabel yang secara

signifikan berhubungan dengan perilaku seksual pranikah mahasiswa yaitu

religiusitas, sikap, akses dan kontak dengan media pornografi, sikap teman

dekat, serta perilaku seksual teman dekat. Simpulan penelitian adalah perilaku

seksual teman dekat, sikap responden terhadap seksualitas, dan religiusitas

dominan mempengaruhi perilaku seksual pranikah berisiko KTD pada

mahasiswa (Azinar, 2013). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama

jenis dengan bentuk dan tingkah laku yang beragam mulai dari perasaan

tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu hingga bersenggama

(Sarwono, 2013).

Ada dua hal yang dilakukan jika mengalami kehamilan yang tidak

diinginkan yaitu kehamilan dipertahankan dengan risiko hamil pada usia dini

yang bisa menyebabkan kesulitan dalam persalinan seperti perdarahan bahkan

kematian, adanya kemungkinan menjadi ibu tunggal karena pasangan tidak

mau menikahinya, putus sekolah, perlu biaya yang besar untuk merawat anak

dengan kondisi ibu yang masih muda dan belum berpenghasilan dan yang ke

dua yaitu kehamilan diakhiri (aborsi) dengan risiko perdarahan dan komplikasi

yang berujung kematian, perasaan-perasaan bersalah, ketergantungan pada

pasangan karena perempuan merasa sudah tidak perawan, serta biaya aborsi

yang cukup tinggi (Romauli & Vindari, 2012).


14

2) Perkawinan usia muda

Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan pada usia

remaja yaitu di bawah 16 tahun pada wanita dan dibawah 19 tahun pada pria.

Perkawinan usia muda ini menimbulkan masalah-masalah seperti alat

reproduksi masih belum siap untuk menerima kehamilan sehingga dapat

menimbulkan berbagai bentuk komplikasi, kematian maternal, pasangan muda

keadaan psikologinya masih belum matang sehingga sering terjadi perceraian.

Menurut Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang ada di Indonesia,

usia perkawinan pertama minimal 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria

(BKKBN, 2011).

Berdasarkan data Riskesdas 2010, secara umum usia rata-rata

perkawinan pertama di Indonesia adalah pada umur 20 tahun, namun

presentase menurut kelompok umur perkawinan pertama menunjukkan bahwa

46,7% terdapat perkawinan pada usia muda 10-19 tahun. Perkawinan usia

sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi pada perempuan di daerah pedesaan

(6,2%), pendidikan rendah (tidak sekolah 9,5%, tidak tamat SD 9,1%, tamat

SD 7,1% dan tamat SLTP 1,7%), status ekonomi termiskin (tingkat

pengeluaran rumah tangga per kapita berada sebagian besar pada kuintil 1 yaitu

sebesar 6,0%) dan kelompok petani/nelayan/buruh yaitu sebesar 6,3%.

Menurut SDKI tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar dari wanita dan

pria mengatakan bahwa umur ideal kawin pertama bagi seorang pria adalah 25

tahun atau lebih (81% wanita dan 76% pria). Proporsi dari wanita dan pria

yang sama-sama menyetujui umur ideal ini lebih tinggi berada diantara

responden yang lebih tua, responden yang tinggal di daerah perkotaan, dan

mereka yang berpendidikan tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b).


15

Penelitian yang dilakukan oleh Landung dengan metode studi kasus

kualitatif dengan rancangan histografi yang dilakukan di Kecamatan

Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja menunjukkan hasil bahwa rendahnya

pengetahuan kaum perempuan khususnya remaja tentang kesehatan reproduksi,

dukungan keluarga sehubungan dengan peran sosial budaya dan kebijakan

pemerintah dalam perpanjangan usia perkawinan merupakan faktor perilaku

yang berhubungan dengan perilaku pernikahan usia dini (Landung, 2009).

Upaya penanggulangan pernikahan muda yang dapat dilakukan yaitu

menetapkan usia pekawinan, meningkatkan pendidikan pada wanita, tidak

memaksakan kehendak kepada anak, dan memberi penyuluhan tentang resiko

perkawinan usia muda.

3) Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan

kematian ibu dan bayi.

Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17

tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.

Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka

kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14

tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin

dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua

kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi tubuh anak belum siap

untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi

komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Data dari UNPFA

tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai

dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan

pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam
16

vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric

fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia

dini (Fadlyana & Larasaty, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Ginting & Wantania di dua rumah sakit

dan tiga Puskesmas di Kota Manado dengan rancangan cross sectional

menunjukkan hasil yaitu dari 47 remaja hamil yang menjadi sampel terdapat

responden terbanyak pada usia 19 tahun (57,44%), dengan usia termuda 16

tahun, tingkat pendidikan terbanyak SLTA (57,44%). Sebagian besar

responden menikah yaitu 40 responden (85,10%). Sebagian besar merupakan

kehamilan pertama (89,36%) sedangkan yang hamil kedua ada 10,64%. Dari

segi pernikahan, sebagian besar menikah pada usia 18 tahun. Yang pernah

memperoleh informasi tentang kehamilan remaja sebanyak 91,48%, dan

terbanyak melalui jalur media informal yaitu media masa (65,96%). Sebagian

besar responden yaitu sebanyak 59,57% mempunyai tingkat pengetahuan yang

kurang. Sikap tentang kehamilan remaja sebagian besar mempunyai nilai

kurang dan cukup yaitu sebanyak 42,55% dan 40,42% dan hanya 17,02% nilai

baik. Nilai perilaku responden tentang kehamilan remaja pada penelitian ini

juga masih kurang yaitu sebanyak 53,19% (Ginting & Wantania, 2011).

Menurut penelitian lainnya dilakukan terhadap ibu hamil yang berumur

dibawah 20 tahun dengan metode deskriptif menunjukkan bahwa sebagian

besar resonden yaitu sebanyak 14 orang (58,3%) memiliki pengetahuan kurang

tentang kesehatan reproduksi dan 12 orang (50%) memiliki pengetahuan yang

kurang tentang kehamilan resiko tinggi. Sebagian besar responden

berpendidikan SLTP sebanyak 12 orang (50%) dan sebagian besar

berpenghasilan Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 (Fiatin et al. 2011).


17

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi & Lubis menunjukkan

hasil responden yang mempunyai tingkat sikap positif sebesar 77,8% (n = 221),

tingkat ragu-ragu 21,5% (n = 61), dan tingkat sikap negatif sebesar 0,7% (n=2).

Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengetahuan dan sikap dari

remaja tentang kehamilan dini. Jika hampir seluruh responden (98.6%),

memiliki tingkat pengetahuan baik sebaliknya, responden yang mempunyai

tingkat sikap positif berkurang menjadi 77,8%. Penelitian ini menggunakan

rancangan deskriptif cross sectional yang dilakukan di salah satu SMP swasta

yang berada di kota Denpasar (Dewi & Lubis, 2012). Pencegahan kehamilan

yang tidak diinginkan dan kehamilan usia muda ini dapat dilakukan melalui

penggunaan alat kontrasepsi.

4) Masalah PMS, termasuk infeksi HIV/AIDS

Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui

hubungan seksual. Beberapa jenis PMS yang umum terdapat di Indonesia yaitu

Gonore, Sifilis, Herpes genital, Trikomonas, Kamidia, dan HIV/AIDS (Rohan

& Siyoto, 2013).

Dari hasil penelitian oleh Wirakusuma et. al didapatkan total jumlah

pasien poliklinik kulit RSUP Sanglah tahun 2009-2011 adalah 20.994 orang,

dimana 640 orang (3,05%) merupakan pasien IMS. Dari kasus IMS yg ada,

herpes genitalis menjadi diagnosis terbanyak dengan jumlah 222 orang

(34,7%), dilanjutkan oleh condyloma di peringkat kedua dengan jumlah 141

orang (22,1%), di peringkat ketiga ada gonore dengan jumlah 131 orang

(20,5%), lalu candidiasis dengan jumlah 53 orang (8,3%), sifilis dengan jumlah

47 orang (7,4%), dan di peringkat terakhir ada bacterial vaginosis dengan


18

jumlah 26 orang (4,1%). Sepanjang 2009 hingga 2011 kasus IMS lebih

dominan pasien laki-laki (Wirakusuma et al., 2014).

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai September

2014 mencapai 215.891 kasus, dengan jumlah kumulatif kasus HIV sebesar

150.296 kasus dan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 kasus,

termasuk yang telah meninggal sebanyak 9.796 orang. Dari kasus AIDS

tersebut, 30.001 kasus adalah pria, 16.149 kasus adalah wanita dan 9.649 tidak

diketahui jenis kelaminnya/unknown. Dari segi usia penderita AIDS tertinggi

pada usia 20-29 tahun sebanyak 18.352 kasus; 30-39 tahun sebanyak 15.890

kasus dan tidak diketahui/unknown sebesar 9.794 kasus (Yayasan Spiritia,

2014).

Hingga September 2014, urutan jumlah kasus AIDS terbanyak sebagai

berikut: Papua (10.184), Jawa Timur (8.976), DKI Jakarta (7.477), Bali (4.261)

dan Jawa Barat (4.191). Namun urutan angka prevalensi kasus AIDS tertinggi

secara berturut-turut adalah Papua (359,43), Papua Barat (228,03), Bali

(109,52), DKI Jakarta (77,82) dan Kalimantan Barat (38,65) per 100.000

penduduk. Penularan terutama melalui hubungan seksual (64,5%), yaitu 62%

bersifat heteroseksual dan 2,5% homoseksual, sedangkan 15,3% melalui

penggunaan alat suntik (IDU) serta 2,7% melalui transmisi perinatal (Yayasan

Spiritia, 2014). Pencegahan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS ini

dapat dilakukan dengan menunda aktivitas seksual sampai pada usia yang

matang secara seksual, setia pada pasangan yang sudah menikah, hindari

hubungan seksual yang tidak aman, menggunakan kondom untuk mencegah

penularan PMS termasuk HIV/AIDS dan menjaga personal hygiene pada alat

kelamin.
19

Penelitian yang pernah dilakukan pada siswi di SMA Nasional Makasar

tahun 2013 dengan metode observasinal menunjukkan hasil bahwa 51

responden yang berpengetahuan cukup memiliki tindakan kebersihan alat

reprodusi eksternal yang baik yaitu sebesar 66,6% dan ini lebih banyak

dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang yaitu

sebesar 39,3%, sedangkan responden yang berpengetahuan cukup yang

memiliki tindakan kebersihan alat reproduksi buruk yaitu sebesar 33,3% lebih

sedikit dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang

yaitu sebesar 60,7%. Kesimpulannya bahwa persentase respond yang paling

banyak memiliki tindakan kebersihan alat reproduksi eksterna yang baik

berada pada kategori pengetahuan cukup. Dari uji statistik diperoleh p = 0,0035

(p<0,05). Hal ini menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan PMS

terhadap tindakan kebersihan alat reproduksi eksternal remaja putri di SMA

Nasional Makassar tahun 2013 (Muin et al., 2013). Namun penelitian yang

dilakukan Primawati (2009) terkait upaya pencegahan dan pemahaman dampak

negative perilaku seksual remaja Sekolah Menengah Umum (SMU) dimana

pengetahuan responden sebesar 97% berada pada kategori baik (Primawati,

2009).

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS pada masyarakat di Indonesia masih

relative rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007

dimana hanya 11% masyarakat Indonesia yang tahu dan paham tentang

HIV/AIDS. Masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman yang benar akan

HIV/AIDS menyebabkan belum maksimalnya pencegahan HIV/AIDS serta

dapat memunculkan stigma/ diskriminasi bagi Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) ( Subuh, 2013 dalam BKKBN & UNFPA Indonesia, 2014).


20

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Remaja

Secara umum faktor yang mempengaruhi kesehatan reeproduksi adalah

status kesehatan, tingkat pendidikan, praktek budaya, sarana dan prasarana

kesehatan, dan pelayanan kesehatan (Romauli & Vindari, 2012).

Menurut Rohan dan Siyoto (2013), secara garis besar dapat

dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi

kesehatan reproduksi yaitu:

1) Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat

pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual

dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil)

2) Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak

buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki,

informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja

karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb)

3) Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi

karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria

yang membeli kebebasannya secara materi, dsb)

4) Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca

penyakit menular seksual, dsb)

Berdasarkan uraian diatas baik dari segi faktor sosial-ekonomi dan

demografi serta faktor budaya dan lingkungan, didalamnya terdapat tingkat

pendidikan dan informasi atau pengetahuan tentang kesehatan reproduksi

yang memiliki peran terhadap kesehatan reproduksi.

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tingkat pengetahuan

remaja pada sekaa teruna-teruni tentang kesehatan reproduksi di desa


21

Bengkala. Pengetahuan yang perlu diketahui terkait kesehatan reproduksi

remaja yaitu pengetahuan tentang tanda-tanda pubertas, kebersihan alat

kelamin, perilaku yang berisiko terhadap kesehatan reproduksi, usia yang

tepat untuk menikah, PMS termasuk HIV/AIDS, cara penularan PMS

termasuk HIV/AIDS dan pencegahan PMS termasuk HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai