Anda di halaman 1dari 28

Makalah Sistem Penghantaran Obat

“Transdermal Patch “

Dibuat Oleh : Kelompok 1

Khairinisa Lestari (1306376566)


Monica Arnady (1306397173)
Nadhila Adani Koppa (1306480736)
Nirwana (1306376906)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

2016
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Transdermal Patch”. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Penghantaran Obat. Dengan
selesainya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Silvia Surini, M.Pharm.Sc, Apt. yang telah memberikan bimbingan
dan tugas ini kepada kami.

2. Pihak – pihak lain yang telah membantu dan mendukung kami


sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih.

Depok, Maret 2016


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
1.5 Sistematika Penulisan 2
2. TRANSDERMAL PATCH DRUG DELIVERY SYSTEM 4
2.1. Latar Belakang Pengetahuan Transdermal Patch 4
2.2. Komponen Transdermal Patch 9
2.3. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Transdermal Patch 11
2.4. Kategori Sistem Transdermal Patch 12
2.5. Data Penetrasi/Absorpsi In Vivo dan In Vitro 19
3. KESIMPULAN DAN SARAN 23
3.1. Kesimpulan 23
3.2. Saran 23
DAFTAR ACUAN 24

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Administrasi obat secara oral biasanya dihubungkan dengan
bioavailabilitas obat yang rendah dan perbedaan metabolism antar individu.
Sementara, administrasi secara injeksi intravena sangat tidak disukai oleh
pasien karena pemberian nya secara invasive dan menyakitkan. Keduanya
sama-sama memiliki efek rendahnya kepatuhan pasien dalam menjalankan
terapi. Pengembangan penelitian saat ini sedang cukup banyak mengarah
kepada administrasi obat melalui kulit yang merupakan orang terluas yang
dimiliki tubuh yakni seluas 1,7 m2 dan merupakan 10% massa total tubuh.
Walaupun kulit pada dasarnya memiliki fungsi penting sebagai barrier utama
tubuh untuk melindungi dari pengaruh lingkungan luar berupa partikel asing,
namun sediaan transdermal dapat memungkinkan suatu molekul obat
berpermeasi pada lapisan kulit sehingga dapat menuju ke sistemik. Pada
sistem penghantaran obat transdermal, sediaan melekat pada kulit dan
menghantarkan obat untuk melintasi kulit pada kecepatan yang terkontrol
menuju ke pembuluh darah.
Bentuk sediaan transdermal yang popular di masyarakat adalah berupa
patch dan telah banyak dikembangkan untuk mengatasi berbagai masalah
kesehatan. Misalnya skopolamin patch untuk mabuk saat berkendara,
nitrogliserin untuk gangguan pada jantung, estrasiol dan testosterone untuk
terapi sulih hormone, fentanyl pada manajemen nyeri, nikotin patch untuk
smoking cessation, rivastigmin untuk penyakit Alzheimer, dan
methylphenidate untuk mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD). Maka dari itu sediaan transdermal dapat menjadi rute administrasi
yang baik dibandingkan administrasi oral meningat adanya metabolisme lintas
pertama, menghindari enzim pencernaan yang dapat mendegradasi obat pada
administrasi oral, dan sediaan transdermal memiliki kemampuan untuk
melepaskan obat secara terkontrol dalam jangka waktu yang panjang.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah :
 Apa yang dimaksud dengan sediaan Transdermal Patch?
 Apa kelebihan dan kekurangan dari sediaan Transdermal Patch?
 Bagaimana mekanisme terjerapnya obat atau posisi obat dalam sistem
Transdermal Patch?
 Bagaimana mekanisme pelepasan obat dari sediaan Transdermal
Patch?
 Bagaimana mekanisme penghantaran obat dari sediaan Transdermal
Patch hingga dapat memberikan efek terapi?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
 Untuk mengetahui mengenai pengertian dan tujuan dari sediaan
Transdermal Patch
 Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari sediaan Transdermal
Patch
 Untuk mengetahui mekanisme terjerapnya obat atau posisi obat dalam
sistem Transdermal Patch
 Untuk mengetahui mekanisme pelepasan obat dari sediaan
Transdermal Patch
 Untuk mengetahui mekanisme penghantaran obat dari sediaan
Transdermal Patch hingga dapat memberikan efek terapi
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka
untuk mencari data dan fakta-fakta dari berbagai sumber. Adapun sumber yang
digunakan penulis dalam penulisan makalah ini yaitu jurnal, buku, dan berbagai
sumber dari internet.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


BAB 1 : PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II : TRANSDERMAL DRUG DELIVERY SYSTEM
2.1 Latar Belakang Pengatahuan Transdermal Patch
2.2 Komponen Transdermal Patch
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Transdermal Patch
2.4 Kategori Sistem Transdermal Patch
2. 5 Data Penetrasi/Absorpsi In Vivo dan In Vitro
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB II

ISI

2.1 Latar Belakang Pengatahuan Transdermal Patch


Definisi Sistem Penghantaran Transdermal
Sistem penghantaran obat transdermal merupakan suatu sistem yang
menyediakan penghantaran obat terkontrol melalui kulit ke sirkulasi sistemik.
Sistem penghantaran transdermal erat kaitannya dengan kulit.
Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh, bobotnya sekitar 15%
dari bobot tubuh. Kulit mempunyai banyak fungsi vital, seperti memberikan
perlindungan terhadap bentuk fisik, kimia, dan zat biologi yang berbahaya,
mencegah hilangnya cairan tubuh dalam jumlah yang besar dan berperan
penting dalam meregulasi panas tubuh.

Kulit memiliki tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis


(jaringan subkutan). Lapisan paling luar, epidermis, terdiri atas kumpulan sel
yang disebut keratinosit, yang berfungsi untuk mensintesis keratin, protein
yang berbentuk seperti benang panjang dengan fungsi sebagai pelindung.
Epidermis terbagi ke dalam 4 lapisan berdasarkan morfologi keratinosit dan
posisinya, yaitu stratum germinativum, stratum spinosum, stratum
granulosum, dan stratum korneum.Ketebalan lapisan ini bervariasi
bergantung pada letaknya pada anatomi tubuh. Kelopak mata misalnya,
memiliki lapisan epidermis yang paling tipis, lapisannya kurang dari 0,1 mm.
sedangkan telapak tangan dan telapak kaki memiliki lapisan epidermis yang
paling tebal, memiliki ketebalan sekitar 1,5 mm.
Lapisan tengah, dermis, tersusun atas protein yang disebut kolagen.
Dermis terletak pada jaringan subkutan atau panniculus, yang mengandung
sedikit sel lemak yang disebut liposit. Dermis adalah lapisan tengah kulit (di
bawah epidermis) yang mengandung serat kolagen, serat elastis, asam
hialuronik, pembuluh darah dan pembuluh limfatik, folikel rambut, saraf,
kelenjar, dan banyak lainnya.Adanya pembuluh darah di dermis ini
memungkinkan obat yang dapat sampai ke lapisan ini untuk masuk ke
sirkulasi sistemik dan menuju target.dermis yang paling tebal terletak di kulit
punggung, yang mana ketebalannya mencapai 30-40 kali atau setebal
epidermis (James, Berger, & Elston, 2006).
Hipodermis atau jaringan lemak subkutan mendukung dermis dan
epidermis. Pada hipodermis ini terdapat tempat penyimpanan lemak. Lapisan
ini membantu untuk mengatur suhu, menyediakan nutrisi dan memberikan
proteksi secara mekanik. Pada lapisan ini juga terdapat pembuluh darah dan

3
saraf. Untuk sistem penghantaran transdermal, obat harus berpenetrasi
melewati ketiga lapisan utama kulit ini dan mencapai ke sirkulasi sistemik
sedangkan untuk sistem penghantaran topikal obat berpenetrasi hanya
diharuskan melewati stratum korneum.

Gambar 2.1. Struktur Kulit


(Latheeshjlal.L, et al, 2011)

Faktor yang Mempengaruhi Bioavailibilitas Sistem Penghantaran Obat


Transdermal
Berikut ini adalah faktor yang mempengaruhi bioavailibilitas system
penghantaran obat transdermal menurut buku Drug Delivery and Targeting

a. Faktor Fisiologis
 Stratum corneum (SC)
SC merupakan barrier utama yang menghalangi absorpsi obat melalui
kulit (terutama untuk obat-obat yang kurang lipofil). Cara mengatasinya
adalah dengan mengubah komposisi atau organisasi lipid intraseluler yang
ada di lapisan SC ini. Namun, untuk zat-zat yang sangat lipofikik (nilai
koefisien partisi oktanol-air lebih dari 104), maka transportnya diyakini
tidak dihambat oleh difusi melalui SC tetapi oleh kinetika saat molekul
melewati lapisan SC dan masuk ke lapisan di bawahnya, dimana terdiri
dari sel epidermis hidup (dan mengandung lebih banyak air). Molekul-
molekul seperti ini akan mengalami 2 masalah yang terkai dengan
bioavailabilitas transdermal. Pertama, lag time akan semakin panjang
karena adanya kesulitan untuk menembus lapisan di bawah SC. Kedua,
zat-zat yang sangat lipofilik ini akan terikat kuat di membran dan

4
membentuk reservoir di membran sehingga masih terjadi pelepasan obat
walaupun sistem penghantarnya telah dilepas.
 Anatomi
Ada beberapa bagian tubuh yang kulitnya lebih permeabel
dibandingkan dengan bagian tubuh lain, seperti genitalia, khususnya
skrotum, axilla, wajah, kulit kepala, dan post-auricularly. Bagian-bagian
tubuh ini telah digunakan untuk mengoptimalkan pemberian transdermal.
Contohnya patch testosteron pertama kali dibuat untuk digunakan di
skrotum, sistem skopolamin diletakkan di belakang telinga. Akan tetapi,
tempat pemakaian ini juga disesuaikan dengan kenyamanan penggunaan
oleh pasien dan fisiologinya (misalnya memakai patch nitrogliserin di
sekitar dada/dekat jantung). Tetapi pada umumnya sistem transdermal
berfungsi secara ekivalen di bagian tubuh yang berbeda-beda.
 Kondisi kulit dan penyakit
Perubahan pada susunan lipid/protein pada stratum corneum dapat
terjadi pada pasien yang menderita penyakit kulit (misalnya psoriasis).
Oleh karena itu, patch transdermal digunakan hanya pada kulit yang
normal dan terbebas dari penyakit-penyakit kulit.
 Usia
Kulit yang sudah tua cenderung lebih rapuh/sensitif (contohnya lebih
sensitif terhadap pelepasan patch yang menempel dengan kuat) dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyembuhan luka. Oleh
karena itu, penggunaan kronis sistem transdermal kepada pasien geriatri
harus dimonitor dengan hati-hati. Lalu, neonatus premature (lahir kurang
dari 30 minggu kehamilan) memiliki barrier yang tidak berdiferansiasi
dengan baik sehingga rentan terhadap keracunan perkutan akibat absorpsi
zat kimia yang berlebihan.
 Metabolisme di kulit
Metabolisme presistemik di kulit dapat terjadi di bagian epidermis sel
hidup. Di kulit diketahui terdapat sistem enzim sitokrom P450. Akan
tetapi, kapasitas epidermis hidup untuk memetabolisme obat sangat
terbatas dan biodegradasi juga jarang terjadi dibandingkan dengan
metabolisme obat di hati. Sehingga pemberian secara transdermal
merupakan upaya yang tepat untuk mencegah metabolisme presistemik.
 Desquamation
Epidermis mengalami proses pergantian setiap 3 minggu sekali,
sehingga memungkinkan pergantian 1 lapisan stratum corneum per hari
(stratum corneum terdiri dari 20 lapisan). Hal ini dapat berpengaruh pada
adhesi patch, khususnya untuk patch yang didesain untuk penggunaan
lebih dari 24 jam.

 Iritasi kulit dan sensitisasi

5
Beberapa obat mungkun bersifat iritan pada kulit sehingga dapat
menyebabkan respon inflamasi.

b. Faktor Formulasi
Bioavailabilitas obat dipengaruhi oleh laju dan jumlah obat yang
terabsorpsi. Pada penghantaran transdermal, obat terabsorpsi ke kulit
melalui proses difusi berdasarkan Hukum Fick’s 1 dan 2. Berikut adalah
gambaran proses difusi dari sediaan transdermal ke dalam kulit dan kurva
obat yang berpenetrasi per satuan waktu.

Gambar 2.2. Proses difusi sediaan transdermal dan kurva penetrasi per satuan
waktu
(Hillery, et al, 2001)

Berdasarkan Hukum Fick’s 1, yakni ,


dimana Cv (konsentrasi obat di dalam pembawa/vehicle), D (difusifitas obat
di stratum corneum), Kp (koefisien partisi obat di stratum korneum-
formula). Maka cara untuk mempercepat Flux (laju difusi obat) adalah
dengan cara meningkatkan Cv atau Kp. Cara meningkatkan Cv adalah
dengan membuat formula yang tersaturasi oleh obat. Sedangkan cara untuk
meningkatkan Kp adalah dengan meningkatkan liposilisitas dari obat, karena
stratum corneum tersusun dari lipid. Tetapi, lipofilisitas ini tidak boleh
berlebihan karena obat juga harus tetap kompatibel dengan pembawanya
(untuk proses formulasi) dan dan tetap harus menembus lapisan epidermis
hidup yang banyak mengandung air.

Adapun lipofilisitas berkaitan dengan bobot molekul obat, di mana BM


suatu obat akan cenderung semakin tinggi jika ia semakin lipofil (karena
penambahan alkil). Sedangkan semakin besar BM suatu obat maka semakin
sulit ia berdifusi melalui stratum corneum. Obat-obat yang digunakan untuk
penghantaran transdermal biasanya meniliki BM < 350 Da.

6
Sumber lain menerangkan faktor yang mempenaruhi bioavailibilitas system
penghantaran obat transdermal sebagai berikut (Kesarwani,et.al 2013)

a. Faktor fisikokimia
 Skin hydration
Permeabilitas kulit akan meningkat signifikan jika berkontak dengan
air. Hidrasi merupakan faktor yang paling penting pada permeasi kulit,
sehingga penggunaan humectant pada penghantaran transdermal
dibutuhkan
 Temperatur dan pH
Permeasi obat meningkat 10 kali dengan perubahan suhu. Koefisien
difusi menurun ketika temperature juga menurun. Disosiasi asam
lemah dan basa lemah juga tergantung dari nilai pKa atau pKb.
Proporsi obat tak terionisasi menjelaskan jumlah konsentrasi obat pada
kulit. Oleh sebab itu suhu dan pH merupakan faktor penting yang
mempengaruhi permeasi obat
 Koefisien difusi
Pada suhu yang konstan, koefisien difusi obat bergantung pada
karakteristik zat aktif, medium difusi dan interaksi antara mereka
 Konsentrasi zat aktif
 Koefisien partisi
Obat dengan koefisien partisi yang tinggi tidak bisa meninggalkan
lapisan lipid, sebaliknya obat dengan koefisien partisi yan rendah tidak
dapat berpermeasi.
 Ukuran dan bentuk molecular
b. Faktor biologi
 Kondisi kulit
Asam, basa, methanol, dan kloroform dapat merusak sel kulit dan
memicu penetrasi. Adanya penyakit pada kulit mengubah kondisi kulit
itu sendiri. Kuit yang utuh memiliki barrier yang lebih bagus, namun
hal tersebut mempengaruhi permeasi zat aktif ke dalam kulit
 Usia kulit
Kulit yang masih muda memiliki permeasi yang lebih baik disbanding
yang sudah tua
 Aliran darah
Perubahan pada sirkulasi peripheral dapat mempengaruhi absorbs
transdermal
 Regional skin site
Ketebalan kulit, kondisi alamiah pada stratum corneum mempengaruhi
permeasi obat

 Metabolisme kulit

7
Kulit memetabolisme steroid, hormon, bahan kimia karsinogenik dan
beberapa obat. Sehinga kulit menjelaskan efikasi dari permeasi obat
kedalam kulit
 Variasi spesifik pada kulit
Ketebalan kulit, densitas kulit dan keratinisasi kulit dapat
mempengaruhi penetrasi.

Pembagian Sistem Penghantaran Transdermal


Metode-metode penghantaran obat secara transdermal dapat dibedakan
menjadi:
a) Pasif dan Aktif
Metode Pasif
Bentuk konvensional dari aplikasi obat pada kulit adalah
penggunaan bahan pembawa dalam bentuk salep, krim, gel dan teknologi
patch passive. Akhir-akhir ini sediaan tersebut dikembangkan sehingga
dapat meningkatkan kemampuan obat berdifusi dan/atau meningkatkan
permeabilitas kulit. Pendekatan yang dilakukan meliputi penggunaan
peningkat penetrasi, sistem supersaturated, bentuk prodrug dan metabolit,
liposome dan pembawa lainnya. Akan tetapi jumlah obat yang dapat
dihantarkan dengan metode ini masih terbatas karena karakteristik
pelindung dari kulit tidak berubah secara fundamental.
Metode Aktif
Metode ini meliputi penggunaan energi dari luar yang bekerja
sebagai driving force dan/atau menurunkan pelindung alami kulit untuk
meningkatkan permeasi molekul obat ke dalam kulit. Penggunaan metode
aktif ini telah menghasilkan kemajuan penting dalam sistem penghantaran
obat. Metode ini memungkinkan peningkatan penetrasi dari molekul
berukuran besar (>500 Da), polar dan hidrofilik, dan kebanyakan untuk
peptida dan protein. Metode pasif belum mampu untuk menghasilkan
peningkatan penetrasi untuk molekul seperti ini.
Contoh metode aktif yakni Iontophoresis, Electroporation,
Sonophoresis (ultrasound), Laser Radiation and Photomechanical Waves,
Magnetophoresis, Thermophoresis, dan Microneedle based (Kewal K.
Jain, 2008).

b) Kimia dan Fisika


Kimia :
- Liposom
- prodrug
Fisika:
- Iontophoresis
- Electroporation

8
- Sonophoresis (ultrasound)
- Laser Radiation and Photomechanical Waves
- Radio Frequency
- Magnetophoresis
- Thermophoresis
- Microneedle-based device

2.2 Komponen Transdermal Patch

Transdermal patch merupakan sediaan yang didesain untuk


menghantarkan substansi obat dari permukaan kulit menembus lapisan-
lapisan kulit ke sirkulasi sitemik (Allen, Popovich, & Ansel,
2011).Menurut Lewis (2010),patch transdermal merupakan suatu patch
medikasi yang diaplikasikan pada permukaan kulit secara noninvasif untuk
menghantarkan sejumlah dosis tertentu obat melalui lapisan-lapisan kulit
dan masuk ke sirkulasi sistemik. Sediaan transdermal menghantarkan obat
dalam jumlah tertentu melewati kulit ke aliran darah.

Gambar 2.3 Patch Transdermal

Patch transdermal umumnya terdiri dari beberapa komponen, yaitu


backing membrane atau backing layer, sistem reservoir obat atau sistem
matriks, membran pengontrol laju penghantaran obat, lapisan adhesif,
release liner, dan peningkat penetrasi (penetration enhancer).
a. Backing membrane/backing layer
Backing membrane atau backing layer merupakan lapisan yang
berfungsi untuk melindungi sistem dari lingkungan luar dan mencegah
lepasnya zat aktif dari sistem atau kelembaban dari kulit (Allen, Popovich,
& Ansel, 2011). Backing layer biasanya bersifat oklusif jika patch
berukuran relatif kecil atau jika zat aktif dikeliling oleh adhesif perifer.
Oleh karena itu, dapat digunakan film tipis polietilen, poliester, atau
poliuretan sebagai backing layer. Backing layer harus dapat menjaga
kelembaban dan hidrasi kulit sehingga meningkatkan penetrasi obat.
Untuk patch yang berukuran besar, backing layer yang digunakan harus
memiliki multi-directional stretch yang baik sehingga memberikan

9
kekuatan mekanis pada patch tersebut. Selain itu, backing layer juga harus
bersifat lentur sehingga memudahkan pasien untuk bergerak sehingga
nyaman digunakan (Williams, 2003).
b. Sistem reservoir obat atau sistem matriks
Sistem reservoir obat atau sistem matriks berfungsi untuk
menyimpan dan melepaskan obat pada kulit (Allen, Popovich, & Ansel,
2011). Matriks polimer dapat disiapkan dengan mendispersikan zat aktif
pada cairan atau polimer sintetik solid. Polimer yang digunakan pada
sistem penghantaran transdermal harus stabil dan kompatibel dengan
komponen lain pada sistem dan harus mampu memberikan pelepasan
efektif obat dari sediaan. Polimer yang dapat digunakan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Polimer alam, contohnya derivat selulosa, zein, gelatin, shellac, wax,
gum, chitosan.
2. Elastomer sintetik, contohnya polibutadien, poliisobutilen, karet
silikon, akrilonitril, neopren.
3. Polimer sintetik, contohnya polivinil alkohol, polivinil klorida,
polietilen, polipropilen, poliakrilat, poliamida, poliurea,
polivinilpirolidon, polimetilmetaakrilat
c. Membran pengontrol laju pelepasan obat
Lapisan ini digunakan untuk mengatur laju pelepasan zat aktif dari
patch ke permukaan kulit. Umumnya terbuat dari polimer alam seperti
derivat selulosa dan chitosan ataupun campuran kopolimer etilen asetat
dan vinil asetat (Williams, 2003).
d. Lapisan adhesif
Lapisan adhesif berfungsi untuk menjaga patch tetap melekat
dengan kulit (Allen, Popovich, & Ansel, 2011). Lapisan adhesif harus
sensitif terhadap tekanan, sehingga sewaktu ingin diaplikasikan pada kulit
hanya diperlukan sedikit tekanan dan tetap melekat pada periode yang
ditentukan. Oleh karena itu, digunakan pressure-sensitive adhesive (PSA).
Pertimbangan pemilihan bahan adhesif, antara lain harus dapat menempel
dalam waktu yang cukup lama, sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak
menimbulkan alergi, sebaiknya kompatibel dengan obat dan eksipien
lainnya, sebaiknya memungkinkan patch dilepaskan dengan rasa nyeri
yang sesedikit mungkin (painless), serta tidak ada bahan adhesif yang
tersisa pada kulit ketika patch dilepaskan (Williams, 2003). Tiga golongan
PSA yang sering digunakan adalah golongan poliakrilat, poliisobutilen
(PIB), dan polidimetilsiloksan atau silikon (Li & Jasti, 2006).
e. Release liners
Release liner merupakan lapisan penutup yang harus dibuka
sebelum patch diaplikasikan pada kulit (Allen, Popovich, & Ansel, 2011).
Selain itu, juga berguna untuk mencegah hilangnya zat aktif selama
penyimpanan dan untuk mencegah adanya kontaminasi. Umumnya terbuat

10
dari silikon dan poliester. Idealnya, lapisan ini harus dapat mudah
dilepaskan dari lapisan adhesif tanpa menghilangkan bahan adhesif itu
sendiri, namun juga harus berikatan cukup kuat untuk mencegah
terlepasnya lapisan liner secara tidak sengaja. Pertimbangan lain dalam
pemilihan release liner adalah kompatibilitasnya dengan formulasi, dapat
meminimalisasi hilangnya komponen yang mudah menguap seperti etanol,
dan harus memiliki stabilitas kimia yang baik (Williams, 2003).
f. Peningkat Penetrasi (Penetration Enhancer)
Peningkat penetrasi secara kimia akan meningkatkan permeabilitas
kulit dengan cara merusak atau mengubah keadaan fisikokimia alami dari
stratum korneum secara reversible untuk mengurangi resistensi difusi.
Perubahan yang dilakukan misalnya dengan cara meningkatkan hidrasi
stratum korneum, mengubah struktur lemak dan lipoprotein dalam rongga
intraseluler melalui aksi pelarut atau denaturasi, ataupun keduanya.
Beberapa contoh peningkat penetrasi secara kimia adalah aseton, dimetil
asetamida, dimetil formamida, dimetil sulfoksida, etanol, asam oleat,
polietilen glikol, propilen glikol, minyak cardamom, minyak lemon, d-
limonen, dan natrium lauril sulfat. Pemilihan peningkat permeasi harus
berdasarkan efisiensinya dalam meningkatkan permeasi kulit, tetapi harus
tetap mempertimbangkan toksisitas pada kulit, dan harus kompatibel
dengan komponen lain (Allen, Popovich, & Ansel, 2011).

2.3 Kelebihan dan kekurangan sistem transdermal patch (Hillery, et al,


2001)
Kelebihan dari sistem transdermal patch :

 Mencegah metabolisme presistemik (misal, degradasi obat di saluran


gastrointestinal atau hati)
 Dapat digunakan sebagai pengganti rute pemberian oral dalam pengobatan
jika pasien memiliki kondisi khusus seperti muntah atau diare serta dapat
digunakan untuk keadaan darurat seperti pasien yang tidak sadarkan diri
 Kadar obat di sirkulasi sistemik dapat dipertahankan dengan konstan tetap
berada di dalam jendela terapi
 Durasi aksi obat untuk satu kali administrasi obat menjadi lama dan dapat
mengurangi frekuensi pemakaian sehingga meningkatkan kepatuhan
pasien
 Penggunaan obat dapat dihentikan dengan mencabut patch

Kekurangan dari sistem transdermal patch :

11
 Obat yang digunakan harus memiliki berat molekul yang cukup kecil
sekitar <350 Da. Hal ini dikarenakan semakin besar molekul maka akan
semakin sulit difusi ke dalam kulit.
 Obat yang digunakan harus memiliki lipofilisitas yang baik karena harus
menembus membran kulit yaitu stratum korneum yang bersifat lipofil.
Nilai Log P yang harus dimiliki 1-3. Namun jika terlalu lipofil maka akan
menjadi masalah karena selain melewati lapisan epidermis yang hidrofil.
Maka dari itu diperlukan juga kelarutan dalam air yang cukup baik.
 Zat aktif dan komponen lain memiliki kemungkinan untuk menyebabkan
dermatitis

2.4 Kategori Sistem Transdermal Patch

Terdapat banyak variasi produk transdermal di pasaran saat ini,


sehingga banyak sekali istilah patch yang umum digunakan seperti
“reservoir”, “monolitik”, “membran terkontrol”, “adhesif”, dan
sebagainya. Namun, istilah-istiah tersebut tidak digunakan secara
konsisten sehingga dapat menyebabkan penggunaan istilah yang tidak
akurat. Pembagian sederhana dan mudah dapat dilihat berdasarkan
formulasi suatu sediaan transdermal yang dibagi menjadi tiga kategori:
 Sistem adhesif
 Sistem berlapis
 Sistem reservoir
Persamaan yang dimiliki ketiga kategori tersebut terletak pada permukaan
eksterior. Pada satu sisi, terdapat backing layer yang bersifat impermeabel
sehingga zat aktif dan komponen lainnya tidak dapat berdifusi. Pada sisi
lainnya terdapat bagian yang akan kontak dengan kulit, dimana harus melepas
peel strip terlebih dahulu untuk mengaplikasikan patch transdermal. Yang
membedakan dari ketiga kategori tersebut adalah komposisi dan desain
sediaan yang dapat bervariasi di antara kedua sisi tersebut.

12
Gambar 2.4 Kategori transdermal patch

(Hillery, et al, 2001)

Berikut adalah beberapa contoh lain sediaan transdermal patch

Gambar 2.4 Contoh lain sediaan transdermal patch

2.4.1 Transdermal patch sistem adhesif

Patch adhesif merupakan patch transdermal paling sederhana, yaitu hanya


terdiri dari lapisan polimer adhesif yang mengandung obat. Sediaan ini dapat
mengandung zat aktif dalam jumlah banyak, bahkan seringkali jumlahnya
melebihi dari jumlah obat yang seharusnya dihantarkan. Namun, kemampuan
mengontrol pelepasan obat relatif kecil, sehingga yang meregulasi laju
absorbsi zat aktif ke dalam tubuh merupakan stratum corneum. (Hillery, Anya
M, et al. ,2001)

Posisi obat.

Pada sistem ini, obat terjerap pada lapisan polimer adhesive. Lapisan
adhesive dikelilingi oleh lapisan liner dan backing. Bahan Adhesive yang
biasa dipakai ialah Acrylic, polyisobutylene (PIB), dan silikon.

Mekanisme pelepasan obat

Pada sistem ini, di mana obat ini dimasukkan langsung ke lapisan polimer
adhesive, daripada ke lapisan terpisah. Lapisan polimer inilah yang Biasanya
digunakan untuk senyawa dengan berat molekul yang lebih kecil. Pada sistem

13
ini, Lapisan adhesive tidak hanya berfungsi untuk melekatkan berbagai lapisan
bersama-sama tapi juga bertanggung jawab untuk melepaskan obat lansung ke
kulit. (Azeem. A. 2009)

Gambar 2.6 Sistem patch adhesif

2.4.2 Transdermal patch sistem berlapis

Gambar 2.7 Sistem berlapis (layered)

Sediaan transdermal tipe layered juga sering disebut dengan sediaan


transdermal matriks di mana pada tipe ini, obat didispersikan secara homogen
dalam matriks polimer hidrofilik ataupun lipofilik. Sediaan transdermal tipe
layered memiliki karakteristik di mana obat yang terdispersi dalam polimer
matriks berada di antara backing layer dan adhesive layer, sehingga adhesive
layer tidak berperan sebagai pelepasan obat namun hanya sebagai tempat
kontak dengan kulit.

Pelepasan obat yang terjadi dalam sediaan tipe ini bergantung pada
difusi, sehingga zat aktif harus dapat berdifusi melalui matriks polimer agar
dapat dilepas. Berbeda dengan tipe reservoir yang memiliki laju pelepasan
orde nol, pelepasan obat pada transdermal tipe ini seiring waktu menjadi
lambat karena dipengaruhi oleh konsentrasi obat dalam sediaan yang
berkurang. Pada awalnya, molekul obat yang berada dekat dengan permukaan
adhesive akan dilepaskan paling awal. Seiring waktu, molekul-molekul yang
berada jauh dari permukaan harus menempuh jarak yang lebih besar untuk
mencapai bagian eksterior sehingga waktu pelepasan meningkat. (Chambers
Fox, 2014)

Obat yang terdispersi dalam sediaan ini berada dalam jumlah berlebih
sehingga diperoleh kondisi sediaan yang tersaturasi. Karena terdapat
peningkatan jumlah zat aktif, dapat terjadi kontak antar partikel obat yang

14
tidak terdisolusi. Ketika komposisi zat aktif melebihi 30% dari volume
matriks polimer, kontak antar parikel obat tersebut mengakibatkan
pembentukan mikrokanal sehingga sediaan transdermal tipe ini berpori.
(Hillery, et al, 2001)

2.4.3 Transdermal patch sistem reservoir

Posisi Obat
Karakteristik dari sediaan transdermal patch sistem reservoir
adalah terdapat reservoir obat yang diselimuti oleh suatu membran
polimer. Membran polimer ini mengatur laju pelepasan obat dari
sediaan, sehingga disebut dengan rate controlling membrane. Sediaan
transdermal patch dengan sisitem ini juga memiliki resiko terjadinya
dose dumping jika membran pengatur laju pelepasan hancur atau
rusak. Proses difusi terjadi melewati membran polimer atau melalui
pori-pori pada membran polimer tersebut. (Perrie, Y., & Rades, T.,
2010)

Gambar 2.8. Transdermal Patch Sistem Reservoir


(Allen, L. V., Popovich, N. G., & Ansel, H. C, 2010)

Membran yang biasanya digunakan adalah etil vinil asetat tak


berpori atau lapisan polietilen dengan mikropori. Contoh sediaan yaitu
patch Transderm-Nitro®. Transderm-Nitro menggunakan membran
kopolimer etilen vinil asetat berpori dengan obat terdispersi dalam

15
cairan matriks silikon. Sistem ini didesain untuk melepaskan 500 μg
nitrogliserin per cm2 per hari. (Perrie, Y., & Rades, T., 2010)

Gambar 2.9. Sistem Transderm-Nitro


(Perrie, Y., & Rades, T., 2010)

Mekanisme pelepasan dan penghantaran transdermal patch sistem


reservoir
Pelepasan obat melalui sistem reservoir mengikuti orde nol. Obat
dilepaskan secara konstan dengan bantuan rate controlling membrane,
karena pada sistem reservoir seluruh obat akan mendekat pada rate
controlling membrane, sehingga waktu pelepasan obat konstan dan
mengikuti orde nol. Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh area
permukaan patch yang kontak langsung dengan kulit. Integritas
membran harus dijaga, sehingga penggunaan patch dengan sistem ini
tidak boleh dibagi-bagi. (Perrie, Y., & Rades, T., 2010)

16
Gambar 2.10. Sistem Reservoir
(Pharmatutor.org. 2016)

Transdermal patch pada sistem reservoir didesain untuk


mendukung perpindahan substansi obat dari permukaan kulit
melewati lapisan yang bervariasi ke dalam sirkulasi sistemik.
Pelepasan obat dari sediaan patch transdermal adalah melalui
proses difusi. Prinsipnya adalah pelepasan obat secara difusi yang
dikendalikan oleh gradien konsentrasi antara konsentrasi obat
dalam sediaan dan konsentrasi di dalam kulit.

Gambar 2.11. Proses Difusi pada Transdermal Patch


(The patch as a therapeutic system, Youtube 2016)

Pelepasan obat mengikuti hukum Fick yang pertama, dimana


keadaan steady state (J) terkait dengan koefisien difusi (D) dari obat
dalam stratum korneum terhadap jalur difusi, ketebalan membran (h),
kemudian koefisien partisi (K) antara stratum korneum dan sistem
TDDS dan terakhir adalah konsentrasi obat yang diaplikasikan (dC)
yang dianggap konstan. (Anya Hillery & Andrew, 2005)

17
Gambar 2.12. Skema Pelepasan Obat Secara Difusi
(Anya Hillery & Andrew, 2005)

2.4.4 Microreservoir system

Pada tipe ini, sistem penghantaran obat adalah kombinasi dari sistem
reservoir dan disperse matrix. Reservoir obat terbentuk dari suspense obat
dalam larutan polimer yang larut air lalu didispersikan homogen dalam
polimer lipofilik untuk membentuk ribuan bola bola mikroskopik pada
reservoir obat. Secara termodinamika, dispersi tidak satbil ini di stabilikan
cepat dengan tautan silang cepat secara in situ dari polimer dengan
menggunakan cross linking agent.

Gambar 2.13. Sistem mikroreservoir

(Hillery, et al, 2001)

2.4.5 Vapour patch

Pada patch tipe ini, peran adhesive layer tidak hanya untuk melekatkan
berbagai layer lainnya bersamaan namun juga sebagai pelepas uap atau aroma.
Vapour patch ini terbilang baru dipassran, dan biasanya digunakan untuk
melepaskan minyak esensial pada dekongestan. Berbagai macam tipe dari
vapour patch ini terdapat banyak dipasaran yang mana digunakan untuk
meningkatkan kualitas tidur dan mengurangi kondisi merokok pada seseorang.

18
2.5 Data Penetrasi Absorpsi Obat In Vivo dan In Vitro (Sun, et al, 2012)

Azasetron merupakan antagonis serotonin 5-HT3 untuk pencegahan


dan pengobatan mual dan muntah akibat kemoterapi. Sediaan yang
berkembang sekarang ini umumnya injeksi dan tablet. Hal ini mendorong
untuk pengembangan azasetron dalam bentuk transdermal patch.

Pengujian Permeasi In Vitro

Kelinci dianestesi terlebih dahulu lalu bulu pada bagian abdomen


dicukur. Kulit kelinci pada bagian abdomen yang telah dicukur, dipotong dan
dilihat dibawah mikroskop untuk melihat kualitas kulit. Uji permease in vitro
menggunakan sel difusi kaca dua chamber dengan water jacket. Kemudian
setelah didapatkan sampelnya, maka disentrifugasi dan dianalisis dengan
HPLC untuk menentukan kadar obat. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali.

Pengujian permeasi in vitro ini dimaksudkan untuk skrining


formulasi. Formulasi azasetron patch dibuat dengan berbagai variasi yaitu
jenis PSA (Pressure Sensitive Adhesive), konsentrasi azasetron, peningkat
penetrasi. Hasil dari pengujian ini didapatkan kurva penetrasi transdermal
yang diplot dengan sumbu x adalah waktu dan sumbu y adalah jumlah
kumulatif permeasi obat. Kemudian dari kurva tersebut bisa didapatkan fluks
steady-state

Gambar 2.14 Data uji permeasi secara in vitro dengan formulasi berbeda

19
Jenis adhesif yang digunakan adalah adhesif krilik dan dari tiga
jenis PSA Akrilik yang, adhesif yang paling baik adalah dengan nomor 87-
9301. Jumlah azasetron yang dipermeasi lebih banyak daripada dua jenis
adhesive lainnya. Lalu adanya penambahan peningkat penetrasi
menunjukkan hasil yang signifikan daripada yang tidak menggunakan
peningkat penetrasi. Dari jenis-jenis peningkat penetrasi yang ada, patch
yang mengandung IPM menunjukan fluks tertinggi dan peningkatan yang
besar. Hal ini menunjukkan bahawa jumlah kumulatif obat yang
dipermeasikan berkaitan dengan struktur dan lipofilisitas peningkat
penetrasi. IPM diketahui aman dan digunakan secara luas untuk
meningkatkan penetrasi;

Gambar 2.15. Profil penetrasi patch azasetron dengan adhesif yang berbeda-beda
(kiri)
Profil penetrasi patch azasetron dengan peningkat penetrasi yang berbeda-beda
(kanan)

Pengujian In Vivo

Empat babi berjenis Bama miniature dibagi ke dalam dua grup


yaitu grup A dan grup B. Babi pada grup A diberikan azasetron secara
intravena. Babi pada grup B ditempelkan patch dengan luas 50 cm 2 dan
mengandung 50 mg azasteron. Kemudian sampel darah diambil dalam
interval waktu tertentu. Sampel plasma dipisahkan dengan sentrifugasi dan

20
dianalisis. Parameter farmakokinetik yang dianalisis adalah konsentrasi
maksimum obat dalam plasma (Cmax), waktu untuk mencapai konsentrasi
maksimum (tmax), area dibawah kurva (AUC), dan bioavaliabilitas (F)
Pada pemberian obat secara IV melalui vena abdomen, konsentrasi
plasma rata-rata langsung menurun pada waktu 36 jam. Pada pemberian
dengan transdermal patch, Cmax dicapai pada waktu 66.00 ± 22.98 h
(Tmax), dan konsentrasi obat dalam plasma masih dapat dideteksi sampai
216 jam. Bioavailabilitas yang didapat adalah 68%

1 2

Gambar 2.16. Konsentrasi plasma rata-rata azasetron IV (1); Konsentrasi plasma


rata-rata azasetron patch (2); Data analisis parameter farmakokinetika (3)

21
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Transdermal adalah salah satu cara administrasi obat yang digunakan


pada permukaan kulit, namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh
melalui kulit. Contohnya meliputi patch transdermal digunakan untuk
penghantaran obat-obatan, dan implan transdermal digunakan untuk tujuan medis
atau estetika. Bentuk transdermal menjadi pilihan terutama untuk obat-obat yang
apabila diberikan secara oral bisa memberi efek samping yang tidak diinginkan..
Terdapat banyak variasi dari produk transdermal patch saat ini dan
umumnya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sistem adhesif, berlapis, dan
resevoir.
Penetrasi obat dalam sistem penghantaran transdermal terjadi dengan difusi pasif.
Penetration enhancer dibutuhkan untuk masuknya zat aktif tersebut.. Evaluasi
sediaan transdermal yaitu evaluasi in vitro, dan evaluasi in vivo. Pengujian pada
evaluasi in vitro dan in vivo adalah uji pelepasan dan penetrasi atau permeabilitas.

3.2 Saran

Transdermal patch merupakan salah satu sistem sediaan yang unik,


karena mekanisme kerjanya yang dapat menghantarkan zat aktif menuju sistemik
melalui kulit. Namun, sistem ini juga masih memiliki beberapa kekurangan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar nantinya dapat mengatasi
kekurangan yang ada dari sediaan dengan sistem transdermal ini.

22
DAFTAR ACUAN

AACP SURAJ C(2013). Advanced Drug Delivery System. Page 26 2013-14

Allen, L. V., Popovich, N. G., & Ansel, H. C. (2011). Ansel's Pharmaceutical


Dosage Forms and Drug Delivery Systems 9th Edition. Philadelpia:
Lippincot Williams & Wilkins.
Hillery, Anya M, et al. (2001). Drug Delivery and Targetingfor Pharmacist and
Pharmaceutical Scientist. London: Taylor and Francis
James, W.D., Berger, T.G., & Elston, D.M. (2006). Andrews’ diseases of the skin:
Clinical dermatology (10th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders
Jain, Kewal K. 2008. Drug Delivery Systems. New Jersey: Humana Press

Kesarwani, A., Yadav, Ajit Kumar., Singh,S. Gautam, Hemendra.,Haribansh N.


Singh, Sharma, Anamika., Yadav, Chitresh. (2013).THEORETICAL
ASPECTS OF TRANSDERMAL DRUG DELIVERY SYSTEM.Bulletin of
Pharmaceutical Research 2013;3(2):78-89
Latheeshjlal.L, et al. (2011). Transdermal Drug Delivery System : An
Overview.International Journal of PharmTech Research, 3(3) : 2140-
2141, 2143
Perrie, Y., & Rades, T. (2010). FASTtrack: Pharmaceutics Drug Delivery and
Targeting. London: Pharmaceutical Press.
Robinson, J.R., Lee V.H.L, Controlled Drug Delivery Systems, Marcel Dekker,
New York. p. 523 – 547.
Sun, L., Cun, D., Yuan, B., Cui, H., Xi, H., & Mu, L. et al. (2012). Formulation
and in vitro/in vivo correlation of a drug‐in‐adhesive transdermal patch
containing azasetron. Journal Of Pharmaceutical Sciences, 101(12),
4540-4548. http://dx.doi.org/10.1002/jps.23317
Williams, Adrian. 2003. Transdermal and Topical Drug Delivery: From Theory to
Clinical Practice. UK: Pharmaceutical Press
Wiley john, Encyclopedia of Controled Drug Delivery vol 1&2., Brown
University

23
LAMPIRAN PERTANYAAN

• Apakah zat aktif dalam sediaan transdermal patch bisa lebih dari satu?

• Jika kadar obat dalam sediaan patch transdermal menurun atau sisa sedikit,
apakah pelepasannya akan semakin sulit atau terhambat?

24

Anda mungkin juga menyukai