PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari kita selalu melakukan kegiatan – kegiatan
yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum – hukum seperti shalat, puasa,
jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak
salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah
berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al – Qur’an dan
hadist agar jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal –
hal yang pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya
hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka
dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijma’, macam – macam
ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’.
B. Tujuan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Ijma’
2. Mengetahui Macam – Macamnya Ijma’
3. Mengetahui Bagaimana Kedudukan Ijma’
4. Bagaimana permasalahan dalam Ijma’
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2003), hlm. 308
2
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1. Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Yaitu ijma’ dimana para mujtahid menetapkan pendapat baik secara lisan
maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid
lainya.
2. Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau
takut. Sebab diam atau tidak memberi tanggapan itu dipandang telah
menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan. 2
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain
sebagai berikut :
1. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah
pada masa tertentu.
2. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah
terhadap sesuatu urusan hukum.
3. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu
masalah.
4. Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu :
اتفاق الخلفء االربعة على امر من االمور ال ّشرعّة
Artinya :Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang
diambil dalam satu masa atas suatu hukum.
5. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam
suatu masalah.
2
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2003), hlm. 308
3
B. Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu
sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah.
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika
sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan
hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan
mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’
sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :3
1. Firman Allah SWT :
) 59 :واطيعواالرسول واولى االمر منكم (النساء
ّ اطيعوّللا
ّ يا ايهاالذذين امنو
Artinya : Wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (
Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara
kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah
penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga
dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama
mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.
2. Hadist Rasulullah SAW
ّ
) ان امذتي ال تجمع على ضاللة ( رواه ابن حاجه
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
م
3
Drs. Suratno dkk, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang, 2011 ), hlm 131
4
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai
umat yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini
berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan
hukum yang mengikat umat islam.
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama
mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa
atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena
dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika
mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama’
mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’. Dan pendapat ini dianggap
lebih kuat daripada pendapat perorangan.
C. Permasalahan Ijma
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif
yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-
dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan. 4
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala
aspeknya jelaslah bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau
hujjah, bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin
walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan
bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
4
Drs. Totok Jumantoro, MA dan Drs. Samsul Munir, M.Ag, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta,
2009), hlm. 106
5
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’
sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi karena para ulama islam telah
bertebaran sampai kepelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata
sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa
dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah
berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad
itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa
sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah
berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi
pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai
berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan
bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat
diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak
mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui
ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang
yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau
memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit
jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam tersebar ke
seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada
terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu
muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya
kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan
yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’
dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul
mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa
Abu Bakar dan Umar.
6
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam
makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
7
DAFTAR PUSTAKA
ii
8
9