Anda di halaman 1dari 8

Materi kuliah

Kamis, 07 Mei 2015


Makalah Ushul Fiqh Tentang Qiyas

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam sketsa pemikiran hukum bahwa Qiyas merupakan suatu metode penetapan
hukum menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul fiqh).Para ulama
dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode
Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa
metode Qiyas ini berawal berawal dari logika filsafat Aristoteles yang berkembang di Yunani
kemudian ditransformasikan menjadi khazanah kebuyaan islam pada masa Al-makmun. Secara
metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan
peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum
(‘illat).
Imam syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat
terhadap unsur-unsur yang ada pada Qiyas.Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan
hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukum ashl, furu’, dan
‘illat.Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum,
karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan
analis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode Qiyas seperti
halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar
menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Secara bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dan si B, kerena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh Qiyas berarti
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa
itu.1[1]
Di antara contoh Qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram. Hal ini
di Qiyaskan dengan hukum khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini
adalah karena kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu bahwa kedua jenis
harta tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan
kepada fakir miskin.Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah
syar’I dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak
terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum Qiyas dan
selanjutnya menjadi hukum syar’i.2[2]

B. Dasar hukum qiyas


Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujah dalam menetapkan hukum dalam
ajaran islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-
macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengisbatkan hukum, ada yang membatasinya da

1[1]Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 172.

2[2]Insan Mulia, Fiqih, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm.25.


nada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila
ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nash pun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas mazhab syi’ah.
Mengenai dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah Al-
quran, Al-hadist, perbuatan sahabat, dan akal.
A. Al-quran
Allah Swt memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Yasiin [36] : 78-79.
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang pertama kali, dan
Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang
belulang pertama kali.3[3]
B. Al-hadist
Di antara hadist yang dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas
adalah :
Artinya : “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa
kepadamu? Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan berdasar Al-quran. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz berkata : Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperolehnya dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab :
Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz
berkata) : Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang
telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang
diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-quran dan hadist yang dapat dijadikan

3[3]Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Hamzah, 2001), hlm. 272.
sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu
menggunakan qiyas.
C. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para
sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang lain,
karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau
lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.4[4]
D. Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap peristiwa ada yang
diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada
nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya
ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya
diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum
dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.5[5]
C. Rukun dan syarat qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai berikut :
1) Ashl
Ashl yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum berdasarkan nash.
Ashl disebut juga maqis ‘illaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat
menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2) Far’u
Far’u berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash
yang dapat dijadikan sebagai dasar fara’ disebut juga maqis (yang menjadi ukuran), atau

4[4]Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2003), hlm. 206.

5[5]Amir Sarifudin, Ushul Fiqh ,(Jakarta : Media Grafika, 2008), hlm. 192.
musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan), seperti
pengharaman wisky dengan mengkqiyaskan dengan khamar.
3) Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu
pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman
minuman khamar.Adapun hukum yang ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari
qiyas dan karenanya tidak termasuk hukum.

4) ‘Illat
‘illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya
sifat yang ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum
fara’ sama dengan hukum ashl.6[6]
Setelah diterangkan ruang-rukun-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari
masing-masing rukun qiyas tersebut.
A. Ashl dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama
mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan
berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Sedangkan
fara’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukan nash
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ itu ditetapkan
berdasar nash yang baru ditemukan itu.
B. Hukum ashal
ada berapa syarat yang diperlukan bagi kaum ashl yaitu :
a) Hukum ashl itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’.
Sedangkan sandaran hukum syara. Itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur
ulama tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan

6[6]Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Hamzah, 2001), hlm. 277.
bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum
yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin
mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma’ ilaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
b) Hukum ashl harus ma’qul al ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional.
c) Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku pada kejadian
atau peristiwa yang lain.
Hukum ashl macam ini ada dua macam, yaitu :
a) ‘illat hukum itu hanya ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti
diperbolehkannya mengqashar shalat bagi yang musafir. ‘illat yang mask akal dalam hal ini
adalah untuk menghilangkan kesulitan, tetapi Al-quran dan Al-hadist bahwa ‘illat itu bukan
karena adanya safar (perjalanan).
b) Dalil Al-quran dan Al-hadist menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus tidak berlaku
pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi
nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walupun
beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.7[7]
D. Macam-macam qiyas
1) Qiyas Aula
Qiyas ini juga dinamai awlawi, qiyas qhat’I, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya itulah yang
mewajibkan hukum, atau dengan kata lain yaitu mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang
hukumnya telah ada, namun sifat/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada.
Contohnya keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah
haram.

2) Qiyas Musawi

7[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1, (Jakarta : Wacana Ilmu, 1997), hlm. 170.
Qiyas musawi adalah ‘illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya keharaman hukum
membakar harta anak dengan memakan harta hartanya.illat keduanya sama-sama
menghilangkannya.
3) Qiyas Adna atau Adwan
Qiyas adna adalah mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan
kepada sesuatu yang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam
hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama
makanan.
4) Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah yaitu menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al-hukm (penunjukan
hukumnya).Seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang
dewasa.Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang.
5) Qiyas Syibh
Qiyas syibh yaitu terjadinyakeraguan dalam mengqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan
kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya.Seperti pada
kasus hamba yang dibunuh, dirinya di qiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu
Adam, atau barang yang diperjualbelikan.
6) Qiyas Al-aksi
Qiyas al-aksi adalah yang tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘illat atau menetapkan
lawan hukum sesuatu bagi yang mana keduanya memiliki hukum yang berlawanan tentang hal
ini.8[8]

8[8]Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung : PT.Pustaka


Rizki Putra), hlm. 203-206.
KESIMPULAN

Bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan.
Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua,
bahwa nash baik Al-quran maupun Hadist jumlahnya terbatas dan final. Tetapi permasalahatan
manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah sama sekali.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum Syara’.Karenanya
qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalanan dengan munculnya permasalahan-
permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang
terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.

Anda mungkin juga menyukai