Pers
Lalu Rendi Suterja
Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena makalah
Didalam menilai pers, tentu kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa pers itu. Untuk
itu makalah ini disusun untuk dapat memahami dan mempelajari tentang pers, sehingga kita
Melalui makalah yang disusun ini kita bisa mempelajari apa dan bagaimana per situ
yang nantinya akan sangat berguan bagi kita kedepannya. Makalah ini dapat dijadikan
panduan belajar supaya kita dapat lebih memahami makna dan kegunaan pers dalam
kehidupan.
Meski makalah ini tidak seberapa, tapi penyusun mencoba menghadirkan yang terbaik
untuk dipelajari. Karena penulis juga menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang
Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi anda dan juga penulis.
Kritik dan saran yang membangun juga diharapkan untuk kesempurnaan berikutnya.
Pennyusun
Pers sering diartikan Surat Kabar (News Paper) atau Majalah (Magazine). Istilah pers
berasal dari kata persen bahasa Belanda atau press bahasa Inggris, yang berarti menekan
yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus ditekan dengan keras untuk menghasilkan
karya cetak pada lembaran kertas.
Menurut Weiner, Pers adalah wartawan cetak, media cetak, publisitas atau peliputan
berita.
Menurut Oemar Seno Adji :
Dalam arti sempit artinya penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita secara
tertulis.
Dalam arti luas artinya semua media massa atau mess communications yang
memancarkan kiran dan perasaan seseorang baik tertulis maupun lisan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pers berarti:
Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
Alat cetak untuk menjepit atau memadatkan
Surat kabar yang berisi majalah atau surat kabar
Orang yang bekerja dibidang persurat kabaran
Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia.
Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi tiga
golongan yaitu Pers Kolonial, Pers Cina dan Pers Nasional.
1. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia
pada masa colonial/penjajahan. Jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya
pada 1744, ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan
dengan penggunaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776, di Jakarta juga terbit
sebuah surat kabar Vendu Views yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.
Saat abad ke-18 berbagai macam surat kabar terbit yang masih dikelola oleh
Belanda. Pers colonial meliputi surat kabar, majalah dan Koran bebrbahasa Belanda,
daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonis Belanda.
2. Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang cina di Indonesia. Pers cina
meliputi Koran-koran, majalah dalam versi bahasa China, indonesoa atau Belanda
yang diterbitkan oleh orang-orang keturunan belanda.
3. Pers Nasional adalah persyang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama oleh
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang-orang indoneisa. Pers ini
bertujuan memperjuangkan hak-hak orang Indonesia dimasa penjajahan.
Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan
Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh
pemrakarsa pers Nasional.
Sedankan surat kabar pertama sebagai untuk kaum peribumi dimulai pada tahun 1854
ketika majalah Bianglala diterbitkan yang diusul oleh Bromartani pada 1885, kedua di
Waltevreden, dan tahun 1856 terbit Soerat Kabar bahasa Malajo di Surabaya. Setelah
proklamasi kemerdekaan, pers nasional menikmati saat-saat yang membahagiakan karena
pada saat ini pers nasional menunjukkan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi
mereka hanya bagaimana mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan.
Menurut UU No. 4o tahun 1999 tentang pers, disebutkan dalam pasal 3 fungsi pers
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai media informasi karena pers member dan menyediakan informasi tentang
pristiwa yang terjadi pada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena
butuh informasi.
2. Fungsi pendidikan karena pers itu sebagai sarana pendidikan massa (massa
Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga
masyarakat bisa bertambah pengetahuan dan wawasannya.
3. Sebagai hiburan karena pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk
mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot.
Seperti cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok
atau karikatur.
4. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat
unsure-unsur sebagai berikut:
a. Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
5. Fungsi ekonomi yaitu pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers
dapat memanfaatkan keadaan disekitarnya sebagi nilai jual sehingga pers sebagai
lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya
untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.
Menurut pasal 6 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, perana pers adal;ah sebagai
berikut :
Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut
sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan
pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari
pemerintah.
Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar pers
secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers
tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers.
Indoensia belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga
setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat rumusan kode etik.
Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan lembaga pers Dr. Soetomo di
Cianjur 21-25 April 2003 muncul kode etik berikut :
Selama ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau
menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak
terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis
hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau
penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap
nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak
mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan
Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat,
publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan.
Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari
kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the
absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang
mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut,
segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses
(diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik
untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press)
atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang
demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas
Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis,
“Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa
pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama
memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers
sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya
merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai
implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat
(freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).
Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi:
kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik.
Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka
diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara
konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor
40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti
secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun –
yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan
pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.
Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus
memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode
Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian
“bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara
sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai
sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas
ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan
bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common
sense, akal sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan
ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing
penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak
Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari
penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan
mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers
perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers
sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno
mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika
Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami
mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era
reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.
Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan,
pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang
menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk
memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri),
bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi,
ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers
memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan
media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai
ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan
(karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak
mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas:
tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers
kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang
memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara
lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil,
wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi.
Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan
inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan
yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita
yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).
Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking
news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal
quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of
news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana
berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang
disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a
dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada
seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing
hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya
melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative
reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting,
indeph feature.
Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya
menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga
negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Dasar hukum dari Undang-Undang
Dasar 1945 yang digunakan untuk undangundang tentang Pers, dapat dilihat dari
konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah
dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967. Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal
20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945".
Awal abad ke-19 di tandai dengan terbitan media yang semakin menjauh ide wal pers,
yaitu kebebasan berpendapat. Pada saat itu mulai berkembang fenomena yellow journalism
(jurnalisme kuning), istilas yellow journalism semula di tunjukan bagi pertempuran headline
antara dua koran besar di kota new york yang dimiliki oleh joseph pulitaer dan william
randolp hearst.
Menurut straubhaar, ciri khusus jurnalisme kuning adalah bentuk pemberitaannya yang
bombastis, sensasional, dan memuat judul utama yang menarik perhatian publik tanpa
mengindahkan ketepatan isi berita. Tujuan utamanya adalah meningkatkan sirkulasi
penjualan. Contoh dari jurnalisme kuning adalah peristiwa meledaknya kapal perang
amerika serikat bernama maine yang menewaskan ratusan awak kapalnya. Maine meledak di
pelabuhan di havana, cuba, penyebab ledakan tidak di ketahui persis namun media yang di
kendalikan oleh hears dan pulizer melaporkan bahwa spanyol berada di balik ledakan itu,
belakangan para ahli sejarah berpendapat bahwa ledakan tersebut murni kecelakaan.
Jurnalisme kuning tidak dapat bertahan lama, kesadaran jurnalisme sebagai profesi
kemudian muncul kembali. Sebagai contoh, surat kabar generasi pertama di amerika serikat
awalnya bersifat partisan. Surat kabar dengan mudah menyerang politisi dan presiden. Tanpa
pemberitaan yang objektif dan berimbang. Akan tetapi, para wartawannya kemudian
memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki
pertanggungjawaban sosial.
Akan tetapi, tidak selamanya fungsi kebebasan pers memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk mengakses informasi. Seringkali fungsi kebebasan dari pers justru
meresahkan masyarakat. Sebagai ilustrasi adalah kasus pemuatan karikatur Nabi muhamad
di surat kabar jyllands-posten pada edisi 30 september 2005 di denmark.
Banyaknya tabloid semacam ini terjadi sejak tahun 1998, yaitu semenjak dihapuskannya
surat izin usaha penerbit an (SIUPP). Penerbit yang memproduksi tabloid-tabloid ini dapat
bertahan karena pada kenyataannya tabloid ini banyak di beli oleh masyarakat.
A. Ciri-ciri berita
Untuk mendapatkan sebuah berita, biasanya kita akan mencari berita tersebut
kesumbernya. Adapun sebagian sumber yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Kantor Polisi
2. Kantor pemerintahan
3. Rumah Sakit
4. Kantor pengadilan
5. Humas kantor atau perusahaan
6. Tokoh masyarakat
7. Olahragawan atau artis
8. Sekolah
9. Sumber lain yagn sedang diminati pembaca
C. Menyusun atau menulis berita
Yang perlu diingat adalah syarat menuis berita, yaitu harus berdasarkan fakta, objektif,
berimbang, elngkap, akurat dan jelas. Dalam penulisan berita dibutuhkan standar rumus
penulisan yaitu sebagai berikut :
5W+1H
Wawasan pengetahuan dan konsep-konsep pembelajaran dalam segala macam hal dapat
kita peroleh dari media massa. Seiring dengan banyaknya media yang bermunculan mulai
dari radio, majalah, televisi, tabloid, tivi kabel,buku, spanduk, billboard, poster dll.
Semuanya memberikan sebuah masukkan pengetahuan baru baik itu negative maupun
positif. Namun tujuannya tetap sama yaitu sebagai media pembelajaran dan pendidikan yang
cukup mudah untuk diakses.
1. Orang
2. Bahan/material
3. Alat
4. Teknik
5. Lingkungan
Fungsi berbagai media diluar sekolah bagi para pelajar tentunya sebagai bahan tambahan
pengetahuan yang tidak mereka dapat di sekolah. Oleh sebab itu guru harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai media yang cukup, meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Media merupakan alat komunikasi untuk mendapatkan proses belajar yang lebih
efektif
2. Fungsi media untuk lebih mencapai tujuan dengan tepat
3. Seluk beluk proses pendidikan
4. Hubungan antara metode pembelajaran dan pendidikan
5. Nilai dan manfaat yang didapat dari pengajaran
6. Pemilihan dan penggunaan media yang sesuai
7. Inovasi dalam media pendidikan
Yang harus dilakukan agar media bisa bekerja sesuai dengan fungsinya dan mengarah
pada tujuan tepat yang telah ditetapkan, yaitu :
1. Proses pemilihan dan penyaringan media yang baik bagi para murid sekolah. Jangan
sampai mereka menyerap semua pesan dari media yang ada karena tidak semua
pesan itu positif bagi mereka
2. Proses pendekatan dan konsultasi agar murid mau bertanya dan tidak malu untuk
meminta penjelasan pada gurunya
3. Kerjasama yang baik antara murid dan guru untuk melakukan seleksi media
terpercaya
4. Pembahasan yang tepat terhadap isi pesan dalam media tertentu supaya semua murid
tidak salah mengerti apa sebenarnya inti dan makna dibalik pesan tersebut.
5. Pengarahan pada orangtua di rumah mengenai pesan yang tertera di media supaya
anak yang membacanya akan mengerti bahwa pesan itu sesuai untuknya atau tidak.
Semoga dengan adanya kerjasama dan sinkronisasi antara semua unsur media, akan
terjalin sebuah kesepahaman dan pembelajaran yang mengarah pada tujuan baik.
Secara khusus fungsi dari masing-masing media massa mempunyai karakteristik yang
kecenderungannya yang berbeda. Fungsi utama dari surat kabar adalah menyiarkan
informasi. Masyarakat berlangganan atau membeli surat kabar / majalah karena memerukan
informasi mengenai berbagai peristiwa.
Fungsi lain media yaitu fungsi mempengaruhi, membimbing dan mengeritik serta mediator
misalnya :
1. Menjadi mediator antara pengusaha dan pemerintah daerah atau pengusaha dengan
masyarakat
2. Menyebarlukasna informasi dan komunikasi sehingga makin banyak dan semakin
luas jumlah orang indonesia yang biasa mengenal peluang ekonomi serta
memanfaatkannya
3. Berusaha mempengaruhi tercapainya keserasian kepentingan anttara kepentingan
individu pengusaha, pemerintah dan kepentingan umum
4. Kontrol sosial, peristiwa busung lapar (gizi buruk) yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesia.
Surat / kabar
Dari empat fungsi media massa (informasi, edukasi, hiburan dan persuasive), fungsi
yang paling menonjol pada surat kabar adalah informasi. Hal ini sesuai dengan tujuan
utama khalayak membaca surat kabar, yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang
terjadi di sekitarnya. Fungsi hiburan dapat ditemukan pada rubric artikel ringan, feature,
komik atau kartun seta cerita bersambung. Fungsi mendidik dan mempengaruhi akan
ditemukan pada artikel ilmiah, tajuk rencana atau editorial dan rubric opini. Fungsi pers
bertambah, yiatu sebgai alat kontrol sosial yang konstruktif.
Untuk dapat memanfaatkan media massa secara maksimal dan tercapainya tujuan
komunikasi, maka seorang komunikator harus memahami kelebihan dan kekurangan
media tersebut. Karakteristik surat kabar sebagai media massa mencakup: publisitas,
periodisitas, universalitas, aktualitas dan terdokumentasikan.
Majalah
Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi kedalam lima kategori utama, yakni:
Tipe majalah ditentukan oleh sasaran khalayak yang dituju, artinya redaksi sudah
menentukan siapa yang akan menjadi pembacanya. Kategori majalah pada masa Orde
baru; majalah berita, keluarga, wanita, pria, remaja wanita, remaja pria, anak-anak,
ilmiah popular, umum, hukum, pertanian, humor, olahraga, daerah.
Fungsi utama dari film, radio dan TV adalah menghibur. Masyarakat melihat film,
membeli TV, dan radio adalah untuk mencari hiburan. Dengan demikian keempat media
massa itu saling mengisi dan melengkapi, sebab masing-masing memiliki kekurangan dan
kelebihan.
Hampir semua program acara televisi nasional memasukkan unsur pembinaan akhlak mulia
dan budi pekerti yang luhur meskipun porsinya tidak terlalu banyak. Adanya dialog
interaksi masyarakat dapat menyampaikan masukan, kritik dan saran antara pemerintah dan
warga negara memerlukan komunikasi dan media yang dapat menghubungkan keduanya.
Apalagi saat ini perkembangan pers di Indonesia sudah maju dengan pesat. Dengan adanya
berita melalui koran, tabloid, majalah, radio, televisi, dan internet, masyarakat dapat dengan
cepat mengetahui suatu kebijakan pemerintah. Penyajian berita atau kejadian melalui pers
dapat diketahui masyarakat dengan cepat, akurat, dan efektif.
Film
Gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa. Film lebih dulu
menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton televisi menjadi
aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an. Film adalah
industri bisnis yang diproduksi secara kreatif dan memuhi imajinasi orang-orang yang
bertujuan memperoleh estetika.
Khalayak menonton film terutama untuk hiburan. Akan tetapi dalam film terkandung
fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Film nasional dapat digunakan
sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and
character building. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi
film-film sejarah yang objektif atau film dokumenter dan film yang diangkat dari
kehidupan sehari-hari secara berimbang.
Bagi seorang komunikator adalah penting untuk mengetahui jenis-jenis film agar dapat
memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya. Film dapat dikelompokkan
pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun
Radio
Radio adalah media elektronik tertua dan sangat luwes. Radio telah beradaptasi dengan
perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan
melengkapi dengan media lainnya.
Radio Siaran Sebagai The Fifth Estate. Surat kabar memperoleh julukan sebagai
kekuatan keempat, maka radio siaran mendapat julukan kekuatan kelima atau the fifith
estate. Karena radio siaran juga dapat melakukan fungsi kontrol sosial seperti surat
kabar, disamping empat fungsi lain yakni memberi informasi, menghibur, mendidik dan
melakukan persuasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan radio siaran adalah
daya langsung, daya tembus dan daya tarik.
Pada Radio siaran terdapat cara tersendiri, yakni apa yang disebut radio siaran style atau
gaya radio siaran. Gaya radio siaran ini disebabkan oleh sifat radio siaran yang
mencakup : Imanjinatif, Auditori, Akrab, Gaya Percakapan.
Televisi(TV)
Dari semua media massa, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia.
Televisi dijejali hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton
televisi sekitar tujuh jam dalam sehari.
Ditinjau dari stimulasi alat indera, dalam radio siaran, surat kabar dan majalah hanya
satu alat indera yang mendapat stimulus, yaitu : Audiovisual, Berpikir dalam Gambar,
Pengoperasian lebih Kompleks
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi memiliki andil yang cukup besar. Segala
kritik tentunya bisa dimuat dan dibaca oleh semua orang tanpa kecuali. Kebebasan bersuara
dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur undang-undang tentunya akan menjadi suatu
koreksi dalam kepemimpinan demokrasi. Tentu saja peranan pers dalam masyarakat
demokrasi seperti inilah yang akan menjadi satu tombak raksasa yang bisa menghantam
siapa saja atau sebaliknya.
Media Ekspresi
Bila kita runtutkan bahwa pers memiliki undang-undang pers. Mayarakat juga memiliki
undang-undang. Undang-undang yang ada dalam negara demokrasi akan
mengembalikan fungsi pers dan masyarakat kepada sistem demokrasi yang dianut oleh
negara. Tak berhenti sampai di situ, pers sebagai media ekspresi kekesalan sampai
kepuasan sistem demokrasi yang tengah berjalan di negara sudah menjadi wajar dalam
masyarakat demokrasi.
Penyambung Suara
Sebagai penyambung suara, pers memegang senjata ampuh untuk mengunggulkan atau
sebaliknya menjatuhkan seseorang. Seperti yang digembar-gemborkan dalam sistem
demokrasi itu sendiri bahwa pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, akan menjadi semakin baik ke depannya.
Jika masyarakat yang semakin hari semakin pandai membaca situasi politik, tentu saja
demokrasi akan luwes berjalan. Misalnya, seseorang yang ingin menyampaikan
pendapat kepada pemerintah, cukup menulis saja di media pers untuk selanjutnya bisa
diterjemahkan sebagai isu yang berkembang di masyarakat demokrasi. Tentu saja,
pemerintah tak akan tinggal diam bila ada suatu gejolak di masyarakat.
Pengawasan dari berbagai sektor tentu saja akan otomatis ada. Masyarakat
demokrasilah yang melakukan fungsi pengawasan. Dibantu oleh pers yang ada, sangat
memungkinkan bila sistem demokrasi akan menjadi utuh.
Pengawalan pers kepada hak bersuara masyarakat demokrasi menjadi suatu yang bisa
membuat demokrasi hidup. Bukan hanya pemerintah saja yang bisa bersuara, namun
pemerintahan yang berasal dari rakyat, tentu rakyatlah yang lebih bersuara atas
penyelenggaraan negara.
Bukan hanya masyarakat saja yang bisa bersuara, namun pemerintah dengan berbagai
kebijakan dan rencana kebijakan membutuhkan pers sebagai media. Tak hanya sekadar
tulisan dan pemberitaan, namun penciptaan suasana sangat dibutuhkan. Opini-opini
mulai digelar oleh pers untuk menciptakan perbincangan seputar rencana kebijakan
pemerintah misalnya.
Walaupun pers memiliki peraturan sebebas mungkin mengatur dan memuat berita,
namun bukti otentik perlu dijaga. Setiap tuduhan tanpa adanya bukti bisa menyebabkan
masyarakat tak bisa percaya lagi kepada media pers.
Pemojokan terhadap seseorang pemimpin misalnya. Jika tanpa dilandasi oleh suatu
bukti yang kuat akan bisa menyebabkan suatu kekacauan sistem pemerintahan. Tak
hanya pemimpin saja yang terkena imbas atas tuduhan yang diberikan.
Ketidakpercayaan masyarakat demokrasi kepada pemimpin akibat dari ulah pers yang
menuduh seenaknya tanpa bukti akan menyebabkan sistem pemerintahan kacau.
Untuk itu perlu sekali adanya suatu pemilahan khusus oleh pers untuk membedakan
fakta dan opini. Bukan menjadikan fakta sebagai opini dan sebaliknya, opini sebagai
fakta.
Jadi untuk dapat memperlancar kegiatan pers, maka hendaknya seluruh anggota pers
khususnya di Indonesia mengikuti dan menjalani tata-tertib yang berlaku, dengan begitu
kergiatan yang akan diajlani bisa berjalan lancar.
Indonesia merupakan bekas Negara jajahan, termasuk juga didalam pers-nya. Ketika
Indonesia telah merdeka, pers di Indonesia mulai bermunculan dan mulai berkembang.
Begitu banyak perjuangan dan perngorbanan para pahlawan untuk memerdekakan
Indonesia. Termasuk juga untuk memerdekakan pers Indonesia , tapi saat ini pers Indonesia
sudah tidak mengingat akan susah payahnya para pejuang dahulu untuk merebut bendera
kemerdekaan dari penjajah, pers yang kita lihat saat ini kebanyakan tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku. Merka hanya mencari untungnya saja tanpa mempedulikan dampak
negatifnya.
Untuk itu dalam mewujudkan pers yang baik dan bertanggun jawab, mestinya antara
pemeriantah dan masyarakat terjalin hubungan kerja sama yang baik, agar tidak terjadi
perselisihan yang nantinya akan merugikan bangsa itu sendiri.
Mari kita wujudkan pers Indonesia yang baik dan bertanggung jawab.