Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

CONTUSIO CEREBRI dengan Fokalisasi N. III

Disusun Oleh :

Mustika Putri Arifin

030.13.129

Pembimbing : dr. Julintari Indriyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIHJAKARTA
NOVEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN

1
Laporan kasus dengan judul :

Contusio Cerebri

Disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, Kota Jakarta. Periode 06 November –
08 Desember 2017

Disusun oleh

Mustika Putri Arifin

03013129

Telah diterima dan disetujui oleh dr Julintari Indriyani , Sp.S selaku dokter pembimbing

Laporan kasus dengan judul “Contusio Cerebri dengan Fokalisasi N. III” telah diterima dan
disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
periode 6 Novemver – 8 Desember 2017

Jakarta, November 2017

dr. Julintari Indriyani, Sp.S

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................... 1

DAFTAR ISI....................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 3

BAB II LAPORAN KASUS .............................................................. 6

2.1 Anamnesis ............................................................................ 6

2.2 Pemeriksaan fisik.................................................................. 8

2.3 pemeriksaan Status Neurologi .............................................. 9

2.4 Resume ................................................................................ 13

2.5 Follow up ............................................................................. 15

2.6 Prognosis ............................................................................. 16

BAB III ANALISA KASUS .............................................................. 17

Daftar Pustaka ..................................................................................... . 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu neurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan
akibatnya baik pada masa akut maupun sesudahnya. Akibat trauma dapat terjadi pada masa akut
(kerusakan primer) dan sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena itu manajemen segera dan
intervensi lanjut harus sudah dilaksanakan sejak saat awal kejadian guna mencegah/meminimalkan
kematian maupun kecacatan pasien.1
Contusio serebri merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan lunak
yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai jaringan, tetapi
tidak disertai oleh robeknya jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron terputus atau
mengalami kerusakan. Contusio Serebri disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang
menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak, yang membuat pingsan sementara.
Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya
kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan.
Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan
merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti
Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin
meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma,
mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu
kecelakaan. 2

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara
15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun , dan lebih didominasi oleh kaum
laki – laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan
lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak).

Cedera nervus kranialis dapat terlihat pada 100 dari 794 pasien (652 laki-laki dan 142
perempuan) dengan disertai cedera kepala. Sebuah insiden sekitar 12,6% dari 100 pasien, 50 orang
mengalami cedera kepala ringan, 26 mengalami cedera kepala sedang, dan 24 orang mengalami
cedera kepala berat. Terdapat jumlah yang lebih besar pada pasien laki-laki (87 laki-laki dan 13

4
perempuan). Kemudian, terdapat sekitar 67% pasien mengalami cedera pada salah satu nervus
kranialisnya: ini termasuk cedera pada nervus fasialis (20 pasien), nervus oculomotorius (12
pasien), dan nervus optikus (11 pasien). Cedera nervus kranialis yang bersifat multiple terlihat
pada 32 pasien (32%). 3
Total terdapat 23 pasien termasuk dalam post traumatik cedera nervus okulomotorius
dengan insiden 2,9% termasuk 11 pasien dengan cedera nervus kranialis multiple. Tingkat
keparahan cedera telah dibagi (12 pasien mengalami cedera kepala berat, 9 pasien cedera kepala
sedang, 3 pasien cedera kepala ringan). 11 pasien mengalami fraktur basis cranii dan 7 pasien
mengalami cedera kepala berat. Peningkatan signifikan pada paresis otot ekstra-okuler pada pasien
dengan trauma yang tidak tembus menunjukkan tipe cedera neuropraxia sampai tingkat tertentu.
Kelumpuhan nervus okulomotorius (2 pasien) dan Kelumpuhan saraf oculomotor bilateral (2
pasien) dan kelumpuhan saraf okulomotor lengkap (10 pasien) lebih sering terjadi pada cedera
kepala parah. Pada pasien yang sadar dengan ptosis parsial gejala utama dicampur diplopia
binokular horisontal dan vertikal.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M.H
No. RM : 01.11.3392
Tanggal lahir : 28/11/1989 (27 Tahun)
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Jalan Gang Remaja Kelurahan Cipinang Besar Utara Kecamatan
Jatinegara.
Pekerjaan : Wira swasta
Agama : islam
Status pernikahan : menikah
Tanggal masuk : 12 November 2017

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien sendiri dan allo-anamnesis dengan
keluarga pasien pada hari Senin, tanggal 13 November 2017, pada pukul 11.30 WIB di
bangsal Aster Barat RSUD Budhi Asih.

1. Keluhan utama :
Tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalulintas jatuh dari sepeda motor sejak 30
menit sebelum masuk rumah sakit

2. Keluhan tambahan :
Pasien mengeluh nyeri kepala.

6
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD pada tanggal 12 November 2017 pukul 04.30 WIB. Pasien
jatuh dari sepeda motor pada saat ingin pulang ke rumah setelah bekerja pada pukul 04.00
WIB. Pasien jatuh ke arah kiri terkena aspal, kemudian pasien langsung tidak sadarkan diri.
Pasien memakai helm, terdapat luka robek pada kepala bagian depan sebelah kiri, dan
hidung keluar darah. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUD Budhi Asih, dan sesampai
di IGD pasien masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di IGD dilakukan tindakan fiksasi
Collar Neck, kemudian pasien diberikan IVFD NaCL 0,9% / 8 jam, Injeksi Asam
Traneksamat 1x1 amp, Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, dilakukan penjahitan pada luka robek
di dahi kiri, dan diberikan Injeksi citicoline 2 x 500 mg I.V. Saat sadar, pasien tidak ingat
bahwa dirinya sempat pingsan setelah terjadi kecelakaan, dan pasien mengaku kalau
dirinya sempat minum alkohol bersama temannya sebelum melakukan perjalan pulang dari
tempat kerja. Pasien mengeluh nyeri kepala, keluhan mual dan muntah disangkal.

Pasien dipindahkan ke bangsal Aster Barat dalam keadaan sadarkan diri dan kondisi
yang sudah mulai membaik. Pasien mengeluh nyeri kepala, leher dan mata sebelah kiri
terasa pegal, mata sebelah kiri pasien tampak memar dan tidak bisa dibuka, perdarahan dari
hidung sudah berhenti. Keluhan mual dan muntah disangkal.

4. Riwayat penyakit dahulu:


Pasien tidak memiliki riwayat trauma sebelumnya, kolesterol, tidak terdapat riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, penyakit paru, keganasan, maupun alergi.

5. Riwayat penyakit keluarga :


Di keluarga pasien tidak pernah ada yang mengalami hal serupa dengan pasien. Ibu pasien
memiliki riwayat hipertensi. Riwayat Diabetes dan kolesterol disangkal.

6. Riwayat pengobatan :
Saat ini pasien sedang tidak menjalani pengobatan jangka panjang apapun.

7
7. Riwayat kebiasaan :
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak SMA (1 hari mengkonsumsi 5 batang rokok),
pasien juga memiliki kebiasaan terkadang suka minum alkohol bersama temannya sehabis
pulang kerja.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 14 November 2017, pukul 10.00 WIB
di RSUD Budhi Asih.
1. Keadaan umum
Kesan sakit : tampak sakit sedang
2. Tanda vital
Saat dibangsal aster barat
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 87x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,4 C

3. Status Generalis
a. Kepala : normocepali, terlihat luka jahitan tertutup oleh verban
b. Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat, anisokor,
diameter 3 mm/ midriasis maksimal, ptosis -/+, hematom Okuli Sinistra
c. Telinga : normotia
d. Mulut : normal, sianosis (-), oral hygiene baik.
e. Leher : Pembesaran tiroid (-) pembesaran KGB (-), bentuk normal
f. Thoraks :
Paru
inspeksi : simetris, retraksi sela iga (-)
palpasi : pergerakan napas simteris

8
perkusi : hemitoraks kiri dan kanan sonor
auskultasi : suara napas vesikuler. Rhonki (-), Wheezing (-)
jantung
inspeksi : tidak tampak ictus kordis
palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS V linea midclavikularis sinistra
auskultasi : BJI,II regular, murmur (-), gallop (-).

g. Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tampak bekas luka operasi tertutup verban,
Auskultasi : bising usus (+) 3x/menit
Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen
h. Ekstremitas atas dan bawah
Simetris antara kanan dan kiri, akral hangat +/+, tidak terdapat oedem pada
keempat ekstremitas.
Terdapat jejas luka pada telapak tangan dan telapak kaki.

IV. PEMERIKSAAN STATUS NEUROLOGI


1. Kesadaran Compos Mentis
2. Pemeriksaan rangsang meningeal : tidak dilakukan
3. Pemeriksaan nervus kranialis
N II: ukuran pupil : Penglihatan double (-/-).
N III, IV, VI: posisi bola mata eksotropia OS, bulat, anisokor, diameter
3mm/midriasis maksimal, refleks cahaya langsung (+/-) dan refleks cahaya tidak
langsung (+/-), ptosis (-/+).
N. VII: paresis N.VII (-).
N. XII: Paresis N.XII (-)

4. Pemeriksaan motorik.

9
Pemeriksaan Ekstremitas atas Ekstremitas bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri

Trofi otot Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi


Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Gerakan - - - -
involunter
Kekuatan otot 5555 5555 5555 5555
Refleks Bisep/trisep Patella/Achiles
fisiologis + + + +
Refleks Babinski - -
patologis Chaddock - -
Gordon - -
Oppenheim - -
Hoffman - -
Tromner - -

5. Pemeriksaan sensorik : tidak dilakukan


6. Pemeriksaan saraf otonom : miksi dan defekasi normal
7. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi : tidak dilakukan

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 12/11/2017, didapatkan leukosit
meningkat (25.000/µl), Hb menurun (12,9 gr/dl).

10
2. CT Scan kepala dan Bone Window (tanggal 12 November 2017)

11
 Kesan :
 Tampak hematosinus sphenoid dan ethmoid sinistra

12
 Susp. Fr. Tulang mastoid sinistra
 Hematom Intraserebri sinistra dan subarachnoid regio frontotemporoparietal
sinistra
 Hematom subkutis regio frontotemporoparietal sinistra
 Pneumoencephal frontal

3. Foto Cervical AP + Lateral

Ekspertise:
 Alingment vertebra cervical dalam batas normal, dengan kurva melurus.
 Tidak tampak tanda fraktur, destruksi, maupun listhesis.
 Mineralisasi tulang dalam batas normal
 Duktus intervertebralis yang tervisualisasi dalam batas normal
 Soft tissue paravertebra dalam batas normal.
Kesan: Muscle Spasme

VI. RESUME
Pasien laki-laki, usia 27 tahun, datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan
tidak sadarkan diri sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kecelakaan tunggal
jatuh dari sepeda motor pukul 04.00 WIB. Pasien jatuh ke aspal arah kiri. Pasien
memakai helm, terdapat luka robek pada kepala bagian depan sebelah kiri, dan Keluar
darah dari hidung. Pemeriksaan neurologis di IGD didapatkan GCS 14. Saat sadar,
pasien tidak ingat bahwa dirinya pingsan setelah terjadi kecelakaan, dan pasien
mengaku kalau dirinya minum alkohol. Pasien mengeluh nyeri kepala, keluhan mual

13
dan muntah disangkal, leher dan mata sebelah kiri terasa pegal, mata sebelah kiri
tampak memar dan tidak bisa dibuka. Dari pemeriksaan fisik didapatkan Pupil bulat
anisokor, dengan diameter 3mm pada pupil mata kanan dan midriasis maksimal pada
pupil kiri. Tidak terdapat refleks cahaya langsung pada mata sebelah kiri. Posisi bola
mata eksotropia pada mata sebelah kiri. Terdapat ptosis pada mata kiri. Hasil CT scan
tampak hematosinus sphenoid dan ethmoid sinistra, Susp. Fr. Tulang mastoid sinistra,
Hematom Intraserebri sinistra dan subarachnoid regio frontotemporoparietal sinistra,
Hematom subkutis regio frontotemporoparietal sinistra, Pneumoencephal frontal.

VII. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : Subgaleal Hematoma sinistra


Diagnosis topis : Frontotemporoparietal Sinistra
Diagnosis etiologis : Trauma tumpul
Diagnosis Patologis :Trauma Kapitis, Haemorraghic, contusio serebri
Diagnosis Radiologis :
o Hematom Intraserebri sinistra dan subarachnoid regio frontotemporoparietal
sinistra
o ICH Frontal Sinistra
o Fraktur Frontal Sinistra
o Pneumoencephal Frontal
o Hematosinus sphenoid dan ethmoid sinistra
o Susp. Fr. Tulang mastoid sinistra
o Hematom subkutis regio frontotemporoparietal sinistra

VIII. KONSULTASI

Pasien dikonsultasi ke beberapa bagian yaitu:


1. Konsultasi ke bagian THT: pada pasien ini terapat hematosinus sphenoid dan
ethmoid sinistra serta susp. Fraktur tulang mastoid sinistra. Kemudian pasien ini
didiagnosis mengalami hematosinus dari bagian THT, dan mendapatkan obat
Aldisa 2x1 semprot /hari.
2. Pasien ini dikonsul ke bagian mata karena ditemukannya ptosis pada kelopak mata kiri,
pupil anisokor yaitu terdapat midriasis maksimal pada mata kiri pasien, tidak terdapat
refleks cahaya langsung pada mata sebelah kiri pasien, serta eksotropia pada mata kiri

14
pasien ini. Konsultasi ke bagian mata tidak memberikan jawaban karena pasien pulang
paksa.

IX. TATALAKSANA
Tatalaksana di ruangan
 IVFD Asering 500 cc/12 jam
 Tinoridini HCL 3x1
 Injeksi Citicoline 2 x 500 mg
 Injeksi Asam Traneksamat 3 x 500mg IV
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g IV
 Injeksi Ranitidin 2 x 1amp IV
 Injeksi Dexamethasone 4 x 10mg IV
 Aldisa 2x1 semprot/hari

X. FOLLOW UP
Follow up pasien dilakukan selama 4 hari. Ketika masuk ruang rawat inap, didapatkan
keadaan umum stabil, pasien mengeluh sakit kepala, mata sebelah kiri tidak dapat
dibuka, terdapat memar ada mata sebelah kiri, pupil bulat, anisokor dengan diameter
kurang lebih 3 mm/midriasis maksimal, terdapat eksotropia pada mata sebelah kiri.
Tidak terdapat refleks cahaya pada mata kirinya. Pemeriksaan neurologis, ditemukan
kesadaran CM
Follow up hari ke-2. Didapatkan keadaan umumnya stabil, tidak ada keluhan
apapun, pemeriksaan didapatkan pasien masih belum dapat membuka mata sebelah
kirinya, pupil bulat anisokor, dengan diameter kurang lebih 3mm/midriasis maksimal,
terdapat eksotropia pada mata sebelah kiri. Tidak terdapat refleks cahaya pada mata
kirinya. Pemeriksaan neurologis ditemukan kesadaran CM.
Follow up hari ke-3 Didapatkan keadaan umumnya stabil, pasien mengeluh terasa
pegal pada bagian leher dan mata sebelah kiri, pemeriksaan didapatkan pasien masih
belum dapat membuka mata kirinya, pupil bulat anisokor, dengan diameter kurang
lebih 3mm/midriasis maksimal, masih ditemukannya ekstropia pada mata sebelah kiri.
Tidak terdapat refleks cahaya pada mata kirinya. Pemeriksaan neurologis ditemukan
kesadaran CM.
Follow up hari ke-4 Didapatkan keadaan umumnya stabil, pasien mengeluh pusing
berputar sejak semalam dan matanya terasa pegal, keluhan mual muntah disangkal.

15
Pemeriksaan didapatkan pasien masih belum dapat membuka mata kirinya, pupil bulat
anisokor, dengan diameter kurang lebih 3mm/midriasis maksimal, ditemukannya
eksotropia pada mata sebelah kiri, tidak terdapat refleks cahaya pada mata kirinya.
Pemeriksaan neurologis ditemukan kesadaran CM.

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

16
BAB III
ANALISA KASUS

Pada kasus trauma kepala biasanya dilakukan pemeriksaan penunjang CT Scan


kepala sebagai gold standar, tetapi tidak semua kasus trauma kepala akan dilakukan
pemeriksaan CT Scan kepala. Berikut terdapat indikasi dilakukannya pemeriksaan CT
Scan Kepala. Indikasi CT Scan kepala ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu ada indikasi
primer seperti: trauma kepala akut, suspect perdarahan intracranial akut, penyakit
vaskular obstruktif/ vasculitis, evaluasi aneurisma, deteksi atau evaluasi kalsifikasi,
evaluasi post operasi imediet akibat tumor, perdarahan intracranial atau lesi
perdarahan, lesi vaskuler yang diobati atau tidak diobati, suspek malfungsi shunt atau
shunt revisi, perubahan status mental, sakit kepala, tekanan intracranial yang
meningkat, defisit neurologis akut, suspek infeksi intrakranial, suspek hidrosefalus, lesi
kongenital (makrosefali, mikrosefali, dan craniosinostosis), evaluasi penyakit
psikiatrik, herniasi otak, suspek tumor atau massa, abses otak, metastasis otak. Dan
terdapat indikasi sekunder dilakukannya CT Scan kepala seperti: bila terdapat diplopia,
disfungsi saraf kranial, kejang, apnea, sinkop, ataksia, suspek penyakit
neurodegeneratif, ensefalitis, disfungsi neuroendokrin, keracunan obat, dysplasia
kortikal dan abnormalitas migrasi atau abnormalitas morfologi otak. Berikut indikasi
pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
Dalam Kasus ini, pasien sudah terdiagnosis mengalami contusio cerebri. Pasien
ini terindikasi dilakukannya pemeriksaan CT Scan kepala karena pada kasus ini pasien
mengalami sinkop pada saat terjadi kecelakaan hingga pasien dibawa ke IGD, sehingga
pada pasien ini dicurigai mengalami herniasi otak. Pasien ini juga mengalami disfungsi
saraf kranial berupa pupil anisokor, ekstropia pada mata sebelah kiri, ptosis pada mata

17
sebelah kiri, dan tidak terdapat refleks cahaya pada mata sebelah kiri.
Herniasi pada otak dapat terjadi apabila terdapat peningkatan tekanan
intrakranial. Terdapat gejala yang menandakan seseorang mengalami peningkatan
intrakranial seperti terdapat adanya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-
muntah, kejang yang bersifat umum atau fokal, terdapat juga papil edema dan biasanya
pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, adanya gejala lateralisasi.

Herniasi tentorial terdiri dari 2 macam, yaitu herniasi tentorial central (axial)
yaitu pergeseran otak diencephalon dan mesencephalon ke kaudal melalui incisura
transtentorial. Gambaran klinis yang didapatkan pada herniasi tentorial ini adalah
terjadi deteriorasi mulai dari rostral ke caudal yaitu kegagalan diencephalon sampai
medula oblongata secara berurutan, terdapat penurunan tingkat kesadaran karena
terjadi penekanan pada mesencephalon, terdapat gangguan dalam pergerakan bola mata
yaitu gangguan dalam menggerakan bola mata ke arah atas (sunset eyes). Kemudian
herniasi tentorial lateral (uncal) yaitu uncus lobus temporalis dan hipokampus bergeser
ke medial ke arah tepi tentorial dan batang otak. Pada herniasi tentorial ini terjadi
dilatasi pupil ipsilateral dan refleks cahayanya negatif (merupakan tanda paling awal
dan paling terpercaya pada herniasi tentorial lateral), terjadi kelumpuhan gerak bola
mata karena penekanan pada nervus okulomotorius, terdapat penurunan tingkat
kesadaran karena terjadi penekanan pada mesencephalon, dan terdapat hemiplegi
kontralateral. 4,5

Pada pasien kasus ini tidak mengalami herniasi karena pada pasien ini tidak
ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, kemudian pada pasien ini
juga tidak mengalami herniasi tentorial karena walaupun terdapat parese nervus III
pada pasien ini, tetapi pasien ini tidak mengalami hemiplegi pada tubuhnya serta tidak
mengalami penurunan tingkat kesadaran. Pasien ini mengalami penekanan pada nervus
III oleh karena adanya fraktur impresi pada kepala yang menekan jaringan otak yang
tempatnya berdekatan dengan jalur N. III, dan fungsi nervus III adalah mengendalikan
M. rectus superior yang berfungsi melakukan elevasi bola mata , M. Rectus inferior
dan M. Rectus. medial yang fungsinya menarik bola mata ke arah inferior dan medial,
M. obligus inferior, fungsinya memutar bola mata menghadap atas-lateral dan

18
M.Levator palpebra superior yang berfungsi mengangkat palpebra superior, M.
sphingter pupil yang berfungsi untuk menguncupkan pupil dan kontraksi otot-otot silia.
Tetapi karena terjadi penekanan pada nervus ini, maka terjadi kelumpuhan pada saraf
yang mengontrol kerja otot-otot mata tersebut sehingga hal ini yang menyebabkan
pupil menjadi anisokor, ptosis pada kelopak mata kirinya, refleks cahayanya juga
menjadi negatif.

Telah teridentifikasi 145 kasus kelumpuhan saraf ketiga yang baru didiagnosis
di Olmsted County, Minnesota, selama periode 37 tahun. Kejadian tahunan yang
disesuaikan dengan usia tahunan dari kelumpuhan saraf ketiga diperoleh 4.0 per
100.000 (95% CI, 3,3-4,7 per 100 000). Kejadian tahunan pada pasien berusia di atas
60 tahun lebih besar daripada pasien berusia di bawah 60 (12,5 vs 1,7 per 100 000;
perbedaan, 10,8 per 100 000; 95% CI, 4,7-16,9; P <.001). Penyebab paling umum dari
kelumpuhan saraf ketiga yang didapat diperkirakan adalah mikrovaskular (42%),
trauma (12%), kompresi dari neoplasma (11%), postneurosurgery (10%), dan kompresi
dari aneurisma (6%). Sepuluh pasien (17%) dengan kelumpuhan saraf mikrovaskular
ketiga memiliki keterlibatan pupil, sementara keterlibatan pupil terlihat pada 16 pasien
(64%) dengan palsi saraf ketiga yang tertekan.

Total terdapat 23 pasien termasuk dalam post traumatik cedera nervus


okulomotorius dengan insiden 2,9% termasuk 11 pasien dengan cedera nervus kranialis
multiple. Tingkat keparahan cedera telah dibagi (12 pasien mengalami cedera kepala
berat, 9 pasien cedera kepala sedang, 3 pasien cedera kepala ringan). 11 pasien
mengalami fraktur basis cranii dan 7 pasien mengalami cedera kepala berat.
Peningkatan signifikan pada paresis otot ekstra-okuler pada pasien dengan trauma yang
tidak tembus menunjukkan tipe cedera neuropraxia sampai tingkat tertentu.
Kelumpuhan nervus okulomotorius (2 pasien) dan Kelumpuhan saraf oculomotor
bilateral (2 pasien) dan kelumpuhan saraf okulomotor lengkap (10 pasien) lebih sering
terjadi pada cedera kepala parah. Pada pasien yang sadar dengan ptosis parsial gejala
utama dicampur diplopia binokular horisontal dan vertikal.

19
Pada kasus ini pasien didiagnosis mengalami cedera kepala sedang hingga berat
karena pada pasien ini terdapat perdarahan intracerebral dan pada pasien ini
ditemukannya Hematom Intraserebri sinistra dan subarachnoid regio
frontotemporoparietal sinistra yang mengindikasikan pasien mengalami cedera kepala
berat. Berdasarkan literatur yang sudah diterapkan di atas, kelumpuhan nervus
okulomotorius lebih sering terjadi pada cedera kepala yang parah.

Salah satu komplikasi tersering dari cedera kepala adalah dapat menyebabkan
timbulnya edema cerebri. Tidak semua orang yang mengalami edema vasogenik akan
diberikan terapi kortikosteroid. Hal ini karena penyebab timbulnya edema vasogenik
ini adalah edema sitotoksik. Pada edema sitotoksik terjadi gangguan permeabilitas
membran sel sehingga dapat terjadi penumpukkan cairan di ruang intraselular dan
penumpukan cairan tersebut terletak di dalam white dan gray matter. Edema sitotoksik
tidak dapat diberikan kortikosteroid karena obat kortikosteroid berfungsi menarik air
dari ekstraselular ke intraselular (meningkatkan permeabilitas sawar darah otak), maka
dapat memperberat edema vasogenik. Edema vasogenik dapat menyebabkan nekrosis
pada sel otak dan ketika nekrosis sel otak telah terlepas, zat yang lepas dari sawar darah
otak dan menyebabkan edema ekstraseluler (edema vasogenik). Hal ini akan semakin
diperberat apabila diberikan obat kortikosteroid karena dapat memperluas edema
vasogenik dan nekrosis sel otak. Pada pasien ini termasuk mengalami edema vasogenik
yang disebabkan karena trauma dan karena terjadi perdarahan pada otak yang dapat
menyebabkan permeabilitas kapiler di otak terganggu, maka untuk mencegah
terjadinya edema berkelanjutan, pada pasien ini diberikan terapi obat dexamethason
(obat golongan kortikosteroid).

Sebanyak 312 pasien (9,1%) melibatkan satu saraf tunggal atau multiple syaraf
di antara 12 pasang saraf kranial yang diamati. Tingkat cedera saraf bervariasi dan
melibatkan saraf pencium (66 kasus), saraf optik (78 kasus), saraf okulomotor (56
kasus), saraf troklear (8 kasus), saraf trigeminal (4 kasus), saraf ablucent (12 kasus) ,
saraf wajah (48 kasus), saraf akustik (10 kasus), saraf glossopharyngeal (8 kasus),
nervus vagus (6 kasus), saraf akses (10 kasus) dan saraf hipoglossal (6 kasus).
Pemeriksaan pencitraan menunjukkan fraktur tengkorak pada 217 kasus, komplikasi

20
otak yang rumit pada 232 kasus, hematoma epidural pada 194 kasus, perdarahan
subarachnoid pada 32 kasus, kebocoran cairan cerebrospinal nasal (CSF) pada 76 kasus
dan kebocoran CSF pada 8 kasus. Dari 312 pasien tersebut, 46 pasien meninggal;
Tingkat kematian yang terkait dengan cedera saraf kranial rendah adalah sebesar
73,3%.

Lesi di dalam Sinus Cavernous dan Fisura Orbital Superior. Lesi pada zona ini
dapat menghasilkan kelumpuhan CN III terisolasi, namun paling sering dikaitkan
dengan disfungsi saraf kranial lainnya. Membedakan antara lesi pada sinus kavernosa
versus fisura orbital superior bisa menjadi tantangan dan terkadang literatur
menggambarkannya sebagai sindrom sphenocavernous. Ini muncul sebagai paresis
dari oculomotor, trochlear dan abducens nerves dengan divisi maksilary terkait saraf
trigeminal, menghasilkan rasa sakit. Hal ini dapat disebabkan oleh lesi primer (invasi
langsung) atau sekunder (lesi intrakranial / intraorbital yang mengompres daerah ini).
Penyebab yang paling umum adalah tumor (misalnya meningioma) Ada patologi lain
yang dijelaskan di dalam sinus kavernosus dan fisura orbital superior yang hadir
dengan ophthalmoplegia yang menyakitkan yang dikenal dengan Tolosa Hunt
Syndrome. Hal ini digambarkan sebagai peradangan granulomatosa idiopatik. Ini
adalah diagnosis eksklusi, oleh karena itu tumor, metastasis atau aneurisma harus
dikesampingkan dengan neuroimaging. Meskipun tumor adalah penyebab paling
umum lesi pada zona ini, proses vaskular juga dapat menyebabkan kerusakan pada
struktur yang ada di dalamnya. Trombosis sinus kavernosa, fistula karsinoma karotid,
sifilis, vaskulitis, dan / atau penyakit jaringan ikat autoimun (misalnya lupus
eritematosus sistemik) dapat menghasilkan ophthalmolegia yang menyakitkan yang
khas sindrom sinus kavernosa.
Pneumocephalus juga dikenal dengan aerocele intraserebral atau pneumatocele
didefinisikan sebagai adanya gas di dalam kompartemen intrakranial. Penumpukan
udara pada intrakranial dapat ditemukan segera (< 72 jam ) ataupun lambat (>72 jam)
pada trauma kepala beberapa hari sebelum timbulnya gejala klinis. Apabila udara di
intrakranial ini menyebabkan hipertensi intrakranial dan terjadi efek massa dengan
gejala neurologis, disebut dengan tension pneumocephalus.6

21
Frekuensi trauma kepala sebagai etiologi yang predominan berhubungan
dengan pneumocephalus, sekitar 67-74% dari semua kasus peneumocephalus terjadi
pada suatu kelompok besar trauma keala. Trauma krainio-fasialis adalah faktor etiologi
yang paling umum, sebanyak 7-9% pasien pada hasil CT Scannya ditemukan gambaran
adanya udara intracranial.

Salah satu etiologi yang menimbulkan terjadinya pneumocephalus adalah post


trauma yaitu terdiri dari fraktur yang dekat sinus udara atau basis tengkorak dan fraktur
terbuka yang dekat konveksitas cranial dengan laserasi dural (yaitu:Tengkorak
congenital atau defek tegmentum timpani, neoplasma yang menyebabkan erosi tumor
yang dekat tengkorak atau basis tengkorak, dan osteoma, epidermoid, tumor pituitary).

Bahaya dari pneumocephalus adalah dapat menyebabkan peningkatan tekanan


itrakranial. Dengan adanya peningkatan tekanan itrakranial ini, dapat menyebabkan
penekanan pada otak sehingga dapat timbul berbagai gejala sesuai dengan letak
penekanan yang terjadi. Salah satu akibatnya dapat menyebabkan gangguan
pernapasan dan gangguan pengaturan detak jantung apabila terjadi penekanan daerah
otak yang berfungsi sebagai pusat pernapasan dan pusat pengaturan pompa jantung,
dan hal ini dapat menyebabkan kematian. Maka dari itu pada pasien cedera kepala yang
disertai pneumosephalus, harus diwaspadai terhadap tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial yang bisa berlangsung cepat, maupun lambat.
Manajemen atau penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien yang
mengalami pneumocephalus adalah manajemen non operatif Pneumocephalus
biasanya terserap tanpa manifestasi klinis. Pengobatan konservatif melibatkan
penempatan pasien di posisi Fowler 30 °, menghindari manuver Valsava (batuk dan
bersin)/ hindari hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan pada sinus, memberikan rasa
sakit dan obat antipiretik untuk mencegah hipertermia, dan diuretik osmotik. Dengan
ukuran ini, reabsorpsi diamati pada 85% kasus setelah 2-3 minggu, pemberian
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada otak, analgesic adekuat, sedangkan
tindakan operatif berupa decompresi dan explorasi. Pneumocephalus jarang
memerlukan tindakan pembedahan kecuali terjadi deficit neurologis dan adanya
gambaran Tension Pneumocephalus (gambaran fenomena Mount Fuji),

22
Pneumocephalus yang rekuren atau adanya CSS lebih dari seminggu. Pasien pada
kasus ini juga mengalami pneumocephalus dan hanya dilakukan tatalaksana
nonoperatif. Pada pasien ini menurut diagnosis radiologi terdapat pneumocephal dan
pasien ini dilakukan pentalaksanaan dengan pemberian oksigen, antibiotik yaitu injeksi
ceftriaxone, analgesic dan antiinflamasi berupa nonflamin.
Sekuele yang dapat timbul akibat cedera kepala yaitu:
1. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi posttraumatic didefinisikan sebagai kelainan kejang berulang
akibat cedera otak setelah trauma kepala. Beberapa teori telah disarankan
untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari kondisi klinis ini, dan
hipotesis ini saat ini sedang diselidiki.
2. Afasia
3. Amnesia
4. Hemiparese atau palsy saraf kranial
5. Gangguan mental
6. Nyeri kepala yang hilang timbul, depresi, gangguan konsentrasi
7. Vertigo akibat cedera di daerah vestibular.

Epilepsi post traumatik atau Post Traumatic Epilepsy (PTE) adalah


sindroma klinik dimana seseorang menderita bangkitan berulang setelah trauma
akibat dari cedera otak traumatik /traumatic brain injury (TBI) atau kerusakan otak
yang disebabkan trauma fisik.
Bangkitan post trauma yang terjadi 1 minggu setelah trauma disebut
bangkitan post trauma tipe awal. Sedangkan bangkitan yang terjadi lebih dari 1
minggu setelah cedera disebut bangkitan post trauma tipe lambat. Sekitar 20%
orang yang pernah mengalami 1 kali bangkitan post trauma tipe lambat, selanjutnya
tidak pernah mengalaminya lagi, maka ini tidak dapat disebut sebagai epilepsi post
trauma.
Penelitian-penelitian menemukan bahwa insidensi PTE berkisar dalam
rentang 1,9 sampai lebih dari 30% dari penderita TBI, dengan bervariasi
berdasarkan beratnya trauma dan waktu dari terjadinya TBI. Dewasa muda, adalah
kelompok risiko paling tinggi mengalami trauma kapitis, juga memiliki angka PTE

23
yang lebih tinggi. PTE lebih umum pada laki-laki dibanding wanita, dan puncak
kejadiannya antara usia 15-24 tahun. Tidak jelas mengapa beberapa pasien
mengalami PTE, sementara lainnya dengan trauma yang sama tidak. Insiden
epilepsi pada populasi umum diperkirakan antara 0,5-2%, insidensi epilepsi post
trauma untuk seluruh tipe trauma kapitis adalah 2-2,5% pada penduduk sipil.
Insiden ini meningkat hingga 5% pada pasien bedah saraf. Jika hanya trauma kapitis
berat (biasanya GCS kurang dari 9) yang diperhitungkan, insidennya adalah 10-
15% pada dewasa dan 30-35% pada anak. Kira-kira 50% pasien dengan trauma
kapitis tembus akan mengalami PTE. Hematom intracranial merupakan salah satu
faktor risiko yang paling penting untuk PTE. Hematom subdural memiliki resiko
yang lebih tinggi terjadinya PTE daripada hematom epidural, mungkin karena
menyebabkan kerusakan yang lebih banyak pada jaringan otak. Sebagai tambahan,
peluang terjadinya PTE berbeda-beda pada lokasi terjadinya lesi di otak, kontusio
cerebri yang terjadi pada salah satu dari lobus parietalis memiliki risiko 19% dan
pada lobus temporalis 16%. Bila kontusio terjadi bilateral (pada kedua sisi),
resikonya 26% untuk lobus frontalis, 66% untuk parietal dan 31% untuk temporal.
Kontusio adalah memar pada jaringan otak dengan masih bertahankan
struktur aslinya. Terdapat 2 bentuk kontusio: coup dan counter coup. Cedera Coup
dimaksudkan pada trauma otak tepat di bawah dari tempat terjadinya benturan,
sebaliknya trauma counter coup adalah trauma terjadi pada bagian distal dari tempat
benturan. Hippocampus, tempat yang sangat epileptogenik, sering menjadi sasaran
pada trauma counter coup. Terdapat banyak teori yang telah dikembangkan untuk
menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penyebab serangan kronik setelah
trauma kapitis. Diantaranya adalah pembentukan radikal bebas yang merusak
parenkim otak, peningkatan pada aktifitas eksitasi setelah trauma, dan perubahan
pada fungsi inhibisi dari otak. Berbagai bentuk penelitian pada hewan telah
dikembangkan untuk menggali kemungkinan dari jenis trauma kapitis yang
berbeda dari konkusio sampai trauma kapitis dengan luka tembus. Karena darah
pada parenkim otak dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi,
meskipun mekanisme dari teori ini masih digali. Hemoglobin diteliti sebagai bahan
yang terlibat dalam epileptogenesis. Begitu terjadi perdarahan ke dalam jaringan

24
otak, sel darah merah akan mengalami lisis dengan kemudian melepaskan
hemoglobin yang akan dipecah menjadi hemin dan besi (FE). Kedua bahan hasil
pemecahan tersebut telah terbukti mempengaruhi fungsi fisiologis pada transmisi
di sinaps yang dapat menyebabkan pembentukan serangan PTE. Darah yang
berkumpul di otak setelah trauma dapat merusak jaringan otak dan berakibat
timbulnya epilepsi. Produk hasil-hasil dari penguraian hemoglobin dari darah
bersifat toksik terhadap jaringan otak. "The Iron Hypothesis" yang masih
dipertahankan bahwa PTE akibat kerusakan oleh radikal bebas oksigen, dimana
pembentukannya dikatalisis oleh besi dari darah. Besi menyebabkan pembentukan
radikal bebas hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss. Radikal bebas merusak sel otak
dengan melakukan peroksidase terhadap lapisan lipid di membran sel. Besi dari
darah juga mengurangi aktifitas dari enzim yang disebut nitrit oxide synthase,
sebagai faktor lainnya yang diduga berperan terhadap terjadinya PTE.
Kindling hipotesis menegaskan bahwa hubungan antar neuron-neuron yang
baru dibentuk di otak dan menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Sinaps ditata
kembali di hipocampus. Penataan kembali dari jaringan saraf-saraf tsb dapat
membuatnya lebih mudah dirangsang. Bangkitan yang terjadi sesaat setelah TBI
dapat menyusun kembali jaringan saraf yang hal ini selanjutnya akan menimbulkan
serangan-serangan kembali yang terjadi secara berulang dan spontan. Neuron-
neuron yang dalam keadaan hipereksitabilitas karena trauma dapat membentuk
fokus epilepsi di otak yang akan menimbulkan bangkitan dikemudian hari. Sebagai
tambahan, neuron-neuron inhibisi kemungkinan akan menghilang. Eksitotoksistas
merupakan kemungkinan faktor lain dalam penyebab PTE. TBI menyebabkan
jumlah neurotransmitter glutamat dan aspartat banyak dilepaskan, yang mungkin
dihubungan dengan timbulnya bangkitan. Sebagai tambahan, pelepasan
neurotransmitter inhibisi seperti GABA dapat berkurang. Overaktivasi dari reseptor
biokimiawi dan respon terhadap neurotransmitter eksitasi seperti glutamat
menyebabkan pembentukan radikal bebas dan hal ini menyebabkan
eksitotoksisitas. Sel otak menjadi rusak karena eksitasi berlebihan dari reseptor
untuk asam amino eksitatorik pada membran neuron. Kalsium diduga sebagai ion
utama yang terlibat dalam eksitotoksisitas. Reseptor eksitatorik glutamat penting

25
untuk masuknya ion kalsium kedalam sel yang dapat menimbulkan kematian sel,
dan dapat menimbulkan efek permanen pada sel sebagai fokus epileptogenik yang
kronik akan mengikuti eksitotoksisitas karena pelepasan neurotransmitter eksitasi
yang berlebihan saat terjadi bangkitan. Glutamat menyebar luas di otak seperti
halnya cairan ektrasel, neurotransmitter ini terlibat dalam banyak fungsi. Glutamat
dalam jumlah besar memiliki efek eksitotoksik terhadap otak, pada saat yang
bersamaan, glutamat juga berperan sebagai prekursor dari neurotransmitter inhibisi
GABA (γ-aminobutirit acid), sehingga efeknya pada patogenesis epilepsi mungkin
lebih rumit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jurnal e-Clinic. Gambaran Pasien Cedera Kepala di RSUP. PROF. dr. R. D. Kandou
Periode Januari 2013 –Desember 2013. Available from :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/7129/6640

Accessed : 24 November 2017


2. Karim AHA, Jalaluddin WMS, Ghani ARI. Computed Tomography Perfusion Imaging
on Traumatic Cerebral Contusion: A Preliminary Report. Malaysian Journal of Medical
Sciences 2010;17:51–6.
3. Post-traumatic Cranial Nerve Injury. Available from :
http://medind.nic.in/icf/t05/i1/icft05i1p27.pdf. Accessed : 28 November 2017
4. Wilkinson, I., Lennox, G., 2005. Tentorial Herniation. In: Essential Neurology.
Wilkinson, I., ed. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 42-43
5. Rohkamm, R., 2004. Intracranial Pressure.In: Color Atlas of Neuroanatomy. Taub, E., ed.
1st ed. New York: Stuggart Thime. 160-161
6. Post-traumatic Cranial Nerve Injury. Available from : http://jounal.fkumpalembang.ac.id.
Accessed : 26 November 2017.

26

Anda mungkin juga menyukai