Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

PNEUMONIA

KELOMPOK 7

10100110069 REZA AKBAR RAFSANJANI

10100111129 DEA GUNTUR RAHAYU

10100111140 ANNISSA NABELLA FITRIANY


10100111096 RENI SARI HARTINI

10100111110 CAHAYA PUTRI LESTARI

10100111122 EVA MELTYZA

10100111095 MUHAMAD INDRA ALEXANDRA KOSWARA

10100111157 ANNISA SAKILA

10100111077 ASTRID MUSTIKAWATI

10100111132 DIMAS APRIYANDIKA

10100111103 MUHAMAD FADHIL

10100111153 RANGGA SATRIA PAMUNGKAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2014
BASIC SCIENCE
Respiratory tract

pembagian berdasarkan :

struktur :

a. Upper :
- Hidung
- Faring
b. Lower :
- Laring bagian subglotis
- Trachea
- Bronchi
- Paru-paru

Fungsional :

a. Conducting :
- Hidung
- Farig
- Laring
- Trachea
- Bronchi
- Bronchiolus
- Bronchiolus terminal
b. Respiratory :
- Respiratory bronchiolus
- Alveolar duct
- Alveolar sac
- Alveoli

Paru-paru

 Letak : berada di dalam thoracic cavity,yang dipisahkan oleh jantung dan mediastinum dengan
jaringan lainnya.
 Bagian : apex,yang bagian tajam. Base,bagian tumpul dasar dari paru-paru.
 Surface :
a. Costal : terluas,smooth,convex. Berhubungan dengan costal pleura dan memisahkan dengan
ribs,costal cartilage. Bagian poteriornya berbatasan dengan vertebra.
b. Mediastinum : bagian concave,berada di middile mediatinum,berbatsan dengan jantung dan
pericardium,meliputi juga hium.
c. Diaphragmatic : concave dan berbatsan dengan diaphragma.
 Border :
a. Anterior : surface costal dan mediastinum bertemu secara anterior
b. Inferior : diaphragma
c. Posterior : surface costal dan mediastinum bertemu secara poterior
 Paru- paru kanan :
1. Memiliki 3 lobus : superior,middle,inferior
2. Fissure : hoizontal fissure, oblique fissure
 Paru-paru kiri :
1. Memiliki 2 lobus : superior,inferior
2. Fissure : oblique fissure
 Segmen: setiap lobus paru-paru terbagi atas segmen-segmen. Paru-paru kanan terdiri atas 10
segmen,sedangkan kiri terdiri atas 8-10 segmen tergatung dari kombinasi segmen-segmennya.
Sehingga total seuruh segmen ada 18 segmen.
 Paru-paru di lapisi oleh pleura,pleura : parietal,yaitu lapisan pleura yang menempel ke paru-paru.
Visceral,yaitu lapisan pleura yang menempel ke dinding thorax. Diantara parietal dan visceral ada
cavity yang berisi cairan,fungsinya meminimalisir gesekan ketika inspiari ekspirasi.

Vascularisasi, lymphatic,innervasi

Vaskularisasi paru-paru ada 2 :pulmonary trunk dan bronchial artery

Pulmonary trunk

pulmonary trunk

pulmonary artery

secondary lobar artery

tertiary segmental artery

lobar vein

pulmonary vein

left atrium
Bronchial artery

aorta

right bronchial a left bronchial a

small bronchial a

bronchial vein

right left

azygos vein sup intcostal hemiazygos


vein vein

svc brachiocephalic trunk

Lympathic

Seluruh bagian lobus kanan di drainase ke arah right lymphatic duct

Sedangkan bagian kiri paru lobus superior di drainase ke left lymphatic duct,bagian lobus inferior di
drainase ke bagian right lymphatic duct.

Innervasi

Berasal dari pulmonaryplexus anterior(motorik)/posterior(sensorik). Parasympatetic( presynaps from


vagus),symhatic(paravertebral ganglia),visceral averent

Bronchioles
Pada Bronchiol yang lebih besar, epithelnya masih ciliated pseudostratified columnar, namun hal ini
mengurang dalam tinggi dan kompleksitas menjadi ciliated simple columnar atau cuboidal epithelium
dibagian yang mengecil pada terminal bronchiol.
Goblet sel pun menghilang pada perubahan ini, namun epitel ini memilikii exocrine bronchiolar sel, yang
disebut sebagai Clara cells . sel yang aktif secara mitotic ini mensekret komponen surfaktan dan
mempunyai beberapa peran defensive.
Large Bronchiole
Sel neuroendocrine pun bertaburan menghasilkan serotonin dan peptide lain yang membantu
mengontrol tonus otot polos local.
Neuroepithelial bodies, diinervasi oleh autonomic dan sensory fibers dan berfungsi sebagai reseptor
kemosensori dalam memonitor level oksigen/ O2

Clara Cell
Lamina propia terdiri dari otot polos dan fiber elastin dan dikontrol oleh Vagus nerve (menurunkan
diameter) dan sympathetic nervous system (kebalikan).
Respiratory Bronchioles
Mukosanya sama dengan terminal bronchioles, kecuali dinding mereka terganggu oleh pembukaan
alveoli yang seperti kantung dimana terjadinya pertukaran gas. Dilapisi oleh ciliated cuboidal epithelial
cells dan Clara cells, namun saat masuk ke pembukaan alveolar, berubah menjadi squamous alveolar
lining cells (type I alveolar cells).
Small Bronchiole
Semakin kebawah, silia semakin menghilang. Adapun otot polos dan elastic connective tissue berada
dibalik epithelium respiratory bronchioles.

Alveolar Ducts
Alveolar ducts dan alveoli dilapisi oleh sel squamous alveolar sangat tipis.
Dalam lamina propia yang mengelilingi alveoli adalah sel otot polos ducts, yang menghilang pada ujung
dari duktus ini. Hanya Matrix elastic dan fiber collagen merupakan penyangga duktus dan alveolinya.
Alveolar ducts menuju dua atau lebih alveolar sacs. Elastic dan reticular fibers membentuk
networkmelingkati pembukaan atria, alveolar sac, dan alveoli.
elastic fibers memberi alveoli untuk mengembang selama inspirasi dan kontraksi secara passif selama
ekspirasi.

Respiratory bronchioles, alveolar ducts, and alveoli.


reticular fibers memberi support yang mencegah distensi berlebih dan merusak kapiler yang lembut
serta thin alveolar septa.
Kedua fiber ini berkontribusi ke jaringan ikat yang mengelilingi network dari kapiler disekitar setiap
alveolus.

Alveoli
Karena alveoli bertugas untuk pertukaran gas, maka strukturnya untuk meningkatkan difusi antara
lingkungan internal dan eksternal. Setiap dinding berada diantara dua alveolus yang berdekatan dan
disebut sebagai interalveolar septum. Septum ini berisi sel sel dan ECM jar.ikat, khususnya fiber kolagen
dan elastic, yang merupakan support primer alveoli dan divaskularisasi kaya dengan kapiler, adapun
makrofag dan leukosit lainnya terdapat di interstitium septum.
Udara dalam alveoli dipisah dari kapiler oleh 3 komponen yang disebut sebagai respiratory membrane
atau blood-air barrier :
§ Surface lining dan cytoplasm sel alveolar,
§ Fused basal laminae pada sel alveolar dan sel endotel kapiler yang berdekatan,
§ Cytoplasm pada endothelial cells
Basal lamina sel endothel kapiler dan sel epitel alveolar berfusi sebagai struktur single membrane.
Pores 10–15 m diameter terdapat dalam septum dan bersambung ke pembukaan alveoli terdekat ke
bronchiole lain. Pore ini menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan member sirkulasi kolateral
udara ketika bronchile terobstruksi.
Capillary endothelial cells itu sangat tipis dan dapat tertukar dengan sel epitel alveolar tipe I. lapisan
endothelial ini bersambung / continuous dan tidak fenestrated. Hal ini menyebabkan peningkatan
efisiensi dari pertukaran gas, dan fitur yang sangat menonjol pada sitoplasmanya di dalam bagian yang
pipih pada sel merupakan pinocytotic vesicles.
Type I alveolar cells (type I pneumocytes atau squamous alveolar cells) merupakan sel yang sangat tipis
yang melapisi permukaan alveolar, berfungsi sebagai barrier untuk meminimalisir ketebalan yang siap
untuk permiabilitas gas.
Sangat banyak, sekitar 97% dan sisanya dilapisi oleh type II.
Type I Alveolar Cell and Blood Air Barrier

Organel (ER, Golgi apparatus, dan mitochondria) berkumpul sekitar nucleus, menyebabkan area besar
pada sitoplasma yang bebas organel sehingga menurunkan penebalan blood-air barrier. Sitoplasma
dalam bagian yang tipis terdiri dari pinocytotic vesicles, yang berperan sebagai pengganti surfaktan dan
pembuangan partikel kecil dari permukaan luar.
Ada desmosom antar type I ini sehingga tidak ada kebocoran cairan jaringan ke dalam alveolar air space.
Type II alveolar cells (type II pneumocytes) menyilangi tipe I, berbentuk bulat dan sering dalam group 2
– 3 dipermukaan alveolar. Sel ini berada di basement membrane dan bagian dari epitel. Mereka
bermitosis untuk menggantikan populasi mereka dan juga bisa untuk menggantikan tipe I.
Dalam histology, mereka terlihat vesicular dan foamy sitoplasma. Vesicle ini disebabkan oleh badan
lamellar. lamellar bodies menghasilkan bahan yang tersebat pada permukaan alveolar sebagai
pulmonary surfactant, member lapisan extracellular yang menurunkan tegangan permukaan.
Type II Alveolar Cell

Surfactant terdiri dari aqueous hypophase yang dilapisi oleh suatu monomolecular phospholipid film
yang terdiri dari dipalmitoyl phosphatidylcholine dan phosphatidylglycerol. Sufaktan berfungsi sebagai
penurunan tegangan permukaan pada alveoli dna hal ini menyebabkan dorongan inspiratory yang
dipakai sedikit untuk mengembangkan alveoli, memudahkan untuk bernafas. Tanpa surfaktan, alveoli
cenderung untuk kolaps selama ekspirasi.
Alveolar macrophages, juga disebut sebagai dust cells, ditemukan dalam alveoli dan dalam interalveolar
septum. Berjuta juta monosit migrasi perhari dari microvasculature ke jaringan paru, dimana mereka
memfagosit eritrosit yang tersesat dari kapiler yang rusak dan partikel air-borne yang telah masuk
alveoli.
Makrofag yang penuh mempunyai beberapa nasib : banyak migrasi ke dalam bronchiole dimana mereka
akan naik melalui escalator mucociliary untuk dibuang dalam faring; sisanya keluar paru ke dalam
drainase limfatik, ketika beberapa menetap dalam interalveolar septa connective tissue selama
bertahun tahun.
Keseimbangan asam-basa

o pH pada darah arteri memiliki nilai normal sekitar 7,35-7,45.


o Acidosis (acidemia)  merupakan suatu kondisi dimana pH darah berada di bawah nilai 7,35.
o Alkalosis ( alkalemia)  kondisi dimana pH darah berada di atas nilai 7,45.
o Jika gangguan keseimbangan asam-basa adalah akibat perubahan primer bicarbonat pada cairan
extracellular  disebut gangguan asam-basa metabolic.
- Acidosis metabolic  terjadi primer penurunan konsentrasi bicarbonat
- Alkalosis metabolic  terjadi primer peningkatan konsentrasi bicarbonat
o Jika gangguan keseimbangan asam-basa diakibatkan dari perubahan primer tekanan karbondioksida
(PCO2)  disebut gangguan asam-basa respiratorik
- Acidosis respiratorik  akibat peningkatan PCO2
- Alkalosis respiratorik  akibat penurunan PCO2
o Perubahan pada pH darah yang mengakibatkan acidosis ataupun alkalosis akan diperbaiki dengan
compensation (kompensasi), yaitu merupakan respon fisiologis terhadap acid-base imbalance untuk
mengembalikan pH darah ke nilai normal.
o Kompensasi disebut complete compensation jika pH kembali ke nilai normal. Dan disebut partial
compensation jika pH darah arterial masih dibawah 7.35 atau masih di atas 7.45.
o Jika seseorang mengalami perubahan pH karena metabolic cause, maka hyperventilation atau
hypoventilation dapat membantu dalam mengembalikan pH darah ke nilai normal; maka kompensasi
ini disebut respiratory compensation, yang terjadi dalam waktu beberapa menit dan mencapai
maximum dalam beberapa jam.
o Jika seseorang mengalami perubahan pH karena respiratory cause, maka renal compensation terjadi,
yakni terdapat perubahan pada sekresi H+ dan reabsorpsi dari HCO3- oleh tubulus ginjal. Renal
compensation ini akan dimulai pada beberapa menit akan tetapi mencapai maximum efektif pada
beberapa hari.

Respiratory Acidosis
 Ciri khas dari respiratory acidosis adalah nilai PCO2 pada darah arterial yang nilainya tinggi.
(melebihi 40mmHg).
 Bisa disebabkan adanya inadekuat dari exhalasi CO2 , sehingga pH darah turun.
 Adanya kondisi yang menurunkan pergerakan karbondioksida dari darah menuju alveoli paru-
paru lalu ke atmosfer, sehingga menyebabkan penumpukan CO2, HCO3-, dan H+. Contohnya pada
kondisi-kondisi seperti , emphysema, pulmonary edema, injury pada pusat respirasi di MO,
obstruksi jalan napas, atau gangguan pada otot-otot pernapasan.
 Jika gangguan respiratory tersebut tidak terlalu parah maka ginjal dapat membantu untuk
meningkatkan pH menuju nilai normal dengan meningkatkan eksresi dari H+ dan reabsorpsi HCO3-
(renal compensation).

Respiratory Alkalosis
 Pada respiratori alkalosis PCO2 arterial turun dibawah 40mmHg.
 Penyebab dari turunnya PCO2 , yang mengakibatkan peningkatan pH adalah hyperventilasi, dimana
kondisi tersebut akan sebabkan stimulus pada area inspiratori di brainstem. Kondisi-kondisi yang
bias sebabkan keadaan ini, defesiensi oksigen akibat ketinggian, pulmonary disease,
cerebrovascular accident (stroke).
 Maka akan terjadi renal compensation, dimana ginjal akan menurunkan eksresi H+ dan reabsorpsi
dari HCO3-.

Metabolic Acidosis
 Pada metabolic acidosis, level HCO3- pada darah arterial turun dibawah 24mEq/L, karena level
buffer penting ini menurun maka sebabkan pH turun.
 Ada 3 keadaan dimana terjadi penurunan HCO3- :
1. Hilangnya HCO3- yang terus-menerus, seperti pada diare atau dysfungsi renal.
2. Akumulasi dari asam selain carbonic acid, seperti yang terjadi saat ketosis.
3. Gagalnya ginjal mengeksresika H+ dari hasil metabolisme asupan protein
 Jika gangguan tersebut tidak terlalu parah, maka hyperventilasi akan membantu menurunkan pH
ke nilai normal (respiratory compensation).

Metabolic Alkalosis
 Pada metabolic alkalosis , HCO3- berada pada nilai lebih dari 24mEq/L.
 Bisa disebabkan oleh hilangnya asam yang nonrespiratory atau adanya asupan obat-obatan
alkaline yang berlebihan, yang akan meningkatkan pH.
 Sebab-sebabnya, misalnya pada vomit yang berlebihan dari gastric content, yang akan
mengakibatkan dari banyak hilangnya HCl, merupakan penyebab tersering.
 Penyebab lainnya , gastric suctioning, penggunaan diuretic, gangguan endocrine, penggunaan
obat-obatan alkalin (antacid) yang berelbihan dan dehidrasi berat.
 Respiratory compensation melalui hypoventilation bias membantu mengembalikan pH.
Berikut adalah perubahan pada pH, PCO2, dan HCO3-, pada gangguan asam-basa baik yang simple, mix
dan partially compensated.

Acid-Base Disturbance pH Pco2 HCO3-

Uncompensated Respiratory Acidosis   

Uncompensated Respiratory Alkalosis   

Uncompensated Metabolic Acidosis  -- 

Uncompensated Metabolic Alkalosis  -- 

Partially Compensated Respiratory Acidosis   

Partially Compensated Respiratory Alkalosis   


Partially Compensated Metabolic Acidosis   
Partially Compensated Metabolic Acidosis   
Respiratory and Metabolic Acidosis   
Respiratory and Metabolic Alkalosis   

Ventilation – perfusion ratio

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertukaran gas antara alveoli dan pulmonary capillary
blood terjadi secara pasif, yaitu berdasarkan konsentrasi gradient yang melewati alveolar –capilary
barrier. Gradient konsentrasi tersebut harus dipertahankan oleh ventilasi dan perfusi dari
pulmonary capillary dan alveolus.

 Konsep seimbangnya ventilasi dan perfusi


Alveolar ventilation akan membawa oksigen ke paru-paru dan mengeluarkan karbondioksida
ke atmosfer dari darah vena. Untuk pertukaran tersebut dipengaruhi oleh tekanan parsial dari
masing –masing gas (PO2 dan PCO2). Rasio ventilasi dan vperfusi dinyatakan dalam V/Q (V =

alveolar ventilation, sedangkan Q = perfusi oksigen dan karbon diaoksida melalui membrane
pernafasan )
 Efek rasio ventilasi-perfusi terhadap konsentrasi oksigen dan karbondioksida di alveolus
Tekanan parsial oksigen dan karbonsioksida di dalam alveolus ditentukan oleh 2 faktor yakni
:

 Kecepatan ventilasi alveolus


 Kecepatan transfer O2 dan CO2 melalui membrane pernafasan

1. Ventilasi alveolus
Adalah kecepatan udara baru yang masuk ke alveoli, alveolar sac, alveolar duct dan
bronkiolus respiratorius. Selama nafas normal dan tenang volume alun nafas (VT) hanya
cukup untuk mengisis bagian airway hanya sampai bronkiolus terminalis dan sebagian kecil
yang masuk ke alveoli, oleh karena itu sisanya terjadi difuusi antara bronkiolus terminalis
dengan alveolis.

Difusi → terjadi akibat gerakan kinetic molekul-molekul dan tiap molekul gas bergerak
dengan kecepata tinggi diantara molekul lainya.

o Kecepatan ventilasi alveolus


Adalah ventilasi alveolus tiap menit → volume total udara yang masuk ke alveolus
serta daerah pertukaran gas lainya yang berdekatan (berarti ‘dead space’ tidak termasuk)
setiap menit. Sama dengan frekuensi nafas dikalikan dengan jumlah udara baru yang
memasuki alveoli dalam setiap kali bernafas :

VA = FreqA (VT-VD)

VA = Vol alveolus per min

Freq = Frekuensi pernafasan minimal

VT = Lol. Alun nafas

VD = Lol. Dead space

Jadi, dengan VT normal sebesar 500mL, dead space normal 150 mL, dan frekuansi

pernafasan normal 12 kali/min, maka ventilasi alveolus adalah 12 x (500-150) = 4200mL/min

Ventilasi alveolus merupakan factor penting yang menentukan konsentrasi oksigen


dan karbondioksida dalam alveoli
2. Difusi gas malalui membrane pernafasan
Unit pernafasan terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atria serta
alveolus. Dinding alveolus sangat tipis dan kaya akan pembuluh darah/jaringan kapiler yang
sangat padat dan saling berhubungan sehingga gas di dalam alveolus bias sangat dekat
dengan darah kapiler → sehingga bias terjadi pertukaran gas antatara alveolus dengan darah
paru, terjadi di seluruh membrane pernafasan dan di seluruh bagian terminal paru.
Membrane ini disebut sebagai membrane pernafasan. Lapisan-lapisannya terdiri dari :

a. Lapisan cairan yang melapisi alveoli dan berisi surfaktan yang berperan dalam
menurunkan tegangan permukaan.
b. Epitel alveolus, merupakan sel epitel tipis
c. Membrane basalis epitel
d. Ruang interstitial tipis antara epitel alveolus dengan membrane kapiler
e. Membrane basalis kapiler yang pada beberapa tempat menyatu dengan membrane
basalis epitel
f. Membrane endotel kapiler
Ketebalan membrane pernafasan pada beberapa area adalah 0,2 μm dan rata-rata ±
0,6 μm. Oleh karenanya pertukaran gas dapat terjadi secara cepat. Rata-rata diameter kapiler
paru-paru adalah ± 5μm, sehingga sel darah merah harus merubah bentuk sedemikian rupa
hingga menyentuh dinding kapiler, sehingga oksigen dan karbon dioksida yangbberdifusi tidak
perlu melewati sejumlah besar plasma ketika menuju eritrosit, hal tersebut meningkatkan
kecepetan difusi.

 Faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi gas mealui membrane pernafasan


Yaitu : ketebalan membrane, luas permukaan membrane, koefisien difusi gas dalam
substansi membrane, perbedaan tekanan antara kedua sisi membrane.

a. Ketebalan membrane
Ketebalan membreane pernefasan meningkat misalnya pada keadaan

 Edema dalam ruang interstitial membrane dan alveoli, sehingga gas harus berdifusi
melalui cairan edemanya, menghalangi pertukaran gas.
 Fibrosis paru
 “ kecepatan difusi melalui membrane pernafasan berbanding terbalik dengan ketebalan
membrane”
b. luas permukaan membrane pernafasan
Penurunan luas permukaan membrane akan menurunkan kecepatan difusi, misalnya
akibat :

 emfisema, penghancuran sebagian besar dinding alveoli yang menyebabkan alveoli


menjadi bersatu sehingga terbentuk suatu ruang yang besar tetapi jumlah total
permukaan membrane pernafasannya berkurang, sehingga mengganggu pertukaran
gas.
c. Koefisien difusi
Difusi gas tergantung dari kelarutan gas didalam membrane dan berbanding terbalik
dengan akar pengkat dua berat molekulnya. Kecepatan difusi pada membren pernafasan
sama dengan kecepatan difusi dalam air.

d. Perbedaan tekanan
Beda tekanan antara 2 sisi membrane pernafasan adalah beda tekanan parsial gas
dalam alveoli dan gas dalam darah.

Kecenderungan gas bergerak melalui membrane adalah dari perbedaan antara tekan
parsial alveolus dan tekanan gas dalam darah.

Efek VA/Q terhadap konsentrasi gas dalam alveolus

Konsep rasio ventilasi - perfusi adalah keseimbangan antara ventilasi alveolus dengan
aliran darah didalam alveolus. Secara kuantitatif dinyatakan dengan VA/Q.

VA = ventilasi alveolus

Q = perfusi atau aliran darah

- jika VA normal, Q normal, maka VA/Q normal

- jika VA = 0, tetapi masih ada perfusi di alveolus (Q), maka VA/Q = 0

- jika VA adekuat, tetapi Q = 0, maka VA/Q = ~


Pada ratio “0” atau “~” tidak akan terjadi pertukaran gas melalui membrane pernafasan
pada alveoli yang terkena → akibat-akibatnya :

 Tekanan parsial O2 dan CO2 alveolus bila VA/Q sama dengan ‘nol’.

Berarti tidak adanya ventilasi alveolar,maka udara didalam alveolus menjadi


seimbang dengan O2 dan co2 dalam darah. Karena gas-gas ini berdifusi antara darah

dan udara alveolus.

Darah kapiler yang berfusi oleh darah vena yang kembali dari sistemik → gas-
gas dalam darah yang masuk menjadi seimbang dengan gas alveolus → pO2 dan pCO2

alveoli = darah.

 Tekanan parsial O2 dan CO2 alveolus bila VA/Q sama dengan ‘~l’_

Sekarang pada kejadian ini tidak terdapat aliran darah ke alveolus yang akan
membawa O2 atau CO2 ke alveolus → udara dalam alveolus = udara inspirasi yang

dilembapkan → udara tersebut tida kehilangan O2 dan tidak mengandung CO2 →

pO2 dan CO2 alveolus = atmosfer.

Abnormalitas ventilasi-perfusi ratio

VA/Q abnormal pada penyakit paru obstruksi kronik

Perokok kronis mengalami berbagai derajat obstruksi kronik pada paru-parunya sehingga
menyebabkan adanya udara yang terperangkap didalam alveolis misalnya pada emfisema,
dimana dinding alveoli menjadi rusak akibatnya rasio ventilasi – perfusi menjadi abnormal,
disebabkan karena :

 Sebagian bronkus kecil tersumbat sehingga alveoli yang ada dibelakan sumbatan
menjadi tidak terventilasi → VA/Q mendekati nol

 Pada daerah paru tersebut dinding alveolus rusak tetapi ventilasi alveolus masih ada
sehingga menjadi “tidak berguna” akibat aliran darah tidak adekuat untuk transport
gas-gas darah.
 Pada penyakit obstruksi kronik → beberapa daerah menunjukan physiologic shunt
yang serius sehingga menurunkan efektifitas paru.(5)
Transport oksigen dan karbondioksida

 Oksigen Transport
» 97 % oksigen ditransportasikan oleh hemoglobin (HbO2).
» 3 % terlarut didalam plasma.
» Oxygen-Hb Dissociation Curve
 O2 bergabung secara longgar dan reversibel dengan Hb menjadi
oxyhemoglobin.
 PO2  (didalam pulmonary kapiler) meningkatkan ikatan O2 dengan Hb.
 PO2  (didalam kapiler jaringan) O2 lebih mudah dilepaskan dari Hb.
» Faktor-faktor yang dapat menggeser kurva oksigen-hemoglobin dissociation :
a) Aciditas (pH)
pH  afinitas Hb terhadap O2  O2 mudah disosiasi dengan
Hb.
Dissociation curvenya bergeser ke arah kanan.

Gambar 4: Kurva efek pH terhadap afinitas Hb terhadap oksigen (6)


b) Temperature
 Blood temperature Dissociation curve bergeser ke kanan.
 Penghantaran O2 ke otot fibers.

Gambar 5; Kurva efek Pco2 terhadap afinitas Hb terhadap oksigen(5)

c) 2,3-biphosphoglycerate (BPG)
 Suatu substansi yang ditemukan di sel darah merah bisa
menurunkan afinitas Hb terhadap O2.
  BPG kurva bergeser ke arah kanan.
d) Fetal dan maternal hemoglobin
 Fetal Hb afinitas Hb terhadap O2 lebih tinggi dibandingkan pada
orang dewasa.
Gambar 6 : Kurva hubungan oksigen dan hemoglobin pada fetal dan maternal (5)
 Karbondioksida Transport
» Under normal resting conditions tiap 100 ml darah deoksigenase mengandung 53
ml CO2.
» Bentuk-bentuk kimia dimana CO2 ditransportasikan :
1) Dissolved CO2
 7 % CO2 terlarut didalam plasma.
 Setelah mencapai paru-paru CO2 berdifusi ke alveolar dan
diekshalasikan.
2) Carbamino compound
 CO2 bereaksi secara langsung dengan amine radical dari molekul
Hb.

Carbaminohemoglobin (HbCO2)
 Sekitar 13 % CO2 bergabung dengan Hb.
3) Bicarbonate ions
 Merupakan bentuk transportasi CO2 yang terbesar 70%.
 CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-(6)
CA (bicarbonate ion)
(carbonic anhydrase)
Respiratory defense mechanism

Udara masuk mengandung dust, pollen, fungal, spore dan berbagai mikroorganisme, karena itu
dibutuhkan system pertahanan yang dapat mencegah berbagai macam patogen atau benda asing masuk
ke jalur pernafasan.

1. Air conditioning
Mukosa hidung, oropharynx, nasopharynx, memiliki vaskularisasi yang banyak dan meluas dan
keterlibatan sel-sel tubuh yang melakukan metabolism mengakibatkan suhu disekitar dinding
saluran pernafasan menjadi hangat. Sehingga udara inspirasi yang melewati daerah tersebut
dihangatkan dan dilembabkan. Pada akhirnya alveoli terproteksi dari udara dingin, kering dan
patogen.
2. Olfaction
Dibantu olfactory receptors yang berada di posterior nasal cavity untuk mendeteksi potensi gas
berbahaya. Sinyal diteruskan ke medulla oblongata sehingga jika ke nerve vagus (CN X) akan
menjadi reflex batuk, sedangkan jika ke nerve trigeminal (CN V) akan menjadi refleks bersin

Batuk

Suatu refleks pada saluran pernafasan yang digunakan untuk membersihkan thracheobronchial tree dari
mucus, benda asing, bahan kimia.

Refleks batuk

Terdiri dari 5 komponen :

- Reseptor
Serabut saraf non-mielin halus
Terletak didalam (laring, trachea,bronkus,pleura) atau diluar (saluran telinga, lambung, sinus
paranasal,perikardial,diagfragma,hidung) rongga toraks
- Serabut saraf afferen : n.vagus, n. Trigeminus, n. Frenikus
- Pusat batuk : medulla oblongta
- Serabut saraf efferent
- Efektor : otot-otot laring, trachea, bronkus, diagfragma,otot interkostal

Mekanisme batuk

INSPIRATORY Udara di inspirasi merangsang reseptor (± 2,5 liter)

COMPRETION Epiglotis menutup (0,2 s)

Kontraksi otot-otot abdomen dan otot ekspirasi

Terkanan dalam patu meningkat (±100 mmHg)


EXPIRATORY Epiglotis terbuka

Udara bertekanan tinggi keluar (kecepatan 75-100 mil/jam)

Menggetarkan epitelsiliari respiratory tract

Udara keluar melewati celah-celah bronkus dan trachea

Batuk

REFLEKS BERSIN

Udara masuk inspirasi uvula ditekan

Terjadi rangsangan reseptor yang terletak di hidung (iritasi saluran hidung)

Impuls afferen melalui CN.V

Menyampaikan ke Medulla Oblongata

Impuls efferen

Disampaikan ke efektor (otot-otot respiratory tract atas)

Bersin

3. Filtration
Menggunakan nasal hair untuk menyaring partikel beukuran ≥ 10 µm.
4. Removal
Partikel < 10 µm yang melewati filtrasi akan ditangkap oleh sekresi dari struktur tracheobronchial
dan transport mukosiliari. Epitel yang mensekresikan mucus berfungsi untuk menjebak partikel
asing untuk bergerak perlahan menuju interstitial space yang akan di fagosit dengan cara
mengeluarkan enzim proteolitik. Seain itu partikel asing akan di pindahkan ke arah pharynx oleh
silia-silia yang ada di sepanjang jalur respiratory track. Gerakan ini akan meningkatkan reflex
batuk, sehingga partikel akan menuju oral untuk dibuang dan beberapa yang terjebak di dalam
rongga mulut. Partikel yang masih berada di rongga mulut tidak dapat bertahan karena adanya
proses mengunyah dan menelan sehingga partikel dan pathogen lainnya akan berpindah ke
saluran pencernaan.

CASE

Pneumonia pada anak - anak

 Definisi
 Inflamasi yang terjadi pada parenkima paru.

 Epidemiologi
Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang.
± 4 juta kematian terjadi tiap tahunnya.
♂ > ♀.
Insidensi 3-40/1000 kasus per tahunnya.
Virus pathogen
- Penyebab utama LRTI pada bayi dan anak < 5 tahun.
- Puncak insidensi 2-3 tahun.
- RSV  major pathogen pada anak < 3 tahun.
- Penyebab tersering  parainfluenza, influenza virus, adenovirus.
Nonviral pathogens
- Streptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia  > 5 tahun.
- Bakteri lainnya  S. pyogen, S.aureus, H. influenza.
Lower Respiratory Tract Infection (LRTI) viral di US  sering terjadi pada musim gugur
(Parainflueza virus) dan musim dingin (Respiratory Sincitial Virus (RSV), influenza virus).
 Etiologi
Faktor yang mempersempit etiologi pneumonia
a. Umur
b. Musim
c. Status imunisasi
d. Status kesehatan anak
Faktor resiko utama untuk berkembangnya pneumonia
a. Penyakit paru  asma atau cystic fibrosis.
b. Masalah anatomi  tracheoesophageal fistula.
c. Gastroesophageal reflux disease dengan aspirasi.
d. Gangguan neurologi yang berkaitan dengan perlindungan jalan nafas atau pembersihan jalan
nafas.
e. Penyakit yang merubah sistem imun seperti HIV atau hemoglobinopaty.
Dibagi menjadi 2:
a. Mikroorganisme
- Sulit ditentukan karena kultur secara langsung merupakan prosedur invasive dan tidak
diindikasikan.
- Bakteri dan virus pada CAP  44-85%.
- Kombinasi pathogen yang paling sering  S. pneumonia+RSV/M.pneumonia.
b. Noninfeksi
- Aspirasi makanan/asam lambung, foteign body, hydrocarbon, substansi lipid.
- Reaksi hipersensitivitas.
- Obat-obatan/ radiasi yang menginduksi pneumonitis.

Table Causes of Community-Acquired Pneumonia by Age Group

Age Common causes Less common causes


Birth to 20 days Bacteria Bacteria
Escherichia coli Anaerobic organisms
Group B streptococci Group D streptococci
Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Viruses
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
3 weeks to 3 months Bacteria Bacteria
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumoniae H. influenzae type B and
Viruses nontypeable
Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1, 2, and U. urealyticum
3 Virus
Respiratory syncytial virus Cytomegalovirus
4 months to 5 years Bacteria Bacteria
Chlamydia pneumoniae H. influenzae type B
Mycoplasma pneumoniae M. catarrhalis
S. pneumoniae Mycobacterium tuberculosis
Viruses Neisseria meningitis
Adenovirus S. aureus
Influenza virus Virus
Parainfluenza virus Varicella-zoster virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
5 years to Bacteria Bacteria
adolescence C. pneumoniae H. influenzae
M. pneumoniae Legionella species
S. pneumoniae M. tuberculosis
S. aureus
Viruses
Adenovirus
Epstein-Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella-zoster virus

Information from references 6-9.

 Pathogenesis
LRT normal steril dengan adanya mekanisme pertahanan
a. Fisik  sistem mucociliary, sekresi normal (IgA), pembersihan jalan nafas (batuk, bersin).
b. Imunologi  makrofag dalam alveoli dan bronkus, sekresi IgA dan immunoglobulin lainnya.
Viral pneumonia
Penyebaran infeksi jalan nafas dari URTI (common cold)

Reaksi inflamasi

Pelepasan mediator

Direct injury epitel respirasi

Edema mukosa abnormal sekresi selular debris

Obstruksi jalan nafas

Ventilasi dan perfusi mismatch ↓ caliber jalan nafas

Hypoxemia pada young infant rentan terhadap infeksi berat

Infeksi bakteri pada parenkima paru  proses patologi berbeda tergantung invasinya.
M. pneumonia menempel pada epithelium respirasi

Menghambat aksi mucociliary

Destruksi selular dan reaksi inflamasi dalam submukosa

Infeksi berlanjut

Terkelupasnya selular debris, sel-sel inflamasi, mucus ↑↑

Obstruksi jalan nafas

Dengan penyebaran infeksi terjadi sepanjang bronchial tree

S.pneumonia  menimbulkan edema local yang membantu dalam proliferasi organism yang
dapat menyebar ke bagian area terdekat yang mengakibatkan karakteristik keterlibatan focal
lobar.
Group A Streptococcus  LRTI mengakibatkan infeksi diffuse yang luas dengan interstisial
pneumonia. Betuk patologi: necrosis mukosa tracheobronkial, exudates, edema, perdarahan local
dengan perluasan ke septa interalveolar, keterlibatan pembuluh limfatik dan pleura.
S. aureus  sering dimanisfestasikan dengan confluent bronkopneumonia, sering unilateral dan
dikarakteristikan dengan adanya perluasan hemorrhagic nekrosis dan area irregular cavitasi
parenkima paru.

 Manifestasi Klinis
Viral dan bacterial pneumonia  di dahului dengan gejala URTI seperti rhinitis dan batuk.
Fever pada viral umumnya lebih rendah disbanding bacterial pneumonia.
Tachypnea, usaha nafas ↑↑ disertai retraksi intercostals, subcostal, suprasternal, nasal flaring.
Infeksi berat  sianosis dan respiratory fatique.
Bacterial pneumonia  diawali dengan shaking chill, demam, batuk, chest pain, drowsiness
dengan periode restlessness intermittent, rapid respiration, hacking, batuk nonproduktif,
anxietas, delirium, sianosis sirkumoral, splinting.
PE  bergantung pada tahap pneumonia, awal penyakit (penurunan suara nafas, crackles, ronki),
peningkatan konsolidasi seperti efusi pleura&empyema, abdominal distensi, liver membesar,
nuchal rigidity.
Infant  URTI, penurunan nafsu makan, fever, restlessness, apprehension, respiratory distress,
gangguan GI seperti vomit, anorexia, diare, dan abdominal distensi.

 Diagnosis
Chest radiography  mengindikasikan komplikasi seperti pleura effusion, empyema, viral
pneumonia (hyperinflasi dan bilateral interstitial infiltrate dan penebalan dan edema
peribonchial), pneumococcal pneumonia (confluent lobar consolidation).
WBC  viral (normal, atau ↑ <20.000/mm3 dengan limfosit predominat), bacterial (15.000-
40.000/mm3 dengan granulosit predominant).
Diagnosis definitive  viral (deteksi antigen, teknik serologi), bakteri (isolasi organism, serologi,
cold agglutinin).

 Komplikasi
Thoracic cavity  pleural effusion, empyema, pericarditis, lung abcess, atelectasis, respiratory
failure.
Bacteremia dan penyebaran hematologic  meningitis, suppuratif arthritis, osteomielitis.
Pneumonia pada Dewasa
Klasifikasi
Berdasarkan clinical setting :

A. COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA


1. Epidemology
 Terjadi 4 juta kasus/ tahun di US; 1 dari 5 kasus harus di rawat di rumah sakit
 Merupakan penyebab kematian ke 6 dan no 1 untuk penyakit infeksi
 Terjadi pada 1% kasus dari yang datang ke primary health centre di US
2. Etiology
a. S. pneumonia 39%
b. H. influenza 10%
c. Legionella sp. 5%
d. Chlamydia 5%
e. Aerobic gram(-) bacilli 5%
f. Viruses 4%
g. Staphylococcus aureus 3%
h. Unknown 30%
3. Clinical Implication
 Typical symptoms : fever, chills, pleuritic chest pain, productive cough (purulent
sputum), leukocytosis, lobar infiltrates in chest X-ray
 Untuk symptoms yang typical biasanya disebabkan oleh: S. pnemoniae
 Atypical symptoms : umumnya terdapat pada usia muda dan biasanya gejala-gejala sub
akut, myalgias, dan non-productive cough, sub-segmental infiltrates in chest X-ray.
 Untuk symptoms yang atypical biasanya disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae,
Legionella pneumonia, Histoplasma capsulatum.
4. Diagnostic studies
a. Standard PA dan lateral chest-x ray untuk melihat adanya pleural fluid dan untuk
membedakan dengan penyakit lain yang mirip (e.g.: sarcodiosis, bronchoectasis).
i. Untuk penemuan spesifik dapat mendiagnosis untuk beberapa penyakit
1. Cavitation : lung abscess
2. Pneumomatoceles : TB
3. Intersitial infiltrates : Mycoplasma, viral & pneumocystis infections
4. Multilobar infections : severe illness
b. Culure sputum dan gram stain untuk evaluasi CAP
c. Tindakan invasive lain untuk mengambil specimen di saluran napas bawah tidak
dianjurkan.
d. Routine lab test
5. Pathogenesis
 Pneumococci masuk ke dalam paru-paru melalui aspirasi dari mucus yang terinfeksi dan
bisa dilihat dari sepanjang alveolar wall pada early disease dan kemungkinan karena
perlekatan type II pneumocytes
 Perkembangan dari pneumonia membutuhkan keadaan lain yang mendukung biasanya
pre-existing viral infection
 Pneumococcci, terutama transparan variant berikatan dengan kuat dengan IL-1-
activated penumocytes
 Terjadi juga interaksi antara phosporylcholine pada dinding sel bakteri dengan PAF
receptor yang kemudian akan di bantu dengan adanya stimulasi cytokines
6. Lung Lesion in Pneumococcal Lobar Pneumonia
a. Engorgment : Alveolar capillaries become intensly congested, bacteria and edematous
fluid are present in alveolar spaces and organism multiply without inhibition. Edema
provoking factor consist of a pneumococcal cell wall complex peptidoglycan & teichoic
acid binds to epithelia and endothelia. Production of IL-1 and accumulation of a serous
exudates.
b. Red Hepatization: Aktivasi dari procoagulant pada permukaan endohtel menyebabkan
adanya capillary engorgement dan diapedesis dari erythrocytes ke dalam alveoli
c. Gray Hepatization: Aktivasi endothel juga menyebabkan peningkatan ekspresi reseptor
PAF. Yang merupakan major efector sebagai sinyak dari migrasi leukocytes. Setengah
dari migrasi leukocytes diinduksi oleh CD-18 family leukocyte-adhesion molecules.
Sisanya tidak diketahui secara pasti. Untuk selanjutnya terdapat akumulasi eksudat di
dalam alveoli, kapiler menjadi terkompresi dan akumulasi leukocyte meningkat.
d. Resolution : adanya respon imun dari tubuh
i. Cellulari: phagocytosis oleh PMN pada permukaan dari alveolus
ii. Humoral: Opsonizing antibody muncul dalam 1-2 hari setelah inisiasi dari infeksi.
Spesifik antibody muncul dalam 5-10 hari.
iii. Pada fase resolusi, macrophages dapat terlihat di dalam alveolar spaces dengan
cellular debris.

B. NASOCOMIAL ( HOSPITAL ACQUIRED ) PNEUMONIA


Terdapat pada orang yang dirawat di rumah sakit, umumnya > 48 jam.
- Patien yang berada di intensive care unit, khususnya yang menerima mechanical ventilation →
high risk.
- Masalah yang paling sering karena adanya kolonisasi bakteri pada oropharynx diikuti oleh
microaspirasi dari oropharyngeal secretion ke trakheobronkial tree.
- Pasien :
a. Sebelumnya sudah mempunyai masalah medis (penyakit).
b. Pernah menerima antibiotic.
c. Pernah melakukan endotrakheal tube pada jalan nafasnya.
- Organisme yang sering terlibat :
a. Enteric gran (-) bacilli.
b. Staphylococcus Aureus.
c. Bisa juga Legionella / Pseudomonas Aureginosa.
Beberapa factor yang bisa mengganggu host defence sehingga berkontribusi pada pneumonia adalah:

1. Viral respiratory tract infection.


2. Ethanol abuse.
3. Cigarrate smoking.
4. Preexisting COPD.
5. Immunosupressan (Immunodeficiency Syndrome) → gangguan defence yang parah.
Misalnya : underlying malignancies (leukemia & lymphoma)
penggunaan corticosteroid & other immunosuppressive / cytotoxic
drugs.

- 2 jalan utama microorganism (khususnya bakteri), bisa sampai ke lower respiratory track :
1. Inhalation → organism dibawa oleh small droplet particles terinhalasi ke tracheobronkial tree.
2. Aspiration → sekresi dari oropharynx masuk melewati larynx sampai ke tracheobronkial tree.
Aspirasi = proses yang terjadi paa individu yang tidak mampu memprotect jlan nafasnya dari
secret-sekret baik oleh penutupan glottis maupun batuk.
Setiap orang bisa mengaspirasikan sejumlah kecil secret saat oropharynx saat tidur.
Adanya defence mechanism bisa mencegah infeksi bakteri ini sehingga terhindar dari
pneumoni.
Jalan lain, dimana bakteri bisa mencapai pulmonary parenchime → via bloodstream → sangat
jarang.
Bila pneumonia dihasilkan karena proses bakterimia → sumber utama infeksi bakteri tersebut
muncul saat bakteri msauk secara langsung ke pembuluh darah.
MIs : IV drug abuse.

A. BAKTERI
1. Streptococcus Pneumoniae :
- Normal inhibitant pada oropharynx.
- Populasinya banyak pada orang dewasa.
- Gram (+) coccus, terlihat berpasangan / diplococcic.
Pneumococcal pneumoni → sering terjadi pada nonhospitalized patient.
sering terjadi setelah viral URTI.
Organisme ini mempunyai polysaccharide capsule yang memprotek bakteri dari fagositosis. Ada
banyak tipe antigen dari capsular polysaccharide ini.. Untuk itu, sel pada host defence dapat
memfagosit organisme membutuhkan antibody untuk melawan tiap tipe particular capsular.
2. Staphylococcus Aureus
- Gram (+) coccus, muncul dalam bentuk cluster.
- Ada 3 hal yang bisa menyebabkan bakteri ini muncul sebagai penyebab pneumoni
a. 2ndary complication dari respiratory tract infection oleh virus.
b. Hospitalized patient → karena adanya gangguan defence mechanism, dimana oropharynxnya
terkolonisasi oleh Staphylococcus.
c. Complication dari penyebaran melalui bloodstream.
3. Gram (-) organism :
a. Haemophilus Influenze :
- Small cocco bacillary gram (-).
- Sering ditemukan di nasopharynx pada normal individu & pada lower respiratory tract apda COPD.
- Bis menyebabkan pneumoni pada anak & dewasa, dengan predisposising factor : COPD.
b. Klebsiella Pneumoniae :
- Large gram (-).
- Normal pada GI tract.
- Penyebab pneumonia pada alchololism.
c. Pseudomonas Aeruginosa :
- Ditemukan di lingkungan (esp. hospital environment)
- Patien WHO are debilitated, hospitalized & often previously treated with antibiotic.
4. Flora normal bakteri pada mulut (gram (+) / (-) ) → karena anaerobic conditions bisa tumbuh lebih
banyak.
- Most common pseudoposising factor : aspirasi secret oropharynx ke trakheonronkial tree.
- Pada pasien dengan gangguan kesadaran (coma, alcohol ingestion/seizure) dan dengan gangguan
menelan.
5. New comer :
a. Lagionella Pneumophillia → wabah pada tahun 1976 pada American legion member di
Philadelphia.
b. Chlamydia Pneumoniasb → intercellular paracyte.

B. VIRUSES
- Diagnosa pneumonia karena virus → jarang.
- Merupakan penyebab tersering pneumonia pada anak-anak.
- Contoh :
1. Adenovirus → pada military recruitments (dewasa).
2. Rubella.
- Virus yang bisa menyebabkan pneumonia disebut “hantavirus” → ditemukan pada rodents & bisa
menggambarkan penyebab dari : fever, hemorrhage dan ARF.

C. MYCOPLASMA
- Kelas organism anatara virua & bakteri.
- Tidak seperti bakteri karena tidak punya rigid cell wall.
- Tidak seperti virus karena tidak butuh intracellular dari host cell untuk bereplikasi & tidak bisa
tumbuh dengan bebas tapi ukurannya mirip dengan virus yang besar.
- 10-20& peneybab pneumonia.
- Sering terjadi pada dewasa muda, tapi bisa terjadi pada usia berapapun.

Pathology
- Process common → infeksi & inflamasi dari distal pulmonary parenchyma.

Influks dari PMN (polymorfonuclear leucocytes), edema fluid, erythrocytes, mononuclear cells &
fibrin → bervariasi pada tiap kasus.
- Bakterial pneumonia → dikarakteristikan dengan eksudat outpouring of PMNs ke alveolar spaces
as they attempt to limit proliferation of the invading bacteria.

3 major tipe dari pneumonia :


1. Lobar pneumonia → tidak terbatas pada segmental boundaries tapi lebih menyebar melalui
entire lobe dari paru-paru.
Penyebarannya dari alveolus ke alveolus dan dari acinus ke acinus melalui interalveolar
pores (pores of Kohn).
Penyebab paling sering → S. Pneumonia
2. Bronchopneumonia → distal airway inflammation is prominent along with alveolar disease,
penyebaran & proses inflamasinya lebih menyebar melalui jalan nafas disbanding melalui
adjacent alveoli & acini.
Distribution more patchy (bercak-bercak), tergantung penyebaran melalui jalan nafas terjadi
dimana.
Bakteri penyebab : Staphylococcus & gran (-) bacilli.
3. Interstitial Pneumonia → dikarakteristikan oleh adanya proses inflamasi dalam interstitial
walls disbanding alveola spaces.
Walaupun viral pneumonia secara klasik berawal dari interstitial pneumonias, pada kasus
yang parah → secara umum menunjukkan penyebaran dari proses inflamasi ke alveolar
spaces.
Pada beberapa kasus pneumonia organismenya tidak highly destructive walaupun exuberant
inflammatory process bisa terlihat.
- Pneumococcal pneumonia → proses pemyembuhan berhubungan dengan restorasi atau
arsitektur parenkim yang relative normal.
- Pada beberapa kasus dengan organism yang lebih destruktif → bisa terjadi nekrosis jaringan →
menghasilkan absess formation / scarring pada parenkim.
Patofisiologi
Patogen → (port the entry)

Terbawa sepanjang jalan nafas

Masuk ke lower respiratory track

Impaired defence mechanism → infectious of the pulmonary parenchyma
↓ ↓
Mengganggu fungsi normal dari parenkim paru Systemic respon (more generalized)
↓ ↓ ↓
Inflamasi pada distal air spaces Fever Outpouring PMNs into
↓ circulation (particularly with
↓ ventilasi pada area yang terkena bacterial pneumonia)
↓ ↓ ↓
Bila perfusion masih Saat alveoli terpenuhi “toxic” appearance of the patient
Masih relative terjaga eksudat secara total
↓ ↓
Low ventilation perfution No ventilation in this region
ratio pada disease region ↓
↓ important factor Extreme ventilation perfusion in equality
Hyperventilate ↓
↓ Effect on gas exchange
PCO2 < 40 torr ↓
Hypoxemia

Clinical Fatures
- Clinical manifest pada beberapa kasus pneumonia hamper sama, walaupun agen infeksi yang
terlibat berbeda-beda.
- Bila agen tidak bisa diidentifikasi secara spesifik → dimanajemen dengan empiric broad spectrum.
- Beberapa symptom penting pada beberapa tipe pneumonia :
1. Fever → bilan tinggi → terlihat shaking chills (↑ temperature secara cepat).
2. Shortness of breath.
3. Tachycardia.
4. Tachpnea.
5. Crackles / rales pada region pneumonia.
6. Batuk → pada pneumonia karena virus / mycoplasma (batuk nonproduktif), bakteri (batuk
produktif / sputum production).
7. Pleuritic Chest Pain → inflammatory response pada pulmonary parenchyma ke luar ke
permukaan pleura.
- Bila ada dense consolidation → sound transmission ↑ pada pneumonic area → breath sound :
bronchial in equality, fremitus ↑, egophony is present → it consolidation dull to percussion of
overlying chest wall.
- Peripheral blood : ↑ WBC (leucocytes) → esp in bacterial penumoni (compass primarily PMNs),
band neutrofil ↑.
 Pneumococcal Pneumoni :
Onset of clinical illness oten relatively abrupt (kasar).
Shaking chills
Fever
Batuk : productive with yellow, green / blood trigerred sputum.
Predisposising factor : viral URTI.
 Mycoplasma Pneumoni :
Slower, more incidious onset.
Batuk : non productive (prominent symptom).
Fever → tidak terlalu tinggi.
Shaking chills → tidak ada.
 Staphylococcal / gram (-) bacillary penumoni :
Quite ill
In patient with complex underlying medical problems yang sudah pernah dirawat di rumah
sakit .
2nd complication dari infeksi influenza / dissemination organism melalui blood stream

Diagnostic Approach
1. Chest Radiography → secara makroskopis.
Fungsi : Mengconfirm diagnosa penumoni.
Melihat distribusi & penyebaran dari penyakit.
Kadang-kadang memberikan petunjuk terhadap agent etiologi.
- Lobar Pneumonia (Streptococcus & Klebsiella).
- Staphylococcal & gram (-) → localized extensive & often follow a patchy distribution.
- Mycoplasma → variety of radiography.
Bisa melihat pleural fluid, yang biasanya menyertai pneumoni, particularly of bacterial origin.
Cairan pleura bisa terlihat encer & serous / kental & purulent → emhyema.
2. Sputum → microscopic exam (evaluasi pasien penumoni)
Fungsi : mengidentifikasi agen penyebab penyakit (pathogen etiologi).
Evaluasi kualitas sputum :
- Good quality : mengandung sedikit squamous epithelial cell (didapat saat melewati upper
respiratory track).
- Poor quality : memberikan informasi yang kurang / tidak akurat.
Bacterial pneumoni → sejumlah besar PMN.
Viral & mycoplasma → PMN lebih sedikit, mononuclear cell lebih banyak.
Bila sputum tidak bisa dikeluarkan secara spontan oleh pasien → mengambil respiratory secretion
melalui fiberoptic bronhcoscopy, needle aspiration pada paru thoracoscopic / open lung biopsy.

3. Pemerikasaan Blood Gass Analysis (BGA)


Fungsi : mengevaluasi gas exchange, pertukaran gas pada kapiler.
Pada infeksi akut → arterial blood gass → PCO2 Normal / ↓.

Komplikasi

 Efusi Pleura Dan Empiema


 Terjadi pada 45 % kasus terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi
parapneumonik.

- Gram (-) : 60 %
- Staphylococcus aureus : 50 %
- S. Pneumonia : 40 – 60 %
- Bakteri anaerob : 35 %
- Mycoplasma pneumonia : 20 %
 Empiema adanya pus pada rongga pleural
Cairan : kuning, kental, atau cream

 Komplikasi Sistemik
 Terjadi akibat invasi kuman atau bakteremia berupa meningitis.
 Dapat juga terjadi Dehidrasi
Hiponatremia
Anemia pada infeksi kronik
Peningkatan ureum dan enzim hati
Peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin terjadi pada
kolestasis intrahepatik
 Hipoksemia akibat gangguan difusi

 Pneumonia Kronik
 > 4-6 minggu
 Akibat : kuman anaerob (S.aureus) dan kuman gram negatif (pseudomonas aeruginosa).
 Lung Abscess
 Abscess content : terutama PMN, sering disertai dengan bakteri.
 Agen etiologi : anaerobik bakteri
 Respiratory Failure
 Pulmonary Fibrosis, After Resolution

Management

Menurut Manajemen Terpadu Balita Sehat (MTBS) Depkes RI


 Periksa adanya tanda bahaya umum Lihat bagian PENILAIAN dan KLASIFIKASI
 Periksa untuk batuk dan sulit bernapas
Tanyakan :
 Apakah anak bernapas lebih lambat ?
 Apakah demamnya turunm ? (jika sebelumnya ada demam)
 Apakah nafsu anak membaik ?
Tindakan :
 Jika ada tanda bahaya umum atau tarikan dinding dada ke dalam beri 1 dosis antibiotik pilihan kedua
atau suntikan kloramfenikol, selanjutnya rujuk SEGERA.
 Jika frekuensi napas, demam, atau nafsu makan anak tidak menunjukkan perbaikan, gantilah dengan
antibiotik pilihan kedua dan anjurkan ibu untuk kembali dalam 2 hari (atau rujuk, jika anak menderita
campak dalam 3 bulan terakhir)
 Jika napas melambat, demamnya turun atau nfsu makannya membaik, lanjutkan pemberian
antibiotik hingga 5 hari.
Menanyakan Keluhan Utama
Apakah anak menderita batuk dan sukar bernapas ?
Amati & Dengar
 Hitung napas dalam 1
menit.

JIKA YA, Berapa lama  Perhatikan, adakah dinding Klasifikasi BATUK atau SUKAR
dada ke dalam. BERNAPAS

 Lihat dan dengar adanya


stidor.
Batasan napas cepat :
Umur Anak : Napas Cepat apabila :
2 bulan – 12 bulan 50 kali atau lebih per menit
12 bulan – 5 tahun 40 kali atau lebih per menit

Klasifikasi BATUK atau SUKAR BERNAPAS


GEJALA KLASIFIKASI TINDAKAN
(Tindakan penting sebelum
rujukan dengan tulisan cetak
tebal)
 Terdapat bahaya umum  Pemberian dosis pertama
(napas cepat dan vital singn antibiotik yang sesuai
PNEUMONIA BERAT atau
buruk) atau PENYAKIT SANGAT BERAT  Rujuk SEGERA
 Tarikan dinding dada ke
dalam atau
 Stridor
 Pemberian antibiotik yang
sesuai
 Beri pelega tenggorokan
PNEUMONIA dan pereda batuk yang
aman
 Nafas cepat
 Menasehati ibu kapan
harus kembali
 Kunjungan kembali setelah
2 hari
 Jika batuk lebih dari 30
hari, rujuk untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
BATUK: BUKAN PNEUMONIA  Beri pelega tenggorokan
Tindakan ada tanda – tanda
dan pereda batuk yang
pneumonia atau penyakit
sangat berat aman
 Menasehati ibu kapan
harus kembali
 Kunjungan ulang setelah 5
hari bila tidak ada
perbaikan

 Sebelum memberikan obat, ditentukan dulu :


o Berat ringannya penyakit
o Riwayat pengobatan sebelumnya dan respon terhadap pengobatan tersebut
o Adanya penyakit yang mendasarinya.
 Dasar pengobatan bacterial pneumonia adalah terapi antibiotik secara langsung
 Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama)
o Umur 1 – 2 bulan : Ampisilin + gentamisin, kalau respon baik, lanjutkan 10 – 14 hari.
o Umur > 2 bulan : penicillin/Ampicilin + kliromfenocol, kalau responnya baik, lanjutkan sampai
3 hari klinis (5-7 hari)
o Untuk middle ill children yang tidak memerlukan perawatan di rumah Rumah sakit,
Amoxicillin direkomendasikan. Kalau ada resisten penicilin, maka dosis amoxicillin
ditingkatkan (80 – 90mg / BB/ hari)
o Apabila ditemukan hipersensitif dengan penicillin maka diganti eritromisin.
 Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap respon klinis dalam 24 – 72
jam pengobatan antibiotik awan.
o Kalau membaik, maka antibiotik dilanjutkan 5 – 7 hari
o Kalau memburuk, maka antibiotik initial harus di hentikan dan diganti dengan antibiotik yang
tepat. Dengan catatan tidak ada penyakit penyulit yang dapat mempengaruhi pengobatab
antibiotik tidak efektif, misalnya empyema, abses, dll.

 Symptomatik (batuk dan demam)


o Sebaiknya tidak diberikan terutama pada 72 jam pertama karena dapat mengacaukan
interpretasi reaksi terhadap antibiotik initial.
o Namun apabila suhu badan diatas 39o C dapat diberikan paracetamol sebagai antipiretik.
o
 Suportif
Diberikan oksigen 40 % 0,5 – 2 liter / menit. Sampai sesak hilang
 Cairan, nutrisi dan kalori
o Dapat diberikan secara oral atau infus
o Jumlah cairan disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit
o Bila elektrolit normal, berikan 1;4 ( 1 NACL fisiologis + 3 dextrose 5 %)
 Acidosis (pH <7,3)
o Diatasi dengan bikarbonat I.V
o Dosis awal ; 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (Kg)
o Dosis selanjutnya tergantung pada pemeriksaan pH dan base excess. 4 – 6 jam setelah dosis
awal
o Apabila pH dan base excess tidak dapat di peraksa, diberikan bikarbonat IV = 0,5 x 2-3 mEq x
BB(Kg) sebagai dosis awal.
o Dosis selanjutnya tergantung gambaran klinis setelah 6 jam dosis awal.

TREATMENT PNEUMONIA
Treatment untuk pasien suspect bacterial pneumonia adalah berdasarkan penyebab presumptive
nya dan gambaran klinisnya pada anak-anak.
Untuk anak yang mengalami sakit ringan dan tidak membutuhkan hospitalisasi, amoxicillin
merupakan obat yang direkomendasikan.
Pada komusnitas dengan persentase peniciline resistance pneumococci yang tinggi harus diberikan
dosis tinggi amoxicillin (80-90 mg/kg/24hr).
Terapi alternative, termasuk diantaranya pemberian cefuroxime axetil atau amoxicillin/clavulanate.
Untuk anak usia sekolah dan diperkirakan mengalami infeksi M. pneumoniae, macrolide antibiotics
seperti azitromycin merupakan pilihan terapi yang tepat.
Treatment empitik untuk bacterial pneumonia pada anak yang di hospitalisasi membutuhkan
pendekatan berdasarkan manifestasi klinis saat gejalanya muncul. Berikan parenteral cefuroxime
(75-150 mg/kg/24hr) merupakan terapi mainstay jika bacterial pneumonia suggested. Jika gambaran
memperkirakan terjadinya infeksi oleh staphylococcal pneumonia maka initial terapinya harus
diberikan vancomycine atau clindamycine.
Jika diperkirakan terjadi viral pneumonia, jangan dulu diberikan antibiotic terapi. Jika terdapat
kemungkinan terjadi superimposed bacterial infection baru diberikan antibiotic. Biasanya pasien
dengan viral pneumonia memiliki mild illness.

THERAPEUTIC APPROACH : GENERAL PRINCIPLE AND ANTIBIOTIC SUSCEPTIBILITY


Terapi pengobatan untuk bacterial pneumonia adalah terapi antibiotic langsung pada organisme
penyebabnya. Tetapi seringkali organisme penyebab belum terideintifikasi saat awal clinical symptom
berkembang, oleh karena itu digunakan antibiotic dengan spectrum luas.
Initial treatment strategies dikembangkan berdasarkan clinical setting (community acquired pneumonia
VS hospital acquired pneumonia). Jika organismenya teridentifikasi maka ubah regimennya menjadi
lebih spesifik untuk menginfektifkan pengobatannya.
General pattern antibiotics susceptibility untuk organism penyebab pneumonia :
untuk pneumococcal pneumonia agen yang sesuai untuk digunakan adalah penicillin. Pastikan bahwa
pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap penicillin.
Tetapi sebagai tambahan, karena penicillin tidak efektif untuk beberapa penyebab umum lainya seperti
M.pneumonia dan Chlamydia, maka digunakan kelas antibiotika dengan spectrum yang lebih luas
seperti macrolides (erythromycin atau derivatnya azithromycin, atau quinolon misalnya levofloxacin)
Jika ditemukan level resistensi yang tinggi terhadap penicillin pada pneumococcus, maka gunakan
quinolon atau vancomycine.
Staphylococcus → menghasilkan penicillinase, sehingga harus memakai penicillinase-resistance
derivative of penicillin seperti oxacillin atau nafcillin. Beberapa staphylococcus yang resistance terhadap
obat tersebut bisa diberikan vancomycin.
H. influenza → sensitive terhadap ampicillin, tetapi sudah banyak berkembang resistance maka bias
diberikan 2nd atau 3rd generation cephalosphorine.
Untuk bacteria gram negative bacillary → resistance terhadap berbagai antibiotic, boleh memakai
aminoglycoside atau 3rd generation cephalosphorine.
Untuk bacteria anaerob → penicillin atau clyndamycin
Legionella / mycoplasm → macrolide atau quinolone
Viral pneumonia → tidak butuh antibiotic, tetapi diberikan jika terdapat superinfeksi.

MIKROBIOLOGI
Etiologi pneumonia

Bakteri Virus
Anak Etiologi bakteri pada anak dibawah usia 2 tahun 22% Etiolgi virus pada anak dibawah usia 2 tahun 32%
a. Streptococcus pneumoniae a. RSV
b. Haemophillus influenza type b b. Rhinovirus
c. Mycoplasma pneumoniae c. Virus parainfluenza
All age a. Streptoccocus pnemoniae (60%) a. RSV
b. Staphylococcus aureus b. Adenovirus
c. Mycoplasma pneumoniae (30%) c. Virus parainfluenza
d. Virus influenza
e. Human metapneumo virus
Untuk anak jika sudah berusia diatas 2 tahun etiologi bakteri menjadi lebih dominan.

1. Streptococcus pneumoniae

a. Merupakan bakteri diplococcus gram positive, membentuk small collonies, membentuk kubah
dan timbul lekukan/berbentuk seperti lanset atau tersusun seperti rantai, membentuk alfa
hemolitik pada blood agar.
b. Merupakan flora normal disaluran pernafasan (tenggorokan), dapat menyebabkan :
Pneumonia, sinusitis, otitis, bronkhitis, meningitis
c. Permentasi glukosanya memproduksi asam laktat
d. Memiliki antigen dinding sel berupa petidoglikan yang memiliki 84 type :
- Type 1-8 mengakibatkan etiologi pneumonia pada anak
- Type 6, 14, 19, 23 mengakibatkan etiologi pneumonia pada dewasa
e. Virulensinya :
- Berupa kapsul peptidoglikan yang menghambat proses fagositosis
- Meningkatkan proliferasi dijaringan
f. Faktor resiko :
- ISPA : merusak permukaan mukosa atau menurunkan fungsi mukosilliari
- Intoxication of alcohol or drugs
- Abnormal circulation (congestion)
- Malnutrisi, anemia
g. Patogenesis :
Faktor resiko

Penurunan pertahanan tubuh

Faktor virulensi : kapsul

Menghambat fagositosis

Menginfeksi saluran pernafasanmenyebar via lymphatik paru

Peningkatan cairan fibrinosa ke dalam sinus, meningen,


Alveoli ( +RBC, +Leukosit ) telinga tengah

Terjadi konsolidasi beberapa bagian paru

h. Sign simptom :
Onset mendadak, demam, menggigil, sputum mengandung darah, nyeri yang tajam pada pleura
i. Diagnosis :
- Darah ( peningkatan PMN (neutrofil), RBC)
- Sputum berwarna kuning kemerahan, kecoklatan
- Apusan : untuk melihat pneumococcus
j. Threatment dan pencegahan :
- Sensitive terhadap berbagai antimikroba : penicillin G
- Lakukan immunisasi dini polisakarida-type pada usia 2-23 bulan ,24-59 bulan
- Faktor predisposisi disingkirkan , dan diagnosis cepat ditegakan

2. Haemophilus influenza type B


a. Bakteri gram (-) basilococcus, kadang berpasangan/rantai pendek.
b. Merupakan flora normal di nasal dan tenggorokan
c. Etiologi dari : pneumonia, bakteremia, meningitis

3. Mycoplasma pneumoniae
a. Memiliki ukuran koloni kecil dan sel-sel halus dengan diameter bervariasi antara 50-300 nm
b. Tumbuh dimedia yang mengandung lipoprotein dan sterol
c. Manfes : lemah, demam, headache, nyeri tenggorokan, batuk
Rotgen : bercak konsolidasi diparu
Etiologi dari : pneumonia, meningitis, pleuritis, myocarditis, pankreatitis

4. Streptococcus aureus
a. Coccus gram (+) berpasangan, tetrad, berkelompok
b. Memiliki enzim dan toksin :
- Katalase : bisa merubah hidrogen peroksida menjadi H20 dan O2
- Koagulase : protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma
- Endotoxin : mengganggu membran biologik
- Leukosidin : membunuh WBC manusia dan kelinci
- Enterotoxin : menyebabkan muntah dan diare

PHARMACOLOGICAL PROPERTIES
1. Ampicilin
- Indikasi : infeksi saluran pernafasan ( pneumonia faringitis,bronkitis,laringitis)
Infeksi saluran penernaan
Infeksi urinary blader dan kelamin ( gonorhae tanpa kompikasi)
Infeksi kulit dan jaringan kulit
Septickemia dan meningitis
- Kontraindikasi : hipersnsitif terhadap ampicilin
- MOA : antibiotik spektrum luas yang bersifat bakterisid efektif untuk bakteri gram positif yang
peka terhadap peniilin G,dan bakteri gram negatif.
- Dosis : bayi lebih dari 1 minggu: 25mg/kgbb secara im/i.v setiap 6-8jam
- Efek samping : diare,hipsen,urtikaria,eritem multiform,syok anafilaksis.
2. Levofloxacin
- Indikasi : eksaserbasi akut dari bronkitis,sinusitis maksilarisakut,pneumonia yang di dapat dari
lingkungan,pneumonia nosokomial.
- Kontraindikasi : hipsen levofloxacin dan fluorokuinolon lain, hamil dan laktasi,anak kurang
dari 12 tahun
- MOA: obat di metabolisme di hati
- Efek samping : mual,muntah,nyeri perut,dispepsia,atralgia,pusing,sakit kepala,gangguan
hematologi
3. Ceftrizone
- Indikasi : infeksi saluran pernafasan,infeksi tht, infeksi urinary bladder,sepsis,
meningitis,infeksi tulang,sendi dan jaringan lunak.
- Kontraindikasi : hipsen terhadap cephaosprin dan penicilin
- Dosis: bayi 15 hari -12 thun : 20-80mg/kgbb,1x sehari. Melalui infus paling sedikit 30 menit.
PATOMEKANISME
Infeksi virus (RSV, PIV)

Gangguan mekanisme pertahanan pulmonary

URTI

Inflamasi
(pelepasan mediator seperti histamine, PG)

Menstimulasi kelenjar mukosa dan sel goblet

Sekresi mucus ↑↑

Gangguan sistem mucociliary

Gangguan drainase

↑ Akumulasi mucus saluran pernafasan

Gangguan keseimbangan flora bakteri pada URT (S. pneumonia)

Aspirasi secret yang mengandung mikroorganisme pathogen

Pertahanan alveolar makrofag gagal

Respon inflamasi
(aktivasi neutrofil, pelepasan mediator, akumulasi exudates fibrous, RBC, bakteri)
Pelepasan IL-1 Gangguan membrane mukosa bronkus dan alveocapilary
Gangguan thermostat accini dan bronkiolus terminal berisi infeksi debris,
exudates, mucus, edema alveolar.

Fever
Ruang alveolar terisi dengan cairan eosinofilik yang
edematous yang mengandung PMN.

X-ray: Bilateral infiltrate Proliferasi organism dan penyebaran ke area yang terdekat.

Gangguan alveolus

↓ ruang ventilasi distal pada area yang terinfeksi ↑ exudates serosa

Mismatch ventilasi dan perfusi Saat udara masuk

Stimulasi kemoreseptor perifer dan central Crackles

Hiperventilasi

Usaha nafas ↑

Dyspnea & Tachypnea RR↑ & ↑HR

Kesulitan bernafas

Kompensasi

Penggunaan otot-otot assesory Nasal flaring

Retrasi suprasternal, intercostals, epigastric


BHP

- Informed concent
- Vaksin streptococcus pneumonia dan pathogen lain yang menyebabkan pneumonia
- Jauhi kontak dengan yang influenza

IIMC

QS : Al-Baqarah, 214

Adakah patut kamu menyangka bahawa kamu akan masuk syurga, padahal belum sampai kepada kamu
(ujian dan cubaan) seperti yang telah berlaku kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu?
Mereka telah ditimpa kepapaan (kemusnahan harta benda) dan serangan penyakit, serta digoncangkan
(oleh ancaman bahaya musuh), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman yang ada
besertanya: "Bilakah (datangnya) pertolongan Allah?" Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
dekat (asalkan kamu bersabar dan berpegang teguh kepada ugama Allah).

Anda mungkin juga menyukai