Anda di halaman 1dari 12

Referat

OBAT ANTI KUSTA

Oleh:
Muhammad Firroy Friztanda, S.Ked.

Pembimbing:
Prof. Dr. dr M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Tinjauan Pustaka

Judul
Obat Anti Kusta

Oleh
Muhammad Firroy Friztanda, S.Ked

Pembimbing
Prof. Dr. dr M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV

Palembang, November 2017


Pembimbing,

Prof. Dr. dr M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV

2
OBAT ANTI KUSTA
Muhammad Firroy Friztanda, S.Ked.
Pembimbing Prof. DR. dr. M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun
sebelum Masehi sebagai penyakit menular tidak fatal yang mengenai kulit, sistem
saraf tepi, saluran napas atas, mata dan buah zakar.1 Penyakit kusta ditandai dengan
timbulnya bercak merah mati rasa, penebalan pada saraf tepi, dan pemeriksaan BTA
positif.1,2,3 Kusta merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan rutin dan
lama. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe
berdasarkan jumlah lesi dan keterlibatan syaraf tepi, yaitu kusta tipe pausibasilar (PB)
dan tipe multibasilar (MB).1,3 Tujuan pembagian tipe kusta menurut WHO adalah
menentukan komposis dalam pengobatan MDT.1,2,3
Prevalensi kusta di dunia masih tergolong tinggi, World Health Organization
(WHO) melaporkan prevalensi kusta global tahun 2012 sebesar 232.857 kasus, tahun
2013 sebesar 215.656 kasus, tahun 2014 sebanyak 213.899 kasus dengan kasus
tertinggi di seluruh dunia berada di Asia Tenggara.2,3,4 Kusta dapat menyerang semua
umur, anak lebih rentan daripada orang dewasa.1 Di Indonesia penderita kusta anak
dibawah umur 14 tahun yaitu 13% dengan frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok
umur kisaran 25-35 tahun.1
World Health Organization merekomendasikan pengobatan kusta dengan
pemberian Multi Drug Therapy (MDT) yakni modifikasi pengobatan kusta dalam
bentuk blister terdiri atas rifampisin, diamino difenil sulfon (dapson), dan
klofazimin.1,3,10 Rifampisin digunakan di Indonesia sejak tahun 1970, dapson sejak
tahun 1952, dan klofazimin sejak 1962. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan
klaritromisin.1,10
Masalah utama dalam penyakit kusta adalah keterlambatan pengobatan
sehingga menimbulkan cacat.1,11 Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian
tujuan program pemberantasan penyakit kusta.1,2,4

3
Mengingat kondisi tersebut dan melihat standar kompetensi kedokteran
Indonesia adalah empat, diperlukan adanya sistem pemberantasan terpadu dan
menyeluruh meliputi penemuan penderita kusta sedini mungkin dan pengobatan
tepat.1,2

PENATALAKSANAAN KUSTA
Multi Drug Therapy dapat digunakan pada dewasa, anak, wanita hamil dan
menyusui, pasien HIV-positif, dengan atau tanpa anti-retroviral dan pasien tuberkulosis
(TB) dalam pengobatan. Terapi kusta tipe PB dilakukan selama 6-9 bulan, dan tipe MB
selama 12-18 bulan. Komposisi MDT untuk kusta tipe PB adalah rifampisin dan
dapson, sedangkan untuk kusta tipe MB adalah rifampisin, daps, dan klofazimin.1,4
Tabel 1 merupakan tabel rejimen MDT beserta dosis dan lamanya pengobatan.
Tabel 1. Regimen MDT4
MDT PB Dewasa
Nama Obat Dosis Durasi

Rifampisin 600 mg/bulan 6 bulan (6 blister)

Dapson 100 mg/hari

MDT PB Anak (10-14 tahun)


Nama Obat Dosis Durasi

Rifampisin 450 mg/bulan 6 bulan (6 blister)

Dapson 50 mg/hari

4
Berdasarkan klasifikasi WHO pada tahun 1997 untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi kulit tunggal,
pausibasiler dengan lesi kulit 2-5 buah, dan multibasiler (>5 buah lesi kulit). Bagi
kasus PB lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400
mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.1,2,4
Pengobatan regimen MDT diberikan dalam 6 dosis selama 6 - 9 bulan. Selama
pengobatan, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakteriologik setelah 6 bulan pada
akhir pengobatan. Pemeriksaan klinis dan bakteriologik dilakukan minimal setiap
tahun selama 2 tahun. Jika tidak ada lesi baru secara klinis dan bakteriologik tetap
negatif, maka dinyatakan release from control (RFC).1,2,4

MDT MB Dewasa
Nama Obat Dosis Durasi

Rifampisin 600 mg/bulan 12 bulan (12 blister)

Dapson 100 mg/hari

Klofazimin 300 mg/bulan atau 50 mg/hari

MDT MB Anak (10-14 tahun)


Nama Obat Dosis Durasi

Rifampisin 450 mg/bulan 12 bulan (12 blister)

Dapson 50 mg/hari

Klofazimin 150 mg/bulan atau 50 mg/hari

5
Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan dengan syarat
pemeriksaan bakteriologi harus negatif. Apabila masih positif pengobatan harus
dilanjutkan sampai pemeriksaan bakteriologi negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan klinis setiap bulan dan secara bakteriologi minimal setiap 3 bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta tipe MB selama 2 sampai 3 tahun. Setelah RFC
dilakukan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterilogik minimal setiap
tahun selama 5 tahun. Jika pemeriksaan bakteriologik tetap negatif dan klinis tidak ada
lesi baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC. Namun saat ini apabila
klinis sudah sembuh, pemberian obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan
pemeriksaan bakteriologi.1,4,10

RIFAMPISIN
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, karena menyebabkan resistensi.1,10 Rifampisin
adalah obat derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu anggota kelompok
antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin.1,10 Kelompok zat ini dihasilkan oleh
Streptomyces mediterranel.18 Rifampisin merupakan ion zitter, larut dalam pelarut
organik dan air yang PH nya asam. Derivat rifampisin lainnya ialah rifabutin dan
rifapentin.18
Pemberian rifampisin per oral sebelum makan akan mempercepat penyerapan.
Karena penyerapan rifampisin dihambat oleh makanan. Kadar puncak dalam darah
tercapai 1-4 jam setelah waktu pemberian.1,18 Kira-kira 75-80% rifampisin dalam
darah berikatan dengan protein plasma. Dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan
kadar sekitar 7 mikrogram per milliliter. Sekitar 30% dari dosis 600 mg yang
diberikan di ekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam.1,11,18
Distribusi lipofilik, dapat menembus sawar darah otak.1 Rifampisin
dimetabolisme di hepar dan sekitar 30 % diekskresikan melalui urin dalam waktu 24
jam dan sisanya diekskresikan melalui feses sekitar 60%-65%1,18 Rifampisin terutama
aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada
dosis lazim.11

6
Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA polymerase dengan
menekan mulai terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA.18 Dosis
tunggal 600 mg/hari (atau 5-15mg/kgBB) mampu membunuh kuman 99,9% dalam
beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis (900-1200 mg) dapat
menimbulan gejala yang disebut flu-like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg
sebulan sekali ditoleransi dengan baik.18
Rifampisin merupakan penginduksi kuat sebagian besar isoform sitokrom
P450 yang meningkatkan eliminasi banyak obat lain termasuk metadon, antikoagulan,
siklosporin, beberapa obat anti kejang, inhibitor protease, beberapa nonnucleoside
reverse transciptase inhibitor, kontrasepsi, kortikosteroid, teofilin. Pemberian bersama
rifampisin menyebabkan penurunan signifikan kadar serum obat ini.9
Asam para-amino salisilat dapat memperlambat absorpsi rifampisin, sehingga
kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin harus digunakan
bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua sediaan harus berjakrak
waktu 8-12 jam.18 Kontra indikasi dari rifampisin adalah reaksi hipersensitivitas
terhadap rifampisin.11
Efek samping yang ringan rifampisin berupa kencing berwarna merah, bisa
ditanggulangi apakah kencing berwarna merah itu benar dari efek obat atau bukan.
Dapat menjadi efek samping yang berat berupa jaundice, syok, purpura dan gagal
ginjal yang dapat ditanggulangi dengan stop rifampisinnya dan rujuk.9

DDS, 4,4 DIAMINO-DIFENIL-SULFON (DAPSON)


Dapson bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Dapson bekerja sebagai antimetabolit para amino benzoic acid (PABA).
Resistensi dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada
kuman kusta.
Dapson diserap lambat dalam saluran cerna. Penyerapan dapson kurang
sempurna sehingga banyak terbuang bersama feses.18 Kadar puncak tercapai setelah 1-
3 jam, yaitu 10-15mcg/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan.18
Waktu paruh eliminasi berkisar antara 1-2 hari dengan rerata 28 jam.18 Pada
dosis berulang sejumlah kecil obat masih ditemukan hingga 35 hari setelah pemberian
dihentikan. Obat ini tersebar luas di seluruh jaringan dan cairan tubuh, cenderung
tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih banyak dalam hati dan ginjal.10,11,12

7
Sebanyak 50-70% obat terikat pada protein plasma dan mengalami daur
enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan obat masih ditemukan dalam darah, lama
setelah pemberian dihentikan. Dapson mengalami metabolisme di hati dan kecepatan
asetilasinya ditentukan oleh faktor genetik. Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya
bagi setiap sediaan sulfon, dapson dosis tunggal 70-80% diekskresi terutama bentuk
metabolit.11,18
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya
menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif, dan relatif
aman.10,18
Jika diberikan bersamaan dengan prednisone dan prednisolone maka
prednisone akan mengurangi efektivitas dari obat dapson karena mempengaruhi
metabolism enzim CYP3A4 di siklus enterohepatik.9,10 Penggunaan probenesid dapat
menghambat ekskresi dapson dan metabolitnya.18 Kontra indikasi dari dapson adalah
reaksi hipersensitivitas terhadap dapson.11
Efek samping dari dapson yang ringan dapat berupa anemia yang bisa
ditanggulangi dengan pemberian asam folat dan zat besi. Sedangkan, untuk efek
samping yang berat dapat berupa ruam kulit dan gatal, bisa berbentuk urtikaria dan
alergi. Gejala ini dapat ditanggulangi dengan stop dapson dan rujuk.9

KLOFAZIMIN
Klofazimin tidak hanya efektif untuk lepra jenis lepromatosis, tetapi juga
memiliki efek antiinflamasi sehingga dapat mencegah terjadinya eritema nodusum.18
Klofazimin bersifat bakterisidal menghambat pertumbuhan M. leprae dan menempel
pada DNA M. leprae. Klofazimin merupakan turunan zat warna iminofenazin dan
mempunyai efek bakteriostatik setara dapson.
Setelah pemberian oral, klofazimin lambat diserap. Kadar puncak tercapai
setelah 0,7-1mcg/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Waktu paruh eliminasi
selama 70 hari. Ekskresi obat klofazimin melalui urin, feses, empedu, jumlah sedikit
pada sputum, keringat, dan sebum.11,16,18
Bekerja melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Selain itu klofazimin
juga mempunyai efek antiinflamasi, berguna untuk pengobatan reaksi kusta
khsususnya reaksi Eritema Nodusum Leprosy (ELN).11,18

8
Jika berinteraksi dengan rifampin maka klofazimin akan menghambat
penyerapan obat rifampin.8 Kontraindikasinya adalah Reaksi hipersensitivitas terhadap
klofazimin.4
Efek samping yang ringan dari klofazimin dapat berupa perubahan warna kulit
yang dapat menjadi lebih cokelat. Gejala ini dapat ditanggulangi dengan konseling
pada pasien bahwa ini memang efek dari obat klofazimin.9

OFLOKSASIN
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M.
lepra, dibandingkan dengan siprofloksasin dan pefloksasin. Bekerja melalui hambatan
terhadap enzim girase DNA mikobakterium.18
Pemberian oral oflloksasin diserap dengan baik dan terdistribusi luas di cairan
dan jaringan tubuh. Waktu paruh berkisar dari 5 sampai 7 jam. Konsentrasi serum
puncak 2,9 mcg/ml.11,18
Penyerapan oral terganggu oleh kation divalent dan trivalent, termasuk yang
terdapat dalam antasida. Karena itu perlu diminum 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
konsumsi produk yang mengandung kation-kation ini.18 Konsentrasi serum obat yang
diberian secara intravena setara dengan yang dihasilkan oleh pemberian oral. 11
Sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal baik dengan sekresi tubulus atau filtrasi
glomerulus.18 Diperlukan penyesuaian dosis untuk pasien dengan klirens kreatinin
kurang dari 50 ml/mnt, dengan penyesuaian pasti bergantung pada derajat gangguan
ginjal dan fluorokuinolon yang digunakan.18
Interaksi antara prednison, prednisolon dan ofloksasin dapat meningkatkan
risiko ruptur tendon.8 Kontraindikasinya adalah Reaksi hipersensitivitas terhadap
ofloksasin.4

MINOSIKLIN
Diantara turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya yang aktif
terhadap M. lepra. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat lipofiliknya sehingga
mampu menembus dinding sel M. lepra dibandingkan dengan turunan lain.

9
Penyerapan obat minosiklin baik. Kadar puncak dalam serum 1-4 jam secara
intravena, dan 3,5-4 jam melalui tablet oral dengan konsentrasi plasma mencapai
puncak 2-3,5 mcg/ml(200 mg).11 Metabolisme minosiklin terjadi di hepar. Waku
eliminasi sekitar 15-23 jam (oral/intravena).11
Minosiklin bekerja menghambat sintesis protein melalui mekanisme yang
berbeda dengan obat antikusta yang lain.11,18 Minosiklin mempunyai waktu paruh
yang panjang (sampai 13 jam) selain itu minosiklin juga dapat menembus kulit dan
saraf yang mengandung banyak M. lepra.1
Interaksi ofloksasin dengan ferrous fumarat, natrium bikarbonat, akan
menghambat penyerapan ofloksasin.8 Kontraindikasinya adalah Reaksi
hipersensitivitas terhadap minosiklin.4

SIMPULAN
Pengobatan MDT-WHO pada kusta yang terdiri atas rifampisin, dapson, dan
klofazimin terbukti efektif dan aman untuk setiap orang termasuk ibu hamil, ibu
menyusui, dan anak-anak. Obat kusta diekskresikan melalui air susu ibu dalam jumlah
sedikit namun tidak ada pelaporan mengenai efek samping obat antikusta terhadap
bayi kecuali pada obat klofazimin yang menyebabkan perubahan warna kulit menjadi
merah kecoklatan hingga coklat kehitaman pada bayi. Untuk mengevaluasi dan
mencegah berulangnya kusta maka pengobatan kusta dilakukan tepat dan sesuai
standar WHO dengan tetap memperhatikan efek samping pengobatan.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili, ES, Menaldi, SL. Kusta. In: Djuanda A, ed.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011. pp. 73-9
2. Herawanto A. Analisis Risiko High Endemis Kusta di Sulawesi Tengah. CDK inst.
2015 Feb 21;99(4): pp. 7-10
3. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record Leprosy. South East
Asia: WHO Library Cataloguing-in-Publication data; 2011.pp 1-5
4. World Health Organization. Global Leprosy Strategy 2016-2020 Accelerating toward
a Leprosy Free-Wold. South East Asia: WHO Library Cataloguing-in-Publication data;
2016. pp.2-6
5. Snider DE., Jr, & Powell KE. Should Women Taking Antituberculosis Drugs Breast-
Feed. Archives of Internal Medicine;1984.pp. 589–590.
6. Ozturk Z and Tatliparmak A. Leprosy Treatment during Pregnancy and Breastfeeding.
Wiley; Istanbul, Turkey; 2016.pp. 1-2
7. Cardona-Castro N.Leprosy Drug Resistance Surveillance in Colombia: The experience
of a Sentinel Country. Welly; Colombia: 2011.pp. 50-68.
8. Suprapti H. Drug Interaction. Universitas Wijaya Kusuma: Surabaya.; 2011. Pp. 15-20
9. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. In: Gunawan SG, ed.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009. pp.633-4
10. Soebono HS, dan Suhariyanto B. Kusta. Edisi 2. Daili, ES, Editor. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 2003. pp. 66-90
11. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 12nd Ed. Penerbit Buku Kedokteran:
EGC; Jakarta, 2014.pp. 945-960.
12. Ramos-e-Silva M Castro MCR. Mycobacterial Infections. In: Bolognia, JL, Jorizzo
JL, Rapini RP, eds. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008
13. James WD, Eiston DM, Berger TG. Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. pp. 334-40
14. Prameswari R, Listiawan MY, Prakoeswa CRS. Peran TNF-α pada Imunopatogenesis
ENL dan Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL. BIKKK. 2012; 24[1]: 43-8.
15. Daili E, Menaldi S, Ismiarto, Nilasari H. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
Hal.75-82.

11
16. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In : Wolff K, Goldsmith LA, Stephen I, Kat SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Vol 2. 8th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2012 p.2253-62
17. Ramaswari N. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum pada
Penyakit Kusta. J Cont Professional Dev 2015;42[9]: pp. 654-57.
18. Setiabudy R, and Istiantoro, H,Y. Tuberculostatic and Leprostatic. In: Pharmacology
and Therapy. 5nd Ed. Medical Faculty Of Indonesia University; Jakarta; 2007. pp.
613.637

12

Anda mungkin juga menyukai