Anda di halaman 1dari 35

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun berdampak

pada peningkatan konsumsi produk peternakan (daging, telur, susu).

Meningkatnya kesejahteraan dan tingkat kesadaran masyarakat akan pemenuhan

gizi khususnya protein hewani juga turut meningkatkan angka perminataan

produk peternakan. Daging banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena

mempunyai rasa yang enak dan kandungan zat gizi yang tinggi. Salah satu sumber

daging yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia adalah ayam.
Daging ayam yang sering dikonsumsi oleh masyarakat diperoleh dari

pemotongan ayam broiler, petelur afkir, dan ayam kampung. Ayam broiler

merupakan salah satu penyumbang terbesar protein hewani asal ternak dan

merupakan komoditas unggulan. Industri ayam broiler berkembang pesat karena

daging ayam menjadi sumber utama menu konsumen. Daging ayam broiler
mudah didapatkan baik di pasar modern maupun tradisional.

Produksi daging ayam broiler lebih besar dilakukan oleh rumah potong

ayam modern dan tradisional.Proses penanganan di RPA merupakan kunci yang

menentukan kelayakan daging untuk dikonsumsi. Perusahaan rumah potong ayam

(RPA) atau tempat pendistribusian umumnya sudah memiliki sarana penyimpanan

yang memadai, namun tidak dapat dihindari adanya kontaminasi dan kerusakan

selama prosesing dan distribusi. Mengingat tingginya kewaspadaan masyarakat

terhadap keamanan pangan, menuntut produsen bahan pangan termasuk

pengusaha peternakan untuk meningkatkan kualitas produknya.Walaupun kualitas


2

karkas tergantung pada preferensi konsumen namun ada standar khusus yang

dijadikan acuan.

Karkas yang layak konsumsi harus sesuai dengan standar SNI mulai dari

cara penanganan, cara pemotongan karkas, ukuran dan mutu, persyaratan yang

meliputi bahan asal, penyiapan karkas, pengelolaan pascapanen, bahan pembantu,

bahan tambahan, mutu produk akhir hingga pengemasan. Oleh karena itu

dilakukan praktikum yang berjudul “Boneless” yang bertujuan agar mahasiswa

peternakan memahami bagaimana manajemen pemeliharaan ayam broiler yang

tepat.

1.1 Identifikasi Masalah

1) Bagaimana proses fumigasi yang dilakukan pada mesin tetas.

2) Bagaimana proses seleksi yang dilakukan pada telur tetas.

3) Bagaimana proses perkembangan embrio pada telur puyuh.

4) Bagaimana karakteristik hasil tetas telur puyuh.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses fumigasi pada mesin tetas.

2) Mengetahui proses seleksi pada telur tetas.

3) Mengetahui proses perkembangan embrio pada telur puyuh.

4) Mengetahui karakteristik hasil tetas telur puyuh.

1.3 Waktu dan Tempat

Hari/Tanggal : Senin, 2 -30 Oktober 2017

Waktu : Pukul 13.30 – 15.30 WIB


Tempat : Test Farm Unggas Fakultas Peternakan Universitas

Padjadjaran
3

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Penetasan

Penetasan merupakan upaya dalam mempertahankan populasi maupun

memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

dapat menghasilkan DOC yang berkualitas baik.Penetasan dapat dilakukan baik

secara alami maupun buatan.Tingkat keberhasilan antara penetasan alami dan

penetasan buatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, jika faktor yang berpengaruh

pada daya tetastelur penetasan buatan kurang diperhatikan tidak memungkinkan

daya tetas pada penetasan buatan yang diharapkan dapat lebih baik maka bisa
justru lebih buruk dari penetasan alami. Keberhasilan penetasan buatan tergantung

banyak faktor antara lain telur tetas, mesin tetas dan tata laksana penetasan

(Suprijatna et al., 2005)

Proses penetasan telur secara alami yaitu telur dierami oleh induknya

untuk ditetaskan dengan melakukan berbagai persiapan dan perlakuan yang


nantinya dibutuhkan oleh telur itu sendiri. Persiapan dan perhatian yang

diperlukan untuk penetasan alami adalah sarang pengeraman. Bentuk sarang

pengeraman mempengaruhi daya tetas telur (Cahyono, 2007).

2.2 Fumigasi Mesin Tetas

Fumigasi mesin tetas merupakan suatu langkah awal yang penting pada

proses penetasan telur untuk mencegah timbulnya penyakit menular melalui

penetasan. Fumigasi juga salah satu faktor yang sangat mempengaruhi daya tetas

telur, oleh karena itu agar proses penetasan berjalan dengan baik perlu perlakuan
fumigasi yang tepat. Daya tetas telur yang mendapat perlakuan fumigasi lebih

tinggi dari pada yang tidak (Siregar, 1970).


4

Namun jika jenis desinfektan atau dosisnya terlalu tinggi akan

menyebabkan kematian pada embrio, maka dari itu perlu dilakukan pencampuran

desinfektan yang sesuai kebutuhan. Bahan yang tepat dipergunakan untuk

fumigasi adalah formalin yang dicampur dengan KMnO4, dengan dosis

pemakaian40ml formalin + 20gram KMnO4 digunakan untuk ruangan bervolume

2,83 m3 (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).


Commented [N1]: Tdk dilakukan
2.3 Fumigasi Telur Tetas

Fumigasi pada telur tetas juga langkah yang penting agar telur terhindar

dari bakteri yang bisa mengganggu perkembangan embrio pada proses penetasan.

Fumigasi telur sangat penting karena kerabang telur mengandung banyak bakteri

maupun parasit karena pada proses penetasan, baik temperatur maupun

kelembaban sangat sesuai dengan kebutuhan bakteri dan kapang, sehingga bakteri

dan kapan yang hidup pada proses penetasan akan berkembang biak dengan cepat

(Mahfudz, L.D., 1998).

Fumigasi dilakukan pada saat telur akan diletakan di dalam mesin tetas

dengan teknik dan dosis fumigasi yang sesuai, fumigasi telur tetas yang tidak

tepat dapat merusak kutikula telur, sehingga penguapan telur dengan densifektan

(KMnO4 sebanyak 17,5 gram dan formalin 40% sebanyak 35 ml) merupakan

salah satu cara mengurangi kerusakan kutikula (Srigandono, 1997). Fumigasi


yang tidak sesuai juga dapat mempengaruhi pertumbuhan embrio, sehingga perlu

pelaksanaan fumigasi telur yang tepat. Diantara penyebab embrio mengalami mati

dini yaitu karena penyimpanan telur yang kurang baik, terlalu lama dan dosis

fumigasi yang terlalu tinggi (Nuryati, 2002).

2.4 Seleksi Telur Tetas

Seleksi telur tetas Selama menjalankan manajeman penetasan diperlukan

penyeleksian telur tetas, karena jika telur tetas yang tidak sesuai dengan kriteria
5

telur yang dapat ditetaskan/ memiliki daya tetas yang tinggi tetap ditetaskan akan

merugikan dan lebih bahayanya akan berdampak ke telur lain yang sesuai kriteria.

Telur tetas yang sesuai kriteria dapat ditetaskan / memiliki daya tetas tinggi yaitu:

Bentuknya oval, tekstur halus, berukuran sedang, dan cangkang tebal. Bentuk dari

telur juga perlu diperhatikan karena juga dapat mempengaruhi bobot tetas,

penyerapan suhu pada telur dengan bentuk lancip lebih baik bila dibandingkan

dengan telur berbentuk tumpul maupun bulat, hal ini menyebabkan proses

metabolisme embrio 4 didalamnya dapat berjalan dengan baik sehingga bobot

tetasnya lebih tinggi (North, 2010).

Bentuk dari telur juga akan mempengaruhi bobot tubuh DOC, ukuran

besar telur berpengaruh pada ukuran besar anak ayam yang baru menetas
(Gillespie, 1992). Telur tetas harus berasal dari induk (pembibit) yang sehat dan

produktifitasnya tinggi dengan sex ratio yang baik sesuai dengan rekomendasi

untuk strain atau jenis ayam, umur telur tidak boleh lebih dari satu minggu,

bentuk telur harus normal, sempurna lonjong dan simetris, seragam, berat 35 – 50

gram (Kartasudjana, dkk. 2006).


Agromedia (2002) menyatakan bahwa telur adalah suatu bentuk tempat
Commented [N2]: End note saja kalau di kajian pustaka
penimbunan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air

yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio selama pengeraman. Untuk dapat

ditetaskan telur-telur burung puyuh harus diseleksi. Memilih telur burung puyuh

yang akan ditetaskan harus teliti, beberapa tips memilih telur burung puyuh yang

baik untuk ditetaskan sebagai berikut :

1) Memilih telur yang bersih, halus dan rata

2) Memilih telur yang warnanya tidak terlalu pekat

3) Bintik di kulit telur harus jelas

4) Kulit telur tidak retak


6

5) Memilih telur yang baru, bukan telur yang sudah disimpan lebih dari 3 hari

6) Jika ingin dijadikan khusus sebagai telur tetas setelahkeluar dari burung

puyuh, telur segera diambil dan debersihkan.

Pengambilan Telur Sebaiknya telur yang akan ditetaskan berukuran 11-13

gram per butir. Ukuran normal tersebut dapat dicapai setelah induknya berumur

2,5 bulan. Dengan demikian pengambilan telur tetas burung puyuh dilaksanakan

sejak induk berumur 2,5-8 bulan (Sugihartono, 2005).

2.5 Penetasan dengan Mesin Tetas

Telur burung puyuh dapat ditetaskan dengan mesin tetas buatan. Selama

ditetaskan telur tadi perlu diputar 900 dan paling sedikit sehari diputar 4-6 kali.

Menetaskan telur burung puyuh tidak berbeda dengan telur ayam. Minggu

pertama : 38,30 C (1010 F). Minggu kedua sampai menetas : 390 C (1030 F).

Suhunya diusahakan jangan sampai lebih dari 39,40 C (1030 F). Termometer

untuk mengukur suhu mesin tetas diletakkan sejajar dengan ujung telur, dengan

maksud supaya termometer tersebut menunjukkan suhu telur-telur yang

ditetaskan. Kelembabannya tidak boleh kurang dari 60% (tabung yang basah pada

hygrometer) 30,60 C (870 F) sampai hari ke 14 setelah itu dinaikkan 32,30 C

(900F) sampai proses penetasan selesai (Nugroho dan Mayun, 1981).

2.6 Penyimpanan Telur

Lama penyimpanan telur dapat mempengaruhi daya tetas telur burung

puyuh. Abidin (2003) menguatkan pendapat tersebut dengan menyodorkan data

hasil penelitian para ahli bahwa daya tetas telur yang disimpan selama 6 hari lebih

tinggi dibandingkan dengan telur tetas disimpan lebih dari 7 hari. Telur yang

disimpan terlalu lama, apalagi dalam kondisi lingkungan yang kurang baik, bisa

menyebabkan penurunan berat telur dan kantong udaranya semakin berkurang

(Andrianto, 2005).
7

2.7 Pemutaran Telur

Membalik atau memutar letaknya telur pada hari-hari tertentu selama

periode penetasan perlu sekali dilakukan. Gunanya adalah supaya telur

mendapatkan panas yang merata. Selain itu juga untuk menjaga agar bibit tidak

menempel pada kulit dalam fase permulaan penetasan dan untuk mencegah zat

kuning telur dengan tenunan selaput pembungkus anak (allanthoin) pada fase

berikutnya. Membalik telur dilakukan setiap hari mulai hari ketiga atau

keempatsampai dua hari sebelum telur-telur menetas. Pemutaran telur sebaiknya

dilaksanakan paling sedikit 3 kali atau lebih baik bila diputar 5 sampai 6 kali

sehari dengan setengah putaran (Djanah, 1984).

2.8 Temperatur Mesin Tetas

Dalam prakteknya temperatur mesin tetas sering dibuat stabil sekitar

1030F (39,40 C) untuk semua penetasan telur unggas. Kelembaban mesin tetas

untuk penetasan telur berbagai jenis unggas relatif sama, yaitu sekitar 60-70%.

Selama persiapan ventilasi atas mesin tetas ditutup sampai hari penetasan ke tiga

(Suprijatna dkk, 2005).

Temperatur mesin merupakan salah satu faktor yang sangat penting pada

saat proses penetasan, temperatur yang tidak tepat akan berpengaruh pada

rendahnya daya tetas. Telur ayam akan menetas pada penetasan buatan bila
tersedia temperatur dalam mesin tetas yang baik pada hari ke – 1 sampai ke – 18

yaitu 101oF (38,33o C) (Paimin, 2003).

Setelah hari ke – 18 maka masuk ke persiapan penetasan, maka perlu

adanya penurunan temperatur pada mesin. Temperatur yang baik pada saat

persiapan penetasan yaitu sebaiknya diturunkan suhunya hingga 98,8oF pada hari
Commented [N3]: Ini masuk anak subab penetasan aja
ke – 19 hingga hari ke – 21 (Rahayu et al., 2001).
8

2.9 Fertilitas

Fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang

digunakan dalam suatu penetasan. Nuryati dkk (2002) menyatakan bahwa agar

telur dapat menetas menjadi anak, telur tersebut harus dalam keadaan fertil

ataudisebut dengan telur tetas. Telur tetas merupakan telur yang telah dibuahi sel

jantan.

Menurut Agromedia (2002) bahwa fertilitas telur burung puyuh

dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1) Sperma dihasilkan oleh puyuh jantan. Jumlah yang dihasilkan dan

kualitasnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya, temperatur kandang

terlalu tinggi, pemberian cahaya, kulitas dan kuantitas ransum serta dan
kesehatan unggas tersebut. Di samping hal-hal yang telah dikemukakan itu

faktor makanan sangat penting. Ransum yang dimakan sangat

mempengaruhi kualitas sperma yang dihasilkan pejantan. Juga cahaya,

mempengaruhi sperma yang dihasilkan oleh pejantan.

2) Baik atau buruknya kualitas pakan akan mempengaruhi kualitas dan


kuantitas sperma yang dihasilkan, yang kemudian akan mempengaruhi

fertilitas telur tetas yang dihasilkan.

3) Fertilitas akan berkurang dengan semakin bertambahnya umur pembibit.

Penurunan itu cepat terjadi setelah tahun pertama jantan digabung dengan

betina.

4) Pada musim panas, temperatur kandang yang tinggi dapat menyebabkan

fertilitas merosot.

5) Ada pejantan yang senang kawin pada beberapa betina saja, dan yang

lainnya jarang dikawininya. Di samping itu betina tersebut tidak bisa

dikawini oleh pejantan lain.


9

6) Kawin suntik yang dilakukan pada sore hari akan menghasilkan fertilitas

yang tinggi. Perkawinan secara alami juga menghasilkan fertilitas yang

tinggi pada waktu perkawinan di sore hari.

7) Tingginya angka produksi menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi juga

dibanding dengan produksi dengan jumlah yang sedikit.

Pemeriksaan telur dilakukan 2 x selama penetasan yang pertama dilakukan

pada hari ke 7, saat itu sudah jelas terlihat perkembangan embrio berupa sebuah

titik dengan cabang-cabang berwarna merah di dalam kuning telur fertil yang

mati. Cirinya saat peneropongan tampak sebagai gumpalan gelap yang tidak

bergerak dan harus dikeluarkan dari mesin tetas (Suprijatna dkk, 2005).

Pemeriksaan kedua berfungsi untuk menentukan atau memeriksa kembali


telur yang diragukan pada pemeriksaan yang pertama, melihat perkembangan

embrio, dan mengeluarkan telur yang mati atau kosong. Telur yang tidak baik dari

pemeriksaan kedua tidak dapat dikonsumsi (Paimin, 2003).


Commented [N4]: Masuk anak subab kerakteristik hasil tetas
2.9 Daya Tetas aja

Suatu penelitian menunjukkan bahwa telur yang disimpan terlalu lama

akan menurunkan daya tetasnya. Telur-telur yang disimpan daya tetasnya akan

menurun kira-kira 3% tiap tambahan sehari. Telur yang disimpan dalam

kantungplastik PVC (Polyvinylidene chloride) dapat tahan lebih lama, kira-kira 13


sampai 21 hari dibandingkan dengan ruangan terbuka daya tetasnya juga lebih

tinggi dari pada telur yang disimpan dalam ruangan terbuka (Nugroho dan Mayun,

1981).

Untuk menghasilkan dayatetas yang baik, ransum yang diberikan harus

baik pula kandungan nutrisinya. Ransum yang baik ini dicirikan dengan
keseimbangan yang serasi antara protein, energi metabolisme, vitamin, mineral

dan air. Protein yang diberikan juga harus merupakan keseimbangan dari
10

kandungan asam-asam amino. Kadar protein dalam ransum bervariasi berdasarkan

temperatur, energi dalam ransum, tingkat produksi telur dan lain-lain (Rasyaf,

1994).

Tidak semua telur tetas dapat digunakan dalam penetasan. Hanya telur

yang memenuhi persyaratan saja yang dapat digunakan. Oleh karena itu, perlu

adanya penanganan pascapanen untuk menentukan atau menghasilkan telur yang

layak untuk di tetaskan. Penanganan pascapanen tersebut meliputi kegiatan

pengumpulan telur, seleksi telur dan penyimpanan ( Suprijatna, 2005).

2.10 Perkembangan embrio

Mortalitas Embrio Kematian embrio banyak terjadi dalam keadaan kritis

selama waktu penetasan. Ada dua periode kritis pada masa penetasan : 1. selama

tiga hari pertama dari masa penetasan 2. pada masa burung puyuh akan menetas

kematian yang tinggi pada embrio pada umumnya disebabkan karena embrio tidak

mampu berfungsi dengan baik, saat kritis itu antara lain pada perubahan posisi

pada saat akan menetas. Atau saat anak burung puyuh mulai mematuki kulit

kerabang telur untuk menetas, anak burung puyuh tak dapat memakai albumen

yang tersisa, kegagalan absorbsi yolk sack saat peralihan dari allanthoin ke

pernafasan dengan paru-paru (Nugroho, 1981).

Sutoyo (1989) menyatakan bahwa apabila ternak burung puyuh diharapkan


telurnya untuk ditetaskan, maka kandang harus diisi burung puyuh betina, harus

pula diisi dengan puyuh jantan. Perbandingannya adalah betina : jantan = 3 : 1

(tiga ekor betina : satu ekor jantan).

Baik betina maupun jantannya yang dipersiapkan untuk dijadikan bibit

peternakan, harus memenuhi syarat : a. sehat dan cukup bertenaga b. ukurannya


harus sedang (walaupun sebagian diketahui pejantan umumnya berbadan lebih

kecil daripada betina).


11

Tambah tipus karakteristik hasil tetas

III

ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Alat
1.4.1 Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
1. Mesin Tetas, sebagai tempat untuk menetaskan telur puyuh.
2. Cawan Petridis, sebagai tempat untuk menyimpan larutan untuk fumigasi.
3. Gelas Ukur, untuk mengukur dan menyimpan bahan yang digunakan.
4. Alat Ukur (Meteran), mengukur volume mesin tetas.
1.4.2 Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas
1. Egg Tray, menyimpan telur yang ada.
2. Mesin Tetas, melakukan penetasan
3. Timbangan Ohauss, menimbang berat telur tetas
4. Candler, untuk mengcandling telur tetas
5. Cawan Petridis, sebagai tempat untuk menyimpan larutan untuk fumigasi.
1.4.3 Penetasan Telur Tetas
1. Mesin Tetas, melakukan penetasan.
2. Egg Tray, menyimpan telur yang ada.
3. Candler, untuk mengcandling telur tetas
4. Cawan Petridis, sebagai tempat untuk menyimpan larutan untuk fumigasi.
3.2 Bahan
3.2.1 Fumigasi Mesin Tetas
1. KMnO4, bahan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen.
2. Formalin (H2CO) 40%, bahan untuk menghilangkan mikroorganisme
patogen.
3.2.2 Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas Commented [N5]: Tdk difymigasi

1. KMnO4, bahan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen.


2. Formalin (H2CO) 40%, bahan untuk menghilangkan mikroorganisme
patogen.
12

3. Telur Tetas, objek yang diamati dalam penetasan telur.


3.2.3 Penetasan Telur Tetas
1. 50 butir telur puyuh tetas, objek yang diamati dalam penetasan telur.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
1) Mengukur panjang, lebar dan tinggi mesin tetas menggunakan meteran.
Kemudian menghitung volume mesin tetas dan menghitung kebutuhan
KMnO4 dan Formalin.
2) Menutup semua ventilasi atau lubang menggunakan kertas bekas atau koran.
3) Menimbang KMnO4 dengan neraca O’haus berdasarkan hasil perhitungan
lalu menyimpannya di cawan Petridis.
4) Mengukur volume Formalin 40% dengan menggunakan gelas ukur sesuai
dengan hasil perhitungan kemudian masukkan pada labu Erlenmeyer.
5) Menyimpan cawan petridis yang berisi KMnO4 pada tempat penyimpanan
telur tetas dalam mesin tetas lalu tuangkan larutan formalin 40% yang
terdapat dalam labu erlemeyer secara hati-hati ke cawan Petridis.
6) Menutup mesin tetas dengan segera agar gas yang timbul tidak keluar dari
mein tetas.
3.3.2 Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas
1) Meakukan pencucian pada telur-telur yang kotor menggunakan air hangat
dilap dengan tissue. Commented [N6]: Sesuaikan dg prosedur yg dilakukan

2) Setelah kering, candling telur untuk melihat keadaan kerabang, apakah


terdapat retak halus (hair check). Bila terdapat yang retak maupun yang
retak halus pada kerabang telur, pisahkan telur tersebut jangan ditetaskan.
3) Memberi tanda huruf A pada kulit telur bagian samping dan huruf B pada
bagian samping lainnya (rotasi 90°), serta berikan penomoran angka secara
berturut-turut pada masing-masing telur sesuai kelompok.
4) Menimbangbobot telur tetas dan catat beratnya sesuai nomor urut telur.
5) Mengukur panjang dan lebar atau diameter telur dengan menggunakan
jangka sorong untuk menentukan bentuk telur (shape index).
13

3.3.3 Penetasan Telur Tetas


1) Setelah telur diseleksi dan difumigasi, susun telur secara horizontal pada rak
mesin tetas.
2) Masukan rak telur dan tutup pintu mesin tetas. Atur kondisi temperature
dalam mesin tetas antara 98-102° F, dengan cara memutar sekrup pada Commented [N7]: Suhu sesuaikan dg suhu tiap kelompok

bagian thermoregulator.
3) Hari pertama sampai dengan hari ketiga tidak usah diputar, dan baru diputar
pada hari keempat. Pemutaran telur dilakukan pada hari keempat sampai
dengan berakhirrnya periode setter ( hari ke-18). Pemutaran telur dilakukan
3x sehari yaitu pada pukul 07.00-07.30 WIB, 12-12.30 WIB, dan 16.00-
16.30 WIB.
4) Catat setiap harinya pada lembaran yang telah disediakan yaitu nama dan
NPM yang bertugas,tanda tangan, suhu sebelum pemutaran dan sesudah
pemutaran dan kejadin diluar dugaan (missal : mati listrik, telur ada yang
pecah,dsb).
5) Perhatikan bak air untuk kelembaban, jangan sampai kering. Isi bak air
antara ½ sampai ¾ bagian wadah.
6) Apabila terjadi mati listrik, siapkan penyalaan lampu temple dan tunggu
sampai suhu penetasan tercapai. Catat lamanya mati listrik.
7) Catat kejadian-kejadian selama penetasan berlangsung dalam tabel
pengamatan penetasan telur pada kolom keterangan.
8) Hitung presentasi fertiitas telur pada hari ke-7 dan presentase daya tetas.
14

IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Fumigasi Mesin Tetas


Panjang mesin tetas = 51,3 cm
Lebar mesin tetas = 53,5 cm
Tinggi mesin tetas = 29,7 cm
Volume mesin tetas =pxlxt
= 51,3 x 53,5 x 29,7
= 81513,135 cm3
=
0,081513 m3 ~ 0,081 m3
Kebutuhan KMnO4 =𝑉/2,83 𝑥 60
= 0,081/2,83 x 60
= 1,717 ~ 2 gram
Kebutuhan Formalin = 𝑉/2,83 𝑥 120
= 0,081/2,83 x 120
Commented [N8]: Dibentuk tabel aja. Perhitungannya simpan
= 3,434 ~ 4 gram di lampiran
15

4.1.2 Seleksi Telur Tetas


No Berat Keutuha
Panjang Diameter Bentuk Kebersihan
Telur Telur n
...(g)... ...(Cm)...
1 14,8 3,45 2,38 Normal AA Sound
2 11,6 3,16 2,38 Normal AA Sound
3 12,2 3,06 2,37 Normal AA Sound
4 11,1 3,00 2,16 Normal AA Sound
5 11,9 3,00 2,37 Bulat AA Sound
6 12,4 3,00 2,38 Bulat AA Sound
7 11,1 2,8 2,37 Bulat AA Sound
8 11,6 3,11 2,28 Normal AA Sound
9 11,0 2,83 2,24 Bulat AA Sound
10 10,8 2,94 2,21 Normal AA Sound
11 10,9 2,93 2,13 Normal AA Sound
12 11,2 2,94 2,20 Normal AA Sound
13 12,0 2,94 2,31 Bulat AA Sound
14 9,4 2,87 2,19 Normal AA Sound
15 11,9 2,97 2,31 Normal AA Sound
16 11,2 2,66 2,30 Bulat AA Sound
17 1,06 2,97 2,29 Normal AA Sound
18 10,1 2,74 2,29 Bulat AA Sound
19 10,3 2,80 2,29 Bulat AA Sound
20 11,8 3,00 2,38 Bulat AA Sound
21 11,1 3,19 2,54 Bulat AA Sound
22 12,6 3,37 2,63 Normal AA Sound
23 11,0 3,25 2,55 Bulat AA Sound
24 11,1 3,26 2,48 Normal AA Sound
25 10,3 3,14 2,44 Normal AA Sound
26 10,8 3,13 2,00 Lonjong AA Sound
27 12,8 3,32 2,68 Bulat AA Sound
28 11,7 3,31 2,53 Normal AA Sound
29 11,6 3,17 2,54 Bulat AA Sound
30 11,4 3,11 2,66 Bulat AA Sound
31 11,1 3,30 2,46 Normal AA Sound
32 12,6 3,45 2,61 Normal AA Sound
33 12,4 3,45 2,55 Normal AA Sound
34 11,2 3,20 2,50 Bulat AA Sound
35 12,1 3,21 2,62 Bulat AA Sound
36 12,6 3,26 2,16 Normal AA Sound
37 10,1 3,01 2,47 Bulat AA Sound
16

38 11,4 3,33 2,65 Bulat AA Sound


39 11,5 3,42 2,43 Normal AA Sound
40 10,3 3,17 2,46 Normal AA Sound
41 10,9 3,18 2,52 Bulat AA Sound
42 9,5 3,04 2,39 Bulat AA Sound
43 10,3 3,10 2,46 Bulat AA Sound
44 9,7 2,95 2,44 Bulat AA Sound
45 11,5 3,40 2,52 Normal AA Sound
46 11,3 3,20 2,65 Bulat AA Sound
47 11,0 3,18 2,49 Bulat AA Sound
48 11,8 3,24 2,67 Bulat AA Sound
49 10,3 3,14 2,44 Normal AA Sound
50 11,1 3,28 2,80 Normal AA Sound Commented [N9]: Font dan ukuran sesuaikan dg panduan
17

4.1.3 Karakteristik Hasil Tetas

Berat
No Berat Telur
Telur awal Fertil Infertil Menetas
Telur Akhir (b1)
(b0)
...(g)...
1 14,8 13,5  - 
2 11,6 10,4 -  -
3 12,2 10,9  - 
4 11,1 10,2  - 
5 11,9 10,8 -  -
6 12,4 11  - 
7 11,1 10,2  - 
8 11,6 10,4 -  -
9 11 10,4  - 
10 10,8 9,8 -  -
11 10,9 9,8 -  -
12 11,2 10  - -
13 12 10,9  - 
14 9,4 8,5 -  -
15 11,9 10,2  - 
16 11,2 8,5 -  -
17 10,6 9,5  - 
18 10,1 9,1 -  -
19 10,3 9 -  -
20 11,8 10,5  - -
21 11,1 9,1  - -
22 12,6 11,1  - 
23 11 10,2  - 
24 11,1 10  - 
25 10,3 3,6 -  -
26 10,8 9,7  - -
27 12,8 11,6  - 
28 11,7 10,3  - 
29 11,6 6 -  -
30 11,4 10,3  - 
31 11,1 10,1 -  -
32 12,6 11,7 -  -
33 12,4 11,3  - 
34 11,2 10  - 
35 12,1 10,8  - 
36 12,6 9,7 -  -
37 10,1 - -  -
18

38 11,4 9 -  -
39 11,5 10,4  - 
40 10,3 9 -  -
41 10,9 9,9  - 
42 9,5 7,3 -  -
43 10,3 9,3  - 
44 9,7 8,6  - 
45 11,5 7,8 -  -
46 11,3 10,3 -  -
47 11 10,2 -  -
48 11,8 10,8  - 
49 10,3 9,3 -  -
50 11,1 10,5  - -
Penilaian pasgarnya ??/

Kalau ada tambah hasil pengamatan perkembangan embrio berupa foto

embrio saat telur dipecahkan, lalu beri keterangan

4.2 Pembahasan
4.2.1 Fumigasi Mesin Tetas

Fumigasi yang digunakan pada umumnya berupa campuran formalin dan

kalium permanganat (KmnO), formalin merupakan larutan gas Formaldehida, bila

terkena larutan formalin kulit akan terasa pedih dan terkelupas. Bila gas
Formaldehida terkena mata dan hidung akan terasa pedih, gas Formaldehida akan

menguap bila larutan formalin dipanaskan. Untuk menfumigasi mesin tetas,

fumigasi diuapkan selama 30 menit, caranya hanya dengan menguapkan formalin

ke wadah yang berisi KMnO. Bahan tersebut harus tahan panas. Setelah diuapkan

mesin tetas segera ditutup dan didiamkan selama 24 - 48 jam dengan kondisi

pemanasan tetap hidup.

Telur yang baru diambil dari kandang telah tercemar mikroba yang

populasinya tergantung pada tingkat kebersihan telur. Fumigasi merupakan upaya

untuk membasmi mikroba tersebut. Fumigasi dengan menggunakan gas


19

formaldehyde digunakan secara luas pada perusahaan penetasan telur, karena

disamping mudah dilakukan, gas tersebut mempunytai daya basmi terhadap


Commented [N10]: Kalau dipembahasan tdk ada end note
mikroba yang tinggi ( Sukardi, 1999). Menurut Rasyaf (2002), telur yang tidak

menetas menjadi lebih banyak bila menggunakan mesin tetas dibandingkan

dengan pengeraman dengan induk ayam. Kesalahan temperatur, kelembaban

mesin tetas atau terlalu banyak menggunakan obat pembunuh kuman dapat

menyebabkan banyak telur yang tidak menetas.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa panjang, lebar dan tinggi

mesin tetas beruturut-turut yaitu 51,3 cm, 53,5 cm, dan 29,7 cm. Kemudian

dihitung volume dari mesin tetas tersebut sehingga diperoleh volemenya 0,081

m3. Bahan yang digunakan untuk melakukan fumigasi kali ini adalah KMnO4dan
Formalin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasudjana dan Suprijatna(2010)

bahwa Bahan yang tepat dipergunakan untuk fumigasi adalah formalin yang

dicampur dengan KMnO4, dengan dosis pemakaian 5 40ml formalin + 20gram

KMnO4 digunakan untuk ruangan bervolume 2,83 m3. Perbandingan antara

KMnO4dan Formalin pada fumigasi ini menggunakan 3x konsentrasi, sehingga


KMnO460 dan Formalin 120. Dari hasil perhitungan didapatkan kebutuhan

KMnO4dan Formalin berturut-turut yaitu 2 gram dan 4 gram.

4.2.2 Seleksi Telur Tetas


Seleksi telur merupakan hal yang paling penting pada kegiatan penetasan,

selain menjaga kualitas DOQ yang di hasilkan seleksi ini bertujuan untuk

meningkatkan daya tetas dan keberhasilan dalam penetasan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Rasyaf (2008) yaitu Telur yang akan di tetas kan merupakan telur

terbaik yang telah di seleksi guna meningkatan daya tetas dan keberhasilan
penetasan. Selain ukuran telur yang ideal, telur puyuh yang ditetaskan harus

bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang telur.


20

Kebersihan telur akan semakin baik jika kerabang telur dalam keadaan

bersih dan tidak terkontaminasi kotoran apapun. Kontaminasi pada telur dapat

terjadi sejak telur masih berada dalam tubuh induk dan udara luar setelah telur

berada di udara terbuka. Bagian dalam dan bagian luar telur tetas sama-sama
Commented [N11]: End note yg dikurung hanya tahun saja
memengaruhi hasil penetasan (Rasyaf, 2008). Telur-telur yang kotor akan mudah

terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori pada kerabang telur

yang menyebabkan kematian embryo.

Seleksi telur yang baik untuk ditetaskan dapat meningkatkan daya tetas

sebesar 5% menurut (Kortlang 1985). Berat telur puyuh yang baik untuk

ditetaskan antara 9 – 11 gram dengan bentuk yang normal. Kerusakan telur tetas

umumnya terjadi beberapa jam setelah ditelurkan, karena perubahan suhu telur
dari suhu tubuh (37°C) ke suhu kamar yang lebih rendah menyebabkan

penyusutan isi telur. Bakteri dengan mudah dapat masuk melalui pori-pori telur,

dan apabila sudah berada di dalam telur sulit sekali untuk dibunuh tanpa

membunuh embrio yang ada. Bentuk telur juga berpengaruh terhadap daya tetas

telur. Hal ini dikarenakan telur dengan bentuk lancip dapat menerima panas suhu
ruang inkubasi dengan baik, sehingga proses metabolisme embrio didalamnya

dapat berjalan dengan baik sehingga berbobot tetas lebih rendah bila

dibandingkan dengan telur dengan bentuk bulat. Penyerapan suhu pada telur

dengan bentuk lancip lebih baik bila dibandingkan dengan telur berbentuk tumpul

maupun bulat, hal ini menyebabkan proses metabolisme embrio didalamnya dapat

berjalan dengan baik sehingga bobot tetasnya lebih tinggi hal ini menurut
Commented [N12]: Sebutkan pernyataannya
pernyataan (North 1994).

Praktikum kali ini melakukan penetasan sebanyak 50 butir telur itik.

Telur-telur ini di ukur berat, panjang dan diameternya untuk mengetahui bentuk

tersebut apakah bulat, lonjong atau normal. Keseluruhan telur ini memiliki bentuk
21

dan ukuran yang berbeda-beda, dan yang dominan adalah bulat dan normal,

sehingga akan mempengaruhi daya tetasnya. Selain dari kualitas eksterior yang

mempengaruhi daya tetas, kualitas interiorpun mempengaruhi. Dari 50 butir telur

memang terdapat beberapa telur yang tidak fertil/infertil yang dapat diketahui .

Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya pemecahan telur pada telur-telur yang

dianggap infertil pada hari ke 7. Namun pada Industri penetasan telur, jika saat

candling hari ketiga tidak terlihat adanya serabut pembuluh darah dan pada saat

candling hari ketujuh tidak terlihat bagian hitam pada telur yang menandakan

telur tersebut sudah berbentuk embrio, maka telur-telur infertil tersebut akan

dikeluarkan dari mesin tetas dan akan dijadikan sebagai telur tetas.

4.2.3 Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio ayam terjadi dalam dua media yaitu dalam tubuh

induk dan diluar tubuh induk. Perkembangan dalam tubuh induk yaitu setelah

terbentuknya zigot dari persatuan sel sperma dengan ovum, maka pertumbuhan

embrio pun dimulai. Sesaat setelah lima jam ovulasi, saat telur berkembang dalam

isthmus terjadi pembedahan sel yang pertama. Duapuluh menit kemudian disusul

di daerah lain dan seterusnya sehingga satu jam setelah itu pada saat telur

meninggalkan isthmus, embrio sudah tersusun dari 16 sel. Setelah empat jam di

dalam uterus, jumlah sel menjadi 256 buah.


Selama pembelahan awal seluler, terbentuk dua lapisan sel benih dimana

peristiwa ini disebut dengan gastrulasi, yang biasanya dilengkapi pada saat telur

dikeluarkan dari tubuh induk. Kedua lapisan ini adalah ektoderm dan mesoderm.

Lapisan ketiga yaitu endoderm akan terbentuk ketika telur sudah di tempatkan di

dalam incubator. Ektoderm akan terbentuk sistem saraf dari bagian – bagian dari
mata, bulu, paruh, kuku, dan kulit. Sedangkan dari mesoderm terbentuk tulang,

otot, darah, sistem reproduksi dan sistem ekskresi. Endoderm terbentuk organ –
22

organ respirasi, sekresi, serta saluran pencernaan. Pada saat telur dikeluarkan,

beberapa ribu sel akan dihasilkan dan blastodisc akan menggambarkan suatu unit

yang kompleks. Setelah telur dikeluarkan, pembelahan seluler terus berlangsung

selagi temperature di atas 75º F. Sel telur tidak akan membelah lagi bila

temperatur kembali rendah, oleh karena itu mulai saat telur ditelurkan sampai

telur siap dimasukkan kedalam incubator, pembelahan seluler akan terhambat,

artinya tidak terjadi pembelahan sel antara waktu tersebut. Perkembangan embrio

selama masa pengeraman merupakan fase kedua dari perkembangan embrio.

Salah satu perubahan struktur pertama setelah telur dieramkan adalah

munculnya primitive streak bersamaan dengan differensiasi mesoderm, primitive

streak membentuk dua penebalan ectoderm, bermula dititik awal endoderm.


Primitive streak akhirnya hilang tetapi berfungsi sebagai tempat terdapatnya

sumbu exis longitudinal tubuh dan ekstremitas posterior. Pada hari pertama,

kepala embrio telah terbentuk dan didalamnya dapat dilihat permulaan

pertumbuhan sistem saraf pusat, fore-got, dan traktus alimentarius.

Pulau darah muncul didaerah ovaca, diluar tubuh embrio. Elastoderm


membesar (melebar dengan cepat yang memulai proses pertumbuhan hingga

mengelilingi kuning telur). Pada hari kedua jantung mulai tampak berdenyut. Pada

hari ketiga, lapisan endoderm melekat pada kantong kuning telur dan area ovaca

berubah menjadi area vasculosa, sedangkan dipertengahannya terdapat peta takdir

yang akanberkembang menjadi pembuluh darah dan butir-butir darah. Pada hari

keempat, terdapat pertumbuhan endoderm ke arah luar untuk membentuk usus

belakang yang mendorong suatu lapisan mesoderm yang masuk kedalamnya

menjadi cavitis ekstra embrionik untuk membentuk alantois. Selaput ekstra

embrionik terus menerus memebesar hingga mengisi seluruh ruangan serta


23

merupakan kantong pembuluh darah yang bergabung dengan chorion sehingga

kapiler-kapilernya itu berhubungan langsung dengan selaput kuning telur.

Embrio tidak memiliki hubungan anatomis dengan tubuh induk, secara

alami terdapat selaput tertentu yang diperlukan untuk mengambil bahan makanan

yang terdapat dalam telur. Selaput tersebut adalah selaput luar yang disebut

kantung kuning telur yang membungkus kuning telur, selaput ini mengsekresikan

enzim yang merupakan kandungan kuning telur menjadi suatu bahan makanan

yang larut, dapat diserap, dan diangkat untuk perkembangan embrio. Pada embrio

ayam tubuhnya terangkat dari kuning telur karena pembentukan lipatan-lipatan

tubuh yang berkontraksi di daerah pusat sehingga terbentuk tali pusar. Tali pusar

ini menghubungkan embrio dengan kantung kuning telur dengan selaput ekstra
embrionik lain. Karena kuning telur dipakai oleh embrio, maka jumlahnya atau

volumenya makin lama makin mengecil seiring dengan pertumbuhan embrio.

Kantung telur ditarik masuk kedalam ruang perut bersama sisa kuning telur

sebagai sumber makanan sementara untuk anak ayam yang baru menetas.

Kantung kuning telur dihubungkan dengan tubuh embrio oleh tungkai kuning
telur. Pekembangan embrio dibantu oleh selaput yang disebut selaput selaput

ekstra embrional, yaitu amnion dan chorion, yolk sac, dan allantois. Penyerapan

zat-zat makanan dan metabolisme selama perkembangan embrio didalam telur

dapat berlangsung karena adanya membran ekstra ebrional tersebut. Yolk atau

kuning telur pada dindingnya menghasilkan enzim protease yang mengubah

protein kuning telur menjadi asam amino sehingga mudah diserap oleh embrio

(Nuryati, 2000).

Amnion dan chorion mulai tumbuh dari daerah kepala yang selanjutnya

menyelimuti sluruh bagian embrio. Amnion merupakan kanntong yang berisi

cairan transparan yang berfungsi memelihara embrio agar bergerak bebas selama
24

pertumbuhan dan melindunngi embrio dari benturan fisik. Allantois merupakan

membran yang menyelimuti embrio dan berperan sebagai sistem sirkulasi

(Hasyim dkk, 2007). Amnion merupakan kantong yang membantu embrio muda

selama perkembangannya, dimana kantung ini dipenuhi suatu cairan yang

transparan dan bersifat mukoid, dihasilkan oleh dinding amnion dan kulit tubuh

embrio. Menjelang kelahiran cairan ini ditelan oleh foetus kembali. Pada ayam

berfungsi untuk mencegah embrio kering, meniadakan goncangan, keleluasaan

embrio berubah-ubah sikap, dan menyerap albumin.

Chorion merupakan selaput perpaduan antara selaput bagian dalam

kerabang telur dengan alantois. Chorion berasal dari sebelah luar zona amniotic.

Pada proses pembentukan plasenta merupakan bagian dari foetus. Bersama-sama


dengan alantois membentuk selaput choriallantois. Chorion kaya akan pembuluh

darah yang berfungsi menyempurnakan fungsi metabolic. Alantois merupakan

selaput yang membantu system sirkulasi dan apabila telah berkembang sempurna

ia akan mengelilingi embrio.

Lapisan Embrional yang Membentuk Bakal Organ Embrio kemudian


berkembang menjadi 3 lapisan inti, yaitu :

1) Lapisan dalam (endoderm), akan berkembang menjadi organ pencernaan,

paru-paru dan kandung kemih.

2) Lapisan tengah (mesoderm), akan berkembang menjadi otot, kerangka dan

sistem darah.

3) Lapisan luar (ectoderm), akan berkembang menjadi sistem saraf dan kulit.\

Yg dibahas itu perkembangan dari hari 1 – menetasnya. Karna memang yg

diamati di minggu kesatu dan kedua saja boleh ditekankan di hari tsb.

Perkembangan hari lainnya pake literature aja.


25

4.2.4 Karakteristik Hasil Tetas

Penetasan dilakukan untuk mengetahui proses perkembangan embrio di

dalam telur sampai telur pecah dan menghasilkan anak ayam. Penetasan dilakukan

secara alami oleh induk ayam atau secara buatan (artifisial) dengan menggunakan

mesin tetas. Telur yang akan ditetaskan merupakan telur fertil yakni telur yang

telah dibuahi oleh sperma jantan, biasanya diperoleh dari perusahaan pembibitan.

Pada praktikum penetasan telur tetas, digunakan telur tetas puyuh sebanyak 50

butir dan menghasilkan DOQ (Day Old Quail) sebanyak 24 ekor, sedang sisanya

tidak menetas sebanyak 26 ekor, 22 diantaranya infertil dan 4 diantaranya fertil

namun mati dalam emrio.

Hasil praktikum tersebut menunjukkan fertilitas telur sebesar 56%, daya


tetas 1 (antara yang menetas dengan yang dieramkan) sebesar 48% dan daya tetas

2 ( antara yang menetas dengan yang fertil) sebesar 85%. Selain fertilitas dan daya

tetas telur, perlu diamati mengenai berat susut telur (%), dan kualitas DOQ secara

kualitatif maupun kuantitatif. Berat susut telur (%) dapat dihitung berdasarkan

penelitian Van der Pol (2013), yakni dengan rumus:


Commented [N13]: Ini simpannya di tipus aja. Di pembahasan
Susut telur (%) = ((b0 – b1) / b0 ) x 100% langsung hasil aja

Rata-rata penyusutan bobot telur dalam praktikum ini yakni sebesar 13%.

Besarnya susut telur ini terbilang normal untuk penetasan telur, dimana embrio

didalam telur dapat berkembang dengan baik tanpa terjadi dehidrasi. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Rahn (1977), bahwa kehilangan air merupakan proses

normal selama inkubasi, biasanya 12 sampai 14% air yang hilang dalam telur.

Selain itu, perlu diketahui bahwa telur yang fertil namun tidak menetas dapat

terjadi akibat temperatur dan usia embrio melalui proses penguapan air.

Contoh nyata dalam praktikum ini yakni adanya 3 nomor terlur yang tidak

menetas akibat kekeringan dalam fase perkembangan embrio akibat dehidrasi


26

dengan penyusutan bobot telur lebih dari 13%, dan pemutaran telur yang kurang

baik karena terlewat beberapa kali selama periode pemutaran. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Nugroho dan Manyun (1986) bahawa telur burung puyuh

dapat ditetaskan dengan mesin penetas telur ayam. Selama ditetaskan telur diputar

90º dan paling sedikit sehari diputar 4-6 kali. Dehidrasi yang terjadi juga

dipengaruhi oleh gerakan peningkatan ion Ca+ dan Na+ dalam membran

chorioallantoic (CAM) sehingga meningkatkan kehilangan air selama inkubasi.

Yang selanjutnya suhu inkubasi yang lebih tinggi dari optimal menyebabkan

kematian embrio oleh dehidrasi dan suhu di bawah optimal menyebabkan over-

hidrasi embrio dan gangguan pertukaran gas. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Davis dkk. (1988) menunjukkan bahwa kehilangan air selama inkubasi


disebabkan gerakan peningkatan ion Ca+ dan Na+ dari cairan allantoic

disebabkan oleh transfer aktif dalam membran chorioallantoic (CAM) dan

menyarankan bahwa sistem osmoregulatory embrio merespon dengan

meningkatkan kehilangan air selama inkubasi. Nakage (2003), suhu inkubasi yang

lebih tinggi dari optimal menyebabkan telur kehilangan air yang berlebihan (lebih
tinggi dari 14%), sehingga dapat menyebabkan kematian embrio oleh dehidrasi.

Suhu di bawah penurunan daya tetas optimal karena berkurangnya kehilangan air

(<12%), yang menyebabkan over-hidrasi embrio dan gangguan pertukaran gas.

Fertilitas telur puyuh yang ditetaskan yakni sebesar 56%. Fertilitas adalah

persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam suatu

penetasan. Fertilitas ini dipengaruhi sperma yang membuahinya, pakan yang

diberikan, umur betina yang berproduksi, suhu lingkungan dan produksi telur

betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agromedia (2000), bahwa fertilitas

burung puyuh juga dipengaruhi oleh faktor-faktor : 1) Sperma; 2) Pakan; 3) Umur

pembibit; 4) Musim atau suhu; 5) Sifat kawin pejantan; 6) Waktu perkawinan; 7)


27

Produksi telur. Sedangkan Produktivitas telur puyuh yang tinggi dapat dicapai

hingga 250 – 300 butir / tahun. Biasanya, puyuh akan berproduksi pada umur 35

hari sampai 45 hari, dengan bantuan pakan yang berkualitas sehingga produksi

telur tertinggi dapat tercapai. Defesiensi mineral berupa Ca dan Phospor pada

telur dapat mempengaruhi fertilitas telur dan pembentukan embrio serta daya tetas

telur sehingga dapat menurunkan kualitas puyuh tersebut. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Suprijatna (2005), bahwa apabila pakan induk defisiensi akan mineral

maka berdampak pada fertilitas dari telur yang ditetaskan, hal ini juga

berpengaruh pada pembentukan embrio. Nugroho dan Manyun (1982), Calsium

dan Phosphor dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pembentukan tulang dan

kerabang telur.
Daya tetas telur berkerabang tipis akan rendah dan telur mudah pecah.

Rasyaf (1993), untuk menghasilkan daya tetas yang baik tidak hanya dibutuhkan

protein dan energi tetapi juga keseimbangan vitamin dan mineral. Semua itu

bertujuan untuk mendukung pertumbuhan embrio saat telur ditetaskan Daya tetas

telur terbagi dua yakni daya tetas telur yang menetas dari telur yang di eramkan
dan daya tetas telur yang menetas dari telur yang fertil. Masing masing hasil

perhitungan daya tetasnya yakni 48% dan 85%. Daya tetas ini menunjukkan

seberapa besar keberhasilan menetasnya telur dengan waktu yang telah

ditetapkan. Daya tetas ini dipengaruhi lama penyimpanan telur, dan kriteria

seleksi penetasan telur yakni bobot, bentuk, kebersihan dan lainnya. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Nugroho dan Manyun (1986), bahwa daya tetas akan menurun

apabila telur disimpan terlalu lama. Telur-telur yang disimpan daya tetasnya akan

menurun, kira-kira 3% tiap tambahan sehari. Telur yang disimpan dalam kantng

plastik PVC (polyvinylidene chloride) dapat tahan lebih lama, kira-kira 13-21 hari
28

dibandingkan telur yang disimpan dalam ruangan terbuka (Nugroho dan Manyun,

1986).

DOQ yang dihasilkan 24 ekor dan rat rata mnetas dalam keadaan sehat dan

baik. Hal tersebut dapat dilihat dari ciri ciri umum ternak sehat yakni mata

bersinar, bergerak aktif atau lincah hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiharto

(2005), bahwa anak burung puyuh yang baru menetas dari telur disebut DOQ

(Day Old Quail). Day old quail besarnya seukuran jari dengan berat 8-10 gram

dan berbulu jarum halus. Day old quail yang sehat berbulu kuning mengembang,

gerakan lincah, biasanya seragam dan aktif mencari makan atau minum.

KESIMPULAN

1) Fumigasi yang digunakan pada umumnya berupa campuran formalin dan

kalium permanganat (KmnO), formalin merupakan larutan gas

formaldehida dengan menggunakan gas tersebut maka fumigasi dapat

mencegah jamur atau mikroba tumbuh pada mesin tetas dan sangat efektif
karena disamping mudah dilakukan, gas tersebut mempunytai daya basmi

terhadap mikroba yang tinggi.

2) Seleksi pada telur tetas puyuh terdiri dari berat, bentuk, kebersihan,

kualitas kerabang, dan warna kerabang.

3) Perkembangan embrio ada dua yaitu perkembangan telur sebelum ke luar

tubuh dan di luar tubuh meliputi: pembuahan, zigot, embrio berkembang,

dalam isthmus sel membelah pertama, menjadi blastoderm, dan gastrulasi.

Perkembangan embrio terjadi karena adanya membran ekstra embrional

(choiron, amnion, yolk sac dan allantois). Embrio terus berkembang

hingga akhirnya telur menetas. Embrio kemudian berkembang menjadi 3


29

lapisan inti, yaitu :Lapisan dalam (endoderm), Lapisan tengah


Commented [N14]: Terlalu panjang
(mesoderm), dan Lapisan luar (ectoderm).

4) Penetasan DOQ dipengaruhi oleh kriteria seleksi telur tetas, pemutaran

telur tetas, suhu lingkungan dan kelembaban. Pengujian dilakukan untuk

mngetahui daya tetas, dan fertilitas yang berpengaruh terhadap kesehatan

DOQ dalam kulitas dan kuantitasnya. Pada praktikum ini karakteristik

hasil tetas cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA

Aan Kusnindar. 2001. Hubungan Antara Specific Gravity dan Shape Index
Dengan Lama Tetas dan Daya Tetas Telur Itik. Skripsi. Fakultas
Commented [N15]: Dapus itu 1 spasi, jarak ke dapus lain diberi
Peternakan Unpad. Jatinangor. enter 1x

Agus, G.T.K., K.A Agus, A.Dinawati dan U.T Dipo. 2001. Mesin Tetas. Cetakan

1. Agrom edia Pustaka. Jakarta

Agromedia. 2002. Puyuh Si Mungil yang Penuh Potensi. Agromedia Pustaka:


Jakarta.

Ar A dan Rahn H. 1980.Water In The Avian Egg Over All Budget of Incubation.

American Zoologist.

Cahyono dan Bambang, 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Petelur

(broiler). Penerbit Pustaka Nusatama: Yogyakarta.

Christensen, V. L., W. E. Donaldson, and K. E. Nestor. 1999. Length of Plateau

and Pipping Stages of Incubation Affects The Physiology and Survival of

Turkeys. Br. Poultry Science 40: 297–303.


30

Davis, T. A., S. Shen, and P. A. Ackerman. 1988. Embryonic Osmoregulation:

Consequences of High and Low Water Loss During Incubation of The

Chicken Egg. Journal of Experimental Zoology 245:144–156.

Gillespie, R. J., 1992. Modern Livestock and Poultry Production. Fourth Edition.

Jond Willey & Sons. Inc. New York.

Hartono, T. 2004. Permasalahan Burung Puyuh dan Solusinya. Penebar Swadaya:

Jakarta.

Harun, M.A.S. 2001. Artificial Incubation of Muscovy Duck Eggs: Why Some

Eggs Hatch and Others Do Not. Poultry Science 80:219–224.

Kartasudjana, R dan Suprijatna, E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar


swadaya. Jakarta.

____________________________. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Kortlang. 1985. A New Approach to Evaluate the Hygienic Condition of


Commercial Hatcheries. International Journal of Poultry Science 8 (11) :

1047-1051.

Mahfudz, L.D. 1998. Manajemen Penetasan Telur Unggas. Fakultas Peternakan

Universitas Diponegoro

Mahfudz, L.D. 2004. Hidrogen Peroksida Sebagai Desinfektan Pengganti Gas

Formaldehyde pada Penetasan Telur Ayam. Karya Ilmiah. Fakultas

Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang

Nakage Es. 2003. Effect of Temperature on Incubation Period, Embryonic

Mortality, Hatch Rate, Egg Water Loss And Partridge Chick Weight

(Rhynchotus Rufescens). Rev. Bras. Cienc. Avic. [Online]. volume 5,


31

Nomor 2, Halaman 131-135. ISSN 1516-635X.

http://dx.doi.org/10.1590/S1516-635X2003000200007 (diakses pada hari

Kamis, 14 Desember 2017 pukul 11.25 WIB).

Nichelmann, M. 1998. Avian Embryonic Thermoregulation: Role Of Q10 in

Interpretation of Endothermic Reactions. The Journal of Thermal Biology

23:369–376.

North, dalam Kartasudjana, Ruhyat dan Suprijatna, E. 2010. Manejemen Ternak

Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

North, M.O. dan D.D Bell. 1994.Commercial Chicken Production Manual. 4 th

Ed. Avi Book, Nostrand Reinhold, New York.

Nugroho dan I. Mayun. 1981. Beternak burung puyuh. Eka Offset. Semarang.
Nuryati , T, Sutarto, M. Khamim, dan P.S. Hardjosworo. 2002. Sukses

Menetaskan Telur. Cetakan keempat. Penebar Swadaya, Jakarta.

Nuryati, Tuti, Sutarto, Muh.Khamim, dkk. 2005.Sukses Menetaskan Telur. Jakarta

Mulyantini, N.G.A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada

University Press: Yogyakarta.


Murtidjo, Bambang Agus. 2003. Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam.

Kanisus. Yogyakarta.

____________________. 2003. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius.

Yogyakarta.

Natasasmita, S. 1987. Evaluasi Daging. Institut Pertanian Bogor Press: Bogor.

Owens, C. M. 2001. Coated Poultry Products. Poultry Meat Processing. CRC

Press: London.

Paimin, F.B. 2003. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Cetakan keenam belas.

Penebar Swadaya. Jakarta.


32

___________. 1976. Poultry Produce Technology. 2nd.Edition. The Avi

Publishing Company Inc.Wesport. Conecticut

Rahn, H. 1977. Humidity in The Avian Nest and Egg Water Loss During

Incubation. Journal of Experimental Zoology. 50:269-283.

Rarasati. 2002. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik

Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Universitas

Jenderal Soedirman: Purwokerto.

Rasyaf, M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta

Rasyaf, M. 1984. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Yayasan Kanisius. Cetakan

Pertama. Yogyakarta.

Sugiharto, R.E. 2005. Meningkatkan Keuntungan Beternak Puyuh. Agromedia


Pustaka: Jakarta.

Suprijatna, E.U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak

Unggas. Penebar Swadaya: Jakarta.

Rasyaf, E and Roospitasari, K. 2008. Beternak Puyuh Secara Komersial. Penebar

Swadaya.Jakarta
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and

Sons. Inc. New York.

Septiwan, R. 2007. Respon produktivitas dan reproduktivitas ayam kampung

dengan umur induk yang berbeda.[Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut

Pertanian Bogor: Bogor.

Silverside, D. dan M. Jones. 1992. Small Scale Poultry Processing. Food

Agriculture Organization: Roma.

Sugiharto, R.E. 2005. Meningkatkan Keuntungan Beternak Puyuh. Agromedia

Pustaka: Jakarta.
33

Suprijatna, E. U. Atmomarsono, dan R. Kartosudjono.2008. Ilmu Dasar Ternak

Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Tona, K. 2003. Effects of Egg Storage Time on Spread of Hatch, Chick Quality

and Chick Juvenile Growth. Poultry Science 82: 736-741.

Van der Pol, C. W. 2013. Effect of Relative Humidity During Incubation at A Set

Eggshell Temperature and Brooding Temperature Posthatch on

Embryonic Mortality and Chick Quality. Poultry Science 92:2145-2155

Winarno, F.G., 1993. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
34

LAMPIRAN

Gambar 1. Pengamatan Embrio Puyuh Gambar 2. Pengamatan Embrio Puyuh


35

Gambar 3. Telur Infertil

Gambar 4. Seleksi Telur Tetas

Gambar 5. Puyuh yang menetas (DOQ)

Anda mungkin juga menyukai