Anda di halaman 1dari 31

DESAIN PERENCANAAN TEBAL LAPIS PERKERASAN RUNWAY,

TAXIWAY, APRON BANDARA INTERNASIONAL KERTAJATI,


MAJALENGKA
ABSTRAK : Bandara merupakan prasarana penting di suatu negara. Bandara merupakan kunci dalam
melayani masyarakat dan kebutuhannya. Dengan Indonesia yang merupakan bentuk negara kepulauan
maka trasnportasi udara menjadi media yang baik dalam transportasi dan faktor pendukung bagi
perkembangan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan industri. Hal ini menyebabkan perlunya
pembangunan bandara baru bertaraf internasional seiring pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Bandara
ini berlokasi di Majalengka yang memiliki posisi strategis dimana Kabupaten Majalengka berada pada
jalur lintasan jalan bebas hambatan yang akan dibangun yaitu Cisujati dan Cikapali. Bandara mempunyai
dua kegunaan yaitu fasilitas sisi udara dan fasilitas sisi darat. Desain perencanaan ini tentunya
berkembang dengan kemajuan teknologi yang berkembang pada zamannya. Fasilitas sisi udara
merupakan faktor paling penting dalam suatu bandara tanpa mengesampingkan sisi darat. Hal ini
berpengaruh pada jenis dan tipe pesawat yang akan menggunakan pada bandara tersebut.
Berhubungan dengan fasilitas udara, maka tidak terlepas dari runway, taxiway dan apron yang akan
menentukan kapasitas pesawat yang ada. Perencanaan runway, taxiway, dan apron dalam hal ini adalah
perencanaan perkerkerasan dengan tiga metode yaitu US Army Corps Engineer, Asphalt Institute dan
Federal Aviation Administration.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan total penduduk sebesar 259 juta (2010). Dengan total
penduduk yang besar, maka pergerakan masyarakat dari satu tempat yang satu ke tempat yang lain
sangatlah penting. Apalagi kebutuhan pergerakan masyarakat yang sangat beragam menjadikan sector
transportasi merupakan sektor vital di negara Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan baik darat, laut maupun udara merupakan upaya mewujudkan kebutuhan masyarakat
Indonesia dalam menjalan kehidupan dan terciptanya arus pergerakan yang aman, lancar dan nyaman.
Transportasi udara tidak terlepas dari sarana dan prasarana yang menunjang keberlangsungan sektor
tersebut. Bandar udara sebagai prasarana dalam transportasi udara diupayakan agar dapat dibangun
dan dikembangkan karena merupakan upaya untuk menampung semua kegiatan operasional Bandar
udara. Bandara internasional Majalengka yang berada di wilayah Jawa Barat merupakan bandara
bertaraf internasional yang akan dibangun oleh pemerintah untuk memenuhi prasarana transportasi
udara. Bandara memiliki dua kegunaan yaitu fasilitas udara dan fasilitas darat. Desain perencanaan ini
berkembang dengan kemajuan teknologi yang berkembang pada jamannya. Fasilitas udara merupakan
faktor paling penting dalam suatu bandara, karena disinilah sebenarnya pergerakan aktual yang terjadi.
Hal ini berpengaruh pada jenis dan tipe pesawat yang akan menggunakan bandara ini, dan tentunya
berpengaruh juga perkerasan jenis apakah yang akan digunakan pada bandara ini. Struktur perkerasan
bandara berbeda dengan struktur-struktur perkerasan pada jalan biasa, karena beban yang ada pada
bandara, sumbu standar berbeda dengan jalan pada umunya.Oleh karena itu, maka akan didesain
rencana tebal lapis perkerasan Bandara Internasional Kertajati Majalengka ini dengan metodemetode
yang ada.
PERENCANAAN DESAIN TEBAL LAPIS
PERKERASAN
Perencanaan dalam menentukan tebal lapis perkerasan ini menggunakan 3 metode, yaitu metode US
Army Corps Enginer, Asphalt Institute, dan Federal Aviation Administration. Ketiga metode ini memiliki
cara yang berbeda di setiap proses pendesainanannya. Metode US Army Corps Enginner menggunakan
cara dengan menentukan pesawat kritis yang mempunyai damage factor paling tinggi, dan Asphalt
Institute menggunakan desain Pesawat DC8-63 sebagai pesawat kritisnya, sedangkan Metode Federal
Aviation Administration dengan cara mengkumulatifkan damage factor yang ada dari setiap pesawat
yangmelintas.
HASIL DESAIN TEBAL LAPIS
PERKERASAN
Hasil yang didapat dari proses pendesainan adalah, Total tebal perkerasan untuk runway adalah 127 cm
(US Army Corps Enginner), 53,54 cm (Asphalt Institute), 51,90 cm (Federal Aviation Administration),
cross taxiway adalah 70 cm, 54,61 cm, dan 63,62 cm, parallel taxiway adalah 127 cm, 45,72 cm, dan
45,47 cm, apron adalah 81,68 cm, 48,77 cm, 50,80 cm dengan perkerasan kaku untuk metode US Army
Corps Enginner dan FAA. Dari tebal lapisan diatas dapat dianalisis bahwa metode FAA memberikan
desain yang paling tipis diantara kedua metode yang ada, namun terlihat pada rencana cross
taxiwaypada metode Asphalt Institute memberikan hasil yang lebih tipis disbanding FAA, hal ini terjadi
karena metode Asphalt Institute tidak mempertimbangkan speed dari suatu pesawat yang melambat,
karena itu metode FAA menjadi lebih sedikit tebal dari metode Asphalt Institute.

PUSTAKA

Department of the Army Corps Engineer


Design Procedure for Flexible
Airfield Pavements, 1984:
Engineering and Design Airfield
Flexible Pavement Mobilization
Construction

Department of the Army Corps Engineer


Design Procedure for Flexible
Airfield Pavements, 1984: Corps of
Engineer Design Procedures for
Rigid Airfield Pavements

Dinas Perhubungan Jawa Barat, 2009:


Rencana Teknis Terinci Sisi Udara
Bandar Udara Kertajati

Harga Aspal Drum, 2011:


http://aspaldrum.blogspot.com/2011/
03/harga-aspal-drum.html

U.S. Department of Transportation, 1973:


The Asphalt Insitute Manual Series-11

U.S. Department of Transportation, 2009:


Federal Aviation Administration AC
No: 150/5320-6E
http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2012/11/15008076-Yusuf-Djonli.pdf

Karakteristik Fisik Bandara (Aerodrome)


Written By Yohanes akhriadi on Thursday, December 6, 2012 | 3:22 PM
Aerodrome terdiri atas dua bagian, yaitu bagian sisi darat dan bagian sisi udara. Secara garis
besar, bagian sisi udara dari sebuah aerodrome terdiri dari runway, taxiway, apron, dan holding
bay. Selain itu, dalam suatu runway juga perlu dilengkapi dengan runway shoulder, runway
strip, runway end safety area (RESA), clearway, dan stopway. Semua itu perlu dimiliki oleh
suatu runway karena menyangkut keamanan bagi pesawat yang akan take off maupun landing
pada aerodrome tersebut.

Berdasarkan ketentuan standar dari ICAO, cruical aircraft, dan dari hasil perhitungan, dapat
diketahui dimensi dari masing-masing bagian sisi udara. Sehingga dapat diketahui pula declared
distance, Take Off Distance Available (TODA), Take Off Run Available (TORA), Accelerate Stop
Distance Available (ASDA), Landing Distance Available (LDA), dan take off distance dari
aerodrome yang akan dirancang.

Runway
Runway didefinisikan sebagai daerah persegi panjang pada lapangan terbang yang digunakan
untuk keperluan take off dan landing pesawat udara. Penentuan runway (letak, orientasi, dan
jumlah runway) ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
1. Cuaca (persentase distribusi atau arah angin)
2. Topografi dari lokasi lapangan terbang dan lingkungan di sekitarnya
3. Jenis dan jumlah lalu lintas udara yang dilayani
4. Faktor performance pesawat
5. Faktor lingkungan
Jumlah landasan didesain berdasarkan volume lalu-lintas yang direncanakan pada lapangan
terbang. Terdapat banyak macam konfigurasi landas pacu, sebagian besarnya merpakan
kombinasi dari konfigurasi dasar. Berikut adalah konfigurasi dasar landasan:
1. Landasan tunggal
2. Landasan paralel
3. Landasan dua jalur
4. Landasan berpotongan
5. Landasan terbuka V

Stopway : Stopway adalah panjang landasan tambahan pada ujung runway yang memungkinkan
pesawat dapat berhenti apabila terjadi kegagalan atau pembatalan take off. Perkerasan
stopway harus cukup kuat untuk menahan beban pesawat yang gagal take off tanpa
mengakibatkan kerusakan pada pesawat itu.

Clearway : Clearway adalah panjang landasan tambahan pada ujung runway yang memungkinkan
pesawat dapat lepas landas pada ketinggian tertentu tanpa mendapat gangguan. Letak
clearway dilokasikan pada akhir daerah take off run available (TORA).

Taxiway : Taxiway adalah bagian dari lapangan terbang yag disediakan untuk jalur pergerakan
pesawat dari dan ke runway. Fungsi utama taxiway adalah sebagai jalan keluar masuk bagi
pesawat dari runway menuju apron atau bangunan terminal dan sebaliknya, atau dari runway
menuju ke bagian-bagian yang lain dari lapangan terbang (misalnya hanggar pesawat).
Taxiway diatur sedemikian rupa sehingga pesawat-pesawat tidak saling mengganggu, baik yang
akan menuju ke runway maupun yang berasal dari runway. Rutenya dipilih sebagai jarak
terpendek dari bangunan terminal menuju ke ujung landasan yang dipakai untuk awal take off

Holding Bay : Holding bay adalah suatu daerah dimana pesawat dapat dihentikan sementara
atau dilewatkan, untuk memfasilitasi pergerakan pesawat yang efisien di darat.

Apron : Apron disebut juga Run Up atau juga Warm Up (pemanasan) adalah suatu daerah
yang ditentukan dalam aerodrome, dimaksudkan untuk mengakomodasi pesawat untuk
keperluan menaikkan/menurunkan penumpang atau kargo, pengisian bahan bakar, parkir, atau
perawatan. Luas daerah apron harus didesain sedemikian rupa sehingga mencukupi kebutuhan
aerodrome pada kepadatan maksimumnya.

Obstacle Limitation Surfaces Salah satu faktor yang vital dalam perencanaan suatu
aerodrome adalah menentukan obstacle limitation. Obstacle limitation dilakukan untuk
menjamin keamanan dengan mengurangi resiko kecelakaan dengan cara menempatkan suatu
ruang maya di sekitar aerodrome yang membatasi daerah sekitarnya dari terdapatnya halangan
yang dapat menggaggu pesawat pada saat akan take off, landing maupun melakukan manuver
di udara.
Inner Horizontal Surface Inner horizontal surface adalah bidang khayal horizontal setinggi
45 meter dari elevasi aerodrome yang ditinjau. Batas-batasnya dibuat dengan membuat
lingkaran dengan jari-jari 4000 meter dari suatu titik referensi aerodrome, yaitu pada center line
runway yang berbatasan dengan runway strips.

Outer Horizontal Surface Adalah bidang khayal horizontal pada ketinggian 145 meter (45
meter+100 meter) dari elevasi aerodrome.

Approach Surface Adalah kombinasi beberapa bidang miring yang dimulai dari ujung
landasan (sampai jarak tertentu dari threshold) yang diperpanjang searah dengan sumbu
landasan dengan divergensi tertentu, yang merupakan ruang udara untuk landing.

Inner Tansitional Surface Inner tansitional surface adalah bidang transisi permukaan yang
berdekatand engan landasan dimana batas bawah adalah tepi bahu landasan memanjang
sejajar sumbu landasan. Salah satu ujungnya berbatasan dengan inner approach dan ujung
lainnya berbatasan dengan balked landing. Batas atas adalah inner horizontal surface dengan
kemiringan tertentu. Untuk desain ini dengan aerodrome reference code 4E dan non precision
approach maka dimensinya adalah dengan kemiringan 0%.

Transitional Surface Transitional surface adalah bidang yang diperluas keluar arah ke atas
dari sisi runway strip dan sebagai sisi bidang pendekatan, dengan kemiringan 14,3% samapai
berpotongan dengan inner horizontal surface.

Take Off Climb Surface Adalah bidang yang dimulai dari jarak tertentu dari ujung landasan
lalu diperluas ke arah atas sampai jarak horizontal tertentu. Permukaan ini disediakan untuk
melindung sebuah pesawat yang sedang take off dengan menunjukkan halangan mana yang
harus dihilangkan jikalau memungkinkan, atau ditandai bila tidak mungkin untuk dihilangkan.
PERKERASAN PADA RUNWAY
Posted: Oktober 5, 2011 in Uncategorized
0
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan kekerasan dan daya dukung yang
berlainan. Perkerasan yang dibuat dari campuran aspal dengan agregat, digelar di atas suatu permukaan
material granular mutu tinggi disebut perkerasan lentur, sedangkan perkerasan yang dibuat dari slab-
slab beton ( Portland Cement Concrete ) disebut perkerasan “Rigid” ( FAA, 2009 ).
Pada struktur perkerasan bekerja muatan roda pesawat terjadi sampai beberapa juta kali selama
periode rencana. Setiap kali muatan ini lewat, terjadi defleksi lapisan permukaan dan lapisan
dibawahnya. Pengulangan beban (repetisi) menyebabkan terjadinya retakan yang pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan /kegagalan total. Perkerasan dibuat dengan tujuan untuk memberikan
permukaan yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta ketebalan dari setiap lapisan harus
cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak merusak perkerasan lapisan di
bawahnya ( Basuki, 1986 ).
Perkerasan lentur terdiri dari satu lapisan bahan atau lebih yang digolongkan sebagai lapisan
permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah yang terletak di atas lapisan tanah dasar yang
telah dipersiapkan. Lapisan tanah dasar dapat berupa galian atau timbunan. Lapisan permukaan terdiri
dari bahan berbitumen yang berfungsi untuk memberikan permukaan yang halus yang dapat memikul
beban-beban yang bekerja dan berpengaruh pada lingkungan untuk jangka waktu operasional tertentu
untuk menyebarkan beban yang bekerja kelapisan dibawahnya. Lapisan pondasi atas adalah bahan yang
terdiri dari material berbutir dengan bahan
pengikat atau tanpa pengikat yang berfungsi memikul beban yang bekerja dan menyebarkan ke lapisan-
lapisan dibawahnya ( Yoder dan Witczak, 1975 ).
Fungsi perkerasan adalah untuk menyebarkan beban ke tanah dasar dan semakin besar kemampuan
tanah dasar untuk memikul beban, maka tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil.
Karena keseluruhan struktur perkerasan didukung sepenuhnya oleh tanah dasar, maka identifikasi dan
evaluasi terhadap struktur tanah dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal perkerasan.
Pada perencanaan perkerasan pada runway, memiliki konsep dasar yang sama dengan perencanaan
perkerasan pada jalan raya, dimana perencanaan berdasarkan beban yang bekerja dan kekuatan bahan
yang digunakan untuk mendukung beban yang bekerja. Namun, pada aplikasi sesungguhnya, tentu
terdapat perbedaan pada perencanaan perkerasan runway dan jalan raya, yaitu :
1. Jalan raya dirancang untuk kendaraan yang berbobot sekitar 9000 lbs, sedangkan runway dirancang
untuk memikul beban pesawat yang rata-rata berbobot jauh lebih besar yaitu sekitar 100.000 lbs.
2. Jalan raya direncanakan mampu melayani perulangan beban (repetisi) 1000-2000 truk per harinya.
Sedangkan ruway direncanakan untuk melayani repetisi beban 20.000 sampai 40.000 kali selama umur
rencana.
3. Tekanan ban pada kendaran yang bekerja kira-kira 80-90 psi. Sedangkan pada runway tekanan ban
yang bekerja diatasnya adalah mencapai 400 psi.
4. Perkerasan jalan raya mengalami distress yang lebih besar karena beban bekerja lebih dekat ke tepi
lapisan, berbeda pada runway dimana beban bekerja pada bagian tengah perkerasan.

Ada beberapa metode perencanaan perkerasan bandar udara walaupun tidak terdapat satu metode
yang banyak digunakan dan diterima oleh banyak pihak, namun terdapat beberapa metode yang dapat
diajukan. Metode-metode tersebut adalah : Metode ICAO ( LCN ), metode FAA dan metode CBR.
2.2 Fasilitas Pendukung Bandar Udara
Sebuah bandar udara adalah suatu komponen yang saling berkaitan antara satu komponen dengan yang
lainnya, sehingga analisa dari satu kegiatan tanpa memperhatikan pengaruhnya terhadap kegiatan yang
lain bukan merupakan pemecahan yang memuaskan.
Sebuah bandar udara melingkupi kegiatan yang sangat luas, yang mempunyai kebutuhan yang berbeda-
beda, bahkan kadang berlawanan, seperi misalnya kegiatan keamanan yang membatasi sedikit mungkin
hubungan antara land side dan air side, sedangkan kegiatan pelayanan memerlukan sebanyak mungkin
pintu terbuka dari land side ke air side agar pelayanan berjalan lancar.
Sistem bandar udara dibagi dua, yaitu :
1. Sisi darat ( land side )
2. Sisi udara ( air side )
Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung (jalan masuk bandara), lapangan
parkir, dan bangunan terminal. Sedangkan sistem bandar udara dari sisi udara terdiri dari taxiway,
holding pad, exit taxiway, runway, terminal angkasa, dan jalur penerbangan di angkasa ( Horonjeff dan
McKelvey, 1993 ).
Dalam sistem lapangan terbang, sifat-sifat kendaraan darat dan kendaraan udara mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap perencanaan bandar udara. Penumpang dan pengiriman barang berkepentingan
terhadap waktu yang dijalani Universitas Sumatera Utara
mulai dari keluar rumah sampai ke tempat tujuan, tetapi tidak berpengaruh terhadap lama waktu
perjalanan darat ataupun udara. Dengan alasan lain, jalan masuk menuju lapangan terbang perlu
mendapatkan perhatian dalam pembuatan rancangan bandar udara. Berikut adalah gambar fasilitas
pendukung sistem penerbangan pada bandar udara :
Gambar 2.1 Diagram sistem penerbangan
Sumber : Sandhyavitri dan Taufik, ( 2005 ).
Beberapa istilah kebandar-udaraan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut ( Basuki, 1986;
Sandhyavitri dan Taufik, 2005 ) :
• Airport, yaitu area daratan atau air yang secara regular dipergunakan untuk kegiatan take-off and
landing pesawat udara. Diperlengkapi dengan fasilitas untuk pendaratan, parkir pesawat, perbaikan
pesawat, bongkar muat penumpang dan barang, dilengkapi dengan fasiltas keamanan dan terminal
Universitas Sumatera Utara
building untuk mengakomodasi keperluan penumpang dan barang dan sebagai tempat perpindahan
antar moda transportasi.
• Airfield, yaitu area daratan atau air yang dapat dipergunakan untuk kegiatan take-off and landing
pesawat udara, fasilitas untuk pendaratan, parkir pesawat, perbaikan pesawat dan terminal building
untuk mengakomodasi keperluan penumpang pesawat.
• Aerodrom, yaitu area tertentu baik di darat maupun di air (meliputi bangunan sarana dan prasarana,
instalasi infrastruktur, dan peralatan penunjang) yang dipergunakan baik sebagian maupun
keseluruhannya untuk kedatangan, keberangkatan penumpang dan barang, pergerakan pesawat
terbang. Namun aerodrom belum tentu dipergunakan untuk penerbangan yang terjadwal.
• Aerodrom reference point, yaitu letak geografi suatu aerodrom.
• Landing area, yaitu bagian dari lapangan terbang yang dipergunakan untuk take off dan landing, tidak
termasuk terminal area.
• Landing strip, yaitu bagian yang berbentuk panjang dengan lebar tertentu yang terdiri atas shoulders
dan runway untuk tempat tinggal landas dan mendarat pesawat terbang.
• Runway (r/w), yaitu bagian memanjang dari sisi darat bandara yang disiapkan untuk lepas landas dan
tempat mendarat pesawat terbang.
• Taxiway (t/w), yaitu bagian sisi darat dari bandara yang dipergunakan pesawat untuk berpindah (taxi)
dari runway ke apron atau sebaliknya. Universitas Sumatera Utara
• Apron, yaitu bagian bandara yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk parkir, menunggu,
mengisi bahan bakar, mengangkut dan membongkar muat barang dan penumpang. Perkerasannya
dibangun berdampingan dengan terminal building.
• Holding apron, yaitu bagian dari bandara yang berada didekat ujung landasan yang dipergunakan oleh
pilot untuk pengecekan terakhir dari semua instrumen dan mesin pesawat sebelum take off.
Dipergunakan juga untuk tempat menunggu sebelum take off.
• Holding bay, yaitu area diperuntukkan bagi pesawat untuk melewati pesawat lainnya atau berhenti.
• Terminal Building, yaitu bagian dari bandara yang difungsikan untuk memenuhi berbagai keperluan
penumpang dan barang, mulai dari tempat pelaporan tiket, imigrasi, penjualan ticket, ruang tunggu,
cafetaria, penjualan souvenir, informasi, komunikasi, dan sebagainya.
• Turning area, yaitu bagian dari area di ujung landasan pacu yang dipergunakan oleh pesawat untuk
berputar sebelum lepas landas.
• Over run (o/r), yaitu bagian dari ujung landasan yang dipergunakan untuk mengakomodasi keperluan
pesawat gagal lepas landas. Over run biasanya terbagi 2 (dua) : (i) Stop way : bagian over run yang
lebarnya sama dengan runway dengan diberi perkerasan tertentu, dan (ii) Clear way: bagian over run
yang diperlebar dari stop way, dan biasanya ditanami rumput.

• Fillet, yaitu bagian tambahan dari perkerasan yang disediakan pada persimpangan runmway atau
taxiway untuk menfasilitasi beloknya pesawat terbang agar tidak tergelincir keluar jalur perkerasan yang
ada.
• Shoulders, yaitu bagian tepi perkerasan baik sisi kiri kanan maupun muka dan belakang runway,
taxiway dan apron.
2.3 Konfigurasi Bandar Udara
Konfigurasi bandar udara adalah jumlah dan arah orientasi dari landasan serta penempatan bangunan
terminal termasuk lapangan parkirnya yang relatif terhadap landasan pacu.
Jumlah landasan bergantung pada volume lalu-lintas dan orientasi landasan, tergantung pada arah angin
dominan yang bertiup, tetapi kadang juga bergantung pada luas tanah yang tersedia bagi
pengembangan. Karena orientasi utama dalam bandar udara adalah landasan pacu (runway), maka
penempatan landasan hubung (Taxiway) pun harus benar-benar tepat sehingga lokasinya memberi
kemudahan dalam melayani penupang. Orientasi yang paling penting dalam perencanaan bandar udara
adalah: Landasan pacu (Runway, landasan hubung (Taxiway) dan tempat parkir ( Apron ).
2.3.1 Landasan Pacu ( Runway )
Runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk mendarat (landing) dan
melakukan lepas landas (take off). Menurut Horonjeff (1994), sistem runway terdiri dari terdiri dari
perkerasan struktur, bahu landasan (shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan daerah aman runway
(runway end safety area). Pada dasarnya landasan pacu diatur sedemikian rupa untuk : Universitas
Sumatera Utara
a) Memenuhi persyaratan pemisahan lalu lintas udara.
b) Meminimalisasi gangguan akibat operasional suatu pesawat dengan pesawat lainnya, serta akibat
penundaan pendaratan.
c) Memberikan jarak landas hubung yang sependek mungkin dari daerah terminal menuju landasan
pacu.
d) Memberikan jumlah landasan hubung yang cukup sehingga pesawat yang mendarat dapat
meninggalkan landasan pacu yang secepat mungkin dan mengikuti rute yang paling pendek ke daerah
terminal.
Konfigurasi runway ada bermacam-macam, dan konfigurasi itu biasanya merupakan kombinasi dari
beberapa macam konfigurasi dasar (basic configuration). Konfigurasi dasar itu adalah :
a) Landasan Pacu Tunggal
b) Landasan Pacu Paralel
c) Landasan Pacu Dua Jalur
d) Landasan Pacu yang Berpotongan
e) Landasan Pacu V-terbuka
Gambar 2.2 Sistem Runway
Sumber : Sandhyavitri dan Taufik, ( 2005 )

2.3.1.1 Landasan Pacu Tunggal


Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas runway jenis ini dalam kondisi
VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi per jam, sedangkan dalam kondisi IFR kapasitasnya
berkurang menjadi 50 sampai 70 operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan
alat-alat bantu navigasi yang tersedia.
2.3.1.2 Landasan Pacu Paralel
Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah runway dan jarak diantaranya. Untuk runway sejajar
berjarak rapat, menengah dan renggang kapasitasnya per jam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200
operasi dalam kondisi-kondisi VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Sedangkan
dalam kondisi IFR kapasitas per jam untuk yang berjarak rapat berkisar di antara 50 sampai 60 operasi,
tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Untuk runway sejajar yang berjarak menengah
kapasitas per jam berkisar antara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang antara 100
sampai 125 operasi per jam.
2.3.1.3 Landasan Pacu Dua Jalur
Runway dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih banyak dari runway
tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih banyak dari runway tunggal dalam kondisi IFR.
2.3.1.4 Landasan Pacu yang Berpotongan
Kapasitas runway yang bersilangan sangat tergantung pada letak persilangannya dan pada cara
pengoperasian runway yang disebut strategi (lepas landas atau mendarat). Makin jauh letak titik silang
dari ujung lepas landas runway
dan ambang (threshold) pendaratan, kapasitasnya makin rendah. Kapasitas tertinggi dicapai apabila titik
silang terletak dekat dengan ujung lepas landas dan ambang pendaratan.
2.3.1.5 Landasan Pacu V-terbuka
Runway V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar (divergen) tetapi tidak berpotongan.
Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi adalah apabila operasi penerbangan dilakukan menjauhi
V.
2.3.2 Landasan Hubung
Fungsi utama dari landasan hubung (taxiway) adalah untuk memberikan jalan masuk dari landasan pacu
ke daerah terminal dan hanggar pemeliharaan atau sebaliknya.
Landasan hubung diatur sedemikian rupa sehingga pesawat yang baru mendarat tidak mengganggu
gerakan pesawat yang sedang bergerak perlahan untuk lepas landas. Pada bandar udara yang sibuk
dimana pesawat yang akan menuju landasan pacu diduga akan bergerak serentak dalam dua arah, harus
disediakan landasan hubung yang sejajar satu sama lain. Pada bandar udara yang sibuk, landasan
hubung harus terletak di berbagai tempat di sepanjang landasan pacu, sehingga pesawat yang baru
mendarat dapat meninggalkan landasan pacu secepat mungkin sehingga landasan pacu dapat digunakan
oleh pesawat yang lain.
2.3.3 Apron Tunggu (Holding Apron)
Apron tunggu yaitu bagian dari bandar udara yang berada didekat ujung landasan yang dipergunakan
oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari semua instrumen dan mesin pesawat sebelum take off.
Dipergunakan juga untuk tempat menunggu sebelum take off.
Apron tunggu harus dibuat ditempat yang sangat dekat dengan ujung landasan pacu agar dapat
mengadakan pemeriksaan akhir sebelum pesawat lepas-landas. Apron harus cukup luas, diperhitungkan
agar mampu dipakai untuk 2 pesawat terbang yang bisa saling bersimpangan, sehingga apabila pesawat
tidak dapat lepas landas karena adanya kerusakan mesin, maka pesawat lainnya yang siap lepas landas
dapat mendahuluinya. Juga dimungkinkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan kecil pada pesawat
yang akan lepas landas. Apron tunggu harus dirancang untuk dapat menampung dua atau bahkan empat
pesawat sekaligus dan menyediakan tempat yang cukup sehingga pesawat dapat saling mendahului.
2.4 Karakteristik Pesawat Terbang
Sebelum kita merancang sebuah bandar udara lengkap dengan fasilitasnya, dibutuhkan pengetahuan
tentang spesisikasi pesawat terbang secara umum untuk merencanakan prasarananya.
Pesawat yang digunakan untuk operasional penerbangan mempunyai kapasitas bervariasi mulai dari 10
hingga 1000 penumpang. Pesawat terbang ” General Aviation” dikategorikan sebagai pesawat-pesawat
terbang berukuran kecil jika memiliki daya angkut berkisar 50 orang.
Beberapa karakteristik dari penerbangan umum tipikal maupun pesawat terbang komuter (commuter)
jarak pendek, termasuk yang digunakan pada kepentingan perusahaan. Untuk menyadari bahwa
karakter-karakter tersebut, seperti berat kosong, kapasitas penumpang, dan panjang landasan pacu
tidak dapat dibuat secara tepat dalam pembuatan tabel tersebut karena terdapat banyak faktor yang
dapat mengubah nilai-nilai didalamnya. Ukuran roda pendaratan utama dan tekanan udara pada ban
tipikal untuk beberapa pesawat terbang juga harus diperhitungkan guna perencanaan lanjut. Karakter
yang dijelaskan di atas adalah perlu untuk perencanaan bandar udara. Berat pesawat terbang memiliki
peran penting untuk menentukan tebal perkerasan landasan pacu, landas hubung, taxiway, dan
perkerasan appron. Bentangan sayap dan dan panjang badan pesawat mempengaruhi ukuran appron,
yang akan mempengaruhi susunan gedung-gedung terminal. Ukuran pesawat juga menentukan lebar
landasan pacu, landas hubung dan jarak antar keduanya, serta mempengaruhi jari-jari putar yang
dibutuhkan saat pesawat akan parkir. Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam
menentukan pengadaan fasilitas-fasilitas yang ada di dalam terminal. Panjang landasan pacu
mempengaruhi sebagian besar daerah yang dibutuhkan suatu bandar udara.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik lapangan terbang adalah :
a) Karakteristik dan ukuran pesawat yang direncanakan akan beroperasi di bandar udara
b) Perkiraan volume penumpang
c) Kondisi meteorologi (rata-rata temperatur udara maksimum dan rata-rata kecepatan angin)
d) Elevasi permukaan bandar udara
e) Kondisi lingkungan setempat, misalnya ketinggian gedung-gedung eksisting yang ada disekitar bandar
udara. Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari faktor-faktor diatas, maka faktor tersebut hampir sama dengan parameter dalam
menentukan suatu panjang landasan pacu (runway), karena itu setiap bandar udara harus memiliki data-
data tersebut diatas.
Seperti halnya dalam karakteristik kemampuan pesawat yang berpengaruh langsung terhadap
penentuan panjang landasan pesawat dan temperatur yang juga mempengaruhi panjang landasan, bila
suatu temperatut tinggi, maka diperlukan landasan yang lebih panjang.
Kondisi lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang landasan pacu (runway)
adalah temperatur, angin permukaan, kemiringan landasan pacu, ketinggian lapangan terbang dari
permukaan laut dan kondisi permukaan landasan. Seberapa jauh hal-hal diatas mempengaruhi panjang
landasan pacu, hanya merupakan pendekatan, namun demikian analisa terhadap hal-hal diatas akan
menguntungkan terhadap perhitungan landasan pacu.
Selanjutnya untuk semua perhitungan panjang landasan pacu dipakai standar yang disebut ARFL
(Aeroplane Reference Field Length), yaitu landasan pacu minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas,
pada kondisi berat landas maksimum (maximum take off weight), elevasi muka laut, kondisi atmosfer
normal, keadaan tanpa ada angin yang bertiup landasan pacu tanpa kemiringan ( kemiringan = 0 ).
Perbedaan dalam menentukan kebutuhan panjang landasan pacu (runway), disebabkan oleh faktor-
faktor lokal, yang mempengaruhi kemampuan pesawat. Panjang landasan pacu yang dibutuhkan oleh
pesawat sesuai dengan kemampuannya menurut perhitungan pabrik yang disebutkan ARFL. Maka bila
ada suatu landasan yang dipertanyakan terhadap kemampuan pesawat yang akan mendarat di landasan
itu, maka harus dikonfirmasikan kepada ARFL.
2.5 Geometrik Landasan Pacu
International Civil Aviation Organization (ICAO), dan Federal Aviation Administration (FAA) telah
memberikan ketentuan dan kriteria-kriteria dalam membuat perancangan bandar udara yang meliputi
fasilitas-fasilitas yang tersedia, lebar, kemiringan (gradien), jarak pisah landasan pacu, landsan hubung,
dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan daerah pendaratan yang dipengaruhi oleh variasi prestasi
pesawat, cara penerbang, dan kondisi cuaca. Ketentuan yang diberikan oleh FAA hampir sama dengan
ketentuan yang diberikan oleh ICAO, yang memberikan keseragaman fasilitas-fasilitas bandar udara
yang ada di Amerika Serikat, dan memberikan pedoman bagi para perencana bandar udara dan operator
pesawat terbang mengenai fasilitas-fasilitas yang harus disediakan pada masa yag akan datang.
Klasifikasi pelabuhan udara oleh ICAO untuk mengadakan penyeragaman itu ditunjukkan dengan kode
A, B, C, D, dan E. Dasar dari pembagian kelas-kelas ini adalah didasarkan pada pengelompokan panjang
runway (landasan pacu) bandara tersebut saja, tidak berdasarkan pada fungsi dari bandara tersebut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Bandar Udara oleh ICAO
Tanda Kode
Panjang Runway (ft)
Panjang Runway (m)
A
>7.000
>2.133
B
5.000-7.000
1.524-2.133
C
3.000-5.000
914-1.524
D
2.500-3.000
762-914
E
2.000-2.500
610-762
Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Dimensi pesawat adalah dasar utama dalam perencanaan geometrik bandar udara. Untuk dimensi yang
berhubungan dengan perencanaan runway, pesawat dikelompokkan berdasarkan dimensinya masing-
masing menjadi 4 kelas. Kelas-kelas ini berdasarkan pada dimensi wings-pan ( lebar sayap), under
carriage width (lebar bagian bawah), wheel-treat atau wheel-base (jarak antara kepala dengan roda dan
roda dengan badan). Masing-masing kelas itu dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Tabel kelas pesawat yang berhubungan dengan perencanaan geometrik
Group
Jenis-Jenis Pesawat
I
B 727-100, B 737-100, B 737-200, DC 9.30, DC. 9-40
II
BAC 111 (kebanyakan pesawat-pesawat bermesin 2dan 3)
III
DC 8S, B 707, B 720, B 727-200, DC 10, L 10H
IV
Jenis pesawat yang lebih besar dari group III
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
Elemen-elemen landasan pacu meliputi :
• Perkerasan struktur (structural pavement), berfungsi untuk mendukung beban yang bekerja pada
runway yaitu beban pesawat sehingga mampu melayani lalu-lintas pesawat.
• Bahu landasan (shoulder), yang terletak berdekatan dengan tepi perkerasan yang berfungsi untuk
menahan erosi akibat hembusan mesin jet dan menampung peralatan untuk pemeliharaan saat kondisi
darurat.
• Bantalan hembusan (blast pad), adalah suatu area yang dirancang khusus untuk mencegah erosi
permukaan pada ujung-ujung landasan pacu akibat hembusan mesin jet yang terus-menerus atau
berulang-ulang. Biasanya area ini ditanami dengan rumput. ICAO menetapkan panjang bantal hembusan
100 kaki, sedangkan FAA menetapkan panjang bantal hembusan harus 100 kaki untuk penggunaan
pesawat kelas I, 150 kaki untuk penggunaan pesawat kelas II, 200 kaki untuk penggunaan pesawat kelas
III dan IV dan , dan 400 kaki untuk kelompok rancangan V dan VI.
• Daerah aman untuk landasan pacu (runway safety area) adalah daerah yang bersih tanpa benda-benda
yang mengganggu, dimana terdapat saluran drainase, memiliki permukaan yang rata, dan mencakup
bagian perkerasan, bahu landasan, bantalan hembusan, dan daerah perhentian, apabila diperlukan.
Daerah ini selain harus mampu untuk mendukung peralatan pemeliharaan saat keadaan darurat juga
harus mampu menjadi tempat aman bagi pesawat seandainya pesawat keluar dari jalur landasan pacu.
ICAO menetapkan bahwa daerah aman landsan pacu harus lurus sepanjang 275 kaki dari setiap ujung
landasan pacu untuk runway yang menggunakan pesawat rencana kelas III dan IV, dan untuk seluruh
landsan pacu dengan operasi0operasi instrumentasi. FAA menetapkan bahwa daerah aman landsan
pacu harus memiliki panjang 240 kaki dari ujung landasan pacu untuk pesawat kecil dan 1000 kaki untuk
seluruh rancangan kelas pesawat rencana.
• Perluasan area aman (safety area extended), dibuat apabila dianggap perlu, yang bertujuan untuk
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecelakaan yang disebabkan karena pesawat
mengalami undershoot ataupun overuns. Panjang area ini normalnya adalah 800 kaki, tetapi itu bukan
suatu ukuran baku karena bergantung pada kebutuhan lokal dan luas area yang tersedia.

Menurut ICAO, ada 5 faktor koreksi yang mempengaruhi perencanaan panjang runway, yaitu :
1. Faktor koreksi ketinggian dari muka air laut ( Altitude of the Airport), kalau letak pelabuhan udara
semakin tinggi dari muka air laut, maka udara semakin tipis, temperatur semakin kecil, sehingga panjang
landasan pacu harus semakin panjang.
2. Faktor koreksi temperatur, keadaan temperatur di bandar udara pada tiap tempat tidaklah sama.
Makin tinggi temperatur di suatu bandar udara, maka semakin panjang landasan pacu yang dibutuhkan.
Hal ini disebabkan karena semakin tinggi temperatur udara maka semakin kecil density nya, yang
mengakibatkan daya desak pesawat berkurang. Sehingga dituntut panjang runway yang lebih panjang.
3. Faktor koreksi gradient (kemiringan memanjang), dimana tanjakan pada landasan akan menyebabkan
kebutuhan akan landasan pacu yang lebih panjang dan pada landasam pacu yang datar. Begitu juga
sebaliknya, apabila landasan menurun maka panjang landasan pacu dapat lebih pendek. Sebagai
standardisasi untuk runway, tiap 1% kenaikan gradien landasan akan membutuhkan penambahan
panjang landasan pacu sebanyak 7% sampai dengan 10%.
4. Faktor koreksi angin (Surface wind), dimana apabila kondisi arah angin sejajar dengan arah gerak
pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan akan semakin besar, sebaliknya apabila arah angin
berlawanan dengan arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan pacu akan semakin
kecil
5. Faktor koreksi kondisi permukaan landasan, dimana apabila pada permukaan landasan pacu terdapat
genangan air, maka pada saat pesawat akan mengudara akan mengalami hambatan kecepatan,
sehingga dibutuhkan landasan pacu yang lebih panjang.
2.6 Struktur Perkerasan Landasan Pacu
Perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih lapisan perkerasan yang
dibuat dari bahan terpilih. Perkerasan dapat berupa aggregat bermutu tinggi yang diikat dengan aspal
yang disebut perkerasan lentur, atau dapat juga plat beton yang disebut perkerasan kaku.
Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang halus dan aman pada segala kondisi
cuaca, serta tebal dari setap lapisan harus cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang
bekerja tidak merusak lapisan dibawahnya.
Perkerasan lentur dapat terdiri dari satu lapisan atau lebih yang digolongkan sebagai permukaan
(surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan lapisan pondasi bawah (subbase course) yang
terletak di antara pondasi atas dan lapisan tanah dasar (subgrade) yang telah dipersiapkan.
Lapisan permukaan terdiri dari campuran bahan berbitumen (biasanya aspal) dan agregat, yang tebalnya
bervariasi tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya adalah untuk memberikan permukaan yang rata
agar lalu-lintas menjadi aman dan nyaman dan juga untuk memikul beban yang bekerja diatasnya dan
meneruskannya kelapisan yang ada dibawahnya. Lapisan pondasi atas dapat terdiri dari material
berbutir kasar dengan bahan pengikat (misalnya dengan aspal atau semen) atau tanpa bahan pengikat
tetapi menggunakan bahan penguat (misalnya kapur). Lapisan pondasi harus dapat memikul beban-
beban yang bekerja dan meneruskan daN menyebarkannya ke lapisan yang ada dibawahnya. Lapisan
pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih dahulu atau yang alami. Seringkali
digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang diproses terlebih dahulu atau bahan yang dipilih dari hasil galian
di tempat pekerjaan. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak setiap perkerasan lentur memerlukan lapisan
pondasi bawah. Sebaliknya perkerasan yang tebal dapat terdiri dari beberapa lapisan pondasi bawah.
2.6.1 Stuktur Perkerasan Lentur ( Flexible Pavement )
Menurut Basuki, ( 1986 ) dalam buku ”Merancang Merencanakan Lapangan Terbang”, perkerasan
flexible adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan
melendut saat diberi pembebanan. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut :
1. Tanah dasar (Sub Grade)
Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan akan menentukan kualitas konstruksi
perkerasan sehingga sifat–sifat tanah dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan
pacu.
Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar, dari cara yang
sederhana sampai kepada cara yang rumit seperti CBR (California Bearing Ratio), MR (Resilient
Modulus), dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar). Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan
perencanaaan tebal lapisan perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR.
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium tidak dapat
mencakup secara detail (tempat demi tempat), sifat – sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu
bagian jalan. Koreksi–koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun tahap
pelaksanaan, disesuaikan dengan kondisi tempat. Koreksi–koreksi semacam ini akan di berikan pada
gambar rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam
tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang diakibatkanya, yaitu pada
tanah berbutir kasar ( Granular Soil ) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari konstruksi perkerasan landasan pacu yang
terletak di antara tanah dasar ( Sub Grade ) dan lapisan pondasi atas ( Base Course ).
Menurut Horonjeff dan McKelvey, ( 1993 ) fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan menyebarkan beban roda ke tanah
dasar.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisan – lapisan selebihnya dapat dikurangi
tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas.
3. Lapisan Pondasi Atas ( Base Coarse )
Lapisan pondasi atas ( Base Coarse ) adalah bagian dari perkerasan landasan pacu yang terletak diantara
lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan.
Fungsi lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban lapisan
dibawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
4. Lapisan Permukaan ( Surface Course )
Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak paling atas. Lapisan ini berfungsi
sebagai berikut :
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai stabilitas yang tinggi untuk
menahan beban roda selama masa pelayanan.
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke lapisan dibawahnya.
Universitas Sumatera Utara
c. Lapisan aus ( wearing Course ), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan
sehingga mudah nenjadi aus.
d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga lapisan bawah yang memikul daya
dukung lebih kecil akan menerima beban yang kecil juga.
Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, di samping itu bahan aspal
sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban
roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu dipertimbangkan kegunaanya, umur
rencana serta pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar – besarnya dari biaya yang
dikeluarkan.
2.6.2 Stuktur Perkerasan Kaku ( Rigid Pavement )
Perkerasan kaku adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat dimana saat pembebanan berlangsung
perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk, artinya perkerasan tetap seperti kondisi semula
sebelum pembebanan berlangsung. Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan
permukaan yang terdiri dari plat beton tersebut akan pecah atau patah. Perkerasan kaku ini biasanya
terdiri dua lapisan yaitu :
a. Lapisan permukaan (surface course) yang dibuat dari plat beton
b. Lapisan pondasi (base course)
Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk : Ujung landasan, pertemuan antara landasan pacu dan
taxiway, apron dan daerah-daerah lain yang dipakai untuk parkir pesawat atau daerah-daerah yang
mendapat pengaruh panas blast jet dan limpahan minyak ( Basuki, 1986 ). Universitas Sumatera Utara
2.7 Sistem Drainase Bandar Udara
Sistem drainase adalah aspek yang sangat penting dalam perencanaan bandar udara. Drainase yang baik
akan menjamin dan menjaga umur perkerasan. Drainase yang kurang baik akan menimbulkan genangan
air pada permukaan yang dapat membahayakan pesawat yang akan melakukan pendaratan dan lepas
landas.Fungsi dari sistem drainase bandar udara adalah sebagai berikut :
a. Mengalirkan dan membuang air permukaan dan bawah tanah yang berasal dari tanah di sekitar
bandar udara.
b. Membuang air permukaan yang berasal dari permukaan bandar udara.
2.8 Metode-Metode Perencanaan Perkerasan
Dalam merencanakan perkerasan suatu landasan pacu, terdapat berbagai metode-metode yang
digunakan untuk mendesain perkerasannya. Pola penyelesaiannya pun berbeda-beda pula, namun
semuanya sama-sama bertujuan untuk menghasilkan desain perkerasan yang aman dan terjamin.
Beberapa pertimbangan dalam desain perkerasan landasan pacu meliputi :
a. Prosedur pengujian bahan untuk subgrade dan komponen-komponen lainnya harus akurat dan teliti.
b. Metode yang dipakai harus sudah dapat diterima umum dan sudah terbukti telah menghasilkan
desain perkerasan yang memuaskan.
c. Dapat dipakai untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan landasan pacu dalam waktu yang
relatif singkat.
Adapun beberapa metode yang digunakan untuk merencanakan suatu perkerasan landasan pacu terurai
di bawah ini.
2.8.1 Metode California Division of Highway (CBR )
Pada sejarah singkatnya, metode CBR pertama kali digunakan oleh California Division of Highway yaitu
badan pengembangan jalan milik pemerintah negara bagian California di Amerika serikat. Metode ini
adalah berdasarkan atas investigasi kekuatan daya dukung tanah dasar. Investigasi ini meliputi 3 jenis
utama kegagalan yang terjadi pada perkerasan, yaitu : (1) pergeseran lateral material pada lapisan
pondasi akibat adanya penyerapan air oleh lapisan perkerasan, (2) penurunan yang terjadi pada lapisan
di bawah perkerasan, dan (3) lendutan yang berlebihan pada perkerasan akibat adanya beban yang
berkerja.
Metode ini bertujuan untuk mendesain suatu perkerasan yang kokoh yang dibuat dari bahan bahan
material yang dipersiapkan. Sehingga untuk memprediksi karakter atau sifat material yang akan
digunakan untuk perkerasan maka pada tahun 1929 diperkenalkan suatu test uji bahan yang disebut
test uji CBR (California Bearing Ratio). Uji CBR dilakukan pada banyak jenis material yang dianggap
representatif terhadap material yang akan digunakan untuk bahan pondasi.
CBR adalah persentase perbandingan antara kuat penetrasi suatu material uji terhadap kuat penetrasi
bahan standar berupa batu pecah yang memiliki CBR 100 persen. Kemudian karena metode ini memiliki
prosedur yang sederhana, korps insinyur dari Angkatan Darat Amerika Serikat mengadopsi metode ini
untuk mendesain perkerasan lapangan udara dan jalan raya untuk kebutuhan yang mendadak pada saat
Perang Dunia II.
Penggunaan metode ini memungkinkan perencanaan untuk menentukan ketebalan lapisan sub base,
base, dan surface yang diperlukan untuk memakai kurva-kurva desain, dengan prosedur pengujian test
terhadap tanah yang sederhana.
2.8.1.1 Tanah Dasar
Sampel tanah dasar untuk pengujian CBR diuji dalam laboratorium untuk menentukan nilai CBR.
Pengujian dilakukan dengan melakukan pemadatan dengan kadar air tertentu. Dalam penentuan nilai
CBR, apabila pada tiap area yang dari sampel tanah didapat nilai CBR yang berbeda, maka perencanaan
tebal perkerasan ditentukan berbeda-beda sesuai dengan nilai CBR dari tanah pada area tersebut.
2.8.1.2 Menentukan Equivalent Single Wheel Load ( ESWL )
ESWL adalah nilai yang menunjukkan beban roda tunggal yang akan menghasilkan respon dari struktur
perkerasan pada satu titik tertentu di dalam struktur perkerasan,dimana besarnya sama dengan beban
yang dipikul pada titik roda pendaratan. Dalam penentuan nilai ESWL biasanya prosedur perhitungannya
berdasarkan tegangan vertikal, lendutan dan regangan.
2.8.1.3 Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dan besar MSTOW
(Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang
berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar.
Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi
jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal perkerasan yang
paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang beroperasi di dalam bandara.
2.8.1.4 Menentukan Lalu-Lintas Pesawat
Pada metode CBR, jumlah total repetisi beban pesawat rencana yang telah dihitung dalam bentuk ESWL
selama umur rencana digunakan untuk menghitung tebal perkerasan total. Total repetisi pesawat
rencana tersebut mencakup data keberangkatan dan kedatangan pesawat rencana. Dari data yang
diperoleh maka dapat ditentukan jumlah lintasan pesawat tahunan yang direncanakan dengan cara
mengalikan jumlah penerbangan setiap minggunya dalam satu tahun.
2.8.1.5 Menentukan Tebal Perkerasan
Metode ini dikembangkan berdasarkan teori yang telah diteliti dan pendekatan empiris. Untuk
mendapatkan tebal perkerasan total, metode ini memberikan persamaan sebagai berikut :
t=
πpCBRP11.81 (2.1)
dimana : t = Tebal perkerasan yang dibutuhkan (inci)
P = Beban pesawat yang dipikul roda ( pound)
p = Tekanan udara pada roda (psi) Universitas Sumatera Utara
Penelaahan yang baru dilakukan baru-baru ini terhadap perkerasan yang menerima beban mewakili
beban poros roda pendaratan utama pesawat berat dengan susunan banyak roda menunjukkan bahwa
tebal perkerasan yang terdapat pada pengulangan-pengulangan beban yang lebih besar adalah kurang
memadai. Oleh karenanya persamaan di atas diperbaharui lagi menjadi :
t = () +πpCBRPogC11.811004.14311.2 (2.2)
dimana : t = Ketebalan perkerasan yang dibutuhkan (inci)
P = Beban yang dipikul oleh roda setelah dihitung ESWL.
C = Faktor repetisi beban
P = Tekanan Udara pada Roda ( psi )
2.8.1.6 Syarat Tebal Minimum Untuk Lapisan Pondasi dan Permukaan
• Pembebanan Berat
Tabel 2.3 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan
Traffic Area
Tebal Minimum (in)
Base ( CBR 100)
Base (CBR 80)
Permukaan
Base
Total
Permukaan
Base
Total
A
B
C
D
5
4
4
3
10
9
9
6
15
13
13
9
6
5
5
3
9
8
8
6
15
13
13
9
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
• Pembebanan Medium

Tabel 2.4 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan


Traffic Area
Tebal Minimum (in)
Base ( CBR 100)
Base (CBR 80)
Permukaan
Base
Total
Permukaan
Base
Total
A
B
C
4
3
3
6
6
6
10
9
9
5
4
4
6
6
6
11
10
10
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
• Pembebanan Ringan
Tabel 2.5 Syarat tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan
Traffic Area
Tebal Minimum (in)
Base ( CBR 100)
Base (CBR 80)
Permukaan
Base
Total
Permukaan
Base
Total
B
C
3
3
6
6
9
9
4
3
6
6
10
9
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
2.8.2 Metode Federal Aviation Administration (FAA, 2009)
Metode perencanaan FAA yang dibahas pada bab ini adalah metode perencanaan yang mengacu pada
standar perencanaan perkerasan FAA Advisory Circular (AC) 150/5320-6E (FAA, 2009). Metode ini adalah
pengembangan perencanaan perkerasan berdasarkan metode CBR.
2.8.2.1 Klasifikasi Tanah
Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA) ini pada dasarnya menggunakan
statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah, sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai
tingkah laku beban. Klasifikasi tanah didasarkan atas hal-hal berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
a) Butiran yang tertahan pada saringan no. 10.
b) Butiran yang lewat saringan no. 10 tetapi ditahan no. 40.
c) Butiran yang lewat saringan no. 40 tetapi tertahan saringan no. 200.
d) Butiran yang lewat saringan no. 200.
e) Liquid Limit.
f) Plasticity Index.
Klasifikasi tanah diatas hanya membutuhkan analisa mekanis (analisa saringan) serta penentuan liquid
limit dan plasticity index. Namun untuk menentukan baik buruknya jenis tanah kita tidak hanya
mendasarkan kepada analisa laboratorium, tetapi memerlukan penelitian di lapangan terutama yang
berhubungan dengan drainase, kemampuan melewatkan air permukaan.
Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang tidak stabil, dengan sistem drainase yang baik,
maka akan menghindarkan subgrade dari genangan air, topografi, jenis tanah, dan muka air tanah akan
berpengaruh pada sistem drainase di lapangan. Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang
labil, dengan sistem drainase yang baik maka menghindarkan subgrade dari genangan air dan akan
menjaga kestabilan subgrade.
FAA telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang dibagi dalam 13 kelas dari E1
sampai E13. Klasifikasi ini diambil dari Airport Paving FAA, Advisory Circular, adalah sebagai berikut :
• Group E1
Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar, butiran-butiran tanahnya tetap
stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik. Di Universitas Sumatera Utara
negara-negara beriklim dingin tanah grup E1 tidak terpengaruh oleh salju yang merugikan, biasanya
terdiri dari pasir bergradasi baik, kerikil tanpa butiran-butiran halus.
• Group E2
Jenis tanah mirip dengan grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit, dan mungkin mengandung
presentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak. Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil
apabila sistem drainasenya tidak baik.
• Group E3 dan E4
Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan gradasi lebih jelek dibanding dengan grup
E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir halus tanpa daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan
kualitas pengikatan mulai dari cukup sampai baik.

Tabel 2.6 Klafifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan oleh FAA
Group tanah
Analisa saringan
Liquid Limit
Plasticity Index
Sudgrade Class
% bahan tersisa saringan no. 10
% Bahan lebih kecil dari saringan no. 10
Drainase baik
Drainase jelek
Pasir kasar lolos saringan no. 10 tapi ditahan saringan no.40
Pasir halus lewat saringan no. 40 ditahan no.200
Campuran lumpur dan tanah liat lolos no. 200
Kerikil
E1
E2
E3
E4
Butiran halus
E5
E6
E7
E8
E9
E10
E11
E12
0-45
0-45
0-45
0-45
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
40
15
60
85
15
25
25
35
45
45
45
45
45
45
45
45
25
25
25
35
40
40
50
60
40
70
80
80
6
6
6
10
15
10
10-30
15-40
30
20-50
30
Fa atau Fa
Fa atau Ra
F1 atau Fa
F1 atau Ra
Fa atau Ra
F1 atau Ra
F2 atau Rb
F3 atau Rb
F3 atau Rb
F4 atau Rc
F5 atau Rc
F6 atau Rc
F7 atau Rd
F8 atau Rd
F9 atau Re
F10 atau Fa
E13
TANAH GAMBUT, TIDAK BISA DIGUNAKAN
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
• Group E5

Terdiri dari tanah yang bergradasi yang jelek, dengan kandungan lumpur dan tanah liat campuran lebih
dari 35% tetapi kurang dari 45%, dengan plastisitas index antara 10-15.
• Group E6
Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan index plastisitas yang sangat rendah. Jenis ini relatif stabil bila
kering atau pada moisture content rendah. Stabilitasnya akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat
lembek dalam keadaan basah, maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika moiture content nya betul-
betul dikontrol dengan sangat teliti sesuai kebutuhan.
• Group E7
Termasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir berlempung dan lumpur
berlempung, mempunyai rentang konsitensi kaku sampai lunak ketika kering dan plastis ketika basah.
• Group E8
Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat pemampatan yang
lebih besar, pengembangan pengerutan dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi kelembaban
yang kurang menguntungkan.
• Group E9
Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit dipadatkan. Stabilitasnya
rendah, baik keadaan basah dan kering.

• Group E10
Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk gumpalan keras dalam keadaan
kering, serta sangat plastis bila basah. Pada pemadatan perubahan volumenya sangat besar, mempunyai
kemampuan mengembang menyusut dan sangat elastis.
• Group E11
Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih tinggi, termasuk didalamnya
tanah dengan liquid limit antara 70-80 dengan index plastisitas diatas 30.
• Group E12
Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur berapapun index plastisitasnya.
• Group E13
Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut, mudah dikenal di lapangan. Dalam keadaan
asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat rendah densitynya dan sangat tinggi kelembabannya.
Karena perencanaan perkerasan merupakan suatu masalah rekayasa yang kompleks sehingga
perencanaan ini melibatkan banyak pertimbangan dari banyak variabel. Parameter-parameter yang
dibutuhkan untuk merencanakan perkerasan meliputi berat kotor lepas landas pesawat (MSTOW),
konfigurasi dan ukuran roda pendaratan utama dan volume lalu-lintas. Kurva-kurva perencanaan
terpisah disajikan untuk roda pendaratan tunggal, roda tandem, roda tandem ganda, dan pesawat
berbadan lebar.
Universitas Sumatera Utara
Langkah pertama prosedur adalah menentukan ramalan keberangkatan pesawat tahunan dari setiap
type pesawat dan mengelompokkannya ke dalam pesawat menurut konfigurasi roda pendaratan. Berat
landas maksimum dari setiap pesawat digunakan dan 95% dari berat pasawat ini dipikul oleh roda
pendaratan utama.
Tabel 2.7 Faktor konversi keberangkatan tahunan pesawat menjadi keberangkatan tahunan ekivalen
pesawat rencana
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
Poros roda pendaratan pesawat sebenarnya
Poros roda pendaratan pesawat rencana
Faktor Pengali untuk keberangkatan ekivalen
Roda tunggal
• Roda ganda
• Tandem ganda
• Double tandem ganda
• Roda tunggal
• Tandem ganda
• Double tandem ganda
• Roda tunggal
• Roda ganda
• Roda ganda
• Tandem Ganda
0.8
0.5
0.51
1.3
0.6
0.64
2.0
1.7
1.7
1.0
Roda ganda
Tandem ganda
Double tandem ganda Universitas Sumatera Utara
2.8.2.2 Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama
a. Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single )
Gambar 2.3 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tunggal
Sumber : Yang, ( 1984 ).
b. Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel )
Gambar 2.4 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda
Sumber : Yang, ( 1984 ).
c. Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem )
Gambar 2.5 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tandem ganda
Sumber : Yang, ( 1984 ).
d. Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT )
Gambar 2.6 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda dobel
Sumber : Yang, ( 1984 ).
2.8.2.3 Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dan besar MSTOW
(Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang
berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar.
Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi
jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal perkerasan yang
paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang beroperasi di dalam bandara. Karena
pesawat yang beroperasi di bandara memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka
harus ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi roda
pendaratan dari pesawat rencana.
2.8.2.4 Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat ( W2 )
Untuk pesawat yang berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW cukup tinggi dengan roda
pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent Annual Departure ( R1 ) ditentukan beban
roda tiap pesawat, 95% berat total dari pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam
perhitungannya dengan menggunakan rumus :
W2 = P x MSTOW x BA1x 1 (2.3)
Dimana :
W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat
MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas
Universitas Sumatera Utara
A = Jumlah konfigurasi roda
B = Jumlah roda per satu konfigurasi
P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama
Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan tebal perkerasan. Hal ini
dikarenakan penyaluran beban pesawat melalui roda-roda ke perkerasan.
2.8.2.5 Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana
Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani berbagai macam jenis pesawat,
yang mempunyai type roda pendaratan yang berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari
beban yang diakibatkan oleh semua jenis model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat
rencana dengan equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran tadi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total keberangkatan keseluruhan dari
bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
Log R1 = Log R2 2/112
WW (2.4)
Dimana :
R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana ( pound )
R2 = Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan konfigurasi roda pendaratan
rencana
W1 = Beban roda pesawat rencana ( pound ) Universitas Sumatera Utara
W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah
Karena pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama yang berbeda dengan
pesawat lainnya, maka pengaruhnya terhadap perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan berat
lepas landas kotor dengan susunan roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan
dengan nilai yang ada, Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung keberangkatan tahunan
ekivalen (Equivalent Annual Departure, R1).
2.8.2.6 Menentukan Tebal Perkerasan Total
Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur
rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala.
Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang
dibutuhkan (tebal pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai CBR tanah dasar
digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari
pesawat rencana.
Grafik-grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari sumbu CBR, ditentukan
secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor (MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke
kurva keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke sumbu tebal perkerasan dan
tebal total perkerasan didapat.
Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari permukaan
perkerasan selama operasional. Demikian juga, pada sebagian Universitas Sumatera Utara
landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan. Oleh karena itu, FAA memperbolehkan
perubahan tebal perkerasan pada pemukaan yang berbeda-beda :
• Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk tempat pesawat yang akan berangkat,
seperti apron daerah tunggu ( Holding Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu
(Runway).
• Tebal perkerasan 0.9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan datang, seperti belokan landasan
pacu berkecepatan tinggi.
• Tebal perkerasan 0.7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui pesawat, seperti tepi luar landasan
hubung dan tepi luar landasan pacu.
• 2.8.2.7 Kurva-kurva Perencanaan Tebal Perkerasan
a. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda Tunggal
Grafik 2.1 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda Tunggal
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
b. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda Ganda
Grafik 2.2 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda Ganda
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
c. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda Dual Tandem
Universitas Sumatera Utara
Grafik 2.3 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda tandem ganda
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
d. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda Dual Tandem
Grafik 2.4 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Dual Tandem
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
Grafik perencanaan yang tersedia diatas adalah grafik perencanaan untuk tingkat keberangkatan
tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk kebarangkatan tahunan diatas 25.000, grafik tersebut
juga dapat digunakan dengan
mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang didapat dengan mengggunakan grafik keberangkatan
tahunan 25.000 dengan angka persentase yang diberikan pada tabel 2.8 dibawah ini :
Tabel 2.8 Persentase pengali untuk mendapatkan tebal total perkerasan dengan tingkat keberangkatan
tahunan diatas 25.000
Tingkat keberangkatan tahunan
% tebal total keberangkatan tahunan 25.000
50.000
100.000
150.000
200.000
104
108
110
112
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
2.8.2.8 Material yang Digunakan untuk Perkerasan
• Lapisan permukaan
Untuk lapisan permukaan digunakan aspal beton ( asphaltic concrete sebagai item P-401)
• Lapisan pondasi
Untuk lapisan pondasi, digunakan beberapa item yaitu :
-208 (Aggregate Base Course)
-209 (Crushed Agregate Base Course)
-211 (Lime Rock Base Course)
-304 (Cement Treated Base Course)
-306 (Econocrete Subbase Course) Universitas Sumatera Utara
• Lapisan pondasi bawah
Untuk lapisan pondasi bawah, digunakan beberapa item, yaitu:
Item P-154 (Subbase Course)
-210 (Caliche Base Course)
-212 (Shell Base Course)
-213 (Sand Clay Base Course)
-301 (soil Cement Base Course)
Untuk semua item material perkerasan diatas berdasarkan FAA, (2009).
Tabel 2.9 Faktor Equivalent untuk Bahan yang Digunakan
Bahan
Faktor Equivalent
P-401, ( Asphalt Concrete)
1,7 – 2,3
P-201, (Bituminous Base Course)
1,7 – 2,3
P-215, (Cold Laid Bituminous Base Course)
1,5 – 1,7
P-216, (Mixed In-Place Base Course )
1,5 – 1,7
P-304, (Cement Treated Base Course)
1,6 – 2,3
P-301, (Soil Cement Base Course)
1,5 – 2,0
P-209, (Crushed agregate Base Course)
1,4 – 2,0
P-154, (Subbase Course)
1,0
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
2.8.3 Metode Perencanaan Perkerasan ICAO ( LCN )
Metode Load Classification Number (LCN) adalah metode perencanaan perkerasan dan evaluasi,
merupakan formulasi dari Air Ministry Directorat General Universitas Sumatera Utara
of Work, Inggris dan dewasa ini telah diakui oleh ICAO. Dalam prosedurnya kapasitas daya dukung
perkerasan dinyatakan dalam angka LCN.
Seperti halnya ESWL, setiap pesawat dapat dinyatakan dalam LCN, dimana angka-angka LCN tergantung
kepada geometri roda pendaratan, tekanan roda pesawat dan komposisi dari tebal perkerasan (Basuki,
1986).
ICAO ( International Civil Aviation Organization) menggunakan sistem penggolongan perkerasan untuk
menentukan kekuatan perkerasan suatu bandar udara berguna untuk menentukan kelayakan suatu
perkerasan melayani pesawat dengan type tertentu sesuai dengan daya dukung perkerasan tersebut.
LCN (Load Classification Number ) adalah nilai yang menunjukkan beban tertentu dari pesawat yang
harus dipikul suatu sistem perkerasan bandara. LCN adalah angka yang menunjukkan kekuatan dukung
tanah dasar bandar udara terhadap pesawat yang boleh beroperasi di bandara tersebut. Maka bila
angka LCN perkerasan lapangan terbang lebih besar daripada LCN pesawat, maka dapat disimpulkan
pesawat dapat mendarat di lapangan terbang tersebut dengan selamat.
Bermacam-macam tipe perkerasan rigid dan flexible telah diuji memakai test bearing plate dengan
rentang kontak area dari 200-700 in2 yang mewakili pesawat-pesawat yang beroperasi di dunia saat ini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada rentang kontak area itu, perkerasan rigid dan flexible
mempunyai karakteristik beban vs penurunan yang mirip.
2.8.3.1 Equivalent Single Wheel Load ( ESWL )
ESWL adalah nilai yang menunjukkan beban roda tunggal yang akan menghasilkan respon dari struktur
perkerasan pada satu titik tertentu di dalam struktur perkerasan,dimana besarnya sama dengan beban
yang dipikul pada titik roda
pendaratan. Dalam penentuan nilai ESWL biasanya prosedur perhitungannya berdasarkan tegangan
vertikal, lendutan dan regangan.
2.8.3.2 Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dan besar MSTOW (
Maksimum Structural Take Off Weight ) , data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat
tersebut. Lalu dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar.
Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi
jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang direncanakan.
2.8.3.3 Garis Kontak Area Pesawat
Beban runtuh pada perkerasan flexible diartikan sebagai beban yang menyebabkan perkerasan turun
secara progresif tanpa penambahan beban.
2.8.3.4 Menentukan Tebal Perkerasan
Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh LCN ini adalah perencanaan untuk masa umur
rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala.
Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari permukaan
perkerasan selama operasional. Oleh karena itu LCN juga memperbolehkan perubahan tebal perkerasan
pada pemukaan yang berbeda-beda.

Anda mungkin juga menyukai