Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

DIALISIS PERITONEAL

Oleh

Khairul Huda
(1102013148)

Pembimbing

dr. Bambang S, Sp.A

Kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Arjawinangun
2017

1
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. iii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………... iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA….…….............................................. 3

2.1 Definisi…………………………………………………… 3

2.2 Keuntungan Dialisis Peritoneal.…………………………… 3

2.3 Cara Kerja Dialisis Peritoneal.…………………………… 4

2.4 Tipe Dialisis Peritoneal..…………………………………. 5

2.5 Pengaturan Tipe Dialisis Peritoneal …………………….. 8

2.6 Pencegahan Masalah…………………………………….

2.7 Komplikasi……………………………………………. 11

2.8 Dialisis Peritoneal pada Neonatus……………………….. 12

2.9 Perkembangan CAPD di Indonesia……………………….

18

BAB III PENUTUP....................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

2
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Dialisis peritoneal….......................................................................... 4

Gambar 2.2 Selama pertukaran pasien dapat membaca, menonton TV atau tidur 6

Gambar 2.3 Langkah-langkah CAPD…………………………………………… 6

Gambar 2.4 Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)…………….... 7

Gambar 2.5 CCPD yang menggunakan cycler/pemutar………………………… 7

Gambar 2.6 Continuous cycler-assisted peritoneal dialysis (CCPD)…………… 8

Gambar 2.7 Bagian-bagian transfer set…………………………………………. 10

3
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penyebab gagal ginjal akut.................................................................... 13

Tabel 2.2 Keuntungan dan kerugian masing-masing dialisis…………………… 14

Tabel 2.3 Kateter untuk dialisis peritoneal……………………………………… 14

4
BAB I

PENDAHULUAN

Dialisis adalah suatu tindakan mengambil alih fungsi ginjal, biasanya setelah

ginjal kehilangan kemampuannya 85% -90%. Hal ini berlangusng kadang sampai

seumur hidup atau sampai mendapatkan donor untuk transplantasi ginjal.

Setiap tahun sekitar 1-3 orang anak per 1 juta populasi penduduk berakhir

pada gagal ginjal terminal. Pengobatan/terapi yang dikembangkan pada anak dengan

gagal ginjal terminal adalah dengan menyokong kehidupan tetapi akan berlarut-larut

dan invasif. Transplantasi ginjal biasanya dipertimbangkan sebagai terapi pilihan

pada anak dengan gagal ginjal terminal, namun tetap saja beberapa bentuk dialisis

masih diperlukan untuk menjaga kehidupan sampai donor ginjal yang cocok

ditemukan.1

Diperkirakan ¾ dari anak-anak dengan gagal ginjal terminal ini

mendapatkan terapi/pengobatan di pusat-pusat hemodialisa sementara mereka

menunggu untuk transplantasi ginjal, karena itu terapi dialisis telah berkembang

menjadi terapi standar untuk anak-anak dengan gagal ginjal terminal.

Bagaimanapun, dengan berkembangnya kateter peritoneal yang permanen/menetap,

dialisis peritoneal kronik dari suatu bentuk/kondisi atau yang lain sekarang menjadi

alternatif yang menarik sebagai bentuk terapi bagi anak-anak dengan gagal ginjal

5
terminal tersebut.1

Dialisis peritoneal kronik (chronic peritoneal dialysis/CPD) telah

digabungkan sebagai dialysis anjuran bagi pasien anak-anak didasarkan pada

kemampuannya yang fleksibel dan kecocokannya dengan gaya hidup/kebiasaan

anak-anak. Di Amerika Utara, program dialisis pada anak-anak mengkombinasikan

penggunaan dialisis peritoneal (peritoneal dialysis/PD) 2:1 dengan penggunaan

hemodialisis (HD).2

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) umumnya untuk dialisis

bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal. Dan beberapa waktu terakhir ini,

terjadi pertumbuhan yang meningkat untuk dialisis peritoneal otomatis (automated

peritoneal dialysis/APD) dimana mesin berputar digunakan sebagai infus dan

saluran untuk cairan peritoneal. Keuntungan yang nyata dari penggunaan APD bagi

gaya hidup dan rehabilitasi sosial adalah untuk penggunaan dosis lebih besar

daripada CAPD dan membuat APD lebih dipilih sebagai bentuk dialisis pada anak-

anak. Data yang ada menunjukkan bahwa proporsi penggunaan APD berkisar dari

62-91%.2

Terapi hemodialisis bisa menjadi sangat menakutkan dan tidak

menyenangkan, khususnya pada pasien anak-anak, keluarga dan tentu saja bagi tim

pelaksananya. Di beberapa negara, pasien anak-anak biasanya digabungkan dengan

pasien dewasa di ruang hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan ruang

bagi anak-anak dan dewasa membutuhkan biaya lebih besar apalagi bagi negara

berkembang.3

Tim medis pada perawatan dewasa umumnya tidak terbiasa untuk

6
menangani pasien anak-anak, pasien anak-anak mempunyai kebutuhan psikologik,

emosional, sosial dan dukungan akademik yang juga dapat memberikan dampak

positif baik pada ketaatan terapi maupun responnya. Sangat penting untuk dapat

menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak-anak pada ruangan hemodialisis

dengan interaksi aktif sesama anak-anak, keluarga dan tim medis.3

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dialisis peritoneal adalah suatu teknik dimana cairan dialisis dimasukkan ke

rongga peritoneal yang diikuti dengan waktu periode dialisis yang bervariasi diikuti

dengan pengeluarannya atau pengurasannya.4,5

2.2 Keuntungan dialisis peritoneal

Dengan dialisis peritoneal (DP), kita memiliki beberapa pilihan dalam

pengobatan yang lebih maju dan gagal ginjal permanen. Sejak tahun 1980an,

dimana DP menjadi praktik yang mulai dikembangkan untuk pengobatan gagal

ginjal, telah banyak dipelajari sehingga membuat DP menjadi lebih efektif dan

memiliki efek samping yang minimal. Jika pasien tidak memiliki jadwal untuk

melakukan dialisis di Rumah Sakit atau Pusat dialisis, DP memberikan banyak

keuntungan.5

Dengan DP, pasien gagal ginjal permanen dapat melakukan pengobatan

mandiri baik itu di rumah, di kantor, bahkan dalam perjalanan. Namun harus bekerja

sama dengan baik dibawah instruksi tim medis, yaitu ahli ginjal, perawat, teknisi,

ahli gizi/nutrisi, dan pekerja sosial. Namun dari keseluruhan itu yang paling penting

adalah dukungan anggota keluarga pasien sendiri.4,5

8
2.3 Cara Kerja & Cairan Dialisis Peritoneal

Dalam dialisis peritoneal, tabung lunak yang disebut kateter digunakan untuk

mengisi rongga peritoneal dengan cairan pembersih yang disebut dengan cairan

dialisis (dialysis solution). Dinding dari rongga perut di lapisi oleh membran yang

disebut peritoneum, yang memungkinkan produk sisa dan kelebihan cairan lewat

darah ke cairan dialisis. Cairan tersebut berisi gula yang disebut dekstrosa yang

akan menarik sisa/kotoran dan kelebihan cairan ke dalam rongga perut. Sisa atau

kotoran dan cairan ini kemudian akan ikut terbuang bersama cairan dialisis saat

proses pengurasan. Cairan yang telah dipakai, berisi sisa atau kotoran dan kelebihan

cairan kemudian dibuang.5

9
Gambar 2.1 Dialisis peritoneal 5

Proses dari pengisian dan pembuangan cairan disebut dengan pertukaran

yang memerlukan waktu sekitar 30-40 menit. Waktu yang diperlukan cairan dialisis

berada di dalam rongga perut disebut dengan dwell time atau waktu tinggal. Jadwal

yang khusus untuk 4 pertukaran dalam sehari, masing-masing dengan dwell time 4-6

jam. Tipe DP yang berbeda memiliki jadwal pertukaran harian yang berbeda pula.5

Salah satu bentuk DP, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD),

tidak memerlukan mesin. Sesuai dengan namanya ambulatory yang berarti dapat

berjalan, pasien dapat berjalan sementara cairan dialisis masih berada di perutnya.

Bentuk lain dari DP, Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD),

memerlukan mesin yang disebut cycler untuk mengisi dan menguras perut, biasanya

saat pasien tidur. CCPD disebut juga Automated Peritoneal Dialysis (APD).4,5

Cairan Dialisis

Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada

plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. Namun

prinsipnya kurang lebih sama. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung

kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena

terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium

dalam batas normal atau rendah, dalam cairan dialisat tersebut ditambahkan kalium

3,5-4,5 mEq/liter cairan untuk mencegah hipokalemia.

Tiap satu liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCl, 0,294 grm

CaCl2, 0,153 gram MgCl2, 4.880 gram Nalaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila

10
cairan dialisat mengandung kadar glukosa lebih dari 1,5 % bersifat hipertonik

(2,5;3,5; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekananosmotik, maka cairan

dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang

berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk

mencegah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran carian, biasanya

diberkan pada permulaan dialisat dengna dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan.

2.4 Indikasi & Kontraindikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal

Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien :

1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut).

2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa.

3. Intoksikasi obat atau bahan lain.

4. Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik).

5. Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya.

Kontraindikasi Dialisis Peritoneal

1. Kontraindikasi absolut : tidak ada

2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis

akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti

gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau

trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intrabdomen yang belum

diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama

bila disetai ingeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang

sering digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengna menentukan

peritoneal clearance (klirens peritoneal).

11
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul,

kecepatan cairan dialisat equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat

berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan

dialisat, permeabilitas peritoneum, dan alirdan darah dalam kapiler peritoneum.

2.5 Tipe Dialisis Peritoneal

Pemilihan jenis DP yang akan digunakan tergantung pada jadwal pertukaran

yang pasien kehendaki untuk diikuti, disamping faktor lainnya. Pasien bisa saja

memulai dengan jenis DP yang satu dan kemudian berganti dengan jenis yang lain,

atau pasien sendiri menemukan kombinasi dari pertukaran automated dan

nonautomated yang paling cocok dengannya.5

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Pada tipe CAPD, akan dimasukkan sekantong cairan dialisis segar ke dalam

perut. Setelah 4-6 jam atau lebih dari dwell time, cairan yang telah bercampur

dengan produk sisa atau kotoran akan dikuras. Kemudian proses diulang dari awal

dengan sekantong cairan dialisis yang segar. CAPD menawarkan kontrol biokimia

yang memadai pada keadaan uremia dan dapat dilakukan di rumah. Pasien tidak

memerlukan bantuan mesin untuk tipe CAPD ini, yang diperlukan hanyalah gaya

gravitasi untuk mengisi dan mengosongkan perut pasien. Dokter yang akan

memberikan instruksi berapa jumlah kantong yang harus digunakan dalam proses

pertukaran, biasanya 3 atau 4 kantong pertukaran di siang hari dan satu kantong di

malam hari dengan waktu tinggal yang lebih lama sementara pasien tidur.1,5

12
Gambar 2.2 Selama pertukaran pasien dapat membaca, menonton TV atau tidur 5

Gambar 2.3 Langkah-langkah CAPD 5

Gambar 2.4 Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) 4

Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD)

CCPD menggunakan cycler (pemutar) otomatis untuk menjalankan proses

pertukaran 3 sampai 5 kali semalam saat pasien tidur. Saat pagi hari, pasien

13
memulai satu pertukaran dengan dwell time yang terakhir.5

Gambar 2.5 CCPD yang menggunakan cycler/pemutar 5

CCPD merupakan terapi yang saat ini mulai banyak dianjurkan dilakukan

pada anak-anak karena keuntungannya yang mengikuti pola kebiasaan anak-anak

dimana anak bisa bebas beraktifitas di siang hari dan DP dilakukan di malam hari

saat anak tertidur. Pembukaan dan penutupan kateter hanya dua kali dalam 24 jam

sehingga mengurangi resiko terjadinya peritonitis dan mengurangi keterlibatan

orangtua dengan anak.1

Pada pasien dewasa, dilakukan tiga kali pertukaran di malam hari dan satu

pertukaran yang panjang di siang hari, selama 24 jam. Dengan meningkatkan

pertukaran dan dwell time di malam hari, ditambah dengan waktu di siang hari akan

meningkatkan efisiensi dialisis sehingga pasien dapat menikmati satu atau dua hari

dalam seminggu tanpa terapi. Jeda terapi ini akan menurunkan kelelahan baik pada

orangtua maupun pada anak-anak.1

14
Gambar 2.6 Continuous Cycler-Assisted Peritoneal Dialysis (CCPD) 4

2.6 Pemilihan Tipe Dialisis Peritoneal

Jika dipilih tipe CAPD, mungkin akan ada masalah dengan dwell time yang

lama sepanjang malam. Sebagian dekstrosa dari cairan masuk ke dalam darah dan

menjadi glukosa. Absorbsi dekstrosa tidak menimbulkan masalah selama dwell time

yang singkat. Namun sepanjang malam, beberapa orang menyerap terlalu banyak

dekstrosa yang akan menarik cairan dari rongga perut kembali ke tubuh sehingga

mengurangi efisiensi pertukaran.5

Jika masalah ini timbul, maka mungkin diperlukan minicycler, suatu alat

versi kecil dari mesin yang secara otomatis mengisi dan menguras cairan di perut

pasien yang digunakan untuk pertukaran cairan dialisis sekali atau beberapa kali

selama pasien tertidur sepanjang malam. Dengan tambahan tersebut, pertukaran

yang lebih singkat akan meminimalkan penyerapan cairan dan memberikan jarak

tambahan dari bersihan sisa dan cairan yang berlebih.1,5

Jika dipilih CCPD, pasien mungkin memiliki masalah dalam penyerapan

cairan di waktu siang hari, yang memiliki dwell time lebih lama. Pasien mungkin

memerlukan tambahan pertukaran di antara siang dan sore hari untuk meningkatkan

jumlah produk sisa atau kotoran yang akan dibuang dan mencegah penyerapan

cairan yang berlebihan.5

15
2.7 Pencegahan Masalah

Infeksi adalah masalah yang paling utama dihadapi oleh pasien yang

melakukan DP. Tim medis harus mengetahui secara mendalam tentang bagaimana

menjaga kateter bebas kuman untuk mencegah terjadinya peritonitis, yang berarti

infeksi di daerah peritoneum. Perbaikan model dari kateter untuk mencegah

penyebaran kuman telah dilakukan, namun peritonitis tetap menjadi masalah utama

yang kadang-kadang membuat DP harus dihentikan. Beberapa yang harus

diperhatikan diantaranya:4,5

 Simpan peralatan di tempat yang sejuk, bersih dan kering.

 Periksa setiap kantong cairan untuk melihat adanya tanda-tanda

terjadinya kontaminasi sebelum digunakan

 Cari tempat yang bersih, kering dan nyaman untuk memulai pertukaran

 Cuci tangan setiap kali memegang kateter

 Bersihkan jalan keluar dengan antiseptik setiap hari.

 Gunakan masker saat pertukaran berlangsung

Tetap waspada untuk gejala dari infeksi dan segera lakukan sehingga

pengobatan sesegera mungkin. Beberapa gejala yang patut diwaspadai adalah:5

 Demam

 Mual atau muntah

 Kemerahan atau nyeri di daerah sekitar kateter

 Warna yang tidak biasanya atau berkabut pada cairan dialisis yang

digunakan.

16
 Penutup kateter telah terdorong keluar

Gambar 2.7 Bagian-bagian transfer set 5

2.8 Komplikasi

Komplikasi dapat berupa mekanis, metabolik dan radang.

a. Komplikasi mekanis

- Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati)

- Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter

- Gangguan drainase (aliran cairan dialisat)

- Bocornya cairan dialisat

- Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut

b. Komplikasi metabolik

- Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa

- Gangguan karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM

17
berupa hiperglikemia tak tekendali dan kemungkinan dapat juga terjadi

hipoglikemia post dialisis.

- Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat.

- Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejalan

berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan

tekanan cairan serebrospinal, koma dan dapat menyebabkan kematian

pasien.

c. Komplikasi radang

- Infeksi alat pernapasan. Biasanya berupa pneumonia atau bronkitis

purulenta.

- Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal diluar

peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis.

- Peritonitis.

Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menggunakan

CCPD diantaranya adalah tersumbatnya saluran untuk DP yang kemudian dapat

berlanjut menjadi sepsis dari saluran yang terinfeksi tersebut. Jadwal dialisis yang

tertunda atau tidak selesai karena pasien tidak menginginkan menyelesaikan dialisis

sesuai jadwal. Konsultasi dengan psikiatri juga mungkin diperlukan bagi sebagian

anak-anak untuk dapat melanjutkan dialisis. Peritonitis merupakan masalah utama,

selain dari kesalahan fungsi kateter sehingga memerlukan pemasangan kembali,

kerusakan fungsi membran peritoneal. Pada grup CCPD, peritonitis muncul

setidaknya satu dari sekitar 80,5% pasien yang berobat setiap bulan.1,2,7

Pasien yang diterapi dengan DP memiliki komplikasi yang berhubungan

18
dengan fungsi ginjal itu sendiri secara tidak langsung selain fungsinya dalam

membersihkan darah. Diantaranya adalah anemia sehingga pasien memerlukan

transfusi darah. Hal ini terjadi karena ginjal memproduksi eritropoeitin yang

merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah yang mana

berfungsi sebagai pengangkut oksigen.5

Penyakit tulang yang berhubungan dengan ginjal mempengaruhi sekitar 90%

pasien dialisis. Penyakit ini disebut dengan renal osteodystrophy. Tulang menjadi

tipis dan lunak atau lemah hingga dapat mengalami perubahan bentuk. Hal ini dapat

terjadi pada pasien anak-anak ataupun dewasa. Gejala dapat dilihat pada pasien

anak-anak dalam masa pertumbuhan yang memiliki penyakit ginjal.5

Rasa gatal merupakan komplikasi yang sering dikeluhkan oleh pasien

dialysis. Meskipun gatal merupakan hal yang wajar bahkan pada orang tanpa

gangguan fungsi ginjal, hal ini dapat diperparah oleh toksin uremia yang berada di

kulit tidak sepenuhnya dapat dibuang melalui dialisis. 5

Gangguan tidur banyak terjadi pada pasien dialisis. Hal ini terjadi karena

rasa tidak nyaman, mudah terkejut, gelisah dan kelemahan pada kaki. Pasien akan

mendapat rangsangan untuk menendang ataupun melempar kakinya di malam hari

sehingga dapat mengganggu pasangan tidurnya. Selain itu pasien dialisis juga sering

mengeluh akan sleep apneu syndrome (mengorok) saat tidur.4,5

Pada pasien yang telah melewati dialisis selama 5 tahun, kemungkinan akan

terjadi dialysis related amyloidosis (DRA). DRA berkembang saat protein yang

berada di dalam darah tersimpan di persendian dan otot, menyebabkan nyeri,

kekakuan dan cairan di persendian, seperti pada kasus artritis. Ginjal berfungsi

19
menyaring protein ini, namun dialisis tidak seefektif itu.5

2.9 Peritoneal Dialisis pada Neonatus

Gagal ginjal akut terjadi pada 23% dari neonatus yang dirawat di bagian

perawatan intensif. Banyak literatur tentang penyebab, patofisiologi dan manajemen

medis dari gagal ginjal akut pada neonatus. Keputusan untuk melakukan dialisis

secara khusus diindikasikan pada gangguan keseimbangan elektrolit, uremia berat,

kelebihan cairan, ketidakseimbangan asam basa yang menetap, atau perlunya

tambahan cairan yang masuk untuk mencapai nutrisi yang dibutuhkan pasien

dengan anuria atau oligouria.6,7

Tabel 2.1 Penyebab Gagal Ginjal Akut6

Pada neonatus dengan gagal ginjal akut dan secara khusus memerlukan

durasi dialisis yang singkat, keputusan untuk melakukan dialisis dipengaruhi oleh

berat badan dari neonatus tersebut. Meskipun keberhasilan dan keefektifan dialisis

20
telah dilaporkan pada neonatus dengan berat kurang dari 1 kg, kasus seperti ini sulit.

Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah keuntungan dan kerugian masing-masing

dialisis serta jenis dan ukuran kateter yang dapat digunakan untuk DP bagi pasien

neonatus dan bayi.6

Tabel 2.2 Keuntungan dan Kerugian Masing-masing dialisis6

Tabel 2.3 Kateter untuk Dialisis Peritoneal6

Apabila dikerjakan secara baik, dialisis merupakan teknik yang dapat

menyelamatkan nyawa pada neonatus dengan gagal ginjal akut, beberapa penelitian

21
melaporkan angka kesembuhan berkisar dari 50-90%. Neonatus dengan gagal ginjal

non oliguria mungkin memiliki prognosis yang lebih baik. Banyak neonatus yang

dilakukan dialisis karena gagal ginjal kemudian meninggal akibat komplikasi yang

tidak berhubungan dengan dialisisnya atau gagal ginjal. Penting diperhatikan bahwa

dialisis inisial dapat menyebabkan penurunan urine yang keluar dan penurunan

volume intravaskular, yang kemudian akan mempengaruhi penyembuhan dari

ginjal.6

Karena kesulitan dalam mengatur jumlah ultrafiltrasi, hal ini menyebabkan

neonatus yang dilakukan DP akan mengalami hipotensi. Faktor ini memerlukan

perhatian saat akan dimulai dialisis pada neonatus dengan gagal ginjal akut.6

Keputusan untuk memulai dialisis atau melanjutkan dialisis pada neonatus

dengan gagal ginjal kronik adalah lebih sulit dibandingkan keputusan untuk

mengatur dialisis pada gagal ginjal akut. Dialisis jangka panjang pada neonatus

dengan gagal ginjal kronis hanya dipakai sebagai “jembatan” untuk melakukan

transplantasi ginjal. Dialisis yang berkepanjangan bukan pilihan bagi neonatus

karena akan mengurangi kualitas hidupnya dan resiko kematian yang tinggi. Resiko

kematian pada bayi dengan dialisis pada satu tahun pertama kelahiran berkisar 15%.

Beberapa dari kematian bayi-bayi ini adalah kematian yang mendadak, bayi yang

lainnya meninggal karena sepsis atau komplikasi dari hipertensi berat.6,

Kebanyakan pusat transplantasi ginjal menggunakan donor hidup ataupun

mati untuk transplantasi ginjal saat bayi telah mencapai berat kurang lebih 10 kg.

Hasil yang ditunjukkan pada pasien yang menerima transplantasi ginjal sangat

dramatis beberapa tahun terakhir ini dan sekarang bisa dikatakan hampir sempurna,

22
dengan transplan angka kehidupan pasien mendekati 100% pada 2 tahun paska

transplantasi dan lebih dari 80% pada 8 tahun paska transplantasi.6

Dalam penelitian terbaru dilaporkan bahwa pasien usia 0-5 tahun yang

menerima donor ginjal ukuran dewasa tanpa nekrosis tubular akut memiliki angka

kehidupan lebih lama dibandingkan dengan kelompok usia lain. Pada pasien usia 0-

2,5 tahun yang menerima donor ginjal tanpa nekrosis tuular akut angka kehidupan

mencapai 26,3+5 tahun. Meskipun demikian, bayi dengan disfungsi organ lain yang

berat (paru, otak, atau penyakit jantung parah) sebaiknya tidak dilakukan dialisis

dan transplantasi jika keuntungan yang didapat hanyalah memperpanjang usia

hidup.6,7

Dialisis peritoneal tidak selalu berhasil pada setiap bayi dengan gagal ginjal.

Bayi dengan penyakit paru yang sangat berat menyebabkan pada terbatasnya

gerakan diafragma saat ada sejumlah cairan yang mengisi rongga perutnya. Hernia

diafragmatika akan menyebabkan cairan dialisis dari perut masuk ke daerah pleura

dan mengakibatkan gangguan sistem pernafasannya.6

Neonatus yang memiliki kelainan pada dinding perut, termasuk diantaranya

omfalokel atau gastroskizis, tidak bisa dilakukan DP. Bayi yang pernah dioperasi

pada bagian perut merupakan kontraindikasi relatif dikarenakan berkurangnya

daerah peritoneum yang kontak dengan cairan dialisis. Kontraindikasi relatif

lainnya untuk pasien PD diantaranya adalah vesikostomi, kolostomi, prune belly

syndrome, necrotizing enterocolitis dan keganasan.6,7

Neonatus yang mendapatkan terapi dialisis mempunyai 12,5% kesempatan

untuk kembali berfungsinya ginjal dan kemungkinan 80% dengan transplantasi

23
ginjal. Dimulainya terapi dialisis pada neonatus masik kontroversi, dimana angka

kematian neonatus yang mendapatkan terapi dialisis awal pada usia kurang dari 1

bulan masih tinggi. Angka kematian anak usia kurang dari dua tahun yang

menerima dialisis masih tinggi dibandingkan kelompok umur lebih tua. Penelitian

lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.8

Pada pasien anak yang baru pertama kali akan melakukan dialisis diperlukan

hal-hal tambahan yang harus diperhatikan secara seksama. Diantaranya apabila

dialisis dilakukan dirumah, sebaiknya orangtua yang berada di dekat anak saat

dialisis berlangsung diutamakan ibu anak. Apabila dialisis dilakukan di Rumah

Sakit/pusat dialisis maka pasien anak-anak harus memiliki ruangan tersendiri,

dipisahkan dari pasien dewasa ditemani oleh orangtuanya. Suasana ruangan yang

nyaman dan memang disesuaikan dengan anak-anak. Selain itu, PD memang cocok

untuk keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah karena biayanya yang lebih

murah dibandingkan hemodialisa.9

2.10 Perkembangan CAPD di Indonesia

Penyakit ginjal kronik di Indonesia, berkisar antara 29,1% dari populasi

penduduk yang memiliki resiko (hipertensi, diabetes dan proteinuria). Dalam survei

terbaru, insiden rata-rata untuk penyakit ginjal stadium akhir (end-stage renal

disease/ESRD) adalah 30,7 per 1 juta penduduk, dan prevalensinya berkisar 23,4 per

1 juta penduduk. Pada tahun 2006, sekitar 10.000 pasien telah diobati dengan

hemodialisis. Namun demikian, masih banyak pasien dengan ESRD yang belum

diobati. Masalah keuangan, kekurangan fasilitas dialisis dan kurangnya tenaga

24
medis yang terlatih menjadi alasan utama mengapa pengobatan gagal ginjal tidak

berjalan dengan baik di Indonesia.10

CAPD mulai dipakai pertama kali pada tahun 1985. Pada pertengahan tahun

2007, pasien CAPD berjumlah 774 orang. Pasien yang berhenti masih sangat tinggi,

karena meninggal, infeksi dan kegagalan kateter.10

BAB III

PENUTUP

Dialisis peritoneal adalah dasar, rasional dan dapat dikerjakan pada anak-

anak dengan kegagalan fungsi ginjal. Dengan pengaturan penggunaan pada gagal

25
ginjal akut di perawatan intensif, DP yang berkelanjutan pada anak dengan gagal

ginjal memberikan teknik sederhana dalam mengatasi ketidaks eimbangan

elektrolit dan cairan dengan resiko yang lebih kecil untuk masalah hemodinamik.

Diluar dari Rumah Sakit, praktik penggunaan DP pada anak dengan gagal ginjal

memungkinkan untuk dilakukan sehari-hari, dirumah dan sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew SB, Alice MT. Continous-cycling peritoneal dialysis for children:


an alternative to hemodialysis treatment. Pediatyrics 1984;74:254-258.
2. Lai WM, Chiu MC, Tse KC, Lau SC, Tong PC. Automated peritoneal
dialysis: clinical experience in 32 children. HK J Paediatr 2004;9:44-49.
3. Ensari C. The basic needs of children on haemodialysis in Turkey. Nephrol
Dial Transplant 2008;23:1447-1448.

26
4. Khanna R, Nolph KD. Dialysis as a treatment of end stage renal disease.
Chapter 4: Principle of peritoneal dialysis. Halaman 4.1-4.11.
5. -----. Treatment method for kidney failure: peritoneal dialysis. NIDDK
2006;6:1-24.
6. Marsha ML, Annabelle N, Chua, Peter DY. Neonatal peritoneal dialysis.
NeoReviews 2005;6:e384-e391.
7. Walters S, Porter C, Brophy PD. Dialysis and pediatric acute kidney
injury: choice of renal support modality. Pediatr Nephrol 2009;24:37-48.
8. Sherbotie J. Outcomes after neonatal and infant dialysis. AAP Grand
Rounds 2007;17:66.
9. Kari JA. Peritoneal dialysis in children. Saudi J Kidney Dis Transplant
2005;16:348-253.
10. Suhardjono. The development of a continuous ambulatory peritoneal
dialysis program in Indonesia. Perit Dial Int 2008;28:559-562.

27

Anda mungkin juga menyukai