PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara
konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di
Indonesia. Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia
memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia
dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Setelah berlakunya KUHAP, pemeriksaan perkara pidana di pengadilan terbagi
menjadi 3 jenis pemeriksaan, yaitu :
1. Pemeriksaan perkara dengan acara biasa.
2. Pemeriksaan perkara dengan acara singkat.
3. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat.
Dalam makalah ini penulis akan menguraikan secara khusus mengenai proses
penyelesaian perkara pidana di pengadilan dengan acara biasa. Hal ini ditujukan agar penulis
maupun pembaca dapat lebih memahami penyelesaian perkara di pengadilan dengan acara
biasa.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Apa saja asas-asas dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia?
B. Bagaimana penggolongan tindana pidana yang termasuk dalam pemeriksanaan dengan
acara biasa dan cepat?
C. Bagaimana Prosedur pelaksanaan pemeriksaan perkara dipengadilan dengan acara biasa?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggolongan tindak pidana yang termasuk dalam Pemeriksanaan dengan acara Biasa
dan Cepat
Dalam hukum acara pidana di Indonesia terdapat beberapa macam proses beracara. Untuk
dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis
tindak pidana yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan. Hal tersebut dilihat
berdasarkan hal-hal sebagaimana berikut ini :
1. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
2. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang
pengadilan.
3. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan di ajukan ke muka sidang
pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang
pengadilan:
1. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga Bab XVI
3. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam Bab XVI, yang terdiri
dari:
a) Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
b) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
a. Apabila disebabkan Surat Panggilan Belum Sah (Pasal 145 dan 146 KUHAP)
1) Persidangan ditunda pada tanggal dan hari berikutnya.
2) Penundaan hari sidang tersebut dibarengi dengan perintah dari Majelis Hakim
kepada penuntut umum untuk memanggil Terdakwa pada hari dan tanggal sidang
berikutnya.
b. Menghadirkan Terdakwa Secara Paksa
1) Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah
a) Sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
b) Ketua Majelis memerintahkan untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
c) Jika panggilan kedua, Terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah :
- Ketua Majelis menunda hari dan tanggal sidang; dan
- Ketua Majelis memerintahkan penuntut umum untuk
menghadirkan Terdakwa secara paksa.
2) Ketidakhadiran dengan alasan yang sah
a) Ketua Majelis menunda dan mengundurkan sidang; dan
b) Memerintahkan penuntut umum untuk memanggil Terdakwa sekali lagi.
c. Terdakwa Terdiri dari Beberapa Orang, Namun Hanya Beberapa yang
Hadir
3. Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan
Ini diatur dalam pasal 217 yang mmenegaskan hakim ketua sidang brtindak
memimpin jalannya pemeriksaan pesidangan,, dan memelihara tata tertib persidangan
prinsip ini sesuai dengan system pembuktian yang dianut undang-undang, yakni system
pebuktian undang-undang secara negative. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki
di dalam membuktikan kesalahan Terdakwa berdsarkan batas minimum pembuktian
menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.
4. Pemeriksaan Secara Langsung Dengan Lisan
Pasal 153 ayat 2 huruf a menyatakan :
a. Ayat 1 “ Pada hari yang ditentukan menurut pasal 152 pengadilan bersidang.”
b. Ayat 2 a “Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh Terdakwa atau
saksi.”
c. Ayat 2 b “ Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan
yang mengakibatkan Terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.”
d. Ayat 3 “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam memberikan jawaban secara tidak
bebas.”
e. Ayat 4 “tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya
putusan demi hukum.”
5. Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas
Sesuai dengan pasal 153 ayat 2 huruf b, pemeriksaan terhadap Terdakwa atau saksi
“dilakukan dengan tegas”.terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan Terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Baik kepada
Terdakwa maupun kepada saksi tidak boleh dilakukan “penekanan atau ancaman” yang
bias menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan. Bahkan pertanyaan
yang “bersifat menjerat” tidak boleh diajukan baik terhadap Terdakwa maupun terhadap
saksi, sebagai mana diatur dalam pasal 166 KUHAP.
6. Pemeriksaan Lebih Dulu Mendengarkan Keterangan Saksi
Dalam pasal 160 ayat 1 huruf b yang menegaskan “pertama-tama di dengar
keterangannya adalh korban yan menjadi saksi”. Untuk menguatkan alasan mendahulukan
pemeriksaan pendengaran keteranagan saksi dari Terdakwa, pasal ini di hubungkan dengan
pasal 184 ayat 1 yang menempatkan urutan alat bukti keterangan saksi pada urutan yang
pertama. Sedangkan urutan alat bukti keterangan Terdakwa di tempatkan pada urutan yang
terakhir.
Setelah membahas mengenai hal-hal prinsipil yang harus diketahui dalam
pemeriksaan dipersidangan, maka saat ini kita akan membahas mengenai proses pemeriksaan
perkara dalam persidangan dengan acara biasa.
Dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan dengan acara biasa di pengadilan
dilakukan dalam berbagai tahap, yaitu :
1.Pemeriksaan Identitas Terdakwa
Pemeriksaan identitas Terdakwa didahului pembukaan sidang oleh ketua. Pembukaan
sidang harus dinyatakan “ terbuka untuk umum, seperti yang ditegaskan pasal 153
ayat 3 dan 4.
Setelah hakim membuka sidang serta menyatakan terbuka untuk umum, hakim ketua
memeriksa “identitas” Terdakwa
pemeriksaan dicocokkan dengan identitas Terdakwa yang terdapat pada surat
dakwaan dan berkas perkara, untuk memastikan dan memastikan dan menyakinkan
persidangan memang Terdakwalah yang di maksud dalam surat dakwaan kepadanya.
2. Memperingatkan Terdakwa
Setelah selesai menanyakan identitas Terdakwa, kewajiban ketua sidang sesuatu yang
didengar dan dilihatnya di dalam persidangan .
Persidangan ini tidak lebih dari nasehat dan anjuran namun demikian sebaiknya
hakim tidak hanya memperingatkan untuk memperhatikan segala sesuatu yang
didengar dan dilihat saja, tetapi perlu memperingatlkan Terdakwa agar bersikap
tenang, jangan takut dan jangan ragu-ragu mengemukakan suatu yang di anggapnya
penting untuk perlu pembelaan diri, juga memperingatkan Terdakwasuatu yang di
anggapnya penting.
3. Pembacaan Surat Dakwaan
Selanjutnya “pembacaan surat dakwaan”. Ketua sidang memerintahkan penuntut
umum untuk membacakan surat dakwaan.
4. menanyakan isi surat dakwaan
Sesudah penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan , hakim harus bertanya
kepada Terdakwa apakah dia benar-benar memahami isi surat dakwaan, kalau
Terdakwa belum mengerti, menurut ketentuan pasal 155 ayat 2 huruf b, hakim dapat
memerintahkan penuntut umum untuk “ memberi penjelasan” lebih lanjut tentang hal-
hal yang belum jelas di pahami Terdakwa
5. Hak Untuk Mengajukan Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah sebagai berikut :
a. Tangkisan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujuki terhadap
“materi pokok” surat dakwaan.
b. Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang
melekat pada surat dakwaan.
Dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP didefenisi eksepsi tidak di rumuskan secara jelas.
- Saat mengajukan eksepsi
Jika diperhatikan pasal 156 ayat 1 pengajuan keberatan yang menyangkut
pembelaan atas alasan yang “formal” oleh Terdakwa atau penasehat hukum adalah
hak.
- Klasifikasi eksepsi
Pasal 156 ayat 1 menyebutkan berbagai jenis keberatan atau eksepsi yang
dapat diajukan Terdakwa atau penasehat hukumnya. Namun dalam eksepsi yang
dikemukakan dalam uraian ini tidak terbatas pada bentuk atau jenis eksepsi yang di
sebutkan dalam pasal 156
a. Eksepsi Kewenangan Mengadili
1) Tidak berwenang secara absolute
munculnya pesoalan kewenangan absolute mengadili, sebagai akibat pasal 10
undang-undang No. 14/1970 yang telah menetapkan dan membagi yuridis substantive.
2) Tidak berwenang secara secara relative
di sebut kewengan relative mengadili perkara di dsarkan pada factor “daerah
hukum” atau “wilayah hukum”
b. Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebutkan dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi
ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHAP
adalah eksepsi ynag menyatakan “kewenangan” penunutut umum untuk menuntut
“hapus” atau gugur.
Terhadap putusan ini, bentuk putusan yang di jatuhkan pengadilan adalah
putusan akhir, bukan putusan sela. Terbuka upaya banding dan kasasi . apabila suatu
telah berkekuatan tetap, langsung final dan mengikat, tidak bisa diajukan lagi untuk
kedua kalinya.
Perlu diingat, tanpa ada eksepsi pun apa bila persidangan menemukan
factor nebi in idem atau kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa. Hakim harus
menjadikan sebagai dasar putusan dengan amar mnyatakan kewenangan menuntut
hapus atau gugur
6. Pembuktian Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib
Terdakwa, apa bila hasil penelitian dengan alat-alat bukti seperti yang di tentukanoleh
undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada, maka
Terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Tentang pembuktian ini diatur dalam pasal 183 KUHAP
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apa bila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah
melakukanya.”
Pasal 184 KUHAP Ayat 1 menyatakan alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
7. Penuntutan Oleh Penuntut Umum
Penuntutan di kenal juga dengan istilah requisitoir adalah langkah yang seharusnya
diberikan kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu
perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian. Setelah
pemerikasan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Pasal 182 KUHAP Ayat 2 “jika acara tersebut pada ayat 1 telah selesai, hakim ketua
sidang menyatakan bahwa pemeriksaaan dinyatakan tertutup dengan ketentuan dapat
membuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatanya,
maupun atas permintaaan penuntut umum atau Terdakwa atau penasehat hukum
dengan memberikan alasanya.
8. Pembelaan (Pleidoi) Penasehat Hukum
Setelah penuntutan dilakukan penunutut umum, kemudian kepada Terdakwa atau
penasehat hukum di berikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pleidoi di
atur dalam pasal 182 KUHAP
Ayat 1 b. “selanjutnya Terdakwa atas penasehat hukum mengajukan pembelaannya
yang dapat jawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan Terdakwa atau penasehat
hukum mendapat giliran terakhir.”
9. Pembacaan Putusan Majelis Hakim
Jenis Putusan Dalam Pengadilan Pidana, Bentuk putusan yang akan dijatuhkan
pengadilan sangat tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal
dari Surat Dakwaan dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di
depan Pengadilan.
Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan
diantaranya:
a. Putusan Bebas
Dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan
Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya
unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa.
b. Putusan Lepas
Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut,
dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan Pemidanaan
Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi
hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada
Terdakwa.
BAB III
PENUTUP
Dalam hukum acara pidana di Indonesia terdapat beberapa macam proses beracara
yaitu Pemeriksaan dengan acara biasa,singkat, dan cepat. Untuk dapat membedakan acara
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan di
ajukan ke muka sidang pengadilan. Hal tersebut dilihat berdasarkan hal-hal sebagaimana
berikut ini :
a. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah.
b. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang
pengadilan.
c. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
3. Pemeriksaan dengan acara dilakukan dalam tahapan proses sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Identitas Terdakwa
b. Memperingatkan Terdakwa
c. Pembacaan Surat Dakwaan
d. menanyakan isi surat dakwaan kepada Terdakwa
e. menanyakan Hak Untuk Mengajukan Eksepsi kepada Terdakwa
f. Pembuktian Atau Pemeriksaan Alat-Alat Bukti
g. Penuntutan Oleh Penuntut Umum (requisitoir)
h. Pembelaan (Pleidoi) Penasehat Hukum
i. Pembacaan Putusan Majelis Hakim
\
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
1. Makarao, M. T. dan Suhasril.. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Bogor:
Ghalia Indonesia. 2010/
2. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
3. Hasudungan, Archie Michael dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara
Pidana(Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
4. A. Soetomo, Hukum Cara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini,1990.
5. Darwan Prints, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.
Undang-Undang
Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
[1] M. T. Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori
Dan Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia.
[2] Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hlm. 238.
[3] Ibid, hlm. 239
[4] Archie Michael Hasudungan dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara
Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011),
hlm. 52.
[5] A. Soetomo, S.H, “Hukum Cara Pidana Indonesia dalam Praktek”, Pustaka
Kartini, hlm 64.
[6] Darwan Prints, “Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar”, Jakarta: Djambatan,
hlm 87.
[7] Archie Michael Hasudungan dan Petra M.E.J. Pattiwael, Diktat Hukum Acara
Pidana (Depok: Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011),
hlm. 53.