Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENYULUHAN

LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh:

dr. Rani Fatmala

Pendamping :

dr. Hj. Reviyani

NIP. 19770605201001 2007

PUSKESMAS PANGKALAN BALAI

KABUPATEN BANYUASIN

PROGRAM INTERNSHIP

TAHUN 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Penyuluhan MAN-1

“LEPTOSPIROSIS”

Oleh :

dr. Rani Fatmala

Pembimbing :

dr. Hj. Reviyani

Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia di Puskesmas Pangkalan Balai Kabupaten Banyuasin, Sumatera
Selatan.

Pangkalan Balai, Januari 2018

Pembimbing

dr. Hj. Reviyani


BAB I

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh Leptospira, termasuk


dalam genus Leptospira, family leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Genus leptospira terdiri
dari 2 spesies yaitu Leptospira interrogans yang merupakan bakteri patogen dan Leptospira
biflexa adalah bakteri saprofit. Leptospira merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 μm dan tebal 0,1 μm. Ukuran bakteri yang relatif kecil dan
panjang ini sulit terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, sehingga diperlukan
mikroskop dengan teknik kontras untuk melihat bentuk serta gerakkan Leptospira. Leptospira
peka terhadap asam serta dapat hidup dalam air tawar kurang lebih satu bulan, tetapi di air laut,
air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Faine, 1982). Penyakit
Leptospirosis ini pertama kali dilaporkan oleh Adolf Weil pada tahun 1886 dengan gejala panas
tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit ini oleh
Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil Disease”. Leptospirosis merupakan penyakit infeksius
yang disebabkan oleh beberapa serovar Leptospira interrogans.
Penyebaran leptospirosis sangat luas di berbagai wilayah di dunia terutama di daerah
beriklim tropis seperti Indonesia serta bersifat zoonotik. Leptospira banyak menginfeksi hewan
ternak, hewan liar, maupun manusia. Hewan yang terinfeksi termasuk tikus, tupai, hewan ternak
seperti sapi, kambing, domba, dan babi. Leptospira juga menyerang hewan kesayangan seperti
anjing dan kucing serta beberapa hewan liar contohnya anjing hutan, monyet, rubah, dan sigung
(Rad et al., 2004). Manusia dapat terserang penyakit Leptospirosis karena Leptospira merupakan
salah satu bakteri yang penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Bakteri ini bebas
berkembang di alam, Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata,
hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan
yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi Leptospira (Depkes RI, 2005). Jumlah
Leptospira yang masuk berbeda tergantung: agen, hospes, dan lingkungan. Cara bakteri masuk
ke dalam tubuh dapat melalui permukaan mukosa, saluran hidung atau konjunctiva. Leptospira
akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada
target organ serta akan menunjukan gejala infeksi pada organ tersebut.
Penyebaran penyakit Leptospirosis di Indonesia dilaporkan oleh Partoatmodjo (1936) dan
telah diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan.
Kejadiannya tersebar antara lain di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Di Jawa
Tengah tepatnya di Ambarawa diisolasi dari hewan rodent L. bataviae; L. icterohaemorrhagie;
L. javanica; L. pyrogenes; dan L. semarang. Abdullah (1961) dapat mengisolasi L. autwnnalis;
L. canicola; L. sarmini; L.schuffieri; L benyamin; L. asam; L. javanica; L.grippotyphosa; dan L.
bovis, dari Rattus regni sody yang di tangkap di Bogor dan sekitarnya (Depkes RI, 2003).
Kejadian Leptospirosis menurut menurut hasil penelitian dari Kusmiyati et al,. (2005). Selama
tiga tahun (2002-2004) rata-rata pada sapi 16,48%, babi 1,4%, anjing 24,60%, kucing 25,93%,
tikus 25,82% dan manusia 12,33%. Serovar yang berhasil ditemukan yaitu serovar hardjo,
tarrasovi, pomona, australis, rachmati, dan bataviae.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti et al., (2008) sampel serum yang
diambil dari berbagai tempat di Indonesia yaitu Jawa Barat (Bandung, Bogor), Jakarta, Jawa
Tengah (Semarang, Baruraden), Jawa Timur (Malang, Grati), Yogyakarta, dan Nusa Tenggara
Barat. Seroprevalensi penyakit leptospirosis rata-rata 18,38% selama kurun waktu 5 tahun (2003-
2007) dengan seroprevalensi paling tinggi adalah serovar hardjo (60,54%). Seroprevalensi
leptospirosis pada musim kemarau (16,38%) lebih rendah daripada musim penghujan (19,20%).
Pada tahun 2010 terjadi outbreak leptospirosis di Kabupaten Sleman, daerah Moyudan
merupakan daerah terparah. Pada tahun tersebut di Kecamatan Moyudan ditemukan 39 kasus
pada manusia dengan 1 orang meninggal. Pada sebagian besar negara tropis termasuk Indonesia
kemungkinan terpapar leptospirosis karena terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah
maupun binatang liar. Keberadaan leptospirosis pada ternak juga harus diwaspadai oleh peternak
dan orang yang berhubungan dengan produk dari ternak (Ningsih, 2009) Banyaknya kejadian
Leptospirosis pada suatu daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor tersebut antar
lain faktor agen, faktor pejamu, factor lingkung. Faktor lingkungan sendiri terbagi lagi menjadi
lingkungan fisik, lingkungan biologik, lingkungan kimia, dan lingkungan budaya(Suratman,
2006).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sehat
Sehat disini bukan semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan namun juga sehat mental
dan sosio kultural (Definisi sehat menurut WHO). Sedangkan reproduksi adalah suatu proses
menghasilkan keturunan dalam kehidupan manusia demi kelestarian hidup. Oleh karena itu,
kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala
hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (Konferensi International
Kependudukan dan Pembangunan, 1994).

2.2 Leptospirosis
2.2.1. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang.
Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk
penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama
flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Dibeberapa negara
leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit
swinherd, demam rawa, penyakit weil, demam canicola (PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis
adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003).
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,
Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003). Leptospirosis atau
penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini
disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine
tikus (Swastiko, 2009).
2.2.2. Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim
tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogansdengan berbagai subgrup yang masing-masing
terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing,
lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan
sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka
atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang
yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan
yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan.
Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi
lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan
240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di
antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L.
pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L. grippothyphosa, L.
hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis, L. andamana, L. shermani, L.
ranarum, L. copenhageni. Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat,
bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati
dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan
sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah
L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L.
pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. (Arjatmo, 1996).

2.2.3. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut
aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti
serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti.
Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya
leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan
dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang
terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan
demikian mengaktifkan fagositosis. Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang
lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap
oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi.
Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu
dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan
rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas
protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak
terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi,
diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas.
Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat
ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-
akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus.
Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat
menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun
nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat. Gangguan
fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum
menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting
pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat
pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu
ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal
setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan
korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan
sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-
kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal. Gangguan
fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada
leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit,
hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini
disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara
lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis,
radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibody didalam serum tidak disertai
peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga
leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini
penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis. (Poerwo,
2002).

2.2.4. Manifestasi klinik


Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun dan
fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada
kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9
hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.
b. Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi dari
demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan
manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis
pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit
kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali. Menurut berat
ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis
klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis
anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1) Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat,
mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot
terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang
menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia
dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival
suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash
macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis
dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Dalam fase leptospiremia,
bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua
bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ). Pasien dengan Leptospirosis
anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian
pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan
menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit
demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus
dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa negara
Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup
penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi
hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti
demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.

2) Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut,
ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada
leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis
serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita
serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal
ginjal akut.
Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Tabel 2.1 Manifestasi klinik Spesimen
gambaran klinik laboratorium
leptospirosis
Sindrom, fase
Leptospirosis Demam tinggi, Darah, LCS
anikterik nyeri kepala, Urin
fase leptospiremia mialgia, nyeri
(3-7 hari). perut, mual,
Fase imun (3-30 muntah,
hari). conjungtiva
suffusion.
Demam ringan ,
nyeri kepala,
muntah.
Leptospirosis Demam tinggi, Darah, LCS
ikterik nyeri kepala, minggu pertama.
fase leptospiremia mialgia, ikterik Urin minggu
dan fase imun gagal ginjal, kedua.
(sering menjadi hipotensi,
satu atau manifestasi
overlapping) perdarahan,
terdapat periode pneumonitis,
asimptomatik (1-3 leukositosis.
hari)
BAB III

METODE

3.1 Metode Kegiatan

Metode kegiatan ini bersifat penyuluhan dengan menggunakan proyektor dan


mengadakan sesi tanya jawab di akhir pemaparan.

3.2 Waktu dan Tempat

Acara ini dilaksanakan pada:

Hari, Tanggal : Rabu, 10 Januari 2018

Waktu : 09.30 WIB s/d selesai

Tempat : Mushola MAN 1 Banyuasin Pangkalan Balai

3.3 Sasaran

Sasaran khusus kegiatan ini adalah remajas sekolah sekolah menengah atas (SMA) usia
15-17 tahun khususnya anak sekolah MAN 1 Banyuasin Pangkalan Balai.

3.4 Susunan Kegiatan

Waktu Kegiatan
09.00 - 09.30 Pertemuan dengan Kepala Sekolah dan staf MAN 1 Banyuasin
Persiapan alat
Persiapan siswa
Pembukaan
09.30 – 10.30 Penyampaian materi
10.30 – 11.15 Tanya Jawab
11.15 – 11.30 Penutupan
BAB IV

HASIL

4.1 Persiapan dan Kendala

 Persiapan alat seperti laptop, proyektor, dan mic, spekear memakan waktu cukup banyak.
 Laptop penyaji dan proyektor tidak terhubung.
 Siswa yang hadir ada yang dating terlambat.

4.2 Solusi

 Penyampaian materi dilakukan lebih cepat tanpa mengurangi fokus siswa terhadap materi
 Menggunakan laptop dari pihak sekolah yang sudah biasa terhubung.
 Siswa yang dating terlambat segera dipersilahkan masuk tanpa menimbulkan kegaduhan.

4.3 Kesan

Acara berlangsung interaktif dan kondusif. Siswa-siswi MAN 1 Banyuasin Pangkalan


Balai menanggapi dengan baik. Hal ini terlihat dari antusiasme mereka yang aktif bertanya dan
menjawab pertanyaan dari penyaji dengan benar dan tepat saat penyuluhan.

4.4 Evaluasi

Acara berlangsung lancar.


DAFTAR PUSTAKA

Anies, Suharyo Hadisaputro, M.Sakundamo, Suhartono. Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian
Leptospirosis. Media Medika Indonesia; 2009. Available from :
http://eprints.undip.ac.id/19108/2/07_anies_-_lingkungan_leptospirosis.pdf

Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. Petunjuk praktis
leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 – 167. Available from:
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3- 10.pdf

Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. Tropical Diseases. China: Elsevier; 2009.

Ernawati K. Leptospirosis sebagai Penyakit Pasca Banjir serta Cara Pencegahannya [internet].
2008. Available from: http://jurnal .pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/25274082631.pdf

Garna, H Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis.Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung; 2012.

Gassem M.Hussein. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gambaran Klinik Dan


Diagnosis Leptospirosis Pada Manusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
2002

Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.

Lestariningsih. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gagal Ginjal Akut Pada


Leptospirosis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002

Levett, P.N. Leptospirosis Clinical Microbiology Review 14 (2):296-326; 2001.

Mandal, Bibhat K. Penyakit Infeksi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.


Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2008.

Sarwani Dwi Sri Rejeki. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis Berat. Semarang; 2005

Setiawan, I Made. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans volume.27-


No.28. Universa Medicina; 2008.

Setiawan, I Made. Klasifikasi dan Teknik Klasifikasi Bakteri Leptospira [internet]. 2008.
Available from: http://imadesetiawan.files.wordpress.com/2009/09/klasifikasi-dan-teknik-
klasifikasi-bakteri-leptospira.pdf

Soeharyo Hadisaputro. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Faktor- Fator Risiko


Leptospirosis. 2002. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasan). Jakarta


: Penerbit Erlangga; 2008.

Zein U.Leptospirosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

Anda mungkin juga menyukai