Hukum Intelektual
Hukum Intelektual
Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, misalnya
harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan lain sebagainya. Stratifikasi
sosail akan selalu ada selama dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai (Selo
Soermardjan/ Http:// sosionamche. Blogspot. Com.).
Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota masyarakat
akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah
golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena
adanya rasa segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat
dibedakan dari kelas yang lain (Hasan Sadili, hukum-dan-stratifikasi-sosial-suatu.html).
Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah
ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap
nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Pada masyarakat yang
kebudayaannya masih sederhana lapisan masyarakat pada mulanya hanya berkisar pada
perbedaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Kemudian ketika masyarakat sudah
berkembang sedemikian rupa, maka lapisan-lapisan dalam masyarakat itu memasuki ke
sektor lain, misalnya status seseorang karena ia kaya, mempunyai kepandaian tertentu
sehingga ia di tokohkan dalam kelompoknya. Akibat dari stratifikasi sosial ini adalah
timbulnya kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang dihargai oleh masyarakat
tersebut, sebaliknya ada juga masyarakat yang tidak menghargai lapisan-lapisan tersebut
karena mereka menganggap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tidak mempunyai nilai
yang berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka hal itu akan
menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu.
Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat. Bagi
masyarakat yang tidak mempunyai sesuatu yang berharga dari hal tersebut itu, ada
kemungkinan masyarakat lain memandang sebagai masyarakat dengan kedudukan yang
rendah. Sesuatu yang berharga dan tidak berharga ini akan membentuk lapisan masyarakat,
yaitu adanya masyarakat lapisan atas, lapisan bawah yang jumlahnya ditentukan oleh
masyarakat itu sendiri. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya banyak
sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan
sebagainya. Lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama
dalam organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi
sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan dalam masyarakat.
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk dengan
sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu seperti tingkat umur, kepandaian, dan
kekayaan. Adapula yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini
biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi-
organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau
perkumpulan (Abdul Manan, 2006: 79-80). Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat
dimulainya perbuatan yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang
terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang
memengaruhi kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya suatu
perubahan produk hukum.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soerjono Soekanto, 1999: 216)
ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan adalah pertama: ukuran kekayaan atau kebendaan, siapa yang memiliki
kekayaan atau kebendaan yang paling banyak mempunyai peluang untuk memasuki ke dalam
lapisan yang paling atas, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang
dimiliki seseorang, kedua: ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari ukuran
kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati akan mendapat tempat
teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat ditemukan pada kelompok
masyarakat tradisional, ketiga: ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau
mempunyai wewenang yang besar, ia akan menempati lapisan yang teratas, keempat: ukuran
ilmu pengetahuan, dalam kriteria ini ilmu pengetahuan menjadi ukuran utama untuk
menempatkan seseorang pada lapisan yang tertinggi. Tentang hal ini sekarang sudah
mempunyai banyak menimbulkan efek negatif, sebab ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi ukuran kesarjanaannya, padahal orang tersebut tidak
mempunyai kepintaran sesuai dengan kesarjanaan yang dimilikinya, karena memperolehnya
tidak melalui prosedur normal yang ditentukan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitatife, sebab masih banyak ukuran lain
yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan lapisan-lapisan dalam
masyarakat. Akan tetapi ukuran dan kriteria yang disebut disini merupakan ukuran dan
kriteria paling menonjol dalam lahirnya lapisan-lapisan dalam kehidupan dalam masyarakat.
Selain dari pada itu, ada faktor lain yang juga menentukan dalam mewujudkan sistem
berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat yaitu kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedua hal ini mempunyai arti penting dalam sistem sosial masyarakat karena
kedua hal tersebut merupakan pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu-
individu tersebut supaya tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Dalam kaitan
hubungan timbal balik ini, kedudukan dan peran harus dapat berfungsi secara baik karena
langgengnya kehidupan masyarakat itu harus ada keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan individu yang tumbuh dalam masyarakat. Agar hal ini dapat berjalan dengan
baik, maka diperlukan hukum yang mengaturnya dan oleh karena itu jika hukum yang lama
itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masa tersebut maka harus diadakan pembaruan
dengan kondisi zaman.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi sosial ditandai
dengan adanya lapisan-lapisan kehidupan masyarakat yang tidak statis. Setiap kelompok
masyarakat pasti mengalami perkembangan dan perubahan, yang membedakannya adalah
dalam cara perubahan itu, yaitu ada yang perubahan itu terjadi sangat lambat dan ada pula
perubahannya yang sangat cepat, ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak di
rencanakan, ada pula perubahan itu di kehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki. Pada
umumnya perubahan itu terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-pola yang ada
dalam kelompok sosial yang sudah mapan. Perubahan sebagai akibat dari pengaruh luar pada
umumnya berupa perubahan keadaan dimana kelompok masyarakat itu tinggal. (Al Fitri,
Aspek Pengubah Hukum dari Perspektif Sosial Budaya).
Jadi, dari uaraian di atas dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pelapisan atau
tingkatan secara vertikal yang ada dalam masyarakat yang terkadang disebebkan oleh faktor
ekonomi, kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Yang dimakud hukum terdiri dari aturan- aturan atau kebiasaan ejektif yang telah
mengalamu proses perkembangan kembali artinya kebiasaan dari lembaga- lembaga
kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentuk untuk maksud tersebut. Menurut
Bahannam dalam Qomariyah (2002), bahwa lembaga hukum itu mencakup dua jenis aturan:
1. Hukum substantive; penetapan kembali daripada aturan lembaga- lembaga
non hukum.
2. Hukum ajektif; aturan yang mengatur aktifitas- aktifitas daripada lembaga-
lembaga hokum itu sendiri.
Jadi bisa saja kita katakan bahwa aturan dan lembaga- lembaga hukum adalah mengatur
hampir di seluruh perilaku social dalam masyarakat.
Hubungan antara Lembaga-Lembaga Sosial dan Hukum
Lembaga- lembaga social atau institusi social adalah sebagai sarana atau alat yang bisa
menjadi perlengkapan suatu masyarakat sehingga untuk menjamin agar kebutuhan-
kebutuhan dalam masyarakat dapat terpenuhi sesuai proses dan fakta social hokum yang
hidup di masyarakat.
Salah satu dari banyak kebutuhan dalam proses bermasyarakat yang senyatanya
dirasakan oleh setiap hak hidup yang paling asasi adalah akan kebutuhan rasa keadilan,
keadilan diakui sebagai kebutuhan masyarakat yang melahirkan lembaga atu institusi hukum.
Sebagai langkah indentifikasi agar lembaga- lembaga hokum kelihatan mempunyai
ciri- ciri tersendiri sehingga memudahkan kita memahami lembaga hokum. Berikut adalah
ciri- ciri lembaga hukum:
Mempunyai dimensi stabilitas, adalah menimbulkan suatu kemantapan serta keteraturan
dalam hal proses usaha manusia untuk memperoleh keadilan.
Menyumbangkan suatu kerangka social terhadap kebutuhan- kebutuhan yang hidup di
masyarakat. Dan tututan kebutuhan yang bersifat pribadi bertemu dengan pembatasan-
pembatasan yang hal mana dibuat oleh masyarakat
Sebagai kerangka social untuk kebutuhan manusia itu maka lembaga hokum
menampilkan wujudnya dalam bentuk norma.
Proses jalinan antara lembaga, sehingga perubahan suatu lembaga akan memengaruhi
lembaga.
Lembaga social yang juga hokum termasuk salahsatu diantara lembaga social tersebut
memanglah perlu pelembagaan, hal ini agar kaedah- kaedah hukum mudah diketahui, mudah
dimengerti, ditaati, dihargai dalam proses kehidupan sehari- hari yang pada gilirannya
masyarakat menjiwai (internalized). Kemudian, penyelenggaraan hokum adalah sebagai
lembaga social yang erat berkaitan dengan tingkat kemampuan suatu masyarakat.
Masalah berlakunya hukum sehingga dapat efektif di masyarakat termasuk yang dibicarakan
dalam skripsi ini yaitu efektivitas suatu peraturan daerah dalam mendukung terwujudnya
ketertiban dalam masyarakat, maka ada 2 komponen harus diperhatikan yaitu :[21]
1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian oleh hukum atau
dengan kata lain bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat.
2. Sejauh mana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan
yang terencana, dalam hal ini hukum berperan aktif atau dikenal dengan istilah sebagai fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial “a tool of social engineering”.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut pendapat Hugo Sinzheimer bahwa :
“Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara
keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat, dengan
hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari
hal-hal yang berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk
menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya”[22]