Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. wb.

Salam sejahtera bagi kita semua

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, Allah swt oleh
karena berkat rahmat, taufiq dan hidayahnyalah sehingga Makalah sederhana ini dapat
selesai tepat pada waktunya dengan judul “WARTAWAN”

Makalah ini disusun sebagai tugas dari dosen pengajar mata kuliah Hukum PERS.

Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam


penulisannya, baik dari teknik penulisan, metodologi, maupun substansinya, sehingga saya
menghimbau masukan dan kritikanya yang bersifat membangun demi kesempurnaan
Makalah ini. Atas perhatiannya, saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Medan, Februari 2018

Mhd. Fachri Alamsyah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada tiga masalah besar yang dihadapi wartawan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah
rendahnya kesejahteraan hidup, hambatan berserikat, serta minimnya jaminan keselamatan
saat menjalankan tugas.

Terkait kesejahteraan baru sekitar 40 persen perusahaan media yang memberi gaji
layak untuk wartawan.Hal ini ironis mengingat beban kerja wartawan yang tinggi tak
berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan jaminan keselamatan dalam bertugas.
Sementara itu, kontributor, pekerja lepas atau freelance, dan stringer, menghadapi hal yang
lebih parah. Umumnya, mereka bekerja tanpa surat kontrak, tunjangan transportasi, dan
kesehatan.

Masalah kedua,Banyaknya perusahaan media yang alergi dengan serikat buruh.Dari


1.780 perusahaan media yang terdaftar, tak lebih dari 10 persennya saja yang memiliki
serikat buruh. Di antaranya adalah Kompas, Tempo, Bisnis Indonesia, dan The Jakarta
Post. Seharusnya perusahaan media menjadi contoh sebagai organisasi yang memberikan
kebebasan untuk berserikat. Tetapi kalau membuat serikat akan dihambat, atau dipindah,
bahkan di-PHK.

Masalah ketiga adalah minimnya jaminan keamanan dan perlindungan hukum.


Wartawan. Sering mendapat serangan ketika tulisannya mengusik kelompok tertentu. Tak
jarang kelompok tertentu memperkarakan hal tersebut hingga ke meja hijau. Didukung oleh
pengacara handal, kelompok tertentu tersebut kerap memenangkan kasusnya di pengadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah undang – undang No. 40 tahun 1999 melindungi wartawan?


2. Bagaimana dengan kode etik wartawan Indonesia?
3. Bagaimana pertanggung jawabban wartawan?
BAB II
A. Pembahasan

1. Pengertian Wartawan

A. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

war·ta·wan n = orang yg pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat


dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis;
-- amplop cak wartawan yg suka menerima uang atas berita yg dimuatnya; --
cetak wartawan pencari berita untuk media cetak: puluhan -- cetak meliput kegiatan di
Kejaksaan Agung; -- fotowartawan pencari berita dng menggunakan kamera; --
lepas wartawan yg tidak menjadi staf tetap salah satu surat kabar, tetapi hanya
menyumbangkan tulisan mewakili beberapa penerbitan pers;
ke·war·ta·wan·an n yg berhubungan dng wartawan

B. Menurut para ahli

1. Asep Syamsul M. Romli

Berpendapat bahwa wartawan adalah mereka yang mendalami aktivitas


menulis,mengolah dan menyebarluaskan berita serta opini melalui media massa.

2. M. Ridwan
Berpendapat bahwa wartawan adalah orang yang memiliki keterampilan, pengetahuan,
praktis untuk mengumpulkan, menulis dan mengedit berita deangan tujuan untuk
dikabarkan kepada masyarakat luas melalui media massa, surat kabar, majalah atau terbitan
berkala lainnya.

C. Menurut UU No. 40 Tahun 1999

Pasal 1 Ayat 4 (Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik.
D. Menurut Bahasa Asing

Belanda Jurnalistiek

E. Penghantar Wawasan

UU pers No. 40/1999 memang dikenal dengan tegas menyatakan terhadap persnasio
nal tidak dikenai pembredelan. Namun secara politis, pemerintah sering
tak menggubrisnya . pemerintah melalui Departemen Penerangan bisa kapan saja
membrangus pers yang dianggapnya “tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan nasional”.
Deppen pada waktu itu adalah depertemen yang paling ditakuti olehsiapa pun yang
berkecimplung dalam penerbitan pers nasional.

Pers nasional berpijak kepada enam landasan, yakni (1) landasan idiil adalah
pancasila, (2) landasankonstitusional adalah UUD 1945, (3) landasan strategis operasional
adalah garis-garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan yuridis formal adalah tata
nilaidan norma budaya agama yang berlaku pada masyarakat bangsa indonesia, dan (5)
landasan etis opersioanl adalah kodi etik persatuan wartawan indonesia (PWI)

1. Landasan Idiil.

Yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selam ideologi negaratidak diganti, suka
atau tidak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi
nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala sumber
hukum. Di negara manapun, pers sangat dipengaruhi dan sangat bergantung pada
ideologi serta sistem politik yang dianut negar bersangkutan. Dalam Negara monarki, lahir
dan berkembang pers monarki. Dalam negara liberal, lahir
dan berkembang pers liberal kapitalistik. Lalu dalam negara majemuk seperti diindonesia,
apakah etis mengambangkan pers liberal kapitalisitk yang
berorientasikomersial semata dan hanya mengabdi kepada pemilik modal?

2. Landasan Konstitusional.

Landasan konstitusional, berarti menujuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan
amandemen dan ketetapan-ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat,
berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan ataupun tulisan.UUD
bukanlah kitab suci yang tak boleh diganti atau direvisi. UUD tidak perlu disakralkan.
Sangat berbahaya apabila UUD hanya dijadikan alat ritual.UUD harus dijadikan senanriasa
aktual. Pers nasional harus memiliki pijakan konstitusional agar tak kehilangan kendali
serta jati diri dalm kompetisi era global.

3. Landasan Yuridis Formal.

Landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers No.40/1999 untuk pers, dan UU
Pokok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan media telivisi siaran. Sekedar
catatan, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan pers
dalam arti media radio siaran berkala dan media televsisi siaran berkala, diartikan sekaligus
diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta difungsional.

4. Landasan strategis Operasional

Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redasional media pers masing-
masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasioanl. Setiap
penerbitan pers harus memilki garis haluan manajerial dan redaksional.
Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofis, visi, orientasi, kebijakan dan
kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mangatur tentang kebijakan pemberitaan
atau sesuatu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbiutan media pers.

5. Landasan sosiologis Kultural

Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya
agama yang berlaju pada dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa indonesia.
Pers indonesia adalah pers naisonal yang syarat dimuat nilai serta tanggung jawab. Pers kita
bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan
dipagari nilai-nilai kultural.

6. Landasan Etis Propesional.

Landasan etis propesional menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi pers harus
memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya
menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara
filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode
etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri, boleh juga
menyepakati kode etik bersama.
F. Pilar penyangga pers

Pers itu ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada
tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang, tri tunggal/
ketiga pilar itu ialah:

1. Idealisme

2. Pada pasal 6 UU Pokok pers No.40/1999, pers nasional melaksanakan peranan sebagai
berikut:

1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2) Menegaskan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta menghormati
kebhinekaan.

3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat akurat,dan benar.

4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal - hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.

5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Profesionalime berarti isme atau


paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada
umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut
profesional apabila dia memenuhi enam ciri berikut:

a.Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan,


atau pendidikan khsusus dibidangnya.

b.Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang sesuai dengan keahlian, tingkat
pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya.

c.Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh
keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi.

d.Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai
dengan keahliannya.

e.Memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih
dan ditekuninya.
f.Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan profesi tersebut karena
untuk bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu.

“Wartawan” adalah sebuah profesi yang penuh dengan etika dan tata cara maupun
aturan dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar aturan
maupun kode etik tersebut dapat dikatakan bukan sebagai “wartawan”dan hasil karyanya
pun bukan merupakan karya jurnalistik.

Proses kerja wartawan berbeda - beda, tergantung dimedia mana dia bekerja. Ini adalah
salah satu proses kerja wartawan di Koran harian:
1. Pada pagi hari, para redaktur mengadakan rapat untuk memantau peristiwa. Redaktur
kemudian memberi arahan kepada reporter untuk meliputnya. Pada peristiwa khusus,
redaktur akan membuat penugasan tertulis.

2. Reporter kemudian meliput peristiwa di lapangan. Saat ini, wartawan sudah dibekali
dengan alat kominikasi yang canggih, sehingga mereka bisa langsung mengirim berita tak
lama setelah peristiwa terjadi kepada para redaktur.

3. Pada sore, redaktur berkumpul lagi untuk menentukan berita yang akan dimuat di setiap
halaman. Redaktur bertanggungjawab untuk menentukan berita apa yang cocok untuk
halaman masing- masing.

4. Setelah itu redaktur akan mengedit tulisan reporter dan mengatur pemuatan di halaman
masing-masing. Redaktur akan melengkapi foto dan grafis jika diperlukan. Dengan
berbagai kelengkapan tadi, redaktur bertanggungjawab untuk menampilkan setiap halaman
semenarik mungkin.

5. Berita yag sudah diturunkan di setiap halaman kemudian diolah lebih lanjut diolah oleh
bagian layout. Setiap layouter bekerja sama dengan redaktur tulis dan redaktur foto untuk
membuat penampilan halaman seindah mungkin.

6. Selain diedit oleh redaktur halaman, tulisan juga diedit oleh redaktur bahasa. Redaktur
bahasa bertabggungjawab tentang tata bahasa, pengejaan, dan memastikan penggunaan
koma, titik dua, huruf besar secara benar.
7. Setelah halaman sudah jadi, untuk memastikan tampilan, masing-masing halaman akan
dicetak kemudian ditempel di dinding. Redaktur akan melihat sekali lagi tampilan terakhir
sebelum dikirim ke percetakan.

8. Selain redaktur, ada juga pengawas lain yang memantau proses penggarapan halaman.
Pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana juga ikut memantau. Tugas
pemantauan sebenarnya ada di redaktur pelaksana, tapi lebih banyak yang mengawasi tentu
lebih baik.

9. Tahap terakhir adalah pencetakan halaman di kertas koran.

Wartawan itu sifatnya “memburu” berita, jadi apabila terdapat isu mengenai sebut
saja korupsi di suatu perusahaan nasional, pastinya wartawan akan mengusut isu-isu
tersebut, apabila itu dirasa penting untuk diketahui khalayak umum. Dan salah satu sasaran
narasumber wartawan adalah bagian public relations atau bagian Hubungan Masyarakat
(humas) perusahaan tersebut. Jadi, disini peran wartawan bukan saja memberitakan
mengenai sisi positif suatu perusahaan, tetapi mereka juga memberitakan mengenai sisi
negativenya.

Bagaikan sebuah koin yang memiliki dua sisi, itulah yang dirasakan seorang
jurnalis. Di satu sisi dianggap sebagai orang yang bekerja dengan menggunakan media
untuk kepentingan pribadi atau kepentingan perusahaan yang diwakilinya. Di sisi yang lain,
dianggap sebagai sumber informasi yang mampu membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih
mudah dan menghemat waktu, di samping mampu menyediakan informasi yang mungkin
belum tersedia. Sementara seorang praktisi memandang jurnalis sebagai audience, sebagai
perantara untuk mencapai publik yang lebih luas, sebagai gatekeepers atau penyaring yang
mempresentasikan dan merespon kebutuhan publik untuk tahu.

Sementara tanggung jawab utama seorang jurnalis tertuju pada pihak perusahaan
yang segala kebijakannya harus ditaati berdasarkan pengarahan dari editor atau pemimpin
redaksi. Tujuan media adalah menyediakan kebenaran dalam arti mulai mencari kebenaran,
menempatkannya dalam perspektif, dan menerbitkannya sehingga masyarakat
mengetahuinya. Namun media juga tidak terlepas dari usaha yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan, baik dari hasil penjualan, pemasangan iklan, atau keduanya.
Namun sebanyak apapun penghasilan yang diperoleh dari iklan, setiap pemilik
berkeinginan agar medianya itu dibeli dan dikonsumsi masyarakat. Sehingga para jurnalis
tetap dituntut untuk menurun kan berita-berita atau liputan yang baik dan menarik yang
bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk membelinya.

Wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik
Jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawan dalam melaksanakan
kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh Pasal 28 UUD 1945,
yang merupakan landasan konstitusional wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Pasal 1

Wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila taat
Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen serta terpercaya dalam
mengemban profesinya.

Pasal 2

Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut
tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang
dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi
oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis kelamin, orang cacat,
sakit, miskin atau lemah

Pasal 3

Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar,
suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong, bersifat
fitnah, cabul, sadis, dan sensasional.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan imbalan adalah pemberian dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas
kepada wartawan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita dalam bentuk tulisan di
media cetak, tayangan di layar televisi atau siaran di radio siaran.
Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.
2. Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media massa harus
disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.
Pasal 5

Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari
kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi
dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Penyiaran karya
jurnalistik rekaulang dilengkapi dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang
ditampilkan.

Pasal 6

Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama


baik serta perasaan susila seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi
masyarakat.

Pasal 7

Wartawan selalu menguji informasi, menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang
berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah.
Wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran
informasi, dan menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta.

Pasal 8

Wartawan tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 9

Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan
karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan
identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigative.

Pasal 10

Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang
diberitakan.
Pelurusan atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan bersangkutan,
dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.
Pasal 11

Wartawan harus menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi
sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita .

Pasal 10

Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang
diberitakan.
Pelurusan atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan bersangkutan,
dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.

Pasal 11

Wartawan harus menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi
sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita .

Pasal 12

Wartawan tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa
menyebut sumbernya.

Pasal 13

Wartawan dalam menjalankan profesinya memiliki hak tolak untuk melindungi identitas
dan keberadaan narasumber yag tidak ingin diketahui. Segala tanggung jawab akibat
penerapan hak tolak ada pada wartawan yang bersangkutan.

Pasal 14

Wartawan menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan
informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak
menyiarkan keterangan “off the record”.

Pasal 15

Wartawan harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik


Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.

Pasal 16

Wartawan menyadari sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama
berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17

Wartawan mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik
Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.

Etika jurnalistik adalah Standart aturan perilaku dan moral yang mengikat para
jurnalistik dalam melaksanakan pekerjaanya. Etika jurnalistik ini sangat penting dimana
bukan hanya mencerminkan standart kualitas jurnalistik namun untuk menghindari dan
melindungi masyarakat dari kemungkinan dmpak yang merugikan dari tindakan atu
perilaku keliru dari seorang jurnalis.

G. KEKUATAN KODE ETIK

Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggung jawaban tentang penataannya
berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun
pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di
luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap
penerbitan pers. Karenanya saksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan
hak organisatoris dari PWI melalui organ-organnya. Menyimak dari kandungan kode etik
jurnalistik di atas tampak bahwa nilai-nilai moral, etika maupun kesusilaan mendapat
tempat yang sangat urgen, namun walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan
yang bebicara di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan.

Namun terlepas dari apakah kenyataan-kenyataan yang ada tersebut melanggar kode
etik yang ada atau norma/aturan hukum atau bahkan melanggar kedua-duanya, semua ini
tetap terpulang pada pribadi insan pers bersangkutan, dan juga kepada masyarakat, sebab
masyarakat sendirilah yang dapat menilai penerbitan/media yang hanya mencari popularitas
dan penerbitan/media yang memang ditujukan untuk melayani masyarakat, dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tetap menjunjung tinggi kode etiknya.

H. PERTANGGUNG JAWABAN

Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan
bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar,
karikatur dan sebagainya disiarkan. Kaitannya dengan hal di atas, dalam kenyataan yang
ada masih terdapat banyak media cetak yang memuat berita atau gambar yang secara jelas
bertentangan dengan kehidupan sosial yang religius. Namun walau demikian tampaknya
gejala ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu kewajaran dalam rangka
mengikuti perkembangan zaman, sehingga batasan-batasan etika dan norma yang harusnya
dikedepankan, menjadi kabur bahkan tidak lagi menjadi suatu pelanggaran kode etik,
maupun norma/aturan hukum yang ada.

Sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 40/1999 disebutkan bahwa “Pers
nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Serta ditambahkan
lagi dalam Pasal 13 yang memuat larangan tentang iklan, yaitu iklan yang memuat unsur :
Mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, minuman keras, narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya dan penggunaan wujud rokok atau penggunaan rokok.

Pertanggung jawaban dalam hal ini dapat pula terkait dengan keberpihakan seorang
wartawan terhadap seseorang atau suatu golongan tertentu. Namun lagi-lagi dalam
kenyataannya menunjukkan bahwa keberpihakan tersebut tampaknya telah menjadi trend
dan seolah tidak dipermasalahkan lagi.

Melihat wajah pers kita:

antara kebebasan dan kebablasan. Apa yang pantas kita perbincangkan wajah pers nasional
saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki sebuah era baru, era penuh
kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada konstalasi politik dan konstitusi nasional,
yang memungkinkan para insan pers tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena
brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia
kebebasan ini mewabah di mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di
musim hujan.Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan pers
kita sudah kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas
kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di sana - sini muncul suara
keluhan dan nada ketir masyarakat, yang pada intinya bermuara pada
keprihatianan terhadap pemberitaan media massa yang sebagian diantaranya terkesan tidak
lagi mempertimbangkan dampaknya pada khalayak dan tiadanya unsur prioritas
pemberitaan.Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukan semua jenis media
massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah,keprihatinan
publik ada benarnya. sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan.
Di ketiga jenis media massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan
penyelewengan-penyelewengan fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat,
kurang memerhatikan unsur cover both side,diabaikannya kaidah - kaidah kode etik
jurnalistik (KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemasaran dan intimidasi oleh insan
pers.Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang bukan saja
dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga dianggap
meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik
yang menjadi objek pembereritaan itu sendiri. ada baiknya coba kita hitung, adakah
kerugian psikologis yang dialami seseorang yang sengaja “dijebak” menjadi objek dalam
sebuah acara yang seolah-olah dirinya dikejar - kejar hantu atau menjadi seorang tersangka
dalam sebuah tindak kriminal.Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan
Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya? Kita memang
harus berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses
pendewasaan. Cukup wajar jika di sana - sini masih jumpai sejumlah kelemahan,
distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian,memvonis pers sebagai satu-satunya
pihak yang bersalah juga rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu
menjadi gambaran masyarakat kita sendiri?
Barangkali, ada perlunya kita cermati pernyataan Prof, Stephen Hill,Direktur UNESCO
Indonesia.

Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang
menciptakan keduanya.Karena itulah, barang kali yang harus diupayakan agar wajah pers
tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau
keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas
yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan
dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus diletakkan
pada pengembangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri. Dan itu hanya
mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada
dinegeri ini mampu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan
wibawanya. Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa
menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi publik.
Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi
lain, pers juga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak tatanan kehidupan, bahkan di
sintegrisasikan bangsa. Untuk itulah, sekali lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan
kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.

I. Ancaman Kebebasan Pers.

Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers di Indonesia saat ini justru dari kelompok massa.
Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara,namun ancaman tersebut
dari lembaga-lembaga tersebut atau perorangan dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol,
karena mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggung jawaban, dan lembaga-
lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan. Ancaman lain terhadap
kemerdekaan pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan
lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata. peristiwa yang menimpa Tempo,
Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga
bagi masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang lebih
memilih peraturan perundangan di luar UU NO.40/1999 tentang Pers, dari pada
menggunakan uu Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Undang – undang No.40 Tahun 1999 Bab III mengatur tentang kebebasan wartawan
dalam memilih organisasi wartawan, hak dan kewajiban wartawan dalam kode etik
jurnalistik ( pasal 7 ), dan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan
perlindungan hukum ( pasal 8 )

Penerapan kode etik jurnalistik yang merupakan gambaran serta arah, apa dan
bagaimana seharusnya profesi ini dalam bentuk idealnya oleh sebagian pers atau media
massa belum direalisasikan sebagaimana yang diharapkan, yang menimbulkan kesan bahwa
dunia jurnalistik (juga profesi lain) terkadang memandang kode etik sebagai pajangan-
pajangan yang kaku. Namun terlepas dari ketimpangan dari apa yang seharusnya bagi dunia
jurnalistik tersebut, tampaknya hal ini berpulang pada persepsi dan obyektifitas
masyarakat/publik untuk menilai kualitas, bobot, popularitas maupun keberpihakan dari
suatu media massa.

Kebebasan pers yang banyak didengungkan, sebenarnya tidak hanya dibatasi oleh kode
etik jurnalistik, tetapi terdapat aturan lain yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan apa
yang seharusnya. Untuk itulah masih diperlukan langkah-langkah konkrit dalam rangka
mewujudkan peran dan fungsi pers, paling tidak menutup kemungkinan untuk dikurangi
dari penyimpangan tersebut.

B. Saran

Dalam makalah ini saya menyajikan dan menjelaskan materi yang berisi tentang
wartawan dalam Jurnalistik dan juga Hukum Pers yang di dapat dari beberapa referensi.
Saran saya sebagai penulis, Hukum Pers dan terutama aturan – aturan tentang wartawan
ini sangat bagus, bila diterapkan atau dijalankan didalam kehidupan sehari-hari,

Maka diharapkan kita harus lebih memahami tentang pengertian, peranan, lembaga dan
profesi, instrumen dari Pers dan juga wartawan serta mekanisme jurnalistik. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para
pembaca.

Anda mungkin juga menyukai