Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. wb.

Salam sejahtera bagi kita semua

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, Allah swt oleh
karena berkat rahmat, taufiq dan hidayahnyalah sehingga Makalah sederhana ini dapat
selesai tepat pada waktunya dengan judul “WARTAWAN”

Makalah ini disusun sebagai tugas dari dosen pengajar mata kuliah Hukum PERS.

Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam


penulisannya, baik dari teknik penulisan, metodologi, maupun substansinya, sehingga saya
menghimbau masukan dan kritikanya yang bersifat membangun demi kesempurnaan
Makalah ini. Atas perhatiannya, saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Medan, Februari 2018

Muhammad Affandi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pandangan klasik yang dikemukakan de Sola Pool (1972) mengenai posisi
wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah bahwa wartawan mengkonotasikan
dirinya sebagai The St. George, sementara pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon
jurnalistik yang ada hal ini lebih dikenal dengan istilah relationship of government and the
media. Jargon ini berasal dari Amerika Serikat karena di sana keadaan semacam ini
sesungguhnya hanya terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan
dengan pemerintah memang demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa
untuk memberitakan sesuatu yang bersumber dari pemerintah.

Di Amerika Serikat pers begitu bebas untuk memberitakan. Wartawan memiliki


keluasaan yang besar untuk mencari dan menulis apa yang mereka suka. Di negara
demokrasi, peran pers berbeda dengan negara otoriter. Di negara yang menganut sistem
demokrasi, maka pers berfungsi sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain
sebagai kawan juga adalah lawan. Hubungan antara wartawan, elit politik dan pemerintah
begitu mewarnai perkembangan pers di negara demokratis, tidak terkecuali Indonesia.
Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers, namun para
wartawan/jurnalis juga memiliki aturan kebebasan seperti yang terdapat dalam Kode Etik
Jurnalistik Wartawan Indonesia.

Namun, apakah jurnalis hari ini masih tunduk dan patuh terhadap aturan yang
terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia? Kenyataan yang ada di
lapangan memperlihatkan masih banyak jurnalis yang belum profesional dalam
menjalankan tugasnya. Misalnya, wartawan yang tidak tuntas memberitakan suatu
permasalahan, wartawan yang “menjual berita” pada pihak tertentu, wartawan yang tidak
moderat dalam memandang sebuah permasalahan, dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya kemauan para jurnalis untuk memperbarui wawasannya tentang
jurnalistik.

Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam
kamus reportasenya. Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan
dan dimana mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang
mesti ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya.
Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa
menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan
persoalan pelik.

Oleh karena itu untuk menjadi wartawan profesional, seorang wartawan harus
membekali dirinya dengan naluri berita, observasi, keingintahuan, mengenal berita,
menangani berita, ungkapan yang jelas, kepribadian yang jelas, pendekatan yang sesuai,
kecepatan, kecerdikan, teguh pada janji, daya ingat yang tajam, buku catatan, berkas
catatan/referensi, kamus, surat kabar/majalah/internet/tv/radio, dan selalu melakukan
perbaikan demi kemajuan, sehingga publik sebagai “konsumen” berita akan merasa puas
terhadap kinerja sang jurnalis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa hakikat wartawan dalam menjalankan profesinya?


2. Bagaimana definisi dan jenis-jenis wartawan?
3. Bagaimana sikap dan watak wartawan dalam menjalankan tugasnya?
4. Apa sajakah bekal kerja wartawan dalam menjalankan tugasnya?
BAB II
A. Pembahasan

1. Pengertian Wartawan

A. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

war·ta·wan n = orang yg pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat


dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis;
-- amplop cak wartawan yg suka menerima uang atas berita yg dimuatnya; --
cetak wartawan pencari berita untuk media cetak: puluhan -- cetak meliput kegiatan di
Kejaksaan Agung; -- fotowartawan pencari berita dng menggunakan kamera; --
lepas wartawan yg tidak menjadi staf tetap salah satu surat kabar, tetapi hanya
menyumbangkan tulisan mewakili beberapa penerbitan pers;
ke·war·ta·wan·an n yg berhubungan dng wartawan

B. Menurut para ahli

1. Roland E. Wolseley

Berpendapat bahwa wartawan adalah orang yang beraktifitas mengumpulkan,


menulis, menafsirkan, memproses, dan menyebarkan informasi umum secara sistemastis
untuk di terbitkan pada surat kabar, majalah dan disiarkan di stasiun siaran tertentu.

2. M. Ridwan
Berpendapat bahwa wartawan adalah orang yang memiliki keterampilan,
pengetahuan, praktis untuk mengumpulkan, menulis dan mengedit berita deangan tujuan
untuk dikabarkan kepada masyarakat luas melalui media massa, surat kabar, majalah atau
terbitan berkala lainnya.

C. Menurut UU No. 40 Tahun 1999

Pasal 1 Ayat 4 (Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik.
D. Menurut bahasa asing

Amerika serikat reporter

E. Hakikat Wartawan

Wartawan datang dan pergi tetapi hanya sedikit goresan penanya yang dinanti orang.
Jurnalis seperti (almarhum) Muchtar Lubis di Indonesia, Lilian Ross di Amerika, atau
Robert Fisk di Inggris selalu dirindukan pembaca antara lain karena kejujurannya,
pembawaannya yang menyenangkan, serta pikiran dan rasa keingintahuan mereka yang
tinggi.

Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam
kamus reportasenya. Dia berani independen, dia sadar akan kewajibannya mengumpulkan
dan menerbitkan informasi untuk khalayak. Dia tak pernah mencuri-curi omongan dan
bukan tipe orang yang gemar publisitas. Perkataan dan perbuatannya sama dan sejalan. Dia
suka akurasi dan selalu mengecek fakta lebih dari sekali. Dia selalu berusaha melihat dua
sisi dari sebuah kejadian.

Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan dan dimana
mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang mesti
ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya. Dia tahu
bagaimana mengerahkan indra pengamatannya; bisa melihat dan mendengar apa-apa yang
didengar orang-orang di jalanan. Dia tahu, dalam sekali pandang, apakah orang di
hadapannya bercerita apa adanya atau sebaliknya, menyembunyikan sesuatu. Dia tahu cara
menelusuri dokumen, membongkar file dan melacak setiap berkas. Dia tahu apa dan
bagaimana melakukan investigasi, di bidang apapun. Dia telah menyerap keterampilan
jurnalistik tertinggi: kemampuan belajar bagaimana untuk belajar. Dia seorang generalis
dengan satu spesialisi: rasa ingin tahu.

Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa
menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan
persoalan pelik menyangkut orang per orang dan masyarakat secara keseluruhan. Dia,
misalnya, bisa memahami persoalan hukum superpelik, mengerti detil teknis di bidang
sains dan pertahanan militer, dan bisa menggunakan pandangan para ahli dan pakar untuk
menjawab persoalan ekonomi dan politik, serta melakukan semua itu dengan cepat.

Wartawan yang baik, tahu bahwa nyawa sebuah berita–tak peduli apapun mediumnya–
terletak pada kejelasan tulisan: pendek dan kata-kata yang akrab, kalimat yang sederhana
dan bahasa yang elok. Wartawan yang baik, orangnya aktif. Dia terus membuka mata dan
telinga publik untuk berita.

Wartawan yang baik, orangnya teguh dan menjunjung tinggi fakta. Ideologinya bisa dibaca
dari tulisan-tulisannya: pembelaan terhadap kepentingan publik dan perlawanan atas segala
bentuk ketidakadilan. Dia tak mudah patah semangat dan mundur karena gangguan atau
kesulitan selama bekerja. Dia selalu berhasil melawan godaan untuk mencampurkan fakta
dan opini sedemikian rupa, sehingga dia bisa melaporkan sebuah kejadian yang benar.

Wartawan, entah yang bekerja di surat kabar, majalah, radio, televisi, maupun yang di
internet beroperasi 65 hari setahun dan 24 jam sehari. Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan,
tetapi sebuah jalan hidup di mana orang dituntut untuk selalu mencari gagasan baru – it is
not just a job, it’s a way of life and you are always on the look out for a new idea. David
Talbot, pemimpin redaksi Salon.com, ketika menanggapi buku The Elements of Jurnalism
mengatakan bahwa jurnalisme merupakan panggilan jiwa yang tinggi. Semua yang terlibat
mempunyai kewajiban yang lebih besar kepada audiences daripada kepada tuntutan pasar.
Mereka seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar diri mereka untuk menjadi khusus
serta sekaligus mengemban kewajiban yang khusus pula. Kewajiban yang diemban
wartawan melahirkan tanggung jawab yang harus mereka pikul. Akar dari tanggung jawab
ini terutama berasal dari kenyataan bahwa kita ini selain sebagai individu juga menjadi
anggota masyarakat, yang dengan keputusan dan tindakan kita, dapat mempengaruhi orang
lain. Semakin besar kekuasaan atau kemampuan kita mempengaruhi orang lain, semakin
berat pula kewajiban moral kita.

Berbicara soal tanggung jawab, Louis W. Hodges dalam Responsible Journalism


menyatakan bahwa ada tiga kategori tanggung jawab yang bisa diterapkan dalam dunia
pers.

Pertama, tanggung jawab yang didasarkan pada penugasan. Ada atasan yang memberi tugas
kepada bawahan bagaikan pada hirarki militer, ataupun hubungan guru-murid, majikan-
karyawan. Dalam masyarakat tertentu, tanggung jawab pers bisa ditentukan oleh
pemerintah. Pers hanya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa. Pemerintah otoriter
bisa mendikte pers dengan larangan-larangan untuk tidak melakukan atau mengharuskan
memberitakan ini dan itu.

Kedua, tanggung jawab berdasarkan kontrak. Tanggung jawab ini berdasarkan


perjanjian tidak langsung dengan masyarakat. Kedudukan kedua belah pihak adalah setara.
Masyarakat menjanjikan kepada pers sebuah kebebasan untuk melaksanakan tugasnya
dengan asumsi bahwa pers akan melayani kebutuhan masyarakat akan informasi dan opini.
Ketiga, tanggung jawab yang timbul dari diri sendiri. Wartawan sejati biasanya
mengembangkan pengertian tentang siapa sebenarnya mereka itu. Mereka dapat
membangun dalam jiwa mereka naluri untuk berbuat kebaikan. Hal ini dapat mereka
laksanakan berkat dorongan, demi prinsip, dan layanan kepada orang lain.

Terkait dengan tanggung jawab berdasarkan kontrak dan tanggung jawab yang muncul dari
diri sendiri, pers itu bersifat bebas dan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk
menyampaikan berita-berita yang akurat, menginformasikan kinerja pemerintah, tidak
masuk ke masalah pribadi, atau menyakiti seseorang, dan sebagainya.

F. Sikap dan Watak Wartawan

Semua wartawan pada umumnya hidup dengan sejumlah nilai-nilai yang dipercaya bisa
menjaga profesionalisme yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Semua
wartawan memang hidup dengan nilai-nilai yang ketat. Ada berbagai aturan, etika, dan
tatalaku yang umumnya harus dipenuhi. Misalnya, selain etika jurnalistik yang dianut
dalam organisasi, ada juga peraturan perusahaan di tempat mereka bekerja. Berikut adalah
18 sikap dan watak wartawan yang merupakan pedoman profesi, sekaligus nilai-nilai yang
harus dipertahankan dalam bekerja.

1. Wartawan sebagai panggilan hidup. Hidup sebagai wartawan adalah

hidup yang total, yaitu menyerahkan diri secara penuh untuk mengabdi

pada kepentingan orang lain. Pekerjaan seorang wartawan menuntut

setiap saat dirinya berada di suatu tempat, kapan, dan di mana saja mereka dibutuhkan.

2. Sikap kritis dan selalu ingin tahu. Wartawan pada hakekatnya harus

selalu mengembangkan sikap kritis, peka, ingin tahu yang besar pada

setiap persoalan dan peristiwa. Seorang wartawan sebaiknya setiap hari

selalu membaca berbagai koran, majalah, dan buku terbitan dalam dan

luar negeri. Semuanya dibaca bukan karena memang mendesak untuk

dibaca, tapi untuk mengantisipasi agar tak ada berita penting yang

lolos dari pengamatan.

3. Kecepatan dan ketepatan. Seorang wartawan tak membiasakan diri


untuk menunda pekerjaan. Berita harus selalu dikejar, setelah itu

didiskusikan dan ditulis tanpa mengabaikan faktor kecepatan (deadline)

dan ketepatan (akurasi) yang jadi salah satu ukuran prestasi kerja

seorang wartawan.

4. Etos kerja yang tuntas. Etos ini menuntut cara kerja yang tak kenal

lelah. Pekerjaan rutin pada hekikatnya tak akan menjadikan wartawan

kian lemah. Justru sebaliknya, pekerjaan akan kian menantang munculnya

kreativitas baru.

5. Lobbying. Lobbying dengan berbagai pihak (instansi maupun

perorangan) mutlak diperlukan wartawan guna menjaring informasi,

sekaligus menambah dan memperluas wawasan.

6. Sikap kelembagaan. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan

karena itu dibutuhkan kerja sama tim dalam lembaga.

7. Sikap saling koreksi. Pada dasarnya wartawan harus mengembangkan

sikap saling koreksi di antara sesamanya. Koreksi jangan menunggu

datang dari orang luar. Kalau hal terakhir yang terjadi, berarti si

wartawan sedang digugat dan diancam pihak luar untuk diperadilankan.

8. Sikap mencintai pekerjaan. Mencintai pekerjaan berarti selalu

berupaya membuat karya sesempurna mungkin. Dalam persoalan yang

berhubungan dengan orang atau pihak lain, wartawan akan berhati-hati

untuk tidak membuat pemberitaan yang bisa melukai.

9. Sikap bersaing secara sehat. Setiap wartawan akan terlibat dalam

persaingan meningkatkan kemampuan dan membuat karya yang lebih


berkualitas. Sikap persaingan sehat ini akan mendorong munculnya

dinamika, wacana, dan model jurnalisme yang lebih bermutu.

10. Bekerja terencana. Wartawan selalu bekerja secara terencana untuk

memperoleh hasil yang maksimal. Dalam perencanaan ada sasaran dan

target yang hendak dicapai.

11. Wartawan sebagai pengamat. Wartawan pada hakikatnya adalah seorang

pengamat yang cermat. Terkadang ia juga dituntut jadi peneliti.

Kecermatan dan pengetahuan akan suatu hal dibutuhkan untuk memperoleh gambaran
lengkap, penjelasan latar belakang yang cukup detil, dan akurasi suatu peristiwa hingga
laporan tidak kering dan dangkal.

12. Sikap tak apriori. Wartawan harus memiliki komitmen yang tinggi

terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia tak memojokkan narasumber dalam

pemberitaannya apalagi dengan cara tak manusiawi atau pun bersikap

sinis pada sebuah persoalan. Wartawan juga tak menempatkan dirinya

sebagai “lawan” yang siap menerkam seseorang yang melakukan kesalahan. Wartawan
juga tak boleh melakukan vonis terhadap suatu permasalahan yang masih “kabur” tingkat
kebenarannya.

13. Sikap sangsi yang santun. Wartawan wajib selalu meneliti dan

menguji kebenaran sebuah berita serta memperkayanya dengan berbagai

fakta baru. Setiap pernyataan tak boleh langsung dipercaya, tapi kita harus
menyangsikannya secara santun (quit doubt of disbelieve) tanpa perlu meremehkan.

14. Sikap sebagai inspektur. Wartawan pada dasarnya bukan sekadar

melakukan fungsi sebagai kamerawan, juru penerang, pemandu (guide),

dan sastrawan tapi juga harus menjalankan fungsi seorang inspektur

yang baik. Wartawan tidak hanya bisa meng“angguk-angguk” mendengar


penjelasan seorang pejabat, tapi juga bisa mencari keanehan, rekayasa,

dan ketidakberesan suatu hal yang dilihatnya, mirip dengan seorang

penilik sekolah.

15. Kritik untuk perbaikan. Pada dasarnya kritik wartawan adalah

konstruktif. Jika wartawan melancarkan kritikan, ia selalu memberi

kesempatan orang yang dikritiknya untuk bicara menjelaskan dan

memberikan argumentasi. Dengan demikian, dalam menjalankan fungsi

kontrolnya, wartawan selalu bertindak arif dengan mengemukakan hal-hal

yang baik dan perlu diteladani.

16. Hati-hati terhadap unsur "SARA". Wartawan selalu berhari-hati

terhadap berita yang berkaitan dengan pertikaian suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA) dan tidak mempolitisir sebuah pertikaian biasa, adu domba, atau sebuah
kriminalitas menjadi pertikaian SARA. Wartawan harus melakukan identifikasi yang cukup
dengan mempertimbangkan kemungkinan paling buruk dari pemberitaannya. Wartawan
pada hakekatnya tidak pernah “menyiramkan bensin ke dalam kobaran api’.

17. Check and recheck. Wartawan tidak menelan mentah-mentah setiap

informasi tanpa mengecek kebenaran informasi yang diterimanya. Ia

selalu melaporkan selengkap dan seobjektif mungkin setiap kejadian

tanpa memasukkan opini dalam laporannya.

18. Memberi yang terbaik. Wartawan selalu bersikap cepat tanggap

terhadap keluhan dari luar, terutama terhadap media tempatnya bekerja.

Ia selalu mempersembahkan hal yang terbaik pada publik. Apa yang

dikerjakannya semata bukan urusan teknis, tapi juga mencakup masalah

etika.
G. Kompetensi Wartawan

Seorang wartawan atau jurnalis membutuhkan kompetensi. Berdasarkan rumusan Dewan


Pers, ada tiga kategori kompetensi yang harus dimiliki oleh jurnalis, antara lain:

1. Kesadaran (awareness), yakni jurnalis menyadari setiap tindakan jurnalistiknya akan


dipengaruhi oleh etika, karir, hukum, dan norma-norma. Artinya, jurnalis bukan orang
bebas yang bisa berbuat seenaknya.

2. Pengetahuan (knowledge). Jurnalis adalah seorang ilmuwan. Karena sebagai ilmuwan,


jurnalis dituntut mempunyai pengetahuan yang layak, yakni pengetahuan khusus dan
teknis. Mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang
kewartawanan yang bersangkutan. Tidak kalah penting, jurnalis harus tahu bagaimana teori
dan prinsip jurnalistik.

3. Keterampilan (skill). Jurnalis harus mempunyai keterampilan. Meliputi keterampilan


menulis, wawancara, riset, investigasi, menganalisis arah pemberitaan, serta dapat
mengoperasikan perangkat-perangkat teknis seperti kamera, komputer, internet, dan lain
sebagainya.

Beberapa kompetensi lainnya yang perlu diperhatikan oleh jurnalis muda, calon
jurnalis, atau yang ingin menjadi jurnalis.

1. Passion (keinginan yang besar)

Akan lebih berkualitas kalau menjadi jurnalis muncul karena passion, bukan karena pilihan
terakhir setelah di mana-mana tidak cocok. Memang tidak semuanya lagsung muncul
seketika, tapi wartawan yang lahir karena kegembiraan menjadi wartawan dan berusaha
keras memampukan dirinya dengan maksimal, hasilnya akan berbeda. Bukan karena
(sementara) lowongan yang tersedia hanya itu.

2. Tidak Alergi Teknologi

Dewasa ini, masih ada wartawan yang tidak menguasai teknologi yang terus berkembang.
Misalnya wartawan tidak tahu cara mengirim berita atau foto lewat email. Sebenarnya
wartawan sekarang jauh lebih enak, karena semua bisa dilakukan dalam satu genggaman
misalnya lewat BlackBerry. Para wartawan yang tidak terlatih untuk mencatat berita,
merekam, dan meramunya mejadi satu berita yang utuh dan berkualitas, hanya bisa
mengandalkan editor di kantor yang akan merapikan tulisannya saja.

3. Punya Naluri Ingin Tahu


Wartawan harus mengasah kemampuan otak dan diri untuk punya naluri ingin tahu, mau
belajar hal baru, dan mau mencari tahu hal-hal yang tidak dia sukai. Kurang etis kalau
wartawan memberikan satu jawaban “penolakan” ketika ditugaskan untuk meliput hal yang
(mungkin) tidak dia sukai. Kalimat seperti, “Saya tidak mau meliput atau wawancara,
karena saya tidak suka!”. Jika wartawan sudah menutup diri seperti itu, berarti wartawan
tersebut tidak profesional. Wartawan bisa mengeksplorasi banyak hal yang mungkin orang
tidak pernah sangka.

4. Berwawasan Luas dan Mau Belajar

Seseorang yang ingin menjadi wartawan, harus memiliki wawasan yang luas dan mau terus
belajar, karena profesi wartawan nantinya akan bertemu dengan beragam narasumber.
Membaca, diskusi, dan investigasi (pribadi) tentang banyak hal, akan membantu wartawan
menjadi pintar, cerdas, dan berwawasan.

5. Independen

Seorang wartawan harus berpihak pada fakta dan data, bukan berpihak pada orang atau
lembaga tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan sang wartawan, misalnya
pemilik modal tempat ia bekerja. Wartawan tidak boleh sekali-kali menjadi “penyambung
lidah” narasumber semata, tanpa mempunyai data, fakta, dan validitas informasi yang
benar. Independensi itu harus dimilik wartawan karena kredibilitas berita atau informasi
yang diberitakan haruslah menjadi acuan agar wartawan tersebut dihargai dan dipercaya.

6. Wartawan itu Bukan Pemeras

Wartawan bukan pengemis uang, bukan pemeras, dan bukan calo. Wartawan adalah suatu
profesi mulia yang menyiarkan berita semata untuk kebutuhan publik, bukan karena adanya
imbalan dari pihak tertentu.

H. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)

Adanya KEWI sudah menunjukkan profesionalitas wartawan. Pada KEWI pasal 2


(Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik) terdapat penafsiran mengenai cara-cara yang profesional itu, yaitu:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan
pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber
dan ditampilkan secara berimbang;

e. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

f. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;

g. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi


bagi kepentingan publik.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi
sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan
integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan
menaati Kode Etik.

Kode etik jurnalistik dirumuskan di kongres Persatuan Wartawan Indonesia pada


tahun 1947 di Malang. Kemudian pada tahun 2006, disepakati bersama kode etik jurnalistik
oleh banyak organisasi wartawan. Berangkat dari pemikiran bahwa wartawan harus
memiliki pedoman (guidance) ketika menjalankan tugas sama seperti profesi lainnya,
misalnya dokte,r atau guru kode etik wartawan mengatur kepantasan, kepatutan, atau
keelokan.

Kode etik menjadi krusial karena kebebasan wartawan bisa kebablasan tanpa ada
pengaturan yang jelas. Penggunaan kode etik akan meminimalisir potensi konflik dari suatu
berita. Misalnya, ketika suatu pihak tidak senang atas suatu berita yang menyangkut dengan
dirinya boleh menggunakan hak jawabnya di media tersebut. Atau, ketika terjadi kekeliruan
dalam penulisan berita, esoknya sudah terpampang ralat, klarifikasi, dan sebagainya.

Pasal Kode Etik

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang


benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran serta tidak melakukan
plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan
cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi


latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani hak jawab.

Penerapan Kode Etik

Kode etik jurnalistik wartawan Indonesia tidak bersifat memaksa. Penerapannya


bergantung pada individu masing-masing. Jadi, penerapan kode etik oleh wartawan
Indonesia ini sulit dimonitor. Institusi pers atau organisasi pers yang menaungi wartawan
hendaknya memberi sanksi (indispliner) ketika menemukan wartawannya melanggar kode
etik.

Sekali lagi, penerapan kode etik muncul dari rasa tanggung jawab wartawan itu sendiri.
Jadi, mendorong penerapan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia harus dimulai dari
individu wartawan, media, kemudian ke lingkup masyarakat.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan

1. Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam
kamus reportasenya. Dia berani independen, dia sadar akan kewajibannya mengumpulkan
dan menerbitkan informasi untuk khalayak. Dia tak pernah mencuri-curi omongan dan
bukan tipe orang yang gemar publisitas. Perkataan dan perbuatannya sama dan sejalan. Dia
suka akurasi dan selalu mengecek fakta lebih dari sekali. Dia selalu berusaha melihat dua
sisi dari sebuah kejadian.

2. Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan dan dimana
mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang mesti
ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya. Dia tahu
bagaimana mengerahkan indra pengamatannya; bisa melihat dan mendengar apa-apa yang
didengar orang-orang di jalanan. Dia tahu, dalam sekali pandang, apakah orang di
hadapannya bercerita apa adanya atau sebaliknya, menyembunyikan sesuatu. Dia tahu cara
menelusuri dokumen, membongkar file dan melacak setiap berkas. Dia tahu apa dan
bagaimana melakukan investigasi, di bidang apapun. Dia telah menyerap keterampilan
jurnalistik tertinggi: kemampuan belajar bagaimana untuk belajar. Dia seorang generalis
dengan satu spesialisi: rasa ingin tahu.

3. Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa
menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan
persoalan pelik menyangkut orang per orang dan masyarakat secara keseluruhan. Dia,
misalnya, bisa memahami persoalan hukum superpelik, mengerti detil teknis di bidang
sains dan pertahanan militer, dan bisa menggunakan pandangan para ahli dan pakar untuk
menjawab persoalan ekonomi dan politik, serta melakukan semua itu dengan cepat.

4. Wartawan adalah sebuah profesi bagi pemburu berita, atau biasa pula disebut sebagai
juru warta, pembawa berita, newsgatter, pressman, komunikattor massa, nyamuk pers, kuli
tinta, dan pembela kepentingan rakyat. Dari segi intilah wartawan merupakan orang yang
pekerjaannya mencari berita. Selanjutnya, berita-berita tersebut diolah dan disusun untuk
dikirim ke meja redaksi yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
5. Tugas wartawan itu sendiri sebagai peliput, penyusun, dan penyebar informasi. Hal
pertama yang dilakukan wartawan adalah meliput setiap peristiwa yang pada akhirnya
dijadikan bahan berita dan disampaikan kepada publik untuk dijadikan informasi. Secara
garis besar wartawan dibagi menjadi 4 macam, yaitu: Wartawan profesional, Wartawan
freelance, Koresponden, dan Wartawan kantor berita.

6. Ada 18 sikap dan watak wartawan yang merupakan pedoman profesi, sekaligus nilai-
nilai yang harus dipertahankan dalam bekerja wartawan, yaitu: sebagai panggilan hidup,
sikap kritis dan selalu ingin tahu, kecepatan dan ketepatan, etos kerja yang tuntas, lobbying,
sikap kelembagaan, sikap saling koreksi, sikap mencintai pekerjaan, sikap bersaing secara
sehat, bekerja terencana, wartawan sebagai pengamat, sikap tak apriori, sikap sangsi yang
santun, sebagai inspektur, kritik untuk perbaikan, hati-hati terhadap unsur "SARA", Check
and recheck, dan memberi yang terbaik.

Anda mungkin juga menyukai