Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-

negara maju,dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di

negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit/ gangguan otak yang

biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur

kortikal yang multiple (multiple higher cortical function), termasuk didalamnya:

daya ingat, daya piker, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,

kemampuan belajar, berbahasa dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai da

nada kalanya diawali dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian

emosi, perilaku social atau motivasi hidup.1

Asosiasi Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai

“Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering

terjadi pada pasien dengan demensia”.2

1.2. Epidemiologi

Alzheimer’s Disease International memperkirakan bahwa ada sekitar 30 juta

jiwa di dunia yang mengalami demensia dengan 4,6 juta kasus-kasus baru di

setiap tahunnya. Jumlahnya akan terus meningkat hingga lebih dari 100 juta jiwa

pada tahun 2050. Perkiraan ini diperoleh berdasarkan pada populasi yang

terperinci terhadap prevalensi demensia di negara-negara yang berbeda.3

1
Demensia sebenarnya penyakit penuaan. Di antara orang Amerika yang

berusia 60 tahun, kira-kira 5% mengalami demensia berat dan 15% mengalami

demensia ringan. Pada usia > 80 tahun sekitar 20% mengalami demensia berat.

50-60% pasien demensia mengalami demensia tipe Alzheimer yang merupakan

demensia tipe tersering. Lebih dari 2 juta orang dengan demensia dirwat di rumah.

Faktor resiko terjadinya demensia tipe Alzheimer meliputi wanita, memiliki “first

degree relative” dengan penyakit tersebut, dan memiliki riwayat trauma kepala.

Sindrom Down juga berhubungan dengan terjadinya demensia tipe Alzheimer.2

Demensia tersering kedua adalah demensia vaskular yang disebabkan oleh

penyakit serebrovaskular. Hipertensi merupakan faktor predisposisi pada penyakit

ini. Demensia vaskular terjadi 15-30% pada semua kasus demensia. Demensia

vaskular paling banyak terjadi pada orang-orang berusia 60-70 tahun dan lebih

sering pada pria. 10-15% pasien mengalami demensia vaskular dan demensia

Alzheimer. Sekatar 1-5% dari kasus demensia memiliki penyebab lainnya antara

lain trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, penyakit

Huntington, penyakit Parkinson, dan lain-lain.2

Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir

80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian

berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris

(Burns et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20%

untuk BPSD pada orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi

kognitif pada demensia yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD

cenderung berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang paling persisten.4

2
1.3. Etiologi dan Patofisiologi5

Demensia memiliki banyak penyebab namun demensia tipe Alzheimer dan

vaskular mencakup 75% kasus.

Demensia Alzheimer

Diagnosis pasti demensia Alzheimer ini diperoleh dengan pemeriksaan

neuropatologi, namun umumnya didiagnosis setelah penyebab-penyebab

demensia lain yang tersingkirkan dengan pemeriksaan klinis.

Faktor genetik.

Penyebab pasti demensia masih belum diketahui berdasarkan penelitian molekular

didapatka adanya deposit amiloid pada jaringan otak. 40% penderita Alzheimer

didapatkan riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, bahkan pada beberapa

kasus transmisi genetik ini bersifat autosomal dominan.

Neuropatologi.

Pada pemeriksaan otak penderita Alzheimer didapatkan atrofi yang bersifat difus

dengan sulkus korteks yang mendatar dan ventrikel otak yang membesar. Pada

gambaran mikroskopisnya didapatkan plak senilis, kekusutan serat-serat neuron,

hilangnya sel-sel neuron, hilangnya sinaps, dan adanya degenerasi neurovaskular.

Neurotransmitter.

Neurotransmiter yang berperan dalam patofisiologi Alzheimer adalah asetilkolin

dan norepinefrin, yang didapatkan kurangnya aktivitas kolinergik dan

norepinefrin. Beberapa penelitian menunjukan hasil yang mendukung hipotesa

adanya degenerasi neuron kolinergik. Selain itu didapatkan juga konsentrasi

asetilkolin dan kolin asetiltransferase yang menurun. Kolin asetiltransferase

adalah enzim penting untuk sintesis asetilkolin. Hipotesis adanya defisit

3
neurologis ini juga didukung oleh suatu penelitian observasional yaitu

penggunaan antagonis kolinergik (seperti skopolamin dan atropin) yang

mengganggu fungsi kognitif, dan penggunaan agonis kolinergik (seperti

physostigmine dan arecoline) yang meningkatkan kemampuan kognitif. Terdapat

2 neurotransmiter lain yang diduga berperan juga pada patofisiologi penyakit

Alzheimer yaitu somatostatin dan kortikotropin.

Penyebab lainnya.

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan penyakit Alzheimer adalah

metabolisme fosfolipid membran saraf yang terganggu dan toksisitas alumunium.

Demensia Vaskular

Demensia vaskular diduga akibat penyakit vaskular serebral yang bersifat

multipel. Demensia vaskular umumnya terjadi pada pria, khususnya mereka yang

memiliki hipertensi atau faktor resiko penyakit kardiovaskular. Demensia

vaskular merupakan akibat dari adanya oklusi pembuluh darah otak yang

kemudian menyebabkan infark dan membentuk lesi parenkim yang bersifat

multipel. Oklusi ini dapat berasal dari plak arteriosklerosis atau tromboemboli

(misalnya berasal dari katup jantung).

Binswanger’s disease.

Disebut juga ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, merupakan bagian dari

demensia vaskular, yang didapatkan infark-infark kecil yang bersifat multipel

pada substansi alba.

4
Penyakit Pick.

Pada penyakit Pick ditemukan adanya atrofi pada regio frontotemporal yang luas.

Penyebab penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini terjadi sebanyak 5% dari

total jumlah demensia ireversibel dan banyak terjadi pada pria.

Penyakit Creutzfeldt-Jakob.

Merupakan penyakit degeneratif otak yang jarang. Disebabkan oleh agen yang

progresif secara lambat dan ditransmisikan, paling mungkin suatu prion, yang

merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA.

Penyakit Huntington.

Demensia pada penyakit Huntington memperlihatkan gerakan motorik yang

lambat, namun memori dan bahasa relatif intak pada stadium awal penyakit.

Demensia pada penyakit huntington yang berat didapatka depresi dan psikosis

yang tinggi serta didapatkan gerakan koreoartetoid yang klasik.

Penyakit Parkinson.

Terjadi akibat adanya gangguan pada ganglia basalis dan umumnya berhubungan

dengan demensia dan depresi. Gerakan motorik yang lambat pada penyakit

parkinson disertai juga dengan kemampuan berpikir yang lambat.

Lewy’s Body

merupakan demensia yang menyerupai alzheimer dan ditandai halusinasi.

Manifestasinya biasanya selain halusinasi ada perbincangan selama masa

pertumbuhan.

Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala.

Demensia dapat merupakan suatu sekuele dari trauma kepala, demikian juga

berbagai sindrom neuropsikiatrik.

5
1.4. Klasifikasi

DSM IV (2000) DSM V (2013)


1. Delirium 1. Delirium
 Delirium karena kondisi medis umum.  Delirium
 Delirium akibat zat.  Other Specified Delirium
 Delirium etiologi multipel, seperti  Unspecified Delirium
trauma kepala dan penyakit ginjal
 Delirium yang tidak tergolongkan,
seperti kurang tidur
2. Demensia 2. Mayor Neurocognitive Disorder
3.Gangguan amnestik 3. Mild Neurocognitive Disorder
4.Gangguan kognitif yang tak
tergolongkan
Tabel 2.1. klasifikasi gangguan mental organik.6,7

1.5. Manifestasi klinis

Gejala gejala yang umum terjadi pada gangguan otak demensia adalah:

1. Gangguan daya ingat

2. Orientasi

3. Gangguan bahasa

4. Perubahan Kepribadian

5. Psikosis

6. Gangguan lain

a. Psikiatris

b. Neurologis

c. Reaksi katastropik

d. Sindrom sundowner

6
Pada demensia, terdapat suatu penurunan fungsi otak yang biasanya

merupakan kelainan akibat adanya penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau

progesif serta terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel),

termasuk daya ingat, daya pikir, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,

dan daya kemampuan menilai. Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif dan ada

kalanya diawali oleh kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi,

perilaku sosial, atau motivasi. Sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer,

penyakit serebrovaskuler, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder

mengenai otak.

Dalam menilai ada atau tidaknya demensia, perhatian khusus perlu

diberikan untuk menghindari tanda yang positif palsu, yaitu faktor motivasional

atau emosional, terutama depresi, sebagai penyebab dari kegagalan untuk

berkarya, disamping gejala tambahan, seperti kelambanan motorik dan kelemahan

fisik secara umum, dan jangan hanya menduga sebagai penyebab hilangnya

kemampuan intelektual.

Demensia menimbulkan penurunan yang cukup besar dalam fungsi

intelektual, dan biasanya agak mengganggu kegiatan seseorang dalam kehidupan

sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air kecil dan

besar. Manifestasi dari penurunan kemampuan ini kebanyakan bergantung pada

lingkungan sosial dan budaya pasien. Perubahan dalam kinerja peran, seperti

penurunan kemampuan mempertahankan atau mencari pekerjaan, jangan

digunakan sebagai criteria penegakkan diagnosis demensia sebab perbedaan besar

antar budaya, dan karena sering terdapat perubahan-perubahan yang ditimbulkan

dari luar dalam tersedianya pekerjaan dalam suatu budaya tertentu.

7
1.5.1. Gejala Perilaku pada Demensia

A. Disinhibisi

Pasien dengan disinhibisi berperilaku impulsif, menjadi mudah terganggu,

emosi tidak stabil, memiliki wawasan yang kurang sehingga sering menghakimi,

dan tidak mampu mempertahankan tingkat perilaku sosial sebelumnya. Gejala lain

meliputi: menangis, euforia, agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain dan

benda-benda, perilaku melukai diri sendiri, disinhibisi seksual, agitasi motorik,

campur tangan, impulsif, dan mengembara.8

B. Agitasi

Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik secara verbal,

vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel berikut:

Perilaku fisik non agresif: Perilaku verbal non agresif:

 Kegelisahan umum  Negativism

 Mannerism berulang  Tidak menyukai apapun

 Mencoba mencapai tempat yang berbeda  Meminta perhatian

 Menangani sesuatu secara tidak sesuai  Berkata-kata seperti bos

 Menyembunyikan barang  Mengeluh/melolong

 Berpakaian tidak sesuai atau tidak  Interupsi yang relevan

Berpakaian  Interupsi yang irelevan


 Menghukum berulang
Perilaku fisik agresif: Perilaku verbal agresif:

 Memukul, Mendorong  Menjerit

 Kejam terhadap manusia  Mengutuk

 Menggaruk, Merebut barang  Perangai meledak-ledak

 Menendang dan menggigit  Membuat suara aneh

Tabel 2.2 Subtipe Agitasi8

8
C. Wandering

Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:8

Memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)

Menguntit

Berjalan tanpa tujuan

Berjalan waktu malam

Aktivitas yang berlebihan

Mengembara, tidak bisa menemukan jalan pulang

Berulang kali mencoba untuk meninggalkan rumah

D. Reaksi Ledakan Amarah / Katastrofik

Dalam salah satu penelitian terhadap 90 pasien dengan gangguan AD cukup

ringan, ledakan marah tiba-tiba terjadi pada 38% pasien. Selain itu, didapatkan

hal-hal sebagai berikut: 8

ledakan amarah tiba-tiba dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas dan

perilaku agresif

tidak ada hubungan yang ditemukan antara ledakan amarah dan penampilan

sikap apati, depresi, atau kegelisahan

perilaku agresif memberikan kontribusi paling banyak terkait gejala

nonkognitif dan ledakan marah tiba-tiba

reaksi bencana dapat dipicu oleh gejala kognitif dan non-kognitif, seperti :

kesalahpahaman, halusinasi, dan delusi.

9
2.2 Gejala Psikologis pada Demensia

A. Gejala Mood

1. Depresi

Adanya depresi pada pasien dengan demensia sebelumnya mungkin

memperburuk defisit kognitif pasien. Gangguan depresi harus dipertimbangkan

ketika ada satu atau lebih kondisi berikut ini: mood depresi yang meresap dan

anhedonia, pernyataan menyalahkan diri dan menyatakan keinginan untuk mati,

dan riwayat depresi pada keluarga atau pasien sebelum timbulnya demensia.8.9

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan AD

menunjukkan mood depresi terjadi paling sering (40-50% pasien) dan gangguan

depresi mayor yang tidak begitu umum (10 - 20%). Riwayat premorbid depresi

meningkatkan kemungkinan perkembangan depresi pada AD.3 Pasien dengan

demensia vaskular dilaporkan mengalami mood depresi lebih sering daripada

pasien dengan AD.10

2. Apati

Apati terlihat menonjol pada demensia frontotemporal, penyakit Alzheimer,

dan kelumpuhan supranuclear progresif. Apati terjadi hingga 50% dari pasien

pada tahap awal dan menengah AD dan demensia lainnya. Pasien yang apati

menunjukkan kurangnya minat dalam kegiatan sehari-hari, perawatan pribadi dan

penurunan dalam berbagai jenis interaksi sosial, ekspresi wajah, modulasi suara,

respon emosional, dan inisiatif.8

10
3. Kecemasan

Kecemasan dalam demensia mungkin terkait dengan manifestasi BPSD lain

atau terjadi secara independen. Pasien demensia dengan kecemasan akan

mengekspresikan keprihatinan

mengenai masalah keuangan, masa depan, kesehatan (termasuk memori

mereka), kekhawatiran tentang acara nonstressful sebelumnya, dan kegiatan

seperti berada jauh dari rumah.8

Karakteristik gejala kecemasan lain dari pasien demensia adalah takut

ditinggalkan sendirian. Ketakutan ini dapat dianggap fobia apabila kecemasan di

luar batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang memperlihatkan fobia

lainnya, seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap, atau aktivitas seperti mandi.8

B. Gejala Psikotik

1. Waham

Manifestasi psikosis mencakup gejala positif (waham, halusinasi, gangguan

komunikasi, aktivitas motorik yang abnormal) dan gejala negatif (avolition,

kemiskinan isi pikiran, afek datar).

Lima tipe waham terlihat pada demensia (terutama demensia tipe

Alzheimer), yaitu:8

a. Barang kepunyaannya telah dicuri.

b. Rumah bukan kepunyaannya (misidentifikasi).

c. Pasangan (atau pengasuh lainnya) adalah seorang penipu (SindromCapgras).

d. Pengabaian / Ditinggalkan

e. Ketidaksetiaan.

11
2. Halusinasi

Perkiraan frekuensi halusinasi pada demensia berkisar dari 12%-49%.

Halusinasi visual adalah yang paling umum (terjadi pada 30% pasien dengan

demensia) dan ini lebih sering terjadi pada demensia yang moderat dibandingkan

demensia ringan atau berat. Gambaran halusinasi secara umum berupa gambaran

orang-orang atau hewan-hewan. Pada demensia Lewy Body, laporan frekuensi

halusinasi visual sekitar 80%. Pasien demensia juga mungkin mengalami

halusinasi auditorik (sekitar 10%), namun jarang untuk halusinasi jenis lain,

seperti yang bersifat penciuman atau taktil.8

3. Misidentifikasi

Misidentifikasi dalam demensia adalah kesalahan persepsi stimuli eksternal.

Misidentifikasi terdiri dari:8

Kehadiran orang-orang di rumah pasien sendiri (Boarder Phantom

Syndrome)

Kesalahan identifikasi diri pasien sendiri (tidak mengenali bayangan diri

sendiri di cermin)

Kesalahan identifikasi orang lain

Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan

peristiwa tersebut terjadi secara nyata).

1.6. Diagnosis

Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang

tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh

the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke

12
(NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association

(ADRDA). (Tabel 1)

a. Anamnesis

Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju

progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan

kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun

kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit

Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi

kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan

kata,atau mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan

atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia

(FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit

serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah

penyakit Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.

Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus

diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi

susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol berlebihan,intoksikasi bahan

kimia pada pekerja pabrik,serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan

tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari

evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan

familial.

b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork

kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,

13
hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain

umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body (DLB), atau demensia

multi-infark.

c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi

penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE),

yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit

Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation

(menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan kemampuan

visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual

sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit

Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar

panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit

pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.

Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus

menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di

komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status

fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan

keluarga.

d. Pemeriksaan Penunjang

1. Neuropatologi

Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi

neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali

berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian

14
mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior

frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem

somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).10

Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:

a. Neurofibrillary tangles (NFT)

Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal

yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada

neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe

dari inti batang otak.

Gambar 3.1. Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak

manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear

palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia. 10

b. Senile plaque (SP)

Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending

yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit,

mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan

dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks,

15
amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks

motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile

plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. 10

Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan

penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque)

merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer. 10

c. Degenerasi neuron

Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada

penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama

didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan

pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe

nukleus dan substanasia nigra. 10

Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert,

dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada

nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. 10

Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang

berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam

pengobatan penyakit alzheimer.

d. Perubahan vakuoler

Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat

menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan

jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks

temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks

frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.

16
e. Lewy body

Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada

enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada

korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama

dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada

gambaran histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body

merupakan variant dari penyakit alzheimer. 10

3. CT Scan dan MRI

Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat

kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer

antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan

adanya penyebab demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan

tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya

merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini.

Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark,

Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit

Alzheimer. 10

Gambar 3.2. CT – Brain Normal dan Alzheimer

17
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi

dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI

ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler

(Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi

untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi

juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala,

serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. 10

Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari

penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)

dari hipokampus. 10

4. EEG

Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang

pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus

frontalis yang non spesifik. 10

5. PET (Positron Emission Tomography)

Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,

metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun

pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi

dan selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi. 10

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)

Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan

ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua

pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin. 10

18
7. Laboratorium darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.

Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit

demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE,

fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang

dilakukan secara selektif. 10

Kriteria diagnosis untuk demensia berdasarkan DSM-V-TR:7

a. Bukti signifikan pada kemunduran kognisi dari tingkat sebelumnya dalam satu

atau lebih kognisi (perhatian kompleks, fungsi belajar dan memori, bahasa,

persepsi dan kognisi sosial) berdasarkan:

1. Perhatian individu, informasi dan kemunduran signifikan pada kognisi

2. Perburukan kognisi yang didokumentasikan oleh tes neuropsikologi yang

terstandarisasi

b. Defisit kognisi yang berhubungan dengan ketergantungan pasien kepada orang

lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari

c. Defisit kognisi tidak terjadi semata-mata dalam keadaan delirium

d. Defisit kognisi tidak lebih baik dijelaskan dalam gangguan mental lainnya

(gangguan depresi berat, skizofrenia)

Derajat tingkat berat penyakit antara lain:

- Ringan: Kesulitan dalam aktivitas instrumental dalam kehidupan sehari-hari

(seperti pekerjaan rumah, majamen keuangan, dll)

- Sedang: Kesulitan dalam aktivitas dasar sehari-hari (seperti makan,

berpakaian, dll)

- Berat : Ketergantungan penuh pada orang lain dalam setiap aktivitasnya

19
Pedoman diagnostik demensia berdasarkan PPDGJ-III:1

a. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya piker yang sampai

menganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living)

seperti: mandi, berpakaian, makan kebersihan diri, buang air besar dan kecil

b. Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness)

c. Gejala dan disabilitas sudah nyata paling sedikit 6 bulan

1.7. Diagnosis banding

Delirium Demensia Depresi


Kesadaran Berubah dan Tidak suram sampai Umumnya baik
berfluktuasi, tahap terminal
suram
Orientasi Disorientasi dan Disorientasi pada Berorientasi atau sulit
disorganisasi stage selanjutnya dinilai karen apatis
Onset Akut atau subakut Kronik Akut, subakut, atau
kronik
Proses terjadinya Fluktuatif dan Progresif dan Stabil dan irreversibel
reversibel ireversibel
Atensi Jangka pendek Normal Normal
Perubahan Umum (hipoaktif Tampilan akhir Normal atau hipoaktif
psikomotor atau hiperaktif) kecuali jika depresi
atau apatis
Halusinasi Bisa ada Biasanya tidak ada Tidak ada
Siklus Tidur- Terganggu Baik hingga akhir Biasanya baik
Bangun
Bicara Inkoheren Sulit menemukan Lambat
kata dan nama,
afasia pada stage
akhir

20
1.8. Manajemen

A. Non Farmakologi

Manajemen non farmakologi pada demensia melibatkan pasien, keluarga,

atau pengasuh untuk mendukung menghadapi, dan emahami kondisi pasien.

Hidup pasien demensia harus menjadi semakin sederhana, terstruktur, dan

keluarga pasien perlu diperiapkan untuk menghadapi peruahan dalam kehidupan

yang akan terjadi sepanjang penyakit menjadi lebih parah.9

Prinsip-prinsip dasar manajemen non farmakologi dalam pengobatan

pasien demensia meliputi: 9

1. Menggunakan pendekatan yang halus terhadap pasien

2. Menjamin rasa nyaman

3. Berempati dengan masalah pasien

4. Menjalankan rutinitas sehari-hari secara tetap

5. Menyediakan lingkungan yang aman

6. Memberikan kegiatan di siang hari

7. Menghindari overstimulasi

8. Menggunakan barang-barang dekoratif yang akrab di ruang tamu

9. Menanggapi penurunan mendadak dalam fungsi dan penampuan dengan

perhatian yang lebih professional.

B. Famakologi

1. Farmakoterapi gejala kognisi

Terapi ini bertujuann mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda

perkembangan penyakit.

a. Golongan Inhibitor Kolinesterase

21
Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda

perkembangan penyakit adalah dengan meningkatkan neurotransmisi

kolinergik di otak. Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase

yang merupakan enzim yang mengkatalisis degradasi asetilkolin di celah

sinaptik mejadi kolin dan asetat. Dengan inhibitor kolinesterase maka akan

terjadi peningkatan kadar asetilkolin sehingga neurotransmisi kolinergik di

otak meningkat.

Inhibitor kolinesterase yang disetujui penggunaannya untuk

pengobatan demensia meliputi donapezil, rivastigmine, dan galantamin.

b. Golongan Antagonis Reseptor NMDA

Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-

D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak aktivitas berlebih dari glutamat

yang tidak teregulasi.

Golongan antagonis reseptor NMDA bekerja dengan cara menghambat

reseptor tersebut sehingga kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade

sekunder yang menyebabkan kematian sel saraf.

Saat ini memantine adalah satu-satunya agen di kelas ini yang disetujui

untuk pengobatan demensia.

c. Golongan Obat Non Konvensional

- Agen antiradang

Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap demensia

pada pasien yang menggunakan NSAID. Pengobatan untuk kurang dari 2

tahun dikaitkan dengan risiko relative lebih rendah, namun durasi pengobatan

yang lebih lama menurunkan risiko ini lebih lanjut.

22
- Lipid-lowering agent

Kepentingan dalam efek proteksi yang potensial pada pasien demensia

adalah agen penurun lipid (Lipid-Lowering Agents), khususnya 3-hidroksi-3-

methylglutaryl-koenzim A reduktase inhibitor.

Simvastatin telah dipelajari dalam satu percobaan klinis menunjukkan

penurunan pak ailoid beta pada pasien dengan Alzheimer yang ringan, namun

tidak pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah. Atorvastatin saat ini sedng

dipelajari dalam uji klinis.

- Antioksidan

Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif stres dan akumulasi

radikal bebas di demensia, telah berkembang tentang penggunaan antioksidan

dalam pengobatan demensia. Vitamin E seringkali direkomendasikan sebagai

pengobatan untuk pasien demensia terutama pada penyakit Alzheimer.

- Ginkgo biloba

Ginkgo biloba adalah ekstrak tanaman Ginkgo yang mengandung bahan-bahan

yang mempunyai efek yang positif pada sel-sel otak dan tubuh. Ginkgo biloba

memiliki efek antioksidan dan anti inflamasi yang dapat melindungi membrane

sel, dan mengatur kerja dari system saraf.

2. Farmakoterapi Gejala Non-kognitif

a. Anti psikosis

Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala neuropsikiatri

pada pasien demensia. Golongan ini terutama diberikan pada pasien-pasien

demensia yang mengalami gejala psikotik, terutama halusinasi dan waham.

23
Halusinasi dan waham yang dialami oleh pasien demensia dapat menyebabkan

perilau agresi sehingga diperlukan manajemen.

Antipsikotik yang disarankan adalah antipsikotik atipikal untuk

menguragi gejala ekstrapiramidal.

b. Antidepresan

Gejala depresi juga umum terjadi pada pasien dengan demensia. Dalam

prakteknya, pengobatan dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)

paling sering dimulai untuk pasien demensia. Manfaat telah ditunjukkan

dengan sertraline, citalopram, fluoxetine, dan paroxetine. Fungsi serotonergik

juga mungkin memainkan peran dalam ebberapa gejala perilaku laindari

demensia bahkan dalam ketadaan depresi.

Antidepresann trisiklik memiliki khasiat mirip dengan SSRI, namun

umumnya harus dihindari karena aktivitas antikolinergiknya.

c. Terapi lainnya

Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk mengobati perilaku

mengganggu dan agresi pada demensia antara lain benzodiazepine, buspirone,

selegiline, karbamazepin, dan asam valproat.

1.9. Prognosis

Demensia adalah penyakit yang selalu progresif. Namun demikian,

pasien biasanya tidak meninggal langsung karena demensia. Mereka

meninggal karena memiliki kesuitan menelan atau berjalan dan perlahan-lahan

dapat meningkatkan kemungkinan infeksi seperti pneumonia. 9

24
Selain itu depresi, kegelisahan paranoid, halusinasi, dan delusi dapat

menyertai demensia dan dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan bunuh

diri. Namun hal-hal ini sering dapat diatasi dengan perawatan yang tepat. 9

25

Anda mungkin juga menyukai