Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Berdasarkan hasil pengumpulan data
Rumah Sakit Pendidikan dr. Piringadi, para peneliti memperkirakan bahwa
terdapat 3% kasus dengan penurunan kesadaran atau komadari 10% jumlah
kasus kegawatdaruratan neurologi di Rumah Sakit dr. Piringadi
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di
kedua hemisfer serebridan Ascending Reticular Activating System (ARAS)
Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem
anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan
kesadaran dengan berbagai tingkatan.Ascending Reticular Activating
System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal
berasal dari medulla spinalismenuju rostral yaitu diensefalon melalui brain
stem sehingga kelainan yang mengenai lintasanARAS tersebut berada
diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus,hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan
derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter
kolinergik, monoaminergik dan gammaaminobutyric acid (GABA) Respon
gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang
merupakan manifestasi rangkaianinti-inti di batang otak dan serabut-serabut
saraf pada susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar
dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini berperan dalamkesadaran
akan diri terhadap lingkngan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini
disebut jugasebagai awareness. Pada referat ini akan dibahas mengenai
definisi penurunan kesadaran, bahaya penurunankesadaran, patofisiologi ,
diagnosis serta diagnosis penurunan kesadaran akibat metabolik danstruktural

1
dan tatalaksana penurunan kesadaran yang terbagi atas tatalaksana baik
umum maupun khusus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penurunan kesadaran?
2. Apa etiologi penurunan kesadaran?
3. Apa saja klasifikasi penurunan kesadaran?
4. Bagaimana manifestasi klinis yang terjadi pada penurunan kesadaran?
5. Bagaimana cara penilaian kesadaran?
6. Bagai mana pemeriksaan penunjang?
7. Apa saja penatalaksanaan dari penurunan kesadaran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan anak dengan retardasi
mental.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui pengertian penurunan kesadaran.
b. Untuk mengetahui etiologi penurunan kesadaran.
c. Untuk mengetahui klasifikasi penurunan kesadaran.
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis penurunan kesadaran.
e. Untuk mengetahui cara penilaian kesadaran.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada pasien penurunan
kesadaran.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Keperawatan Gawat
Darurat dan Manajemen Bencana, khususnya materi gangguan kesadaran.

2
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa Jurusan Keperawatan dalam
materi gangguan kesadaran.
b. Memberikan pemahaman bagi mahasiswa lainnya mengenai
pengertian penurunan kesadaran, etiologi penurunan kesadaran,
klasifikasi penurunan kesadaran, manifestasi klinis penurunan
kesadaran, cara penilaian kesadaran, pemeriksaan penunjang pada
pasien penurunan kesadaran, dan penatalaksanaan dari penurunan
kesadaran.
c. Memberikan pemahaman bagi penulis mengenai pengertian penurunan
kesadaran, etiologi penurunan kesadaran, klasifikasi penurunan
kesadaran, manifestasi klinis penurunan kesadaran, cara penilaian
kesadaran, pemeriksaan penunjang pada pasien penurunan kesadaran,
dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penurunan Kesadaran


Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan
waktu.(Corwin, 2001).
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar
dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga tidak
mampu memberikan respon yang normal terhadap stimulus (Padmosantjojo,
2000).
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu
(Robert Priharjo, 2006):
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh
asupan dari panca indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh
rangsangan baik dari luar maupun dalam.
2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan
dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung,
tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru
membuka mata atau bersuara satu dua kata .Motorik hanya berupa gerakan
mengelak terhadap rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya
dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam
hal membuka mata, bicara maupun reaksi motorik.

4
2.2 Etiologi Penurunan Kesadaran
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan–
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “
yaitu (Harsono, 2005) :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi
medis tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan
sistem sirkulasi darah dalam mempertahankan suplai darah yang memadai.
Berkurangnya suplai darah mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen
ke jaringan tubuh. Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan kegagalan
fungsi organ penting yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan
sistem sirkulasi dapat disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa
darah, terjadi pada serangan jantung.
Berkurangnya cairan tubuh yang diedarkan. Tipe ini terjadi pada
perdarahan besar maupun perdarahan dalam, hilangnya cairan tubuh akibat
diare berat, muntah maupun luka bakar yang luas.
Shock bisa disebabkan oleh bermacam-macam masalah medis dan
luka-luka traumatic, tetapi dengan perkecualian cardiac tamponade dan
pneumothorax, akibat dari shock yang paling umum yang terjadi pada jam
pertama setelah luka-luka tersebut adalah haemorrhage (pendarahan).
Shock didefinasikan sebagai ‘cellular hypoperfusion’ dan
menunjukan adanya ketidakmampuan untuk memelihara keseimbangan
antara pengadaan ‘cellular oxygen’ dan tuntutan ‘oxygen’. Progress Shock
mulai dari tahap luka hingga kematian cell, kegagalan organ, dan pada
akhirnya jika tidak diperbaiki, akan mengakibatkan kematian organ tubuh.
Adanya peredaran yang tidak cukup bisa cepat diketahui dengan
memasang alat penerima chemosensitive dan pressure-sensitive pada
carotid artery. Hal ini, pada gilirannya dapat mengaktivasi mekanisme
yang membantu mengimbangi akibat dari efek negative, termasuk
pelepasan catecholamines (norepinephrine dan epinephrine) dikarenakan
oleh hilangnya syaraf sympathetic ganglionic; tachycardia, tekanan nadi

5
yang menyempit dan hasil batasan disekeliling pembuluh darah (peripheral
vascular) dengan mendistribusi ulang aliran darah pada daerah sekitar
cutaneous, splanchnic dan muscular beds. Dengan demikian, tanda-tanda
awal dari shock tidak kentara dan mungkin yang tertunda hanyalah
pemasukkan dari pengisian kapiler, tachycardia yang relatip dan
kegelisahan.
2. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis
yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma
hepatikum.
Etiologi hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM
stadium dini, hipoglikemia dalm rangka pengobatan DM yang berupa
penggunaan insulin, penggunaan sulfonil urea, bayi yang lahir dari ibu
pasien DM, dan penyebab lainnya adalah hipoglikemia yang tidak
berkaitan dengan DM berupa hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi,
insulinoma, penyakit hati yang berat, tumor ekstrapankreatik,
hipopitiutarism.
Gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase.
Fase 1 yaitu gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di
hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon efinefrin. Gejalanya berupa
palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual.
gejala ini timbul bila kadar glukosa darah turun sampai 50% mg.
Sedangkan Fase 2 yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya
gangguan fungsi otak, karena itu dinamakan juga gejala neurologi.
Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental menurun,
hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran,

6
kejang-kejang dan koma.gejala neurologi biasanya muncul jika
kadar glukosa darah turun mendekati 20% mg.
Pada pasien ini menurut gejalanya telah memasuki fase 2 karena
telah terjadi gangguan neurologik berupa penurunan kesadaran, pusing,
dan penurunan kadar glukosa plasma mendekati 20 mg%.dan menurut
stadiumnya pasien telah mengalami stadium gangguan otak karena
terdapat gangguan kesadaran.
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis
hipoglikemia dapat ditegakan bila didapatkan gejala-gejala tersebut diatas.
Keadaan tersebut dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan glukosa
darah. Bila gejalanya meragukan sebaiknya ambil dulu darahnya untuk
pemeriksaan glukosa darah. Bila dengan pemberian suntik bolus dekstrosa
pasien yang semula tidak sadar kemudian menjadi sadar maka dapat
dipastiakan koma hipogikemia.sebagai dasar diagnosis dapat digunakan
trias whipple, yaitu gejala yang konsisten dengan hipoglikemia, kadar
glukosa plasma rendah, gejala mereda setelah kadar glukosa plasma
meningkat.
Prognosis dari hipoglikemia jarang hingga menyebabkan kematian.
Kematian dapat terjadi karena keterlambatan mendapatkan pengobatan,
terlalu lama dalam keadaan koma sehingga terjadi kerusakan jaringan
otak.
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Diare akut karena
infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia,
nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat
dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang
kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung,
lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta

7
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air
yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya
dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah
yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan
meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul). Gangguan
kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral
dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare
akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan darah akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila
keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal
akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis. Muntah : gejala
muntah terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala.
Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah
bersifat proyektil dan tak disertai dengan mual. Kejang : bangkitan kejang
dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih
dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan
kejang adalah tumor otak. Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak
di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasien meningioma,
dan 25% pada glioblastoma.
Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK) : berupa keluhan nyeri
kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan
malam hari, muntah proyektil dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
diketemukan papil udem.
6. I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks
secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula

8
disebabkan oleh gangguan ARAS di batangotak, terhadap formasio
retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon Pada
penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat(kuantitas, arousal wake f ulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakahlesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu
untuk evaluasi dan manajemen penderita. Pada penderita dengan
penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah akibatkelainan struktur,
toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan struktur mempengaruhi
fungsi ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS merupakan
kumpulanneuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla, pons dan
mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan metabolik
terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas
membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan
melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasisaraf kranial
dan respons motorik terhadap stimuli.
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural,
perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada
dada dapat mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway
yang paten. Dada pasien harus dalam keadaan terbuka sama sekali untuk
memastikan ada ventilasi cukup dan simetrik. Batang tenggorok (trachea)
harus diperiksa dengan melakukan rabaan untuk mengetahui adanya
perbedaan dan jika terdapat emphysema dibawah kulit. Lima kondisi yang
mengancam jiwa secara sistematik harus diidentifikasi atau ditiadakan
(masing-masing akan didiskusikan secara rinci di Unit 6 - Trauma) adalah
tensi pneumothorax, pneumothorax terbuka, massive haemothorax, flail

9
segment dan cardiac tamponade. Tensi pneumothorax diturunkan dengan
memasukkan suatu kateter dengan ukuran 14 untuk mengetahui cairan
atau obat yang dimasukkan kedalam urat darah halus melalui jarum
melalui ruang kedua yang berada diantara tulang iga pada baris mid-
clavicular dibagian yang terkena pengaruh. Jarum pengurang tekanan
udara dan/atau menutupi luka yang terhisap dapat memberi stabilisasi
terhadap pasien untuk sementara waktu hingga memungkinkan untuk
melakukan intervensi yang lebih pasti. Jumlah resusitasi diperlukan untuk
suatu jumlah haemothorax yang lebih besar, tetapi kemungkinannya lebih
tepat jika intervensi bedah dilakukan lebih awal, jika hal tersebut sekunder
terhadap penetrating trauma (lihat dibawah). Jika personalia dibatasi
melakukan chest tube thoracostomy dapat ditunda, tetapi jika pemasukkan
tidak menyebabkan penundaan transportasi ke perawatan yang definitif,
lebih disarankan agar hal tersebut diselesaikan sebelum metransportasi
pasien.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat
menyebabkan penurunan kesadaran.
2.3 Klasifikasi Penurunan Kesadaran
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal (Ayu Leonarno, 2011).
1. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
a. Gangguan iskemik
b. Gangguan metabolik
c. Intoksikasi
d. Infeksi sistemis
e. Hipertermia
f. Epilepsi
2. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk

10
a. Perdarahan subarakhnoid
b. Radang selaput otak
c. Radang otak
3. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
a. Tumor otak
b. Perdarahan otak
c. Infark otak
d. Abses otak
2.4 Manifestasi Klinis Penurunan Kesadaran
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah (Ayu
Leonarno, 2011):
1. Penurunan kesadaran secara kualitatif
2. GCS kurang dari 13
3. Sakit kepala hebat
4. Muntah proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negative
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dyspnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis dan pucat
2.5 Cara Penilaian Penurunan Kesadaran
Penilaian statis kesadaran ada 2 yaitu penilaian secara kualitatif dan
penilaian secara kuantitatif (Ayu Leonarno, 2011).

11
1. Secara Kualitatif
Penilaian kesadaran secara kualitatif antara lain :
a. Komposmentis (score 14 –15) Yaitu anak mengalami kesadaran penuh
dengan memberikan respons yang cukupterhadap stimulus yang
diberikan.
b. Apatis (score 12-13) Yaitu anak mengalami acuh tak acuh terhadap
kesadaran sekitanya.
c. Delirium (score 10-11) Yaitu tingkat kesadaran yang paling bawah
ditandai dengan dicorientasi yangsangat iriatif, kacau dan salah
persepsi terhadap rangsangan sensorik.
d. Sumnolen (score 7-9) Yaitu anak memiliki kesadaran yang lebih
rendah ditandai dengan anak tampak mengantuk, selalu ingin tidur,
tidak responsit, terhadap rangsangan ringan danmasih memberikan
respons terhadap rangsangan yang kuat.
e. Supor (score 4-6) Yaitu anak tidak memberikan respons ringan
maupun sedang, tetapi masihmemberikan respons sedikit terhadap
rangsangan yang kuat dengan adanya refleks pupil terhadap cahaya
yang masih positif.
f. Koma (score 3) Yaitu anak tidak dapat bereaksi terhadap stimulus atau
rangsangan apapun sehinggarefleks pupil terhadap cahaya tidak ada.
2. Secara Kuantitatif
Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat diukur melalui
penilaian skalakoma (Glasgow) yang dinyatakan dengan ecscelargow
cumascale dengan nilai koma dibawah 10, adapun penilaian sebagai
berikut :
a. Penilaian pada Glasgow Coma Scale
1) Respon motoric
Nilai 6: Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat
tangan, menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang
disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan gangguan.

12
Nilai 5 : Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang
diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan ,
tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan
tangannya.
Nilai 3 : fleksi abnormal
Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi
pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri (
decorticate rigidity)
Nilai 2 : ekstensi abnormal.
Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah,
fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang
nyeri (decerebrate rigidity)
Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan :
a) Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
b) Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu
negative
2) Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun).
Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien:dispasia atau apasia,
mengalami trauma mulut, dipasang intubasi trakhea (ett).
Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara.
orientasi waktu, tempat, orang, siapa dirinya, berada dimana,
tanggal hari.
Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi
tidak menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan
Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya
(“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya
Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri

13
3) Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka
satu atau kedua matanya. Catatan:Mata tidak dalam keadaan
terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil
nama atau diperintahkan membuka mata
Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
(Musrifatul, 2006 :160-161)
b. AVPU
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien
diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal),
hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar
sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri
(unresponsiv) .
1) A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V.
2) V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan
menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke
P.
3) P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal
kuku. Selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada atau sternum dan juga areal di atas mata.
4) U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih
tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
c. ACDU
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari
GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala
ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness),

14
bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak
ada respon (unresponsiveness)
d. Menilai reflek-reflek patologis :
1) Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu
benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang
terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
2) Reflek Kremaster
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus
pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah
terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat
tertariknya atau mengerutnya testis.Menurunnya atau
menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus
corticulspinal.
e. Uji syaraf kranial
1) NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan
seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien
menyebutkannya dengan mata tertutup
2) N.II. N. Opticus -- Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada
setiap mata .digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6
meter dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca
jelas deretan huruf-huruf yang ada
3) N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola
mata kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek
akomodasi
4) N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi,
dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus
muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit

15
5) N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan
mengangkat alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir, tersentum,
meringis (memperlihatkan gigi depan ) bersiul, menggembungkan
pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan
lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam)
6) N.VIII/ Vestibulo - acusticus
Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber ,
Schwabach dengan garpu tala.
7) N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah
atau deviasi dan kemampuan menelan pasien
8) N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu
kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
9) N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan
lidah pada posisi lurus, gerakan lidah mendorong pipi kiri dan
kanan dari arah dalam.
2.6 Pemeriksaan Penunjang Penurunan Kesadaran
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab
penurunan kesadaran yaitu :
1. Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen
urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan
keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
2. CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan
tumor otak
4. SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )
Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
5. MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.

16
6. Angiografi serebral
Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan
malformasi arteriovena.
7. Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah
serebral yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral,
infark serebral yang luas dan neoplasma.
8. EEG ( elektroensefalography)
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor,
abses, jaringan parut otak, infeksi otak
9. EMG ( Elektromiography)
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat
penyakit lain.
2.7 Penatalaksanaan Penurunan Kesadaran
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan
akurat, pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan
meliputi dua komponen utama yaitu umum dan khusus (Ayu Leonarno, 2011).
1. Umum
a. Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit
ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan
tekanan intrakranial yang meningkat.
b. Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan
trakeobronkhial, pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika
ada, lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
c. Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus
sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
d. Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan
elektrokardiogram (EKG).
e. Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk
mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi.
Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika

17
dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01
mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
2. Khusus
a. Pada Herniasi
1) Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25-
30 mmHg.
2) Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv.
Selama 10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau
25 gr setiap 6 jam.
3) Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan
deksametason 10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
4) Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel
seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi
dekompresi.
b. Pengobatan Khusus Tanpa Herniasi
1) Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan
pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi
berikan antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan
terapi sesuai dengan pengobatan perdarahan subarakhnoid.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Berdasarkan hasil pengumpulan data
Rumah Sakit Pendidikan dr. Piringadi, para peneliti memperkirakan bahwa
terdapat 3% kasus dengan penurunan kesadaran atau komadari 10% jumlah
kasus kegawatdaruratan neurologi di Rumah Sakit dr. Piringadi.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana
seseorang mengenal /mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu kompos
mentis, somnelen / drowsiness / clouding of consciousness, stupor / sopor,
soporokoma / semikoma dan koma.
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan–
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “
yaitu S : Sirkulasi, E : Ensefalitis, M : Metabolik, E : Elektrolit, N :
Neoplasma, I : Intoksikasi, T : Trauma dan E : Epilepsi.
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran
tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan
akurat, pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan
meliputi dua komponen utama yaitu umum dan khusus.
3.2 Saran
Dengan ditulisnya makalah ini nantinya dapat dimanfaatkan secara
optimal terkait dengan pengembangan mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat dan Manajemen Bencana. Dan penulis menyarankan materi-materi
yang ada dalam tulisan ini dikembangkan lebih lanjut agar dapat nantinya
menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu. Demikianlah makalah ini penulis
persembahkan, semoga dapat bermanfaat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta:


EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Leonarno, Ayu. 2011. Penurunan Kesadaran. [Online] Available at:
www.scibd.com. Diakses pada 5 Maret 2018.
Padmosantjojo. 2000. Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf
FKUI.
Priharjo, Robert. 2006.Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai