Anda di halaman 1dari 13

Tugas

Filsafat Hukum

Gerald Putra Daliz :20141001170005

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya 2017


I. Filsafat

I.A. Definisi Filsafat

Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “Shopia”.
Philos artinya cinta yang sangat mendalan, dan sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi arti
filsafat secara hrfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadapat kearifan atau kebijakan.
Filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut pandangan
hidup (masyarakat). Pada bagian lain Harold Tisus mengemukakan makna filsafat yaitu :

1. Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta

2. Filsafat adalah suatu metode berpikir rekflektif dan penelitian penalaran

3. Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah

4. Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir

Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan/ pemikiran manusia memiliki peran yang
penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak
semua berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berpikir yang dikategorikan berfilsafat adalah
apabila berpikir tersebut mengandung tiga ciri yaitu radikan, sistematis dan universal. Untuk ini
filsafat menghendaki lah pikir yang sadar, yang berarti teliti dan teratur. Berarti bahwa manusia
menugaskan pikirnya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada, berusaha
menyerap semua yang bersal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau diluarnya.

I.B. Subjek/ Objek Filsafat

Berfikir merupakan subjek dari filsafat akan tetapi tidak semua berfikir berarti berfilsafat.
Subjek filsafat adalah seseorang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh dan
mendalam.

Objek filsafat, objek itu dapat berwujud suatu barang atau dapat juga subjek itu sendiri
contohnya si aku berfikir tentang diriku sendiri maka objeknya adalah subjek itu sendiri. Objek
filsafat dapat dibedakan atas 2 hal :
1. Objek material adalah segala sesuatu atau realita, ada yang harus ada dan ada yang tidak
harus ada

2. Objek formal adalah bersifat mengasaskan atau berprinsi dan oleh karena mengasas, maka
filsafat itu mengkonstatis prinsip-prinsip kebenaran dan tidak kebenaran

3. Pentingnya Filsafat Bagi Manusia

Pentingnya filsafat dapat kita pada penjelasan berikut :

1) Dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun diri sendiri

2) Dari pelajaran filsafat kita diharapkan menjadi orang yang dapat berpikir sendiri

3) Memberikan dasar-dasar pengetahuan kita, memberikan padangan yang sintesis pula


sehingga seluruh pengetahuan kita merupakan kesatuan

4) Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita. Sebab itu mengetahuikebenaran-kebenaran


yang terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup kita sendiri

5) Khususnya bagi seorang pendidik, filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena


filsafatlah memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai
manusia seperti misalnya : ilmu mendidik, sosiologi, ilmu jiwa dan sebagainya.

II. Filsafat Hukum

Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yaitu filsafat etika atau tingkah laku yang
mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum memiliki objek yaitu hukum yang dibahas dan dikaji
secara mendalam sampai pada inti atau hakikatnya. Pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab
oleh cabang ilmu hukum lainnya merupakan tugas dari filsafat hukum untuk menemukannya. Bila
ingin menarik pengertian filsafat hukum, maka harus terlebih dahulu mempelajari akan hukum itu
sendiri. Seperti pertanyaan, apakah hukum itu juga merupakan tugas dari filsafat hukum, karena
sampai saat ini belum ditemukan definisi dari hukum itu secara universal, karena pendapat para
ahli hukum berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri.

Ahli hukum J. Van Kan (1983:13) memberikan pendapat defisi hukum adalah sebagai
keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Dan Hans Kelsen mengatakan definisi hukum adalah norma-norma yang
mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku. Sedangkan Soerjono Soekanto (1984:2-4)
berpendapat sembilan arti hukum adalah :

1) sebagai ilmu pengetahuan,

2) sebagai disiplin,

3) sebagai norma,

4) sebagai tata hukum,

5) sebagai petugas,

6) sebagai keputusan penguasa,

7) sebagai proses pemerintahan,

8) sebagai sikap, atau perikelakuan yang teratur, dan

9) sebagai jalinan nilai-nilai.

Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.


Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar dari kekuatan mengikat
dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama
menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama
sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang, serta sistem
hukumnya sendiri.

Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil hukum sebagai
fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan
standar analisa seperti tersebut di atas.

III. Perbedaan Filsafat Hukum dan ilmu hukum

Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat
hukum adalah hukum. Filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi
sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum.
Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu
mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986:224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut
sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang
demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang
berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum
atau kombinasi dari ketiga bidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja membicarakan
sesuatu yang bersifat universal dan tidak menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal
yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu.

Selain itu perbedaan Filsafat Hukum dan Teori Hukum yaitu : Filsafat Hukum menekankan
pembahasan sebagian besar dari sudut studi filsafat dan oleh karena itu menekankan penelitian dan
penyelidikan dari sudut tradisi filsafat. Sedangkan Teori Hukum cenderung kepada bentuk
operasional berdasarkan legal academy, yang cenderung mengkonsentrasikan diri kepada
rasionalisasi dan legitimasi dari legal doctrine seperti perbuatan melawan hukum dan kontrak.
Tentu dalam pembahasan filsafat hukum nanti tidak dapat dihindarkan membicarakan Teori
Hukum yang bersumber dari Filsafat Hukum.

Analisis Filsafat Hukum (Legal Philosophy) pada permulaannya lebih berat kepada filsafat
umum dan teori politik, sementara Teori Hukum (Legal Theory) modern lebih membahas dalam
kerangka ungkapan dan sistem berfikir dari Sarjana Hukum itu sendiri. Teori hukum bersumber
dari para pemikir hukum, sedangkan hukum bersumber dari undang-undang atau putusan-putusan
pengadilan. Filsafat Hukum berisi unsur filsafat dan teori politik. Sumber utama dari Filsafat
Hukum (Legal Philosophy) adalah karya-karya dari pemikir hukum. W. Friedman mengatakan :
“Semua sistem Teori Hukum (Legal Theory) harus mengandung unsur-unsur filsafat, refleksi
manusia dalam posisinya di alam semesta dan mendapatkan warna dan isinya yang spesifik dari
teori politik, idenya datang dari bagaimana bentuk yang terbaik dalam masyarakat.”

IV. SEJARAH FILSAFAT HUKUM

IV.A Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)

Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat
menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau,
sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan
filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).

Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum
Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos,
Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-
547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh
dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat
bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa
keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi,
maka timbullah keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia
harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan
pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh
lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat
suatu keteraturan yang terang dan tetap.

Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-
polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini
mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat
besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut
berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena
manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.

Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat
bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki
kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun
ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates
menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami
hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan
penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan
dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan
negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah
membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri
karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu
ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.

Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari
gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut
memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu
hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga
hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan
hukum positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam
menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan
ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan
dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.

Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan
Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme
(berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada
bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang
(hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar
aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos),
yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara
manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut
Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga
ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan
hukum alam.

IV.B Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan

Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya
kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai
dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama
Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap,
terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga
tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal
sebagai masa gelap.

Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430)
dan Thomas Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman
pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus
mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.
Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam
jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan
perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna),
hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi
manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian hukum atas keempat jenis
hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat
hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

IV.C Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern

Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas
sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting
pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650),
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David
Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan
Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam
pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman
Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia,
perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-
dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia
pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan,
sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini
dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.

V. Hukum Alam dan Hukum Positif

V.A Hukum Alam

Hukum alam adalah ekspresi dari kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati dengan
mutlak. Selama sekitar 2500 tahun upaya ini berjuang mencari hukum yang ideal yang lebih tinggi
dari segala hukum positif

Upaya mencari hukum yang ideal ini seiring dengan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran
hukum alam telah banyak dipergunakan oleh berbagai bagian masyarakat dengan generasi, untuk
mengungkapkan aspirasi-aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam dapat
dipergunakan sebagai senjata untuk perkembangan politik dan hukum.

V.B Hukum Positif

Hukum positif atau stellingrecht, merupakan suatu kaidah yang berlaku, sebenarnya
merumuskan suatu hubungan yang pantas antara hukum dengan akibat hukum yang merupakan
abstraksi dari keputusan-keputusan. Keputusan yang konkrit sebagai faktor sosial yang mengatur
hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu tertib pergaulan hidup. Suatu gambaran
tentang hokum positif tertentu, selalu merupkan lukisan tentang tertib hokum tertentu, yang berarti
suatu tertib hukum yang terikat tempat dan waktu tertentu pula. Hal ini karena ia merupakan suatu
abstraksi dari kehidupan. Artinya, hal itu merupakan suatu pengetahuan tentang pernyataan
tertentu, yang terjadi di suatu tempat dan masa tertentu. Maka menurut logemann hokum positif
adalah kenyataan hukum yang dikenal. Hal ini sebagai lawan dari hokum keagamaan atau hokum
alam, yang merupakan kaidah yang secara kritis berhadapan dengan kenyataan (Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1980).
Selanjutnya oleh Purnadi Soerjono disimpulkan bahwa pembedaan antara hukum alam
dengan hukum positif terutama terletak pada ruang lingkup dari hukum. Pada ajaran-ajaran hukum
alam terdapat prinsip-prinsip yang diberlakukan secara universal. Artinya ingin diberlakukan di
mana pun dan pada apa pun juga. Sedangkan orientasi hukum positif adalah pada tempat dan
waktu tertentu. Seterusnya apabila dihubungkan ajaran hukum alam dan orientasi hokum positif,
maka terungkap tiga wawasan :

Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.

Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional.

Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.

VI. Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu
tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan
sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. "Utilitarianisme" berasal dari
kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga
sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory) .Utilitarianisme
sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart
Mill. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang
berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak
bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan
ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini,
tersusunlah teori tujuan perbuatan

Keadilan Hukum Jeremy Bentham

Teori utilitarisme tentang hukuman tidak langsung terbentuk dalam waktu singkat. Ia
bertumbuh dalam proses menjadi dalam waktu yang amat panjang. Teori utilirisme tentang
hukuman

berproses dalam sejarah yang panjang sejak filsuf Plato. Plato (427-347 SM) merupakan
pemikir klasik Yunani yang juga memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif penting terkait
politik, hukum dan negara. Malahan dapat dikatakan bahwa gagasan Plato ini bisa menjadi cikal
bakal kemunculan utilitarisme kelak.

Di dalam dialog Protagoras, Plato telah mendudukkan gagasan hukum berkaitan dengan
praktik sebuah hukuman. Plato menulis bahwa dalam menghukum seseorang yang bersalah, kita
tidak boleh mendasarkan hukuman atas fakta bahwa ia telah bertindak salah pada masa lampau
atau menghukumnya dengan rasa balas dendam yang buta seperti seekor binatang, namun demi
masa depan yaitu sebagai tindakan preventif bagi si terhukum dan orang-orang lain agar tidak lagi
melakukan kesalahan. Pandangan ini tidak hanya memerhatikan dimensi masa lampau dan masa
sekarang dari praktik hukuman, tetapi lebih mementingkan dimensi masa depan hukuman pada si
pelaku atau subjek pelanggar hukum. Banyak filsuf kontemporer lain di kemudian hari yang
menganuti gagasan utilitaris Plato ini yakni T.L.S. Sprigge, S.I Benn dan J.J.C. Smart. Namun
tulisan-tulisan mereka belum sempurna. Bentuk paling lengkap dan komprehensif dari teori
utilitarisme tentang hukuman baru akan tereksplisitasi dalam tulisan-tulisan Jeremy Bentham yang
diklaim sebagai bapak utilirisme Inggris.

Utilitarisme merupakan salah satu aliran filsafat yang memberikan kontribusi penting
dalam aplikasi hukuman bagi manusia. Utilirarisme memiliki prinsip dasar filosofis atau pendirian
sangat kukuh bahwa setiap hukuman yang adil bagi pelanggar hukum harus memerhatikan akibat-
akibat selanjutnya. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip
dasar etika utilitarisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral
hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang Di sini hukuman
yang diberikan kepada seorang pelaku kejahatan harus mempertimbangkan juga sisi konsekuensi
positifnya juga. Hukuman harus memerhatikan konsekuensi-konsekuensinya. Muncullah istilah
konsekuensialisme yang diciptakan oleh Elizabeth Anscombe pada tahun 1957 (Jenny Teichman:
1998, p. 16).

Hukuman yang adil tidak boleh hanya melihat sisi negatifnya saja. Perspektif utilitarisme
dapat diklaim sebagai pemikiran kontra terhadap praktik hukuman yang hanya melihat aspek
negatifnya saja dari suatu hukuman yang diberikan pada subjek pelanggar hukum. Utilitarisme
coba menyodorkan konsep alternatif. Utilitarisme menunjukkan suatu verfikasi etis (posivitisme
hukum) dalam penerapan hukuman. Hukuman, sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,
dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terhukum telah terbukti bersalah melawan
hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si
terhukum, korban, dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Hukum harus memiliki relevansi
positif-konstruktif bagi manusia. Jika tidak, hukuman tidak bermakna dan tidak berguna.

Teori Bentham tentang hukuman didasarkan atas prinsip kemanfaatan (Principle of Utility).
Di dalam bukunya yang fenomenal (terbit tahun 1960) bertajuk Introduction to the Principles of
Morals and Legislation, Bentham menggariskan arah dan visi hukum dari perspektif psikologis
yang mendalam tentang prinsip utilitarisme. Bentham menulis: “Alam telah menempatkan
manusia di bawah kekuasaan dua tuan, yaitu ketidaksenangan dan kesenangan. Apa yang harus
kita lakukan dan apa yang akan kita perbuat, semuanya ditujukan dan ditetapkan dalam rangka
keduanya. Standar baik dan buruk, serta mata rantai sebab dan akibat, juga terkait erat dengan
kedua hal itu. Keduanya memandu kita dalam segala yang kita perbuat, dalam segala yang kita
katakan dan pikirkan. Segala usaha yang dapat dilakukan untuk menolak ketaklukan kita terhadap
dua kekuasaan itu, hanya akan membuktikan dan menegaskan kebenaran itu” (Bentham: 1960, p.
125). Menggunakan istilah utilitas atau kemanfaatan, Bentham menegaskan sebuah kebenaran
faktual bahwa setiap orang cenderung untuk menghasilkan keuntungan, faedah, manfaat,
kesenangan, kebaikan dan kebahagiaan bagi dirinya. Hal ini berarti setiap orang dalam
tindakannya cenderung untuk menghindari diri dari situasi kemalangan, rasa sakit, kejahatan,
ketidaksenangan, dan ketidakbahagiaan yang menganggu ketenangan dirinya.

Teori utilitas Bentham mengatakan bahwa hukuman dapat dibenarkan jika pelaksanaannya
mengkristalkan dua efek utama yakni: pertama, konsekuensi hukuman itu ialah mencegah agar di
masa depan kejahatan terhukum tidak akan terulang lagi. Kedua, hukuman itu memberikan rasa
puas bagi si korban maupun orang lain. Ciri khas hukuman ini bersifat preventif ke masa depan
agar orang

tidak lagi mengulangi perbuatannya dan pemenuhan rasa senang orang-orang yang terkait
kasus hukum tersebut. Dengan pencegahan (preventif), Bentham mensinyalir akan muncul tiga (3)
bentuk efek yakni:

pertama, hukuman yang diterima oleh si pelanggar hukum mengakibatkan bahwa ia


kehilangan kemampuan untuk kelak mengulangi lagi kejahatan yang sama. Ini jika si terhukum
dikurung dalam penjara seumur hidup, tangannya dipotong atau bahkan dieksekusi mati oleh vonis
lembaga hukum formal.
Kedua, efek hukuman dapat pula berupa perubahan atau pembaharuan pada si terhukum.
Ini mengandaikan hukuman memengaruhi dan membarui kecenderungan atau pun kebiasaan-
kebiasaan yang tidak baik di dalam diri subjek terhukum, sehingga ia tidak ingin lagi melakukan
kejahatan pada masa depan. Di sini mental orang dibarui sehingga ketika terbebas nanti, ia tidak
lagi mau atau ingin untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Ini mengandaikan si terhukum
sudah mengalami transformasi diri sesudah menjalani tahapan proses hukum selama ia berada di
dalam jeruji penjara.

Ketiga, efek jera dan penangkalan (deterrence). Hukuman harus mampu membuat jera
subjek terhukum dan sekaligus menangkal kejahatan dari para penjahat potensial lain di dalam
masyarakat. Hukuman ini membuat orang yang sudah bebas dari penjara kapok (jera) untuk
berbuat melawan hukum lagi sekaligus memberi pesan bagi anggota masyarakat lain untuk tidak
lagi melakukan kejahatan jenis baru di dalam realitas masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa
fungsi penjeraan dari efek hukuman bisa dipahami sebagai suatu bentuk kontrol sosial (Cragg:
1992, p. 46). Sementara Philip Benn mengatakan maksud di balik penjeraan ialah mengancam
orang-orang lain untuk kelak tidak lagi melakukan kejahatan (Bean: 1981, p. 46).

Anda mungkin juga menyukai