Anda di halaman 1dari 3

Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu pulseless

ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric activity (PEA), dan
asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung tidak dapat memompa untuk
membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-penyebab terjadinya henti jantung yang
dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai the H’s dan the T’s yaitu H:
Hypoxia (hipoksia), hypovolemia (hipovolemik), hydrogen ion/asidosis (asidosis),
hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T: Toxins (racun), tamponade jantung, tension pneumothorax,
thrombosis pulmonary, thrombosis coronary. Meski jantung berhenti, penderita belum lah
dikatakan meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk mendapatkan kembali sirkulasi
darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan circulation (ROSC). Namun,
peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin berkurang seiring dengan lama
terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus segera dilakukan, yang mana setiap
detik amatlah berharga.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada dan pemberian ventilasi
dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali,
kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status
infeksi pasien tidak diketahui sehingga penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit saat
melakukan pemberian napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit-menit awal
terjadinya henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien masih memiliki
cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak lebih terbatasi oleh
karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen dalam arteri. Bahkan, jika
penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan untuk tidak perlu diberikan pada menit-
menit awal henti jantung.

Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam satu menit.
Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul Staying Alive sehingga
untuk mempermudah dalam melakukan kompresi dada sebanyak 100x per menit, banyak praktisi
kesehatan yang melakukan kompresi dada sembari membayangkan lagu tersebut. RJP tidak boleh
mengalami interupsi. Berhentinya RJP secara sementara hanya boleh dilakukan saat menilai ritme
jantung (dengan EKG atau monitor jantung), melakukan shock dengan defibrilator pada kasus
VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis (dilakukan jika ritme jantung teratur sudah
terdeteksi), atau saat melakukan pemasangan advanced airway (alat untuk membantu
mempertahankan jalan napas tetap terbuka, seperti endotracheal tube atau supraglotic airway).
Saat pergantian penolong (bisa karena kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal
mungkin.
Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya diberikan sebanyak
dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali setiap menit. Jadi, pemberian
ventilasi (dengan bagging) dilakukan setiap 6 hingga 8 detik. Namun, perlu diperhatikan bahwa
ventilasi tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Pada saat RJP, perfusi sistemik dan paru
berkurang sehingga hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga dengan ventilasi yang
jauh lebih rendah daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian ventilasi, tekanan dalam
rongga dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung terhambat padahal yang
sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-organ penting.

Selain interupsi minimal, kecepatan kompresi dada minimal 100x/menit, hindari ventilasi
berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah kedalaman yang cukup saat
melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa dan 3 cm pada anak), dan membiarkan dada
mengalami complete recoil atau relaksasi secara sempurna setiap kali kompresi dada. Untuk
kedalaman yang cukup serta efektifitas tenaga, kita tidak mengandalkan kekuatan lengan
melainkan menggunakan berat badan kita dalam melakukan kompresi dada. Posisi lengan lurus,
tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan diatas tangan kiri. Kemudian, kita
mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan melalui lengan kita menuju dada penderita.

Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain menjalankan RJP
yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan survival adalah defibrilator. Oleh
karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian defibrilator terintegrasi dalam siklus RJP. Selain
itu, meskipun pada awal pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme jantung pasien PEA atau
asystole, defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung dapat mengalami evolusi.

Bagaimana algoritma penatalaksanaan henti jantung pada dewasa?


Situasi di luar rumah sakit: Pada saat melihat korban tidak sadarkan diri, pastikan bahwa korban
tidak sadar seperti dengan mengguncang-guncang bahu dan memanggil namanya (atau dengan
panggilan umum seperti pak, bu, mas, dsb). Panggil pertolongan sesegera mungkin bahwa ada
korban tidak sadarkan diri. Amankan lingkungan sekitar, jangan sampai penolong dan korban
justru mengalami bahaya lain, misalnya korban tidak sadar di tengah jalan sehingga ada bahaya
dari kendaraan yang lewat. Cek pulsasi karotis. Jika tidak ada nadi teraba, segera lakukan
kompresi dada. Minta bantuan pada orang di sekitar untuk meminta pertolongan medis
(menelepon ambulans atau RS). RJP dilakukan hingga ada orang yang lebih kompeten atau
ambulans datang.

Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban diberikan oksigen
dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah monitor siap, lakukan pemeriksaan
ritme jantung untuk memastikan apakah dapat dilakukan shock dengan defibrilator atau tidak.
Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme listrik jantung PEA atau asistol, RJP dilanjutkan kembali
selama dua menit. Sembari melakukan RJP, jika belum dipasang, akses intravena dipasang.
Pertimbangkan juga untuk melakukan pemasangan advanced airway (endotracheal tube atau
supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali pengecekan ritme yang ditampilkan
pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan.

Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg. Namun,
untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4 menit, yaitu tiap kali dua
sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak dapat dishock memang hanya RJP yang
berkualitas ditambah dengan pemberian epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan sampai pasien
ROSC atau memenuhi kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak ada, epinefrin dapat
diganti dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi, penyebab dari henti
jantung juga perlu dicari dan ditangani.

Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, segera lakukan shock dengan
defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan monofasik. Pada
bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi pembuat alat,misalnya dosis
inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi maksimal yang mungkin. Jika alat
monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J.

Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit, sembari
melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan kembali pemeriksaan ritme
jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator kembali dilakukan. Epinefrin 1 mg
diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada kasus PEA atau asistol. Tiap kali shock dengan
defibrilator selesai dilakukan, RJP dilanjutkan selama dua menit. Setelah tiga kali shock dengan
defibrilator dilakukan korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat dilakukan dengan dosis
300 mg, bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah 2 kali shock lagi setelah
pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat diberikan sebesar 150 mg, bolus.
Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali itu saja. Jika tidak ada amiodarone,
lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis inisial adalah 1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau
pulseless VT, dapat ditambahkan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10
menit hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB.

Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT atau VF. Jika ritme berubah
menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja yang dilakukan. Jika epinefrin,
vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara intravena karena aksesnya tidak bisa
didapatkan, pemberian dapat dilakukan melalui endotracheal tube. Dosis optimal pemberian obat
melalui ETT belum diketahui secara pasti, tetapi dosis yang diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali
pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan dalam air steril atau normal saline 5-10 cc.

Anda mungkin juga menyukai