Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata manusia sebenarnya dapat mendeteksi hampir semua warna, bila cahaya
monokromatik dari warna merah, hijau dan biru itu di persatukan dalam bermacam-
macam kombinasi atau dapat melihat dan membedakan segala macam warna tanpa
ada kesulitan untuk membedakan warna-warna tertentu (Guyton, 2012).

Jika seseorang tidak mampu membedakan warna-warna tertentu seperti antara


warna merah dan hijau atau biru, atau gradasi keduanya maka di katakan buta warna.
Seseorang yang menderita buta warna dapat mengalami kesulitan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari seperti memadankan warna baju dan lain-lain, atau bahkan
membuat seseorang tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu yang membutuhkan
presepsi warna dalam tanggung jawabnya, seperti pilot karena banyak aspek
penerbangan bergantung pada pengkodean warna-warna tertentu (Kartika,2014).

Faktor utama sebagai penyebab terjadinya buta warna adalah genetik, yang
artinya buta warna dapat di turunkan secara genetik, di akibatkan karena mutasi pada
kromosom X. Terdapat banyak mutasi dan paling sedikit ada 19 kromosom berbeda
yang dapat menyebabkan terjadinya buta warna. Terdapat beberapa penyakit yang di
turunkan yang bisa mengakibatkan buta warna seperti distrofi kerucut, distrofi
kerucut-batang, akromatism. ARMD, DM, dan amaurosis leber’s kongenital. Laki-
laki lebih beresiko tinggi menderita buta warna, terdapat 8% laki-laki dan 1% wanita
yang menderita buta warna (Ilyas,2015).

Prevalensi buta warna di Amerika Serikat pada tahun 2006 menurut Howard
Huges medical institute, terdapat 7% pria, atau sekitar 10,5 juta pria, dan 0,4%
wanita tidak dapat membedakan warna merah dari hijau, atau mereka melihat warna
merah dan hijau secara berbeda di bandingkan populasi umum. Sejumlah 95%
gangguan buta warna terjadi pada reseptor warna merah dan hijau pada mata pria
(Kartika,2014).
2

Prevalensi buta warna di Indonesia sebesar 7,4‰, tertinggi terdapat di Provinsi


DKI Jakarta (24,3‰) yang diikuti berturut-turut oleh Provinsi Kep. Riau (21,5‰),
Sumatera Barat (19,0‰), Gorontalo (15,9‰), Nanggroe Aceh Darussalam (15,2‰).
Prevalensi terendah terdapat di Sumatera Utara(1,5‰) (RISKESDA 2007).

Kelainan penglihatan warna tidak banyak mempengaruhi kehidupan awal


manusia seperti pada masa kanak-kanak, karena tidak di sertai oleh kelainan
penglihatan , kelainan penglihatan warna mulai berpengaruh ketika anak akan
menghadapi persyaratan untuk masuk jurusan tertentu yang mana buta warna
menjadi salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis, dan lain-lain.
Oleh karena hal tersebut, identifikasi dini kelainan buta warna perlu di lakukan untuk
membimbing anak dalam menentukan pendidikanya kelak (Ilyas,2004).

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan, maka peneliti tertarik
untuk meneliti angka kejadian buta warna pada siswa-siswi SMA Al-Manar dan
dengan penelitian ini, nantinya diharapkan kita akan mengetahui karakteristik buta
warna pada siswa-siswi SMA Al-Manar Medan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian dan karakteristik


penderita buta warna pada siswa dan siswi SMA Al-Manar Medan. Dalam hal ini
peneliti akan meneliti jumlah buta warna menyangkut jenis kelamin, jenis buta warna
yang di derita oleh siswa dan siswi SMA Al-Manar Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah di paparkan di atas maka rumusan masalah


peneliti adalah: “Berapakah Angka Kejadian Buta Warna pada siswa-siswi SMA Al-
Manar Medan?
3

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui angka kejadian buta warna pada siswa-siswi SMA Al-Manar
Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui frekuensi buta warna pada siswa-siswi SMA Al-Manar


Medan.

2. Untuk mengetahui distribusi angka kejadian buta warna berdasarkan jenis


kelamin pada siswa-siswi SMA Al-Manar Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Di harapkan penelitian ini dapat memberika manfaat ilmu pada peneliti dan
menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktisi

Di harapkan penelitian ini dapat membantu siswa-siswi SMA Al-Manar untuk


menentukan jurusan yang akan di pilihnya nanti.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Buta warna
juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan penglihatan yang disebabkan
ketidakmampuan sel-sel kerucut (cone cell) pada retina mata untuk menangkap suatu
spektrum warna tertentu sehingga objek yang terlihat bukan warna yang
sesungguhnya (Handayani,2010).

2.2 Etiologi

Buta warna karena herediter dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta warna
total), dikromasi (hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus trikromasi
(tiga sel kerucut berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua jenis buta warna,
kasus yang paling umum adalah anomalus trikromasi, khususnya deutranomali, yang
mencapai angka 5% dari pria. Sebenarnya, penyebab buta warna tidak hanya karena
ada kelainan pada kromosom X, namun dapat mempunyai kaitan dengan 19
kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa penyakit yang diturunkan
seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat menyebabkan seseorang
menjadi buta warna (Handayani, 2010).

Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena
buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut
carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya.
Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99%
penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Handayani,
2010).
5

Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW
(Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1
Middle Wave), yang menyandi pigmen hijau (Handayani, 2010).

Buta warna dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik, sedang
pada kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning
sedang kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau
(Handayani, 2010).

2.3 Prevalensi

Prevalensi buta warna di Amerika Serikat pada tahun 2006 menurut Howard
Huges Medical Institute, terdapat 7% pria, atau sekitar 10.5 juta pria, dan 0.4%
wanita tidak dapat membedakan merah dan hijau, atau mereka melihat merah dan
hijau secara berbeda di bandingkan populasi umum. Sejumlah 95% gangguan buta
warna terjadi pada reseptor warna merah dan hijau pada pria (Kartika,2014).

Sedangkan prevalensi buta warna di Indonesia adalah sebesar 0,7% (Riskesdas


2007), Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna di atas prevalensi
nasional yaitu provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Sumatra Utara,
Sumatra Selatan, Bangka Belitung, DKI jakarta, dan Nusa Tenggara Barat
(RISKESDA, 2007).

2.4 Patofisiologi

Banyak tipe dari buta warna, tipe yang paling sering adalah buta warna merah-
hijau yang bersifat herediter/genetik karena kerusakan pada photoreseptor oleh
karena kehilangan gen pembentuk pigmen warna atau gen tersebut gagal bekerja.
Seseorang tidak mampu membedakan warna ketika kehilangan gen ini yang bisa saja
terjadi pada salah satu kelompok pigmen sel kerucut (warna hijau, kuning, oranye
dan merah), warna – warna ini memiliki panjang gelombang antara 525–675
nanometer bisa dibedakan apabila memiliki pigmen warna merah dan hijau, ketika
salah satunya hilang, orang ini tidak akan dapat membedakan keempat warna
6

tersebut. Pada laki-laki, gen yang membentuk protein opsin yang bergabung dengan
retinol dalam penentuan pigmen warna biru berada pada kromosom 3, sedangkan gen
penentu untuk pigmen merah hijau terletak pada lengan panjang kromosom X . Pada
penglihatan warna normal pada kromosom X banyak ditemukan gen yang terkait
dengan pigmen warna, oleh karena itu jarang ditemukan penderita perempuan,
karena paling tidak satu dari dua kromosom X nya merupakan gen normal untuk
masing-masing sel kerucut (Situmorang,2010).
Buta warna yang didapat bisa karena pengaruh dari kerusakan retina, saraf optik,
dan daerah otak bagian atas (cranial) karena daerah otak bagian atas memiliki peran
dalam identifikasi warna yang meliputi “parvocellular pathway”dari nuklei lateral
geniculate dari talamus, visual area V4 dari korteks penglihatan. Buta warna yang
didapat tidak sama dengan buta warna karena pengaruh genetik. Misalnya sangat
mungkin mengalami buta warna pada satu porsi dari daerah penglihatan warna
namun daerah lainnya berfungsi normal. Penurunan penglihatan warna merupakan
indikator sensitif untuk beberapa bentuk dari kelainan makula yang didapat atau
penyakit saraf , seperti pada optik neuritis atau tekanan saraf optik oleh karena
adanya massa, kelainan penglihatan warna lebih awal muncul dibanding penurunan
tajam penglihatan. Usia juga berpengaruh terhadap kejadian buta warna, kejadian
buta warna meningkat pada penderita alzheimer.Tidak ada pengaruh neuroendokrin
pada kelainan buta warna ini (Situmorang,2010).
Jenis yang berbeda dari buta warna yang diturunkan terjadi oleh karena
kehilangan fungsi sistem sel kerucut secara parsial atau komplit. Ketika satu sistem
sel kerucut yang terkena, akan terjadi buta warna dichromacy. Bentuk yang paling
sering dari buta warna terjadi oleh karena masalah pada sistem sel kerucut yang
sensitif terhadap gelombang cahaya sedang dan panjang sehingga nantinya sulit
untuk membedakan warna merah, kuning, hijau. Kelainan ini disebut buta warna
merah-hijau. Bentuk buta warna yang lainnya jarang ditemukan, dan bentuk yang
paling jarang terjadi adalah buta warna komplit atau buta warna monochromacy,
dimana seseorang tidak bisa membedakan warna dari warna abu-abu, serperti yang
terlihat dalam siaran televisi hitam putih (Situmorang,2010).
7

Penyakit genetik buta warna merah-hijau lebih banyak menyerang laki-laki


dibandingkan perempuan, karena gen yamg mengkodekan pigmen merah dan hijau
berada pada lengan panjang kromosom X, dimana laki-laki hanya punya satu dan
wanita memiliki dua (XX). Wanita yang memiliki genotipe 46 XX akan menjadi buta
warna, apabila kedua kromosom X mengalami kelainan, sedangkan pada laki-laki 46
XY, akan terjadi buta warna bila satu kromosom X nya mengalami kelainan
(Situmorang,2010).
Gen yang mengkode pigmen merah-hijau diturunkan dari laki-laki yang buta
warna kepada semua anak perempuan mereka yang heterozigot carrier , dan wanita
carrier berkesempatan menurunkan sifat buta warna 50% kepada anak laki-laki
mereka. Jika seorang laki-laki buta warna menikah dengan wanita carrier buta warna,
anak perempuan mereka kemungkinan akan lahir dengan buta warna (Situmorang,
2010).

2.5 Ciri-ciri Buta Warna

A. Ciri-ciri Buta Warna Kongenital

Ciri-ciri dari buta warna kongenital sebagai berikut :

1. Buta warna kongenital terjadi pada kedua mata (bilateral) dan simetris
2. Buta warna kongenital mudah dideteksi karena memperlihatkan pola yang
pasti
3. Defisit penglihatan warna tadi bersifat stabil
4. Defisit penglihatan warna tidak disertai gejala atau keluhan mata yang lain

(Hartono,2009).

B. Ciri-ciri buta Warna yang didapat (Akuisita)

Ciri-ciri buta warna yang didapat (akuisita) :

1. Mengenai semua spektrum warna karena penyakit dapatan ini akan mengenai
ketiga jenis konus, tidak bisa memilih salah satu atau kedua macam konus
saja
2. Defisit dapat ringan atau berat
8

3. Defisit terjadi secara cepat


4. Defisit terjadi unilateral, dan jika bilateral biasanya simetris
5. Defisit tadi disertai dengan gejala atau keluhan gangguan penglihatan lainya

(Hartono,2009).

2.6 Klasifikasi

Cacat penglihatan warna atau buta warna dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

2.6.1 Buta Warna Parsial

1. Trikomat

Yaitu keadaan pasien yang mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi
penglihatan. Pasien buta warna dapat melihat berbagai warna akan tetapi dengan
interpretasi berbeda daripada normal yang paling sering ditemukan adalah :

a) Trikomat anomali (kurang biru)

Dimana pasien mempunyai ketiga pigmen kerucut akan tetapi satu tidak normal,
pada anomali ini perbandingan merah-hijau yang dipilih pada anomaloskop berbeda
dibanding dengan normal.

b) Deutronomali (kurang hijau)

Dengan cacat pada hijau sehingga diperlukan lebih banyak hijau, karena terjadi
gangguan lebih banyak daripada warna hijau

c) Protanomali (kurang merah)

Dimana diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung menjadi kuning baku
pada anomaloskop, yang pada pasien terdapat buta berat terhadapwarna hijau-merah
dimana merah lebih banyak terganggu

.
9

2. Dikromat

Pasien yang mempunyai 2 pigmen kerucut dan mengakibatkan sukar


membedakan warna tertentu.

a) Protanopia (tidak kenal merah)

Keadaan yang paling sering ditemukan dengan cacat pada merah dan hijau.

b) Deutranopia (tidak kenal hijau)

Kurang pigmen hijau.

c) Tritanopia ( tidak kenal biru)

Dimana terdapat kesukaran membedakan dengan warna merah dari kuning.

3.Monokromat

Dimana hanya terdapat satu jenis kerucut, yang sering mengeluh fotofobia,
tajam penglihatan yang kurang.

a) Monokromatisme rod (batang)

Disebut juga suatu akromatopsia dimana terdapat kelainan pada kedua mata
bersama dengan keadaan lain seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus,
fotofobia,skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat kelainan sentral hingga
terdapat gangguan penglihatan total.

b) Monokromatsime cone (kerucut)

Dimana terdapat hanya sedikit cacat, hal yang jarang, tajam penglihatan normal,
tidak terdapat nistagmus (Ilyas,2015).

2.6.2 Buta Warna Total

Dimana seseorang hanya dapat membedakan warna dalam bentuk hitam putih
saja (Ilyas, 2015).
10

2.7 Pemeriksaan Buta Warna

Uji Ishihara

Merupakan uji untuk mengetahui adanya defek penglihatan warna, didasarkan


pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna
(Ilyas, 2008). Menurut Guyton (1997) Metode Ishihara yaitu metode yang dapat
dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna didasarkan pada
pengunaan kartu bertitik-titik (Handayani,2011).

Kartu ini disusun dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-


macam warna. Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna dengan memakai
satu seri gambar titik bola kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar
pseudokromatik), sehingga dalam keseluruhan terlihat warna pucat dan menyukarkan
pasien dengan kelainan penglihatan warna melihatnya (Handayani,2011).

Penderita buta warna atau dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat
sebagian ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan. Pada
pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang diperlihatkan
dalam waktu 10 detik (Ilyas, 2008). Penyakit tertentu dapat terjadi ganguan
penglihatan warna seperti buta warna merah dan hijau pada atrofi saraf optik, optik
neuropati toksi dengan pengecualian neuropati iskemik, glaukoma dengan atrofi
optik yang memberikan ganguan penglihatan biru kuning (Handayani, 2011).

2.8 Penatalaksanaan

Tidak terdapat pengobatan untuk buta warna yang diturunkan, sedangkang buta
warna didapat diterapi sesuai penyebab. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai
alat bantu penglihatan warna.

1. Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji warna
namun tidak memperbaiki penglihatan warna.

2. Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah penglihatan


warna dapat membedakan sedikit warna saat tidak terlalu terang.
11

3. Uji Ishihara merupakan uji untuk mengetahui uji defek penglihatanwarna


didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan
berbagai ragam warna (Kartika, 2014).

2.9 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Buta Warna

Total Parsial

Trikomat Dikromat Monokromat

2.10 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

\ Siswa-Siswi SMA AL-Manar


Buta Warna
Medan
12

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif. Penelitian


deskriptif adalah suatu penelitian yang di lakukan untuk menggambarkan suatu
fenomena yang terjadi didalam masyarakat menurut Notoatmodjo (2010). Sedangkan
untuk desain penelitian menggunakan desain case series.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Al-Manar, Jalan Karya Bakthi No 34,


Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Sumatera Utara. Penelitian dimulai pada
Bulan Januari 2017 sampai dengan selesai.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Menurut buku Metode Penelitian oleh Sugiyono (20012:119) Populasi adalah


Wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulanya (Habibullah,2013).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi dijelaskan dalam buku Metode Penelitian oleh Sugiyono (2012:120).
Meskipun sampel hanya merupakan bagian dari populasi , kenyataan-kenyataan yang
diperoleh dari sampel itu harus dapat menggambarkan dalam populasi
(Habibullah,2013). Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi seluruh siswa
dan siswi SMA Al-Manar dengan jumlah 118orang.
13

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Total


Sampling. Total sampling adalah peneliti melakukan penelitianya terhadap seluruh
populasi atau objek (Notoatmodjo,2010).

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek ke
subyek yang lain. Yang dimaksud dengan variabel adalah karateristik suatu subyek,
bukan subyek atau bendanya sendiri. Seperti misalnya, badan, klamin, darah, atau
hemoglobin bukan merupakan variabel, yang merupakan variabel adalah tinggi
badan, berat badan, jenis kelamin, tekanan darah, atau kadar hemoglobin
(Sastroasmoro,2014).

Dalam penelitian ini, variabel penelitianya adalah umur dan jenis kelamin dan
tingkat pendidikan.

3.6 Definisi Operasional Penilitian

Definisi operasional adalah untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian


variabel-variabel yang di amati atau diteliti. Defenisi operasional ini juga bermanfaat
untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel
yang bersangkutan serta pengembangan intrumen atau alat ukur (Notoatmodjo,2010).
14

Tabel 3.1 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Teknik Skala Hasil


Operasional dan Alat Pengukuran Pengkuran
Ukur

1. Buta Buta warna Buku Ordinal Total


Warna adalah Ishihara Parsial
penglihatan
Normal
warna-warna
yang tidak
sempurna

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat ukur atau alat pengumpulan data


(Notoatmodjo,2010).

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes
Ishihara atau Uji Ishihara. Uji Ishihara merupakan uji untuk mengetahui uji defek
penglihatan warna didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu
dengan berbagai ragam warna (Ilyas, 2015)

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan Uji ishihara pada siswa-siswi SMA
Al-Manar diminta melihat dan mengenali tanda gambar pada plate ishihara yang di
perlihatkan dalam waktu 10 detik.

3.8 Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data menggunakan data primer. Data primer adalah data yang di
ambil langsung oleh peneliti melalui pemeriksaan Uji Ishihara kepada siswa-siswi
SMA Al-manar medan.
15

3.9 Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data didapat dari hasil uji ishara, yang meliputi umur jenis kelamin dan
tingkat pendidikan. Maka metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisa data univariat.

3.9.1 Analisa Data Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan


karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univarite tergantung dari jenis
datanya. Untuk data numerik digunakna nilai mean rata-rata, median dan standar
deviasi (Notoatmodjo,2010).
16

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Al-manar Medan. SMA Al-manar


adalah salah satu lembaga pendidikan swasta yang telah terakreditasi dengan
peringkat B (baik). SMA Al-manar medan berlokasi dijalan karya bakti no.34
Medan. SMA Al-manar Medan memiliki 5 kelas dengan pembagian kelas
berupa kelas 1 berjumlah 1, kelas 2 berjumlah 2, dan kelas 3 berjumlah 2
kelas. Jumlah siswa keseluruhan ada 118 orang.

4.1.2 Angka Kejadian Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA AL-MANAR

Dari hasil penelitian yang didapat, siswa yang mengalami buta warna
sebanyak 10 siswa/i (8,5%) dan siswa/i yang tidak mengalami buta warna
atau normal sebanyak 108 siswa/i (91,5%).

Gambar 4.1 Angka Kejadian Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA ALMANAR

Normal Buta warna

8,5%

91,5%
17

4.1.3 Distribusi Responden

4.1.3.1 Distribusi Angka Kejadian Buta Warna Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian didapat pada siswa laki-laki didapati 9 orang


mengalami buta warna dan 37 siswa lainnya tidak mengalami buta warna, pada
siswi perempuan yang mengalami buta warna berjumlah 1 orang dan 71 siswi
lainnya tidak mengalami buta warna.

4.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan pada 21 februari 2017 dengan cara melakukan


pemeriksaan buta warna menggunakan buku ishihara. Penelittian ini
dilakukan di SMA AL-MANAR Medan dengan jumlah populasi 118 siswa.
Sample pada penelitian ini menggunakan total sampling.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan didapati yang


mengalami buta warna sebanyak 10 siswa/i (8,5%) dan yang tidak mengalami
buta warna atau normal sebanyak 108 siswa/i (91,5%) pada siswa/i SMA AL-
MANAR Medan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Minarni Aritonang pada tahun 2014 di SMA Thomas 1 Medan adalah
sebanyak 9 orang (2%) dari total keseluruhan 464 responden dan penelitian
Abdul Muis Situmorang pada tahun 2010 menunjukan dari 330 subjek
penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek
penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan
warna pada siswa-siswi SMU di Kecamaan Helvetia Medan.

Hasil diatas berbeda dengan data dari RISKESDA 2007 mengenai


buta warna pada daerah sumatera utara yang menunjukan angka 7,5 %
penderita buta warna, hasil ini berbeda karena perbedaan antara waktu dan
tempat dalam pengambilan data.
18

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada siswa laki-laki


didapati 9 siswa yang mengalami buta warna dan 37 siswa tidak mengalami
buta warna. Pada siswi perempuan yang mengalami buta warna berjumlah
siswi dan 71 siswi tidak mengalami buta warna. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Minarni Aritonang pada tahun 2014 di SMA Thomas 1 Medan
dapat disimpulkan bahwa buta warna umumnya terjadi pada laki-laki. Namun
hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Abdul Muis Situmorang pada tahun
2010 pada siswa-siswi SMU di Kecamaan Helvetia Medan dengan hasil jenis
kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak
laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).

Jadi kenapa hasil didapat sama dengan Minarni Aritonang mengenai


angka kejadian lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki karena, gen buta
warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta
warna secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX
untuk terkena buta warna. Dan kenapa hasil saya berbeda Abdul Muis
Situmorang yang menunjukan wanita lebih tinggi terkena buta warna karena,
Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut
carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-
anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia.
19

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai angka


kejadian buta warna pada siswa-siswi SMA AL-MANAR medan, didapat
kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebanyak 10 orang (8,5%) siswa/i mengalami buta warna, sebanyak 108


siswa/i (91,5%) tidak mengalami buta warna atau normal.
2. Siswi perempuan yang mengalami buta warna berjumlah 1 siswi dari 72
jumlah sisiwi SMA Al-Manar. Pada siswa laki-laki didapati 9 orang
mengalami buta warna dari 46 jumlah siswa SMA Al-Manar.

2.2 Saran
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti
memiliki beberapa saran, yaitu:

1. Bagi SMA AL-MANAR Medan


Diharapkan dapat memberikan edukasi kepada siswa-siswi akan
pentingnya tes buta warna untuk menentukan jurusan apa yang sesuai
dengan keadaan siswa-siswinya.
2. Bagi Instuti Kesehatan
Diharapkan untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan dan
penemuan pengobatan yang terbaru.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Kepada peneliti yang akan membahas hal yang sama untuk
memperbanyak jumlah sampel, mengkondisikan semua sampel dalam
kondisi dan perlakuan yang sama.
20

4. Bagi Masyarakat
Kepada masyarakat yang akan menikah sebaiknya dihindari pasangan
yang mengalami buta warna, karna kemungkinan besar anak mengalami
buta warna.
21

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, M. (2014). Insidesni Buta Wana Siswa Kelas X SMA Santo Thomas I
Medan Tahun 2014. Medan

Badan Penelitian Kesehatan. (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA) 2007.


Jakarata: Kementrian RI.

Guyton, A. C. (2012). fisiologi kedokteran. jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.

Habibullah. (2013). Perbandingan Overhand Throw Dan Sidehand Throw Terhadap


Akurasi Dan Kecepatan Lemparan Dalam Olahrga Softball. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

Handayani, E. (2010). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokterean


Universitas Sumatera Utara Stambuk 2008-2010 Mengenai Buta Warna.
Medan.

Hartono. (2009). Simptomologi dalam Neuro-Oftamologi. Yogyakarta: Pustaka


Cendekia Press.

Kartika, & keishatyanarsha kuntjoro, y. h. (2014). Patofisiologi dan Diagnosis Buta


Warna. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya.

Notoatmodjo, S. (2010). metedologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT RINEKA


CIPTA.

Sastrroasmoro, S & Ismel, S. (2014). Dasar-dasar Metedologi Penelitian Klinis. Ed.


5. Jakarta: Agung Seto.

Sidarta ilyas, s. r. (2015). ilmu penyakit mata. jakarta: fakultas kedokteran sumatra
utara.

Sitomorang, A. M. (2010). PREVALENSI BUTA WARNA PADA SISWA/SISWI SMU


di KECAMATAN MEDAN HELVETIA. Medan.
22

Anda mungkin juga menyukai