Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERWATAN PADA KLIEN DENGAN COB


( CIDERA OTAK BERAT )

Disusun untuk memenuhi tugas profesi ners


Departemen Surgical di Ruang 12 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
DYAN EKA RIYANTO PUTRA
NIM. 150070300113005

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

“LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


SURGIKAL DENGAN KLIEN “CIDERA OTAK BERAT” DI RUANG 12
RSUD
Dr. SYAIFUL ANWAR MALANG”

Disusun oleh :

DYAN EKA RIYANTO PUTRA


150070300113005
Kelompok 20

Telah diperiksa kelengkapannya pada :


Hari :
Tanggal :

Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Mengetahui,

Perseptor Klinik Perseptor Akademik

............................................. .............................................
NIP.

Kepala Ruang 12
RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang

.........................................................
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN

DEFINISI

Trauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang

mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual,

emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)

Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan

otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan

intra kranial (Smeltzer,2000)

EPIDEMOLOGI

Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-

anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan–2 tahun, usia 15-24 tahun, dan

orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1.

Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal pada

lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie,

2005).Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan

trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat.

ETIOLOGI

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala antara lain:

a. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak),

b. pertengkaran,

c. jatuh,

d. kecelakaan olahraga,

e. tindakan criminal
KLASIFIKASI

Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi

apabila benturan hebat pada objek yang keras atau benda yang bergerak

dengan kecepatan tinggi menabrak kepala. Lapisan dura masih utuh,

tidak ada bagian otak yang muncul keluar.

b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi

kepala nampak dari luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak

termasuk dura. Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko

terjadinya infeksi.

Berdasarkan nilai kesadaran:

a. Cidera otak ringan (GCS 13 – 15): tidak terjadi ganggguan

neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran selama kurang

dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam

b. Cidera otak sedang (GCS 9 – 12): penurunan kesadaran dalam 1-

24 jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.

c. Cidera otak berat (GCS 3-8): penurunan kesadaran lebih dari 24

jam dan amnesia post trauma lebih dari satu minggu.

Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :

a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu

membuat jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup

kuat untuk menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan

keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur

tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala

berputar dan diatasnya ada burung-burung emprit yang mengelilingi

kepala kita, dan beberapa saat setelah itu kita akan kembali
sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran dalam

waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi,

letargi, pusing.

b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius

daripadaconcussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan

arteri otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan

dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.

c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses

ekselerasi-deselerasi atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya

gangguan pada sistem saraf pada daerah otak yang mengalami memar.

Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut

menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala yang parah,

kompresi batang otak, keabnormalan pernafasa (pernfasan dalam),

gangguan motorik yang bersifat kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang

searah dengan trauma, kejang, perdarahan. Epidural

hematoma merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena

terjadi pada artesi otak.

d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi.

Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada

daerah subdural (antara duramater dan arachnoid). Biasanya mengenai

vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri). Gejala: mirip

dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat

karena sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada

epidural mengenai arteri.

e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub

akut dan memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah pada
pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada

bagian frontal dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi.

Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak perdarahan,

gangguan motorik, peningkatan tekanan intracranial.

f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe

yaitu linear, comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian

depan dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala

yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab

trauma, displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan

sensor motorik,periorbital ekimosis (bercak merah pada mata),

adanya battle’s sign (ekimosis pada tulang mstoid), akumulasi darah pada

membran timpani.

Gambar dikutip dari smeltzer (2000)

PATOFISIOLOGI

Kerusakan akibat cidera otak tidak seluruhnya terjadi pada saat trauma itu

terjadi. Berdasarkan waktunya, kerusakan akibat trauma otak dibagi menjadi

kerusakan primer, yaitu efek yang muncul beberapa saat setelah kejadian seperti

kontusio, perdarahan, memar atau lain sebagainya. Tipe kedua adalah

kerusakan sekunder,yaitu kerusakan pada otak yang terjadi beberapa jam atau

hari setelah kejadian (Smeltzer, 2000). Merupakan tahap lanjut dari kerusakan
primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan

berantai seperti meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron lanjut,

iskemia, atau hipertermi (Japardi, 2002). Kerusakan sekunder ini sering terjadi

akibat ketidakefektifan pemberian intervensi oleh petugas kesehatan. Kerusakan

pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ- organ lain. Pada otak,

dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika terjadi memar atau

perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan yang berada dalam tulang

tengkorak. Oleh karena tulang tengkorak yang tidak dapat mengembang,

sebagai akibatnya perdarahan yang mengalir akan mendesak tulang tengkorak

ke dalam(ke jaringan otak). Jika hal ini terus dibiarkan maka jumlah cairan dalam

tulang tengkorak akan meningkat dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

intra cranial. Tahap selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya gangguan

pada aliran darah menuju otak. Peningkatan tekanan ini akan menurunkan aliran

darah ke otak sehingga jaringan otak mengalami hipoksia dan terjadilah iskemia.

Pada keadaan hipoksia, otak akan melakukan metabolisme anaerob untuk

memenuhi kebutuhan energy sel nya. Metabolisme anaerob menghasilkan asam

laktat. Herniasi otak terjadi setelah proses iskemia berlangsung.

MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala dari cidera otak secara umum antara lain:

 Penurunan kesadaran

 Keabnormalan pada sistem pernafasan

 Penurunan reflek pupil, reflek kornea

 Penurunan fungsi neurologis secara cepat

 Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan

darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)


 Pusing, vertigo

 Mual dan muntah

 Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik

 Amnesia

 Kejang

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi

pada saraf, perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.

b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK

melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF

berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).

c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan

ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.

d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur

pada tulang tengkorak.

e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan

struktur dalam otak

PENATALAKSANAAN

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):

a. Jalan nafas (Air way)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala

ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan


sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui

pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.

Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata,

pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.

Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,

infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.

Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab

dan kalau perlu memakai ventilator.

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.

Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor

ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat

dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok

septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi

jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch

atau darah.

d. Pemeriksaan fisik

Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,

defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama

ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah

satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan

harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

e. Pemeriksaan radiologi
f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial

atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang

monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg

sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi

Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang

terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi

vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi

dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba

dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi

diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi

periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.

2. Drainase

Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek

dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang

ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.

3. Terapi diuretik

 Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal

melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak

terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6

jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
 Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan

cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri.

Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang

efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv

4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua

jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:

Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam,

lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1

mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis

diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi

menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak

digunakan lagi pada kasus cedera kepala.

6. Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan

bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan

posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit

sehingga drainase vena otak menjadi lancar.


G. Keseimbangan cairan elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya

edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral,

sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat

dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan

cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia

menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah

stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30

ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.

h. Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal

dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh

karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan

bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral

pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak

2000-3000 kalori/hari.

i. Epilepsi/kejang

Pengobatan:

 Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

 Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.

Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40

mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah

400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian

Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan

dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom

intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang

Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau

bagian tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.

Pengkajian

BREATHING

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,

sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun

iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,

stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi

peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

BLOOD:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.

Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan

parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,

merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung

(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

BRAIN

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya

gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia

seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada

ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi

gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :


 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan

memori).

 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan

sebagian lapang pandang, foto fobia.

 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus

menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah

satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

BLADER

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,

ketidakmampuan menahan miksi.

BOWEL

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah

(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan

menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

BONE

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada

kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula

terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi

karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks

pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
KOMPLIKASI

a. Peningkatan tekanan intra cranial

b. Infeksi

c. Gagal nafas

d. Herniasi otak
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

 Anamnesa: pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing, mual

atau bahkan penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang menjadi resiko dari

cidera kepala antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan – 2

tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria

dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu

yang tinggal pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi

rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat

keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat

 Pemeriksaan fisik:

B1: perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan,

peningkatan frekuensi nafas

B2: hipertensi, hipotensi, taki kardi, bradikardi, CRT > 3 detik,

sianosis

B3: nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan

reflek pupil

B4: inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi urin

B5: mual, muntak, reflek menelan mengalami penurunan,

konstipasi

B6: kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak


DIAGNOSA KEPERAWATAN:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian

aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD

sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan

neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi

atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi

dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).

4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik

psikologis.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau

kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan

keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.

6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit

rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.

Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).

Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)

7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien

(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk

mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

8. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis

situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.

9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang

mengingat/keterbatasan kognitif.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian

aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD

sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

Tujuan:

 Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi

motorik/sensorik.

Kriteria hasil:

 Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

INTERVENSI RASIONAL

Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau

menyebabkan koma/penurunan kegagalan dalam pemulihannya setelah

perfusi jaringan otak dan serangan awal, menunjukkan perlunya

potensial peningkatan TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.

Pantau /catat status neurologis Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial

secara teratur dan bandingkan peningkatan TIK dan bermanfaat dalam

dengan nilai standar GCS. menentukan lokasi, perluasan dan

perkembangan kerusakan SSP.

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial


Evaluasi keadaan pupil, ukuran,
okulomotor (III) berguna untuk menentukan
kesamaan antara kiri dan kanan,
apakah batang otak masih baik. Ukuran/
reaksi terhadap cahaya.
kesamaan ditentukan oleh keseimbangan

antara persarafan simpatis dan parasimpatis.


Respon terhadap cahaya mencerminkan

fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial

optikus (II) dan okulomotor (III).

Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh

penurunan TD diastolik (nadi yang

Pantau tanda-tanda vital: TD, membesar) merupakan tanda terjadinya

nadi, frekuensi nafas, suhu. peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan

kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat

mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral.

Demam dapat mencerminkan kerusakan

pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan

metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi

(terutama saat demam dan menggigil) yang

selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total

tubuh yang terintegrasi dengan perfusi

jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat

mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan

ini dapat mengarahkan pada masalah

hipotermia atau pelebaran pembuluh darah


Pantau intake dan out put, turgor
yang akhirnya akan berpengaruh negatif
kulit dan membran mukosa.
terhadap tekanan serebral.

Memberikan efek ketenangan, menurunkan

reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan

istirahat untuk mempertahankan atau


menurunkan TIK.

Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan

intrathorak dan intraabdomen yang dapat

meningkatkan TIK.
Turunkan stimulasi eksternal dan
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
berikan kenyamanan, seperti
sehingga akan mengurangi kongesti dan
lingkungan yang tenang.
oedema atau resiko terjadinya peningkatan

TIK.

Bantu pasien untuk menghindari

/membatasi batuk, muntah,


Pembatasan cairan diperlukan untuk
mengejan.
menurunkan edema serebral, meminimalkan
Tinggikan kepala pasien 15-45 fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.

derajad sesuai indikasi/yang


Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
dapat ditoleransi.
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah

serebral yang meningkatkan TIK.

Batasi pemberian cairan sesuai Diuretik digunakan pada fase akut untuk

indikasi. menurunkan air dari sel otak, menurunkan

edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan

inflamasi, yang selanjutnya menurunkan


Berikan oksigen tambahan
edema jaringan. Antikonvulsan untuk
sesuai indikasi.
mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas

kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri

. Sedatif digunakan untuk mengendalikan


Berikan obat sesuai indikasi,
kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan
misal: diuretik, steroid, atau mengendalikan demam yang

antikonvulsan, analgetik, sedatif, mempunyai pengaruh meningkatkan

antipiretik. metabolisme serebral atau peningkatan

kebutuhan terhadap oksigen.

2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan

neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi

atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

Tujuan:

 mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:

 bebas sianosis, GDA dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL

Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi

kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya

Catat ketidakteraturan keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode

pernapasan. apnea dapat menandakan perlunya ventilasi

mekanis.

Kemampuan memobilisasi atau membersihkan


Pantau dan catat kompetensi
sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas.
reflek gag/menelan dan
Kehilangan refleks menelan atau batuk
kemampuan pasien untuk
menandakan perlunaya jalan napas buatan atau
melindungi jalan napas
intubasi.
sendiri. Pasang jalan napas

sesuai indikasi.

Angkat kepala tempat tidur Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru


sesuai aturannya, posisi dan menurunkan adanya kemungkinan lidah

miirng sesuai indikasi. jatuh yang menyumbat jalan napas.

Anjurkan pasien untuk Mencegah/menurunkan atelektasis.

melakukan napas dalam

yang efektif bila pasien sadar.

Lakukan penghisapan

dengan ekstra hati-hati, Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien

jangan lebih dari 10-15 detik. koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak

Catat karakter, warna dan dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.

kekeruhan dari sekret. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam

harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena

hal tersebut dapat menyebabkan atau

meningkatkan hipoksia yang menimbulkan

vasokonstriksi yang pada akhirnya akan

berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.

Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru


Auskultasi suara napas, seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan

perhatikan daerah napas yang membahayakan oksigenasi cerebral

hipoventilasi dan adanya dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.

suara tambahan yang tidak

normal misal: ronkhi,

wheezing, krekel.

Pantau analisa gas darah, Menentukan kecukupan pernapasan,

tekanan oksimetri keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan


Lakukan ronsen thoraks terapi.

ulang.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-

tandakomplikasi yang berkembang misal:

atelektasi atau bronkopneumoni.

Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan


Berikan oksigen.
membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika

pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan

ventilasi mekanik.

Walaupun merupakan kontraindikasi pada

pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi


Lakukan fisioterapi dada jika
tindakan ini seringkali berguna pada fase akut
ada indikasi.
rehabilitasi untuk memobilisasi dan

membersihkan jalan napas dan menurunkan

resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit

rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.

Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).

Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)

Tujuan:

Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi:

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.


INTERVENSI RASIONAL

Berikan perawatan aseptik dan Cara pertama untuk menghindari

antiseptik, pertahankan tehnik cuci terjadinya infeksi nosokomial.

tangan yang baik.

Observasi daerah kulit yang


Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami kerusakan, daerah yang
memungkinkan untuk melakukan
terpasang alat invasi, catat
tindakan dengan segera dan
karakteristik dari drainase dan adanya
pencegahan terhadap komplikasi
inflamasi.
selanjutnya.

Pantau suhu tubuh secara teratur,


Dapat mengindikasikan perkembangan
catat adanya demam, menggigil,
sepsis yang selanjutnya memerlukan
diaforesis dan perubahan fungsi
evaluasi atau tindakan dengan segera.
mental (penurunan kesadaran).

Anjurkan untuk melakukan napas

dalam, latihan pengeluaran sekret paru Peningkatan mobilisasi dan

secara terus menerus. Observasi pembersihan sekresi paru untuk

karakteristik sputum. menurunkan resiko terjadinya

pneumonia, atelektasis.
Berikan antibiotik sesuai indikasi

Terapi profilatik dapat digunakan pada

pasien yang mengalami trauma,

kebocoran CSS atau setelah dilakukan

pembedahan untuk menurunkan resiko

terjadinya infeksi nosokomial.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah

XI – Traumatologi , Surabaya.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 .

EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.

EGC, Jakarta.

Carpenito, LJ.,2004. Nursing Care Plans & Documentation: Nursing

Diagnoses and Collaborative Problems 4th Edition. Philadelpia :LWW

Publisher

Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp

Japardi, I., 2002. Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. Medan : USU

Okie, S., 2005. Traumatic Brain Injury in the War Zone, The New England

Journal of Medicine, 352:2043-2047.

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing

3 ed. Philadelpia: LWW Publisher


PATHWAY
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan cel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin


Sistemik & TD   sekresi asam
lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah


Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi


kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 


Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia, hiperkapnea

Anda mungkin juga menyukai