Anda di halaman 1dari 15

1. BAB, Motilitas Usus, Bising Usus, Anemia, Tablet Fe, Nyeri dan Konstipasi.

2. BAB atau defekasi suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran
atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk
hidup.
Motilitas Usus adalah Motilitas adalah kemampuan untuk bergerak jadi motilitas usus
bisa disebut dengan pergerakan usus.
Bising usus adalah Bising usus adalah bunyi yang disebabkan oleh bunyi udara dan cairan
di dalam usus yang bergerak karena peristaltik usus.
Anemia adalah Anemia adalah suatu kondisi tubuh yang terjadi ketika sel-sel darah merah
(eritrosit) dan/atau Hemoglobin (Hb) yang sehat dalam darah berada dibawah nilai
normal (kurang darah).
Tablet Fe adalah Zat besi adalah suatu suplemen panambah darah yang sangat dibutuhkan
oleh penderita anemia.
Nyeri adalah Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya
keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana
membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik
(vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan
untuk melakukan buang air besar.
3.
A. Perubahan yang terjadi pada system gastrointestinal yang terjadi pada lansia
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan gaya
hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain
perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal akibat
proses menua:

1. Mulut
Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah. Kehilangan
gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30
tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera
pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera
pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa
manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam,
dan pahit (Nugroho, 2008)

2. Esofagus
Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran seiring
penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Refleks
muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini meningkatkan
resiko terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000).

3. Lambung
Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan
menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran
lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung makanan menjadi
berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam
lambung berkurang rangsang lapar juga berkurang (Darmojo & Martono, 2006).
Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan
penurunan motalitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari
penurunan sekresi asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan
absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan
melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan
terus melalui usus halus dan usus besar (Stanley, 2007).

4. Usus halus
Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan berkurang,
sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah duodenum
enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga
metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik
sewaktu muda (Leueckenotte, 2000).

5. Usus besar dan rektum


Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus,
elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah gagal mengosongkan
rektum yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000).
Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas kolon
menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolik
meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses menjadi lebih
keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan yang sering didapat
pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen
juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah . (Darmojo &
Martono, 2006).

6. Pankreas
Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia sering
terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang
menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh
enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu
(Darmojo & Martono, 2006).

7. Hati
Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi,
penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan
meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat
atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan
menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo & Martono, 2006).
Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan
metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan
sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi dalam sistem
empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley, 2007).
B. Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
a) Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi
dapat menyebabkan konstipasi.
b) Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat)
sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran
cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
c) Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
d) Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu
untuk diisi kembali oleh masa feses.
e) Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi.
Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada
sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan
antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
f) Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
g) Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
h) Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
i) Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia
dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
- Peningkatan stres psikologi.
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak
peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga
dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ).
Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan
konstipasi.
- Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua
turut berperan menyebabkan konstipasi.
C. Obstipasi berasal dari bahasa Latin Ob berarti in the way = perjalanan dan Stipareyang
berarti to compress = menekan Secara istilah obstipasi adalah bentuk konstipasi parah
biasanya disebabkan oleh terhalangnya pergerakan feses dalam usus (adanya obstruksi
usus). Gejala antara obstipasi dan konstipasi sangat mirip, terdapat kesukaran
mengeluarkan feses (defekasi). Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi berdasarkan
penyebabnya ialah konstipasi disebabkan selain dari obstruksi intestinal sedangkan
obstipasi karena adanya obstruksi intestinal.
Gejala obstipasi berupa pengeluaran feses yang keras dalam jangka waktu tiap 3-5 hari,
kadang disertai adanya perasaan perut penuh akibat adanya feses atau gas dalam perut.
Ada beberapa variasi pada kebiasaan buang air besar yang normal. Pada bayi baru lahir
biasanya buang air besar 2-3 kali sehari tergantung jenis susu yang dikonsumsi akan
tetapi masih mungkin normal bila buang air besar 36-48 jam sekali asal konsistensi tinja
normal.
Gejala antara obstipasi dan konstipasi sangat mirip, terdapat kesukaran mengeluarkan
feses (defekasi). Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi berdasarkan bahasanya.
Konstipasi berasal dari bahasa inggris = constipation.

D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai
tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi
secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:
rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot
sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen).
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari
gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan.
Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan
kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat
dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa
faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada
usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang
normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi
memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang
sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk
aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda
radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya,
penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan
waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat
tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama
lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon
sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon
pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid
akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di
usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-
kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-
otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan
pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya,
pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada
rektum, sebagai berikut:
- Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum,
dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur
pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari
karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat
diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti
yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
- Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna
saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada
saluran anus saat mengejan.
- Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada
kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.
E. Pemeriksaan
- Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang
jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan
untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
- Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput
lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
- Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan.
Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam
dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ,
cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
- Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus
besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal
pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses
buang air besar.
- Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja,
atau adanya darah.
- Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi
seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari
dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak,
wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk
mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi
usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat
keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang
konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar
(20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan
risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada
konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan
dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama
jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan
pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan
retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros
usus.
F. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:
- Jangan jajan di sembarang tempat.
- Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
- Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan
lainnya setiap hari.
- Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk
olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.
- Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
- Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan
sayur-sayuran.
- Tidur minimal 4 jam sehari.
Pemeriksaan
- Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang
jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan
untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
- Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput
lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
- Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan.
Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam
dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ,
cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
- Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus
besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal
pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses
buang air besar.
- Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja,
atau adanya darah.
- Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi
seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari
dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak,
wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk
mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi
usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat
keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang
konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar
(20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan
risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada
konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan
dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama
jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan
pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan
retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros
usus.
G. Contoh kasus:
Bp. B masuk rumah sakit dengan keluhan sudah 5 hari tidak bisa BAB. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan motilitas usus menurun, bising usus 4x/menit. Bp. B
mempunyai riwayat anemia sehinga mengkonsumsi tablet Fe setiap hari. Bp. B juga
menghindari makan sayur karena takut nyeri di lutut dan pinggangnya kambuh. Bp. B di
diagnosa Konstipasi oleh dokter.
1. Pengkajian
- Biodata Klien
Nama : Bp. B
Tanggal lahir :
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS :
Alamat :
- Diagnosa Medis : Konstipasi
- Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik.
- Keluhan utama : sudah 5 hari tidak bisa BAB
- Riwayat penyakit sekarang :
Bp. B mengatakan bahwa sudah 5 hari tidak bisa BAB. Biasanya kakek bisa BAB
tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan
sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.
- Riwayat kesehatan keluarga :-
- Review
a. keadaan umum :
b. TTV :
- Pemeriksaan fisik abdomen of system :
a. B1 (Breath) :
b. B2 (Blood) :
c. B3 (Brain) :
d. B4 (Bladder) : -
e. B5 (Bowel) : Menghindari makan sayur
f. B6 (Bone) :-

- Hasil pemeriksaan fisik umum :


a. Inspeksi :
b. Palpasi : motilitas usus menurun
c. Perkusi :
d. Auskultasi : bising usus bising usus 4x/menit
2. Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1. Data Pola BAB Konstipasi
subjektif : tidak teratur
Seminggu
tidak BAB, Eliminasi
kebiasaan feses tidak
BAB tiga kali lancar
sehari
Data objektif konstipasi
:
Inspeksi :
pembesaran
abdomen.
Palpasi : perut
terasa keras,
ada impaksi
feses.
Perkusi :
redup.
Auskultasi :
bising usus
tidak
terdengar
2. Data Sulit BAB Nutrisi kurang
subjektif: dari kebutuhan
Klien tidak Perut terasa
nafsu makan begah

Data Nafsu
objektif: makan
Bising usus menurun
tidak
terdengar Menurunnya
intake
makanan
3. Data konsistensi Nyeri Akut
subjektif: tinja yang
Keluhan nyeri keras
dari pasien
sulit keluar
Data
objektif: Akumulasi
Perubahan di kolon
nafsu makan
Nyeri
abdomen

3. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kurangnya nafsu
makan.
4. Intervensi dan Rasional
a. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
- Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
- Konsistensi feses lembut
- Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
- Tentukan pola defekasi bagi klien - Untuk mengembalikan keteraturan
dan latih klien untuk menjalankannya pola defekasi klien
- Atur waktu yang tepat untuk defekasi - Untuk memfasilitasi refleks
klien seperti sesudah makan defekasi
- Berikan cakupan nutrisi berserat - Nutrisi serat tinggi untuk
sesuai dengan indikasi melancarkan eliminasi fekal
- Berikan cairan jika tidak - Untuk melunakkan eliminasi feses
kontraindikasi 2-3 liter per hari
Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi - Untuk melunakkan feses

b. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kurangnya


nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
- Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
- Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
- Nilai laboratorium dalam batas normal
- Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
- Buat perencanaan makan dengan - Menjaga pola makan pasien
pasien untuk dimasukkan ke dalam sehingga pasien makan secara
jadwal makan. teratur
- Dukung anggota keluarga untuk - Pasien merasa nyaman dengan
membawa makanan kesukaan makanan yang dibawa dari
pasien dari rumah. rumah dan dapat meningkatkan
nafsu makan pasien.
- Tawarkan makanan porsi besar - Dengan pemberian porsi yang
disiang hari ketika nafsu makan besar dapat menjaga keadekuatan
tinggi nutrisi yang masuk.
- Pastikan diet memenuhi kebutuhan - Tinggi karbohidrat, protein, dan
tubuh sesuai indikasi. kalori diperlukan atau
dibutuhkan selama perawatan.
- Pastikan pola diet yang pasien - Untuk mendukung peningkatan
yang disukai atau tidak disukai. nafsu makan pasien
- Pantau masukan dan pengeluaran - Mengetahui keseimbangan intake
dan berat badan secara periodik. dan pengeluaran asuapan
makanan.
- Kaji turgor kulit pasien - Sebagai data penunjang adanya
perubahan nutrisi yang kurang
dari kebutuhan
Kolaborasi:
a. Observasi:
- Pantau nilai laboratorium, - Untuk dapat mengetahui tingkat
seperti Hb, albumin, dan kadar kekurangan kandungan Hb,
glukosa darah albumin, dan glukosa dalam
darah.
- Ajarkan metode untuk - Klien terbiasa makan dengan
perencanaan makan terencana dan teratur.

b. Health Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga - Menjaga keadekuatan asupan
tentang makanan yang bergizi dan nutrisi yang dibutuhkan.
tidak mahal
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadsyah I, et al,.1997.Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed
Sjamsuhidajat R, Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC
Sumber: Penyakit Anemia – Pengertian, Penyebab, dan Gejala - Mediskus

A. http://keperawatan-gerontik.blogspot.co.id/2013/10/proses-penuaan-pada-system.html

ASUHAN%20KEPERAWATAN%20GERONTIK%20Ny%20Wt%20DENGAN%20KONS
TIPASI%20DI%20DUSUN%20KEMBANG%20_%20SMS%20Gratis%20Cepat%20_%20T
V%20Online%20_%20Dakwah%20Islam%20_%20wahidnh.blogspot.com.html

Makalah%20Gerontik%20_%20Asuhan%20Keperawatan%20Pada%20Lanjut%20Usia..html

Asuhan%20Keperawatan_%20ASKEP%20Konstipasi%20(Sistem%20Pencernaan).html

Anda mungkin juga menyukai