Akhlak Tasawuf 1
Akhlak Tasawuf 1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara itu Austin Fogothey, sebagai dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan
bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu penegetahuan tentang manusia dan masyarakat
sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum.6[6]
Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral,
yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar,
salah, dan sebagainya.
Selanjutnya Frankena, sebagai juga dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan
bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang
moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.7[7]
Dari beberapa definisi etika tersebut dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
Dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal fikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat
berubah, memilki kekurangan dan kelebihan. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai ilmu
yang membahas prilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-
sama memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia.
Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk,
mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor
terhadap sejumlah prilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak
sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran
mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang
dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian system nilai-nilai yang ada.
Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntunan
zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia
untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat
mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena
berasal dari hasil berpikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan anthropocentris.
Moral
Adapun arti moral secara bahasa berasal dari bahasa latin, Mores yaitu jamak dari kata Mos
yang berarti adat kebiasaan.8[8] Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral
adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.9[9]
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of
Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut.
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik
atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut
bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan lainnya kita dapat
mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama, yaitu sama-sama membahas
tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan yaitu :
Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolak ukur
yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di
masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia
adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau
moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
system nilai yang ada.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran,
sehingga menjadi istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya berjudul Kuliah
Etika mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan factor penting untuk memungkinkan
tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai dengan
norma yang berlaku. Kesadaran moral ini didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial,
fundamental.
Orang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur. Sekalipun tidak ada orang lain yang
melihatnya, tindakan orang yang bermoral tidak akan menyimpang, dan selalu berpegang pad
nilai-nilai tersebut. Hal ini terjadi karena tindakan orang yang bermoral itu berdasarkan atas
kesadaran, bukan berdasar pada sesuatu kekuatan apa pun dan juga bukan karena paksaan, tetapi
berdasarkan kesadaran moral yang timbul dan dalam diri yang bersangkutan.
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut
conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan dalam bahasa arab disebut dengan qalb, fu’ad.
Dan kesadaran moral itu mencakup tiga hal.
1. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Perasaan ini telah ada
dalam setiap hati nurani manusia, siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Kewajiban tersebut tidak
dapat ditawar-tawar, karena sebagai kewajiban maka andai kata dalam pelaksanaannya tidak
dipatuhi berati suatu pelanggara moral. Adanya perasaan wajib ini menunjukkan bahwa suara batin
harus selalu ditaati, karena suara batin justru sebagai kesadaran bahwa seseorang merasa
mempunyai beban atau kewajiban mutlak, untuk melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan apapun
yang berhak mengganggu atau menghalangi pelaksanaannya. Orang yang memiliki kesadaran
moral dalam bentuk perasaan wajib tersebut akan senantiasa mau berusaha menegakkan
kebenaran, kejujuran, dan kesamaan, walaupun tidak ada orang lain yang menyuruhnya. Perasaan
tersebut demikian kuat, sehingga Ia siap menghadapi siapa saja yang coba-coba menghalanginya.
2. Kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang secara
umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang obyektif dan dapat diberlakukan secara
universal, artinya dapat di setujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang
berada dalam situasi yang sejenis. Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu, manusia
meyakini bahwa akan sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, dengan
ketentuan manusia tersebut bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan sendiri,
tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum, pengetahuan
jernih dan pengetahuan yang berdasarkan informasi yang obyektif.
3. Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran moralnya seseorang
bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan didalam penentuan itu
sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian tersebut kita dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral
lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau system hidup tersebut diyakini oleh masyarakat yang akan memberikan
harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan
perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah
daging dalam diri seseorang maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang
demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau
paksaan dari luar. Orang yang demikian adalah orang yang memiliki kesadaran moral, atau orang
yang telah bermoral.
Susila
Susila atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an.
Kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Su dan Sila. Su berarti baik, bagus dan Sila
berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.
Kata Susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang
yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang a susila adalah orang yang
berkelakuan buruk. Pada pelaku Zina (pelacur) misalnya sering diberi gelar sebagai Tuna Susila.
Selanjutnya kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Dan
kesusilaan sama dengan kesopanan. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu kepada upaya
membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai
dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan
keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik.
Sama halnya dengan moral, pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik
juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada
sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bahwa antara akhlak islam yang bersumber pada wahyu dapat
menerima atau mengakui peranan yang dimainkan oleh etika, moral, dan susila, yaitu sebagai
sarana atau partner untuk menjabarkan akhlak islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis,
sepanjang etika, moral dan susila itu sejalan dengan al-Qur’an dan al-hadis tersebut.
Dengan demikian ajaran akhlak disamping memiliki nilai-nilai yang bersifat mutlak,
absolute, dan universal sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis, juga menerima ajaran
yang bersifat rasional, lokal dan cultural. Sehingga ajaran islam dapat hadir dan diterima oleh
seluruh lapisan sosial.
Dengan kata lain, akhlak islam dari satu sisi mengakui adanya nilai-nilai yang absolute, universal
dan mutlak, sedangkan pada sisi lain menerima keadaan yang bersifat budaya dan cultural, atau
akhlak islam itu disamping menerima adanya universalitas juga mengakui adanya variasi dan
perbedaan-perbedaan.
Sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relative sekali, karena bergantung pada pandangan
dan penilaian masing-masing yang merumuskannya. Dengn demikian nilai baik atau buruk bersifat
subyektif karena bergantung kepada individu yang menilainya.
Aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut adalah Baik Buruk Menurut
Aliran Adat Istiadat (Sosialisme), Baik Buruk Menurut Aliran Hendonisme, Baik Buruk Menurut
Paham Intuisisme (Humanisme), Baik Buruk Menurut Paham Utilitarianisme, Baik Buruk
Menurut Paham Vitalisme, Baik Buruk Menurut Paham Religiosisme, dan Baik Buruk Menurut
Paham Evolusi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Charris Zubair, Kuliah Eika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1980), cet.II, hlm.13.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.XII,
hlm.278.
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.) K.H. Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.3.
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm.82.
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1966), hlm.138.
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta Rajawali Pers, 1992), cet.I, hlm.8.