Anda di halaman 1dari 14

KEBIJAKAN, TATA KELOLA DAN PENATALAKSANAAN

PENYAKIT KUSTA

MAKALAH

disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Penyakit Global dengan dosen pembimbing
Ns.Wantiyah, M.Kep

Oleh:
Kelompok 1

Ditta Oktaviani Mentari NIM 112310101016


Ditta Anggraeni NIM 122310101062
Ropikchotus Salamah NIM 132310101002
Ahmad Nasrullah NIM 132310101010
Juwarti NIM 142310101007
Lathifah Nur L. NIM 142310101012
Mohammad Fachrillah I.A NIM 132310101015
Yunizar Firda Alfianti NIM 142310101013
Neneng Dwi Saputri NIM 142310101020
Gafinda Andi Aswan NIM 142310101006

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2016
KEBIJAKAN, TATA KELOLA DAN PENATALAKSANAAN
PENYAKIT KUSTA

1. Konsep Kusta
1.1 Definisi
Menurut Kosasih (dalam Djuanda et al, 2011) kusta merupakan penyakit
infeksi kronik yang menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian dapat menyebar ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta atau lepra, disebut juga sebagai morbus
Hansen merupakan penyakit menular yang menyerang bagian tubuh yakni saraf
perifer tetapi juga dapat menyerang kulit serta terkadang jaringan lain seperti mata,
mukosa saluran respirasi bagian atas, tulang dan testis. Meskipun infeksius namun
derajat invektivitasnya rendah dengan masa inkubasi yang panjang (Brown & Burn,
2005). Kusta merupakan penyakit infeksi kronik disebabkan oleh bakteri aerob tahan
asam yaitu Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, membran mukosa dan saraf
perifer (Soedarto dalam Susanto et al, 2013). Penyakit tersebut merupakan penyakit
kronis, berlangsung perlahanlahan dengan masa inkubasi rata-rata berjangka waktu
sekitar lima hingga tujuh tahun (WHO, 2015b). Bila tidak segera ditangani dengan
benar kusta dapat bersifat progresif menimbulkan kerusakan serta kecacatan yeng
bersifat permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata (Kementerian Kesehatan
RI, 2015a). Bedasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kusta adalah
penyakit infeksi kulit kronik yang diakibatkan Mycobacterium leprae yang dapat
menimbulkan kerusakan bahkan kecacatan yang bersifat permanen pada pada kulit,
saraf, anggota gerak dan mata jika tidak segera ditangani dengan benar.

1.2 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (Brown &
Burn, 2005). Menurut Siregar (2005) kuman tersebut merupakan basil tahan asam,
bersifat aerob, berukuran 1-8 x 0,2 05 mikrometer. Mycobacterium leprae menurut
Kementerian Kesehatan RI (2015) berkembang baik pada sel schwann saraf dan
makrofag kulit, mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 12- 21 hari,
mampu bertahan selama sembilan hari di luar tubuh manusia, kemudian mempu
membelah dalam jangka waktu 14-21 hari. Bakteri ini memiliki masa inkubasi
beberapa minggu bahkan 20 tahun. Masa inkubasi rata-rata untuk penyakit ini sekitar
5-7 tahun.

1.3 Cara Penularan


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Mycobacterium leprae menyebar
dari orang ke orang melalui droplet, hal ini dapat terjadi ketika seseorang batuk atau
bersin (CDC, 2013). Hal ini juga dimungkinkan terjadi jika seseorang terpapar cairan
hidung orang yang mengalami kusta. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir
hidung pada klien kusta yang tidak diobati, dan basil tersebut dapat hidup selama
tujuh hari pada lendir hidung yang kering (Chin, 2000). Penularan kusta juga dapat
terjadi melalui kulit yakni kontak langsung yang lama dan erat. Selain itu ulkus kulit
pada klien kusta tipe multibacillary juga dapat menjadi sumber penyebaran basil
(Chin, 2000). Menurut Mansjoer (dalam Sutanto et al, 2013). M. Leprae sering
berkembang pada tubuh manusia yang mempunyai suhu lebih rendah, seperti daerah
akral dan vaskularisasi yang sedikit. Jaringan tubuh yang dingin tersebut antara lain
area superfisial termasuk kulit, saraf tepi, hidung, laring, faring, mata dan testis
(Jawetz, dalam Sutanto et al, 2013). M. Leprae yang terdapat dalam sekret hidung dan
ulkus kulit dari pasien lepromatosa kemungkinan dapat masuk melalui saluran
pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka (Mandal et al, 2008).

1.4 Tanda dan Gejala


Tanda-tanda seseorang yang mengalami kusta antara lain pada kulit terdapat
bercak putih seperti panu, pada awalnya hanya sedikit tetapi semakin lama semakin
lebar dan banyak, adanya bintil-bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, pada
bagian tubuh tersebut tidak berkeringat, terdapat rasa kesemutan pada anggota badan
atau bagian raut muka, muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina
(muka singa), dan mati rasa karena danya kerusakan saraf tepi (Kementerian
Kesehatan RI, 2015a). Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), diagnosis
penyakit kusta ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama
penyakit kusta yakni mencari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi
dan kelainan yang tampak pada kulit melalui temuan:
a. bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit (plak
infiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba,
suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian;
b. penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada
fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik
mengalami kelemahan otot, kelumpuhan, dan gangguan pada saraf otonom
berupa kulit kering dan retak-retak;
c. pemeriksaan hapusan jaringan kulit dihasilkan yaitu bakteri tahan asam (BTA)
positif.
Menurut (Zulkifli, 2003) gejala pada orang yang mengalami kusta yang dapat
ditemukan biasanya orang yang mengalami mengalami demam dari derajat rendah
hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan kadang-kadang diikuti dengan
muntah.

1.5 Klasifikasi Kusta


Pedoman klasifikasi penyakit kusta tipe paucibacillary (PB) dan tipe
multibacillary (MB) menurut WHO dalam Kementerian Kesehatan RI (2012) dapat
dilihat pada tabel 2.1 berikut :

Tanda Utama Paucibacillary Multibacillary


Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
disertai gangguan fungsi
(mati rasa dan atau
kelelahan otot di daerah
yang dipersarafi saraf yang
bersangkutan)
Kerokan jringan kulit BTA negatif BTA positif
Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2012).
Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit
kusta terdapat pada tabel 2.2 berikut:
Tanda lain Paucibacillary Multibacillary
Distribusi Unilateral atau bileteral Bilateral simetris
Asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus,mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Bisanya kurang jelas
Deformitas Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri-ciri khas - Kerontokan bulu mata,
hidung pelana, wajah singa,
pembesaran payudara pada
laki-laki
Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2012)

Perbedaan karakteristik penyakit kusta antara paucibacillary dan


multibacillary berdasarkan Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (P2MPL) dalam Susanto (2013) dijelaskan pada tabel 2.3 di bawah ini:
Kelainan Kulit Dan Hasil
Pemeriksaan Bakteriologis
1. Bercak (Makula)
a. Jumlah 1–5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral Asimetris
d. Konsitensi Kering dan Kasar Halus dan berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan rasa pada Selalu ada dan jelas Tidak jelas dan jika ada
bercak terjadi pada kondisi yang
sudah lanjut
g. Kehilangan Bercak tidak berkeringat Bercak masih berkeringat
kemampuan
berkeringat
h. Bulu rontok pada Ada bulu rontok pada Bulu tidak rontok
bercak bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak
ada
b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
(hidung tersumbat, tidak ada
pendarahan di hidung)
3. Ciri-ciri khusus Central Healing atau 1. Lesi berbentuk seperti
penyembuhan di tengah kue donat
2. Madrosis
3. Pembesaran payudara
pada laki-laki
4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf Lebih sering terjadi pada Terjadi pada yang
stadium awal stadium lanjut dan lebih
dari satu
6. Deformitas (cacat) Terjadi pada stadium awal Terjadi pada stadium
Lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif.
Sumber: Susanto (2013)

2. Permasalahan Kusta
a) Bagi klien
1) Fisik
Dampak fisik yang diakibatkan kusta adalah munculnya lesi di kulit
dan bila tidak segera ditangani dengan benar kusta dapat bersifat
progresif menimbulkan kerusakan serta kecacatan yeng bersifat
permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata (Kementerian
Kesehatan RI, 2015a). Kerusakan saraf terutama dapat berbentuk
nyeri saraf, hilangnya sensibilitas, serta berkurangnya kekuatan otot.
Kecacatan dapat dinilai dengan tingkat atau derajat kecacatan
bedasarkan Kementerian Kesehatan RI (2012)
Tingkat Kecacatan
Tingkat Mata Tangan/Kaki
0 Penglihatan masih normal Tidak ada anestesi
Tidak ada kelainan pada Tidak ada cacat akibat kusta
mata akibat kusta
1 Ada kelainan pada mata Ada anestesi,
akibat kusta Ada kelemahan otot tetapi
Penglihatan kurang terang tidak ada cacat
(masih dapat
menghitung jari pada jarak 6
meter)
2 Penglihatan sangat kurang Ada cacat atau kerusakan
(tidak dapat kelihatan (ulkus, jari keriting,
menghitung jari pada jarak 6 kaki semper)
meter)
Muncul lagoftalmos
Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2012)
2) Psikologis
Dampak psikologis yang muncul pada klien dengan kusta merupakan
akibat dari stigma yang berlebihan terhadap penyakit kusta oleh
masyarakat (Firmansyah, 2012). Paradigma pada masyarakat
beranggapan bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang bisa menular
lewat apapun, dan tidak bisa disembuhkan. Stigma masyarakat
tersebut menyebabkan sebagian besar orang yang mengalami kusta
yang tidak bisa menerima keadaan cacat tubuhnya akibat penyakit
kusta mengalami kecemasan, keputusasaan (Brouwers et al., 2011).
Selain itu, adanya stigma tersebut mengakibatkan kebanyakan klien
mengalami rasa malu, memiliki harga diri rendah, dan menarik diri
(Sutanto, 2010).
3) Ekonomi
Permasalahan ekonomi yang terjadi adalah klien kusta mengalami
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau ditolak dalam pekerjaan
(Fajar, 2010). Penolakan tersebut berdampak pada perasaan
ketidakberfungsian peran di keluarganya untuk mencari panghasilan
demi kelangsungan hidup keluarga. Akibat adaya stigma yang
melekan pada masyarakat pula menyebabkan klien kusta yang berusia
produktif serta mengalami kecacatan akan memberikan
dampak yang negatif seperti pengangguran (Djaiman, 1999).
4) Sosial
Penelitian di China yang memfokuskan pada masalah sosial
menunjukkan bahwa orang yang mengalami kusta sering terisolasi
dari masyarakat, hidup sendiri, dan memiliki kesulitan dalam
melakukan perawatan diri, aktivitas seharihari, penurunan
produktivitas dan partisipasi sosial (Brouwers et al. , 2011). Klien
kusta akan mengalami penurunan keikutsertaan perkumpulan
masyarakat atau organisasi dan membatasi aktivitas pergaulan. Hasil
penelitian Chrisnina (2015) menunjukkan klien dengan kusta akan
mengalami permasalahan dengan gaya dan proses berinteraksi sosial
akibat perubahan fisik yang dialaminya. Hal tersebut membuat klien
dengan kusta cenderung akan berinteraksi jika memiliki kepentingan
tertentu dengan orang lain dan tidak banyak berkumpul dengan
Tetangga.
5) Bagi keluarga
Ketika anggota keluarga terdiangnosa mengalami kusta keluarga akan
menjadi panik, keluarga akan berupaya mencari pertolongan baik
pada mencari pertolongan baik pelayanan kesehatan, termasuk dukun,
serta pengobatan tradisional. Selain itu dengan adanya stimga di
masyarakat keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat
disekitarnya, maka keluarga akan berusaha menyembunyikan keadaan
orang yang mengalami agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya,
dan dengan adanya stigma yang salah terhadap kusta, keluarga
biasanya membatasi berinteraksi dengan anggota keluarga yang
mengamai kusta tersebut karena takut tertular (Zulkifli, 2003).
Dampak lain yang dirasakan oleh keluarga adalah akan
mempengaruhi keluarga dalam memberikan
perawatan kepada klien kusta.
6) Bagi masyarakat
Menurut Zulkifli (2003) dampak yang ditumbulkan pada masyarakat
dengan adanya kusta ini adalah munculnya leprophobia (ketakutan
berlebih pada kusta). Hal ini timbul karena keselahan persepsi dan
pengetahuan tentang penyebab penyakit kusta dan cacat yang
ditimbulkan sangat menakutkan. Masyarakat yang masih beranggapan
bahwa penyakit kusta merupakan penyakitkutukan, penyakit najis,
dan menjijikkan (Fajar, 2010) sehingga timbul diskrimiasi tanpa
alasan yang benar pada orang yang mengalami kusta.

3. Masalah Kecacatan Akibat Mati Rasa Pada Daerah Ekstremitas


Penyakit kusta yang telah menginfeksi seseorang akan banyak
menimbulkan masalah kesehatan lainnya selain gangguan pada integritas kulit
yang hampir terjadi diseluruh bagian tubuh. Masalah lain yang muncul yaitu
terjadinya infeksi pada sistem saraf terutama sistem saraf tepi. Kondisi ini
menimbulkan sebagian saraf tubuh yang terinfeksi akan mengalami mati rasa
akibat kerusakan sistem saraf tersebut. yang paling sering terjadi yaitu pada
daerah ekstremitas, baik atas maupun bawah. Mati rasa pada tangan dan juga
kaki diakibatkan karena adanya saraf yang rusak terutama saraf yang
berfungsi sebagai penggerak otot, akibatnya otot-otot melemah atau bahkan
mengencang secara terus – menerus. Kondisi tangan dan kaki yang terus
menerus mencengkram ini nantinya akan timbul lesi-lesi atau luka yang terus
mengerogoti sehingga pada akhirnya jari-jari tangan dan kaki akan terlepas
tanpa adanya rasa sakit. Masalah ini akan terus terjadi sehingga kecacatan
akan dialami oleh klien tersebut.
Kecacatan ini disebabkan oleh Micobacterium leprae. Micobacterium
leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan saraf
tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik dan
otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis)
sewaktu keadaan reaksi lepra. Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam
cacat kusta adalah :
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomic, misalnya leproma,
gunekomastia, madarosism claw hand, ulkus, dan absorbs jari.
2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan
(akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas
kehidupan yang normal bagi manusia. Disability ini merupakan
obyektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
metidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda
atau mamakai baju sendiri.
3. Handicap: kemunduran pada seorang inividu (akibat impairment atau
disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal
yang bergantung pada umur, seks, dan factor social budaya. Handicap ini
merupakan efek penyakit kusta yang berdampak social, ekonomi, dan
budaya.
4. Deformity: kelainan sturktur anatomis.
5. Dehabilitation: keadaan/proses padien kusta (handicab) kehilangan status
social secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-
temannya.
6. Destitution : dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh
dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).
Jenis cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikolompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Kelompok cacat primer, ialah kelompok cacat yang disebabkan
langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons
jaringan terhadap M.Impree. Termasuk cacat primer adalah :
a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesi: fungsi saraf
mirorik, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop, claw toes,
lagoftalmos, dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit
menjadi kering, elastisitas berkurang, serta gangguan reflex
vasodilatasi.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fasies leonine, blefaroptonis,
ektropoin). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau
madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan
kulit kering dan tidak elastis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi
pada tendo, ligament, sendi, tulang rawa, tulang, testis, dan bola
mata.
2. Kelompok cacat sekunder
Cacat sekunder ini terjadi akibatcacat primer, terutama akibat adanya
kurusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Anestasi akan
memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang
dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan
terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan
kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan saraf
otonom kenyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya
kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Komponen pencegahan cacat terdiri dari :
1. Penemuan dini penderita sebelum cacat
2. Pengobatan penderita dengan MDT
3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf
secara rutin
4. Penanganan reaksi
5. Penyuluhan
6. Perawatan diri
7. Penggunaan alat bantu
8. Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)
9. Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh
kuman kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur
cacat akan tetap permanen, sehingga harus dilakukan perawatan diri
dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat

4. Stratergi Dalam Penanganan Kecacatan Akibat Kusta


Strategi dalam pelaksanaan kecacatatan akibat Kusta adalah KPD (Kelompok
Perawatan Diri), yaitu suatu kumpulan penderita kusta terutama yang mengalami
derajat tingkat cacat II dan derajat tingkat cacat I yang berusaha mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi baik Bio, Psyco, Sosial, dan Sepiritual. Tujuan
penggunaan strategi ini adalah mewujudkan kemandirian cara merawat diri bagi
penderita kusta dan mantan penderita kusta dan pemecahan masalah-masalah
yang dihadapi dalam bermasyarakat, serta meningkatkan kualitas hidup penderita
kusta dan mantan penderita kusta.
Alasan pemilihan strategi ini adalah karena masih banyak penderita kusta
dengan kecacatan baik tingkat kecacatan I maupun tingkat kecacatan II dan
mantan penderita kusta dengan kecacatan tingkat I dan II lima tahun terakhir
relative banyak. Terdapat pengalaman di beberapa Negara dimana self help group
telah digunakan dengan baik dalam kegiatan perawatan diri serta kegiatan sosial
ekonomi lainnya. Salah satunya yaiu Indonesia “Self Care Group (KPD) adalah
cara menjadi katalisator pemberdayaan masyarakat. Itu akan mencoba membantu
anggota dan masyarakat menjadi agen perubahan melalui peningkatan kapasitas.
Petugas kesehatan mendukung proses ini secara eksternal sebagai fasilitator
dalam membangun kapasitas”. Dukungan sebaya melalui KPD merupakan
strategi yang berguna untuk mempromosikan keterlibatan aktif dari penyandang
cacat kusta (Deepak et al, 2013).
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit kusta antara lain:
a. Penyuluhan kesehatan harus menekankan pada pemberian informasi tentang
telah tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada
penderita yang berobat teratur serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial
(Chin,2000).
b. Penyuluhan tentang cara penularan kusta untuk memperkeci resiko penularan
melalui pemeliharaan hygiene diri dan lingkungan (WHO,2015c)
c. Lakukan pencarian penderita, khususnya penderita tipe multibasiler yang
menular, dan berikan pengobatan kombinasi “multidrug therapy“ sedini
mungkin secara teratur dengan berobat jalan jika memungkinkan (Chin,2000).
d. Pemberian imunisasi BCG di India, pemberian BCG menunjukkan adanya
perlindungan yang signifikan terhadap kusta (Chin,2000).
DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. [Serial online].


http://nyomankandun.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderfiles/manual_
p2m.pdf. [13 Oktober 2015]

Chrisnina. 2015. Hubungan Dukungan Keluarga dngan Interaksi Sosial Pada Klien
Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Kabupaten Jember. Jember:
Universitas Jember.

Fajar, Nur Alam. 2010. Dampak Psikososial Penderita Kusta Dalam Proses
Penyembuhannya. [Serial online]. http://eprints.unsri.ac.id/3320/. [24
September 2015].

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit


Kusta. [Serial online]. https://www.scribd.com/doc/231630232/Pedoman-
Nasional-Program-Pengendalian-Penyakit-Kusta-Kemenkes-2012. [24
September 2015].

Kementerian Kesehatan RI. 2015b. Profil Kesehatan Indonesia 2014. [Serial online].
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profilkesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf. [20 September 2015].

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Kemenkes Targetkan Tiap Provinsi Eliminasi


Kusta Pada 2019. [Serial online].
http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15012000002. [2 Februari 2016].

Susanto, Tantut. 2010. Pengalaman Klien Dewasa Menjalani Perawatan Kusta di


Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember Jawa Timur: Studi
Fenomenologi. Thesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
[Serial online]. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285751-
T%20Tantut%20Susanto.pdf [24 September 2015].

http://lib.unnes.ac.id/20406/1/6411410097-S.pdf, diakses pada 31 Maret 2016


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22370/4/Chapter%20II.pdf, diakses
pada 31 Maret 2016

Anda mungkin juga menyukai