Anda di halaman 1dari 12

Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia, sebenarnya adalah suatu

keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Pembesaran kelenjar prostat
mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia.. Hiperplasia
prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan
berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa
sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat. Adanya
hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi
obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan
yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi. Saat
ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi dibidang
urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda, kegiatan seksual
aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang menolak operasi.
BAB II PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC
HYPERPLASIA) 2.1 Definisi BPH(Benign Prostatic Hyperplasia) Ada beberapa pendapat
tentang pengertian BPH ini natra lain: 1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit
yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005) 2. Hiperplasia prostat jinak adalah
pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000) 3. BPH adalah suatu keadaan dimana
prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) 4. Hiperplasi
prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50
tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius.
(Doenges, 1999) 5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH,
tindakan infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy,
yaitu tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong uretra
bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran (kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia) memanjang keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan cara menutupi orifisium uretra. 2.2 Etiologi Menurut Purnomo (2000), hingga
sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah : § Adanya perubahan keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut; § Sifat jaringan berasal dari sinus
urogenital yang berpotensi proliferasi § Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan)
sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat; § Meningkatnya lama hidup sel-sel
prostat karena berkurangnya sel yang mati; § Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan. § Interaksisel stroma dan sel epitel prostat 2.3
Patofisiologi Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi
perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini
disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah
miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat
akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko
urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan
ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian
atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal.
Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005) 2.4 Manifestasi Klinis Gambaran klinis
pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi
harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer, 2000) Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium : a) Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis. b) Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia. c) Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150
cc. d) Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen). Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan
bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : a.
Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : - Grade 0 : Penonjolan
prosrat 0-1 cm ke dalam rectum. - Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum. -
Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum. - Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm
ke dalam rectum. - Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum. b. Clinical
Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter. - Normal : Tidak ada sisa - Grade I : sisa 0-50 cc - Grade
II : sisa 50-150 cc - Grade III : sisa > 150 cc - Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa
kencing. 2.5 Pemeriksaan Diagnostik Untuk Benigna Prostat Hiperplasia Pada pasien
Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan: 1. Pemeriksaan fisik Colok
dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada
pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan
adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda
dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate
daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti
bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan
colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi.
Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu
dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler
ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks
bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah
sakral. 2. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan
urin 3. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal
buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans
Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat
pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti
difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997). 4. Prostatektomi Retro
Pubis. Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya
ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
5. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum. 2.6 Pemeriksaan Penunjang Untuk Benigna Prostat Hiperplasia Adapun menurut
Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH, meliputi : Pemeriksaan
laboratorium o Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan etiologi
lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih. o Elektrolit, kadar
ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik. o Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Pemeriksaan radiologis yang biasanya
dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya
adalah untuk memperkirakan volume BPH. Pemeriksaan fungsi ginjal Obstruksi infravesika
akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas.
Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%.
Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering
dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali
lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat
kelainan kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih
bagian atas. Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries) Voiding diaries saat ini dipakai secara
luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas
yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia
sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan
yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui
seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-
vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan
7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik2,10, namun Brown et al (2002)
mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas
detrusor. Pemeriksaan residual urine Residual urine atau post voiding residual urine (PVR)
adalah sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini
pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan
persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal
mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan
secara invasif, yaitu dengan melaku-kan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi
uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine
melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia. Pengukuran
dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi,
yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang
sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang
cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual
urine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu
banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli
urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya
obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume
residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya
obstruksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume
residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun,
bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi. Watchful
waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak, demikian pula
pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli
sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari
pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi
intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan
sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal. Pencitraan Traktus Urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian
atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan
oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya: a) kelainan pada saluran
kemih bagian atas b) divertikel atau selule pada buli-buli, c) batu pada buli-buli, d) perkiraan
volume residual urine, dan e) perkiraan besarnya prostat. Pemeriksaan pencitraan terhadap
pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan
adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan,
hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: a)
hematuria, b) infeksi saluran kemih, c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan
USG), d) riwayat urolitiasis, dan e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia. Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan
besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan.
Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan
USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya
karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi: inhibitor 5-α reduktase, termoterapi,
pemasangan stent, TUIP atau prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran kelenjar
prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal
(TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS)
sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.
Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,
trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra,
dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu
pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli
sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli. Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran urine
yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow
study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher
buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk
pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh
pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot
detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat.
Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH
bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan
mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al (1998)30,
pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif
sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah berusia kurang dari 50
tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik,
setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif,
atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik. 2.7 Diagnosa Diagnose ditegakakan
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik ditambah pemeriksaan penunjang. 2.8
Diagnosis Banding Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung
kemih neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal
yang mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang,
penghambat reseptor ganglion dan parasimpatik). Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan
oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau
ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra dan striktur uretra. 2.9 Komplikasi Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat
terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000) Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005). 2.10 Penatalaksanaan Medis Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam
penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama. b. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk
melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra) c.
Stadium III Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal. d. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah
membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya
tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Menurut Mansjoer (2000) dan
Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi Kurangi
minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3
bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa 1. Mengharnbat
adrenoreseptor α 2. Obat anti androgen 3. Penghambat enzim α -2 reduktase 4. Fisioterapi c.
Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis. 2.10.1 Terapi Konservatif Non Operatif Sampai dengan tahun 1980-an kasus-
kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post
operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan yang lebih aman, nyaman dan
bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat
istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh
karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan
pengobatan konservatif. Watchful Waiting Watchful waiting dilakukan pada penderita
dengan keluhan ringan. Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan. •
Sebagian besar tanpa keluhan • Tanpa penyulit / gejala • Kualitas hidup tetap baik Indikasi: •
BPH dengan IPSS ringan < 8 • Baseline data normal • Residual urine < 50 cc • Flowmetri :
non obstruktif • Q max > 15 cc/ sec • Prostate volume < 20 cc Follow-Up • Tiap 3-6 bulan •
Ulangi : • IPSS • Flow (6 bulan) • PSA (6-12 bulan) b. Terapi Medikamentosa 1. Golongan
Supressor Androgen (Hormonal) Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH
(super) agonist yaitu obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih
besar dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan
membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena
banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan
terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH
tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin,
dengan dosis minggu I 3dd 500 mg s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 mg, 3
kali sehari. Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis
misalnya dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang
menyebabkan produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja
menyebabkan penurunan libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah. Pada tingkat
infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan menekan produksi
FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh preparatnya ialah Diaethyl
Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari. Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk
pengobatan pembesaran prostat jinak hanya dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan
ini untuk hiperplasia prostat telah ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja
orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat
dan juga biasanya penderita telah tua. 5-alfa reduktase inhibitor mekanisme kerjanya
mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase,
suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT),
suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah
DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak
menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya ukuran
prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka
waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume prostat sampai 30%. Penelitian lain
di Kanada menyatakan bahwa Finasteride mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan
angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%.
Obat ini mempunyai toleransi baik dan mempunyai efek samping meliputi penurunan
keinginan berhubungan sex, masalah mendapatkan ereksi, dan masalah dengan ejakulasi yang
bermakna. Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang
mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga
DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone
acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini
juga tidak menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun.
Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim
dehidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan
FSH, menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk.
Contoh obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500
mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus
diberikan dan efek samping dari obat. 2. Golongan α bloker adrenergik Seperti kita ketahui
persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat terutama oleh
serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian
obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga
menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan
prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot
polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat
rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi. Contoh obatnya adalah Phenoxy
benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif
untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain
itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan
penghambat alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan
pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada
symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi kelompok obat ini tidak dapat
digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa hipotensi ortostatik, palpitasi,
astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita
hipertensi. Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti
efektif dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan
normotensi. Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang
phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan
alpha 2, dan sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok
obat penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan
akan lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari
pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan
“Watch and wait”. Alfa bloker merelaksasi otot polos prostat, dan leher kelenjar, yang
membantu untuk menghilangkan penyumbatan yang disebabkan oleh pembesaran prostat
pada BPH. Efek samping dapat berupa sakit kepala, kelelahan, atau sakit kepala ringan. Alfa
bloker yang sering digunakan adalah tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat
lama seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obat ini umumnya akan
menyebabkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak mempunyai efek pada
ukuran prostat c. Fitoterapi Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai
informasi farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal.
Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati
secara tuntas dengan kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan
metabolisme, dan penuaan yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia,
dll. Banyak pula yang belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH,
DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif.
Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.
Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian
banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa
repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH.
Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya
pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90%
kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara
Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat. a. Saw Palmetto Berry
(SPB) Yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan
empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun
1900. Isu back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini. Bukti-
bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat efektifitas dan
keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001) dinyatakan bahwa
Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939
subyek adalah superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek
samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life
Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract
dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal : a) Frekuensi nokturia
® berkurang b) Aliran kencing ® bertambah lancar c) Volume residu dikandung kencing ®
berkurang d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang Mekanisme kerja
obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia : a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha
reduktase dan memblokir reseptor androgen b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan
cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase. b. Pumpkin seeds
(Cucurbitae peponis semen) Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di
Jerman dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya
dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks
farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens. Penelitian di
Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen utama beta-
sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati hiperplasia
prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor
alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun
mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian
terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan. c. Saw palmetto berry d. South African
star grass e. African plum tree f. Stinging nettle g. Rye pollen h. Cactus flower i. Pine flower
j. Spruce Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah
yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar
periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka
pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : 1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Melebarkan uretra
pars prostatika, menambah kekuatan detrusor

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran
urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Dengan semakin meningkatnya
resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh
bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.12

Selain itu, pembesaran kelenjar prostat ini bisa terjadi karena adanya pengaruh hormonal. Testosteron yang
dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran
darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat
melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh
enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma
menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi
reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk ke dalam inti yang kemudian melekat pada kromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintesis protein menyebabkan terjadinya
pertumbuhan kelenjar prostat (Robbins, dkk, 2002).

Gambaran Klinis

Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran
kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan
kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau
disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain
nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan
tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Timbulnya hernia inguinalis atau hemoroid karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intraabdominal. 12

Penegakkan Diagnosis

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan berbagai pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika
fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.

1. Anamnesis
Anamnesis itu meliputi :14
 Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi, atau pem-
bedahan)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
 Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat
pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS).

2. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, di
samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli.
Daripemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.14

3. Urinalisis
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
5. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukancancer specific.15 Serum PSA dapat
dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti :
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urin lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadinya retensi urin akut19,20.
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah :16
o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai
salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan syarat yang berhubungan dengan usia pasien atau
usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10
tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.14

6. Catatan harian miksi (voiding diaries)


7. Uroflometri
8. Uretrosistoskopi

Penatalaksanaan

1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap
diawasi oleh dokter.14 Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful
waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga
berat (skor IPSS > 7), pancaran urin melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30
gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadapwatchful waiting. Pada watchful waiting ini, pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat),
batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin,
dan jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urin, maupun
volume residual urin. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk
memilih terapi yang lain.17

2. Medikamentosa
Jenis obat yang digunakan adalah :18
 Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
1) Preparat non selektif: fenoksibenzamin
2) Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin
3) Preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin,
dan tamsulosin
 Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga
mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α
non selektif yang pertama kali diketahui mampu memper-baiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan
miksi.

b. Inhibitor 5 α-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5
α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan
ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan
meningkatkan pancaan urin. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.14
c. Terapi intervensi pembedahan
Sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah pembedahan, yakni mengangkat
bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa
terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak
menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi
medikamentosa.1

Anda mungkin juga menyukai