Anda di halaman 1dari 8

Metodologi Imam Thabari dalam Menafsirkan Al-Qur'an

yang Sesuai Kaidah-Kaidah Tafsir Al-Qur'an

Oleh : Fani Sri Asori

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang berisi petunjuk untuk umat manusia pada
umumnya dan kitab petunjuk untuk umat Islam dalam menjalani kehidupannya agar memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk merealisasikan petunjuk-petunjuk yang
ada didalam Al-Qur'an maka ayat-ayat didalam Al-Qur'an haruslah dikaji agar petunjuk yang ada
didalam Al-Qur'an dapat dipahami dan diamalkan oleh umat.

Kata "tafsir" merupakan masdar dari kata "fassara - yufassiru - tafsiran" yang artinya
menerangkan atau menginterpretasikan. Imam Al-Jurnani berpendapat bahwa kata "tafsir" memiliki
makna "al-kasyf wa al-izhhar" yang artinya mengungkapkan dan menunjukkan. Pada dasarnya,
pengertian "tafsir" tidak jauh berbeda dengan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan
(menerangkan), Al-Kasyf (mengungkapkan), Al-Izhhar (menampakkan), dan Al-Ibanah
(menjelaskan). Tafsir sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an agar maksudnya lebih mudah untuk dipahami.

Ketika Rasulullah Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. masih hidup Beliau-lah yang
bertugas sebagai Mubayyin (pemberi penjelasan) akan ayat-ayat Al-Qur'an. Setelah wafatnya
Rasulullah Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. maka penafsiran-penafsiran Al-Qur'an
dilakukan oleh para Sahabat Nabi Rodhiyallahu 'anhum ajma'in yang berpijak pada inti kandungan
ayat-ayat Al-Qur'an serta penjelasan makna yang dikehendaki ayat Al-Qur'an yang merujuk pada
pengetahuan Sahabat Nabi tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan ayat turun.

Banyak Sahabat Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. yang ahli metafsirkan Al-
Qur'an yang terkenal diantaranya, ialah : Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdulah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa al-Asy'ariy dan Abdullah bin Zubair. Dan dari mereka yang layak dijuluki "al-
mufassir" ialah Abdullah bin Abbas, sebab Beliau telah mendapatkan do'a khusus dari Nabi
Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. agar Allah Ta'ala memberikannya kepahaman akan
urusan agama dan keahlian dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Pada generasi Tabi'in, Mereka dapat memahami petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an walaupun
pemahaman bahasa dan makna tidak sepenuhnya seperti pemahaman para Sahabat Nabi. Dan tafsir-
tafsir dari Tabi'in disambut dengan baik oleh Tabi'it Tabi'in. Golongan Tabi'it Tabi'in inilah yang
mengumpulkan tafsir-tafsir para Ulama sebelumnya, diantaranya ialah Sufyan bin Uyanah dan
Waki' bin Abi Jarrah. Mereka inilah yang menjadi perintis bagi para mufassir setelahnya untuk
menafsirkan Al-Qur'an, seperi Abu Ja'far Muhammad Ath-Thabari.

Setelah jaman Imam Thabari, muncullah ahli tafsir yang memiliki kaidah-kaidah tafsir yang
berbeda-beda. Karenanya, muncullah yang disebut dengan at tafsir bil ma'tsur, yaitu tafsir yang
berpedoman kepada tafsir-tafsir yang disandarkan kepada Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in. Dan
lahirlah pula tafsir yang dinamakan at tafsir bir ra'yi yang diartikan oleh Husein adz dzahabi
sebagai tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah
terlebih dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta
problema penafsiran seperti asbabul nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya.

Kitab tafsir yang menggunakan at tafsir bil ma'tsur yang paling bernilai disisi para Ulama
ialah Tafsir Abu Ja'far Muhammad Ath Thabari yang tafsirnya itu bernama Jami'ul Bayan fii
ta’wilil Qur'an. Keistimewaan kitab tafsir ini ialah mengemukakan pendapat para Sahabat Nabi dan
Tabi'in serta menyebut sanadnya dengan lengkap, mentarjihkan mana yang dipandang kuat,
mengistimbatkan hukum dan menyebutkan wajah-wajah I'rob, menjelaskan pengertian ayat (Hasbi
ash-shiddieqy : 1967). Dan diantaranya kitab tafsir yang menggunakan tafsir bil ma'tsur, sebagai
berikut :

1. Tafsirul Qur'anil 'Adzim karya Ibnu Katsir


2. Tanwirul Miqbas fii tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi
3. Al-Durrul Mantsur fiit Tafsir bil Ma'tsur karya Imam Suyuthi

Tafsir bir ra'yi muncul akibat berkembangnya keilmuan dalam Islam dan tumbuh berbagai
macam disiplin ilmu dan metode penafsiran yang beragam, akibatnya karya tafsir seorang mufassir
akan sangat diwarnai dengan latar belakang displin ilmu yang dikuasai oleh mufassir tersebut. Dan
tafsir bir ra'yi ini akan dominan dengan peranan akal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Dan
kitab tafsir yang menggunakan metode bir ra'yi yang terkenal diantaranya, ialah :

1. Tafsir Ar Razi yang dinamakan Mafatihatul Ghaibi.


2. Tafsir Al Baidhawi yang dinamakan Anwarul Tanzil wa Asrarut Ta'wil.
3. Tafsir Abu Su'ud yang dinamakan Irsyadul Aqlis Salim Ilaa Mazajil Qur'anil Karim.
4. Tafsir An Nasafi yang dinamakan Madarikuttanzil wa Haqaiqut Ta'wil.
5. Tafsir Al Khazin yang dinamakan Lubabut Ta'wil fii Ma'anit Tanzil.
Setiap kitab tafsir yang telah disebutkan diatas walaupun menggunakan metode yang sama
dalam penafsirannya, namun tetap memiliki karakteristik yang berbeda-beda, seperti Tafsir Ar Razi
yang didalamnya menempuh jalan ulama kalam, beristidlal dengan mempergunakan ilmu mantiq,
memberikan perhatian yang khusus kepada masalah yang berkaitan dengan alam, dan membagi ayat
atau beberapa ayat kepada beberapa masalah kemudian berusaha mentakwilkannya dengan
mempertahankan akidah ahlus sunnah wal jama'ah (Hasbi Ash-Shidieqy : 1967).

Imam Thabari

Abu Ja'far Muhammad bin Jarrir Ath Thabari. Beliau dilahirkan pada tahun 224 H dan wafat
pada tahun 310 H di usia 86 tahun. Beliau adalah ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu
pada jamannya, Beliau ibarat permata mulia yang dicari-cari oleh setiap para pemburu warisan
Nabi. Beliau dikenal pula sebagai Ulama yang aktif menulis disebutkan oleh para ahli sejarah
bahwa Imam Thabari selama empat puluh tahun Beliau menulis dalam seharinya empat puluh
lembar. Dijelaskan dalam kitab Tarikhul Baghdad Imam Khathib Al Baghdadi berkata :"Imam
Thabari temasuk Imam para Ulama, perkataannya dan pendapatnya dijadikan rujukkan, tidak lain
keculi karena keluasan ilmunya dan keutamaanya. Dia mampu menguasai berbagai ilmu yang tak
mampu dilakukan seorangpun pada masanya. Ia telah hapal Al-Qur’an, memahami qira’at, mengerti
makna dan hukumnya, menguasai ilmu hadis dan riwayatnya yang benar dan yang salah, nasikh wal
mansukh, mengetahui perkataan para Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dalam masalah hukum halal
dan haram, mengetahui sejarah manusia dengan karyanya yang sangat masyhur “Tarikhul umam
wal mulk”disamping karya tafsirnya yang dinilai paling bagus juga kitab “Tahdzibul Atsar” yang
belum pernah aku temukan maknanya dari yang lain meskipun ia belum sempat
menyempurnakannya disamping ia juga memiliki karya-karya dalam fiqih dan ushul fiqih dan
miliki perkataan-perkataan para fuqaha serta mengumpulkan sejumlah permasalahan yang tidak
pernah ditulis oleh orang lain."

Kedalamaan ilmu Al-Qur’an Imam Thabari yang tertuang dalam tafsirnya dipandang
sebagai setinggi-tingginya tafsir bil ma’tsur dan sesahih-sahihnya. Beliau dalam kitab tafsirnya
memilih pendapat-pendapat yang kuat dan mentarjihkan sebagian atas sebagian yang lainnya.
Sehingga para Ulama setelahnya mengakui bahwa kitab tafsir Imam Thabari tak ada bandingannya.
Imam Abu Zakariyah Yahya An Nawawi dalam kitabnya berkata : “Kitab Ibnu Jarir dalam ilmu
tafsirnya adalah kitab tafsir yang tidak ada bandingannya.”

Di antara keistimewaan-keistimewaan tafsir karya Imam Thabari ialah Beliau menjelaskan


semua sanad periwayatan yang disebutkan dalam tafsirnya, mengumpulkan berbagai pendapat para
Sahabat dan Tabi’in, dan Beliau memilih pendapat yang paling kuat diantara yang pendapat yang
ada.

Karya-karya Imam Thabari didalam berbagai ilmu pengetahuan, antara lain :

1. Adabul Qodhat aw al Hukkam


2. Adabul Manasik
3. Adabul Nufus
4. Ahkam Syara’a Al Islam
5. Ikhtilaf Ulama Al Amshor fii Ahkam syara’i Al Islam
6. Basith Al Qaul fii Ahkam Syara’i Al Islam
7. Tarikh Al Rijal min Shahabah wa Tabi’in
8. Kitab Tabshir
9. Tartib al Ulama
10. Tahdzib al Atsar wa Tafshil al Tsabit ’an Rasulullah min Al Akhbar
11. Jami al Bayan fii Ta’wil al Qur’an
12. Al Jami’ fii Qira’at
13. Hadis Ghadir Kham
14. Hadis al Yaman
15. Al Khafif fii al Fiqh
16. Dzail Mudzil
17. Al Radd ‘alaa Ibnu Abdul Hakam
18. Kitabul Zakat
19. Kitab Sirqoh
20. Dll...

Kaidah Tafsir

Kajian-kajian tafsir ialah aturan-aturan atau azas-azas yang dijadikan dasar atau landasan
operaasional dalam penafsiran Al-Qur'an. Ayat-ayat dalam Al-Qur'an selalu terbuka untuk
interpretasi tidak pernah tertutup dan tertutup dalam interpretasi tunggal (Qurasyi Shihab : 1993).
Hal demikian menujukkan makna-makna dalam Al-Qur'an bersifat dinamis, terbuka untuk dikaji
dan untuk mengamalkan petunjuk-petunjukknya harus dilakukakan penafsiran yang sesuai kaidah-
kaidah tafsir.

Prof. Quraisy Shihab mengatakan bahwa komponen-komponen yang harus ada dalam
kaidah-kaidah tafsir antara lain :
1. Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Qur'an
2. Sistematika yang hendak ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3. Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an, baik itu diambil
dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqih maupun yang ditarik langsung dalam
penggunaan Al-Qur'an (Quraisy Shihab : 1993).

Kaidah-kaidah tafsir yang digunakan Ulama tafsir ialah diantaranya

1. Kaidah Qur'aniyah
Menurut Imam Ibnu Katsir menafsirankan Al-Qur'an dengan ayat-ayat Al-Qur'an adalah
metode penafsiran terbaik karena sesuai petunjuk Al-Qur'am Surah Al-Qiyamah ayat 19 ‫ث ُ َّم إِ َّن‬
ُ‫ َعلَ ْينَا بَيَانَ ۥه‬. Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna setiap ayat
pada Al-Qur'an dengan tepat hanyalah Allah. Dengan demikian, Al-Qur'an ditafsirkan
dengan Al-Qur'an katena pemilik ucapanlah yang mengetahui setiap makna yang diucapkan.
Dr. Mahmud Basumiy mengatakan bahwa Al-Qur'an, sebagian ayatnya merupakan tafsiran
dari sebagian ayat lainnya. Suatu ayat yang disebutkan secara ringkas dapat ditemukan
uraiannya pada ayat yang lainnya, atau sesuatu ayat yang bersifat umum di takhsis oleh ayat
lainnya, atau sesuatu yang bersifat mutlak disatu pihak disusul oleh keterangan lain yang
muqoyyad (terbatas).

2. Kaidah Sunnah
Dalam surah An Nahl ayat 44 disebutkan َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَت َ َف َّك ُرون‬ ِ َ‫َوأَنزَ ْلنَا ٓ إِلَيْك‬
ِ َّ‫ٱلذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa Nabi Muhammad shollalahu 'alaihi wasallam. adalah
mufassir pertama. Abdul Mu'in Salim mengatakan pada masa Rasulullah ada dua sumber
penafsiran, yaitu 1. Penafsiran yang bersumber dari wahyu Al-Qur'an. 2. Penafsiran yang
diterima oleh Jibril namun tidak termasuk dari ayat-ayat Al-Qur'an yang kemudian dikenal
dengan nama Sunnah (Abd. Mu'in : 1990).
Implikasi sunnah yang dapat menjelaskan maksud ayat dapat dilihat dari segi fungsinya
diantaranya bayan mujmal (penjelasan atas hal-hal yang bersifat global) terhadap Al-Qur'an,
sebagai bayan takhsis (mengkhususkan ayat yang bersifat umum), sebagai bayan tawdin
(menjelaskan yang musykil) dalam Al-Qur'an (Mahmud Basumiy : 1987).

3. Kaidah Bahasa
Al-Qur'an dalam pewahyuannya memperkenalkan dirinya dengan bahasa arab sebagai
bahasa komunikasinya. Dengan demikian tidaklah mungkin seseorang memahami Al-Qur'an
tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Diantara kaidah-kaidah bahasa Arab yang
perlu diperhatikan, ialah :
a) Dhomir
Dhomir itu berfungsi mengganti dan menempati lafaz-lafaz dengan sempurna,
karena asal mula diletakkannya kalimat dhomir untuk membuat kalimat menjadi
singkat (Imam Suyuthi). Dalam perubahan dhomir yang perlu diperhatikan ialah
tempat kembalinya dhomir itu sendiri, macam dhomir lafaz dan makna yang
terkandung didalamnya (Imam Suyuthi).
b) Tankir wa Ta'rif
Tankir atau Isim nakirah ialah kata benda yang menunjukkan kepada benda yang
tidak tertentu. Dan Ta'rif atau isim ma'rifah ialah kata benda yang menunjukkan
kepada benda tertentu. Adapun fungsi tankir seperti yang diseutkan dalam Al-Qur’an
diantaranya :
1) Untuk menunjukkan satu orang atau seseorang.
2) Untuk menunjukkan macam atau jenis.
3) Untuk memuliakan atau mengagungkan.
4) Untuk membanyakkan.
5) Untuk merendahkan atau menghinakan.
6) Untuk menyedikitkan.

Adapun ta’rif kadang-kadang dari dhomir, isim alam, isim maushul, atau kalimat
yang memakai Alif dan Lam.

c) Ifrod wa Jama’
Sebagian ayat Al-Qur’an memakai mufrod dimaksudkan untuk makna khusus, dan
dijamak untuk sesuatu isyarat yang tertentu atau dapat juga bentuk jamak dimaksud
mufrod atau sebaliknya.
d) Isim mutarodif atau sinonim
Ada beberapa kata dalam Al-Qur’an jikalau dilihat sepintas memiliki arti yang sama
atau sinonim, namun apabila dikaji lebih jauh maka akan didapati makna yang
berbeda.

4. Kaidah Ushul
Kaidah ini termasuk kaidah yang harus diketahui oleh seorang mufassir khususnya dalam
menginsitnatkan suatu hukum dalam Al-Qur’an. Hal-hal yang terkaitan kaidah tersebut
antara lainn:
a) ‘Am wa Khos
‘Am ialah lafaz yang menunjukkan dan mencakup semua satuan-satuan yang ada
didalam lafaz itu tanpa terbatas dari ukuran atau satuan itu. Atau jika dalam nas
terdapat lafaz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkan maka lafadz
itu harus diartikan kepada keumumannya (Tolchah : 1996).
b) Mantiq wa Mafhum
Mantiq adalah pengertian yang ditunjuk oleh lafaz di tempat pengucapannya.
Sedangkan Mafhum ialah pengertian yang ditunjuk oleh lafaz, bukan pada tempat
pengucapannya (Imam Suyuthi).
c) Mutlaq wa Muqayyad
Mutlaq adalah pengertian yang menujukkan kepada sesuatu tanpa ikatan atau batasan
baik itu berupa bilangan, sifat, masa, keadaan, tujuan atau syarat. Sedangkan
Muqayyad ialah lafaz yang menujukkan kepada sesuatu yang ada ikatan atau batasan
(Imam Suyuthi).

5. Kaidah Ilmu Pengetahuan


Hasil pemikiran seseorang dapat dipengaruhi antara lain faktor pengalaman atau
perkembangan ilmu pengetahuan dan tergantung pada keahlian dalam bidangnya masing-
masing. Quraisy Shihab mengatakan bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari
berbagai disiplin ilmu, sangat berpariasi dari segi kebenarannya. Untuk itu bertitik tolak dari
prinsip “larangan menafsirkan Al-Qur’an secara spekulatif” maka penemuan-penemuan
ilmiah yang mapan tidak dapat mengatasnamakan Al-Qur’an terhadap perincian penemuan
ilmiah yang tidak didukung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an (Imam Quraisy : 1990). Maka
Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang mufassir haruslah memenuhi standarisasi
seorang mufassir.

Setelah kita uraikan tentang kaidah-kaidah penafsiran diatas maka dapat disimpulkan bahwa
karya tafsir Imam Thabari telah memenuhi kaidah-kaidah penafsiran bahkan sebagian dari Ulama
membuat kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an merujuk kepada kitab tafsir Imam Thabari. Para
mufassir setelah masa Imam Thabari banyak yang mengambil model penafsiran yang dibuat Imam
Thabari.

Pendekatan yang dilakukan oleh Imam Thabari dalam menulis karya tafsirnya tersebut ialah
Pendekatan Kuantitatif, karena Beliau menggunakan banyak data dan fakta yang berupa hadis Nabi,
atsar para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it tabi’in.
Essay ini buat dengan merujuk sebuah buku “Tafsir Ath-Thabari karya Imam Abu Ja’far
Muhammad Ath-Thabari yang ditahqiq oleh Ahmad Abdurraziq Al-Bakri, Muhammad Adil
Muhammad, Muhammad Abdul Lathif Kholaf, Mahmud Mursi Abdul Hamid penerbit Pustaka
Azzam” dan beberapa artikel dari berbagai jurnal.

Anda mungkin juga menyukai