Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam


2.1.2 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan –
5 tahun pada kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38,5oC, dengan metode pengukuran suhu
apapun) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.5

2.1.3 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2% - 4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira–kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua
kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki.6

2.1.4 Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial.7
a. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat
disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus,
infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, trauma kepala, dan perdarahan intracranial.
b. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme seperti
hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia, hiperproteinemia,
hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan
oleh metastasis keganasan ke otak.

2.1.5 Faktor Risiko


Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epileps. Faktor resiko terjadinya epilepsi di
kemudian hari yaitu adanya gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks,
riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang
demam kompleks.6

2.1.6 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler.
Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl). Akibatnya konsentrasi K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel(6). Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:5,6
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang
anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.5,6

2.1.7 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan
80% diantara seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang
demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan
suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang
akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat penderita pada umur–umur sebelumnya
terdapat periode-periode dimana anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak
mengalami kejang; maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati–hati, mungkin
kejang yang ini ada penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya
timbul ketika suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua
tidak mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu
yang tiba–tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik–klonik seperti
kejang grand mal; kadang–kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika.
Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam
meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga
kejang demam sederhana masih mungkin.5,6

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)


Kejang dengan salah satu ciri berikut:5,6
1) Kejang lama lebih dari 15 menit.
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%
diantara anak yang mengalami kejang demam.5,6

2.1.8 Manifestasi
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf. Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam
atas 2 golongan, yaitu:
a. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
b. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)
Modifikasi kriteria Livingston:6
1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2) Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3) Kejang bersifat umum.
4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6) Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7) Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.6

Gambar 2.1 Gambaran Kejang Pada Anak6

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


a) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.5

\
b) Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah
0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi
lumbal dianjurkan pada:6
1) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2) Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
3) Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak
perlu dilakukan pungsi lumbal.

c) Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.5,6

d) Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT–scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya
atas indikasi seperti:5,6
1) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2) Paresis nervus VI
3) Papiledema

2.1.10 Diagnosis Banding


Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya:6
1) Meningitis
2) Ensefalitis
3) Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf
pusat (otak). Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya
sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah
mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.6

2.1.11 Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2–0,5 mg/kgBB perlahan–lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3–5 menit,dengan dosis maksimal 10 mg. Obat
yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal.
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg
untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,2–0,5
mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 5–10 mg/kgBB/hari, dimulai 12
jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien dapat
diberikan Fenobarbital 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 10-20 mg/menit. Bila kejang
berhenti dapat diberikan dosis rumatan 3-5 mg/Kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila
setelah pemberian fenobarbita anak masih kejang, dapat dipertimbangkan untuk dirawat
di ruang rawat intensif.5
Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana Kejang8
b) Pemberian Obat Saat Demam
1) Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10–15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5–10 mg/kgBB/kali, 3-
4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan.5,6

2) Antikonvulsan
 Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang
demam dengan salah satu faktor risiko antara lain:5 Kelainan neurologis berat, misalnya
palsi serebral; Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun; Usia < 6 bulan; Bila kejang
terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius; atau apabila pada episode kejang
demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.5
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis
maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.5

 Pemberian obat antikonvulsan rumatan


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek Indikasi pengobatan
rumat: 1. Kejang fokal 2. Kejang lama >15 menit 3. Terdapat kelainan neurologis yang
nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.5
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari
dalam 1-2 dosis.5
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak
sedang demam.5

3) Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya: 1. Meyakinkan orangtua
bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik. 2. Memberitahukan cara
penanganan kejang. 3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali. 4.
Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi
harus diingat adanya efek samping obat. Cara penanganan saat kejang:5
 Tetap tenang dan tidak panik.
 Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
 Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
 Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
 Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
 Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
 Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan
berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali
oleh orangtua.
 Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu
tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,
kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

2.1.12 Prognosis
1) Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu
studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami
kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang
berpotensi menjadi kejang lama.5

2) Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah: 1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam
keluarga 2. Usia kurang dari 12 bulan 3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat
kejang 4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang. 5.
Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Bila seluruh faktor
tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-
15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.5

3) Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah: 1. Terdapat kelainan
neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama 2. Kejang
demam kompleks 3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung 4. Kejang
demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun. Masing-masing
faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari
faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada
kejang demam.5

4) Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.5

2.2 Epilepsi
2.2.1 Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak. Menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis
dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Status epileptikus merupakan kejang
yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran
kesadaran diantara dua serangan kejang.9

2.2.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih
tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Di negara
berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa
lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).10
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia
adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per
tahun.4 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,
yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10

2.2.3 Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:10
a) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada
usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat–
alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
b) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya: post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
c) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against
Epilepsy (ILAE):10
a) Kejang Parsial (fokal)
1) Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran), terdiri dari: 1. Dengan gejala
motorik 2. Dengan gejala sensorik 3. Dengan gejala otonomik 4. Dengan gejala
psikik
2) Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) terdiri dari: 1. Awalnya
parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran (Exp: a. Kejang parsial
sederhana, diikuti gangguan kesadaran b. Dengan automatisme) 2. Dengan gangguan
kesadaran sejak awal kejang (Exp: a. Dengan gangguan kesadaran saja b. Dengan
automatisme)
3) Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau
klonik), terdiri dari: 1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum 3. Kejang parsial
sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi kejang
umum

b) Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi) misalnya: lena/ absens, mioklonik, tonik,.
Atonik, klonik, dan tonik-klonik
c) Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

2.2.5 Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di
antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel
akan melepas muatan listrik.10
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuronneuron tidak terus-menerus berlepas
muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan
epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.10

2.2.6 Manifestasi
a) Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi

b) Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:10
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

c) Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh
aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa
sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,
berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang
air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.10

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.10
a) Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan
tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:10
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada /tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.10

c) Pemeriksaan Penunjang
1) Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal. 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada
daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama
gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya
gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam,
paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.10

2) Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.10

3) Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.10

2.2.8 Terapi
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun
kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi
untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit.10

Gambar 2.3 Algoritme manajemen status epileptikus10


Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:10
a) OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua
kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan
pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
b) Terapi dimulai dengan monoterapi
c) Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
d) Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
e) Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

2.2.9

2.3 Status Epileptikus


2.3.1 Definisi
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus
(SE) karena International League Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut
ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian
para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.8

2.3.2 Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun
dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.8
2.3.3 Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:8
a) Simtomatis: penyebab diketahui
1) Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
2) Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak congenital
3) Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
4) Epilepsi

b) Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

2.3.4 Faktor Risiko


Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:8
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode
status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ),
dan ensefalopati hipertensi.

2.3.5 Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan
atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama
tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah
gamma-aminobutyric acid (GABA).8
2.3.6 Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah
algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.8
Gambar 2.3 Algoritma tatalaksana Kejang8
Keterangan:8
- Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
- Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama.
- Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya,
dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia;
 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan
 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
 10 mg (usia = 10 tahun)
- Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
- Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
- Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan
dengan pemberian rumatan bila diperlukan.

2.4 Meningitis

Anda mungkin juga menyukai