Anda di halaman 1dari 8

ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

Isu Lingkungan Hidup

Pada umumnya, masalah etika selama ini hanya dipahami sebatas perilaku

manusia terhadap manusia lain. Baik teori teontologi (teori kewajiban), teori

teleology (teori konsekuensi/akibat), maupun teori teonom (kepercayaan kepada

tuhan, kekuatan transcendental, potensi tak terbatas), semuanya lebih banyak

menyorot etika dari sudut pandang manusia sebagai satu-satunya pusat

pertimbangan moral, yang menurut istilah Frankena disebut sebagai moral patient

(dalam Alois A. Nugrohc, 2001).

Secara deontologis, perilaku etis hanya dari sudut pandang manusia, yaitu

sejauh mana setiap orang menghargai, mempertimbangkan, memelihara dan

memberdayakan umat manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai

manusia. Secara teleologis, perilaku etis juga hanya menyorot kepentingan umat

manusia dilihat dari konsekuensi atau akibat dari setiap keputusan dan tindakan

manusia terhadap manusia lainnya. Teori teleologi melihat sejauh mana keputusan

dan tindakan tersebut menguntungkan atau merugikan manusia lainnya. Secara

teonomis, pemaknaan ajaran agama juga dilihat semata-mata dari sudut pandang

manusia sebagai pusat perhatian, dalam hubungannya antara manusia dengan

tuhan atau kekuatan tak terbatas, dan sejauh mana umat manusia telah beriman

dan menaati perintah-perintah tuhan sebagaimana diwahyukan dalam setiap kitab

suci dalam upaya mencapai kehidupan bahagia di surga.

Persoalan lingkungan hidup-yaitu hubungan dan keterkaitan antara

manusia dengan alam dan pengaruh tindakan manusia terhadap kerusakan


lingkungan-baru mulai disadari pada paruh kedua abad ke-20, bersamaan dengan

pesatnya pertumbuhan bisnis modern dengan dukungan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Kesadaran ini mulai muncul setelah ada indikasi

bahwa pertumbuhan ekonomi global yang ditulang punggungi oleh perusahaan-

perusahaan raksasa berskala global (perusahaan-perusahaan multinasional) telah

mulai mengancam eksistensi bumi. Sebagaimana dikatakan oleh Bertens (2001),

pertumbuhan ekonomi global saat ini telah memunculkan enam persoalan

lingkungan hidup, yaitu: akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan

lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan penggurunan, serta kematian bentuk-

bentuk kehidupan. Keenam isu lingkungan hidup ini dibahas secara lebih rinci

dalam bahasan berikut.

Akumulasi Bahan Beracun

Sudah bukan rahasia lagi bahwa pabrik-pabrik yang berdiri selama ini umumnya

membuang limbahnya ke dalam saluran-saluran yang pada akhirnya mengalir ke

sungai-sungai dan laut. Berbagai kasus pencemaran air akibat limbah beracun

sudah sering kali muncul di media massa sehingga sudah menjadi berita biasa

saja. Tentu masih belum hilang dari ingatan kita berita tentang kematian ikan-ikan

di sekitar teluk Jakarta, yang diduga kuat disebabkan oleh limbah beracun dari

pabrik-pabrik di Jakarta dan sekitarnya yang membuang limbah beracun melalui

sungai-sungai yang bermuara ke laut teluk Jakarta. Ditambah lagi dengan kasus

Buyat di Sulawesi Utara yang menghebohkan, di mana banyak penduduk nelayan

di sekitar pantai Buyat yang menderita penyakit kulit akibat limbah bahan merkuri

dari salah satu perusahaan pertambangan emas yang dibuang ke laut. Masalah
lainnya adalah hampir semua air sungai yang melewati kota-kota besar tidak lagi

jernih dan telah berubah warna kehitaman-kehitaman sehingga tidak memenuhi

syarat untuk air minum. Air dari perusahaan air minum (PAM) di kota-kota besar

yang bahan bakunya bersumber dari air sungai, banyak yang tidak memenuhi

syarat untuk keperluan air minum. Jangankan untuk air minum, ikan dan jenis

kehidupan lain yang biasa hidupdi sungai pun terancam punah. Berkali kali juga

terdengar berita adanya kapal-kapal tangki raksasa yang bermuatan minyak

mentah mengalami kebocoran atau tenggelam sehingga muatan minyak

mentahnya tumpah dan mencemari air laut.

Bukan saja air sungai dan laut yang mulai tercemar. Udara di sekitar kita

terutama di kota-kota besar-juga tercemaroleh asap hitam yang mengandung gas

beracun yang keluar dari knalpot berbagai merek dan jenis kendaraan bermotor,

produksi kendaraan bermotor yang di hasilkan oleh pabrik-pabrik otomotif secara

tumbuh terus menerus tumbuh tanpa ada pembatasan, sementara pertambahan

panjang jalan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan produksi kendaraan

bermotor. Akibatnya, kemacetan di jalan raya semakin parah dan dengan

sendirinya makin memperparah polusi udara di sekitarnya. Banyaknya

penggunaan jenis pupuk kimia non-organik dengan takaran tak terkendali untuk

meningkatkan produksi pertanian telah terbukti mulai mencemari hasil produksi

pertanian, khususnya berbagai jenis bahan pangan, seperti: sayur-mayur, buah-

buahan, kacang-kacangan. Belum lagi, saat ini makin banyak dijumpai kasus di

mana produk hasil pertanian dan hasil olahan industry rakyat tahu, tempe, bakso

diawetkan dengan formalin. Minuman dan makanan pun ada yang di campur
dengan zat pewarna yang berbahaya untuk kesehatan. Penemuan teknologi niklir

untuk pembuatan berbagai jenis senjata jelas merupakan ancaman besar bagi

keberadaan bumi beserta seluruh isinya. Penggunan nuklir untuk tujuan damai-

antara lain sebagai sumber energi alternatif untuk mengganti minyak bumi-

tampaknya cukup menjanjikan. Namun, bagaimanapun canggihnya peralatan

teknologi yang digunakan untuk mencegah kebocoran nuklir dan dalam mengatasi

limbah nuklir yang mengandung bahan radioaktif yang sangat berbahaya, tetap

saja menimbulkan keraguan banyak pihak. Bom atom yang dijatuhkan AS di

Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada Perang Dunia ke II masih menghantui

umat manusia hingga kini karena akibat yang ditimbulkannya sangat dahsyat baik

bagi penduduk di sekitar Hiroshima dan Nagasaki maupun bagi penduduk jepang

pada umumnya. Kecelakaan akibat bocornya reaktor nuklir yang membawa

bencana lingkungan dan kemanusiaan yang sangat dahsyat-seperti terjadi pada

peristiwa di Three Mile Island, Pennsylvania (1979); peristiwa di Chernobyl,

Ukrainia (1986); pada peristiwa di Tokaimaru,Jepang (1999)-memperkuat

keraguan kita bahwa walaupun ditemukan teknologi pengamanan secara berlapis

untuk mencegah kemungkinan timbulnya bencana, namun bencana akibat

kebocoran reaktor nuklir tersebut tetap saja terjadi. Sebagaiman diketahui, bahaya

radioaktif dari limbah nuklir ini bias bertahan selama ribuan tahun serta

mengancam keberadaan bumi beserta seluruh isinya. Bagi umat manusia, bahaya

radioaktif ini bukan saja menyebabkan kematian, tetapi juga bias menimbulkan

penyakit kanker, keguguran bagi ibu-ibu hamil, mutasi gen, cacat lahir, dan

sebagainya.
Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect)

Pada bulan desember 2007, Indonesia mendapatkan kehormatan menjadi tuan

rumah konferensi perserikatan bangsa bangsa (PBB) tentang perubahan iklim

yang diadakan di bali yang dihadiri oleh utusan pemerintah, pejabat PBB, dan

pakar lingkungan dari hampir seluruh negara di dunia. Konferensi ini dapat

dikatakan cukup berhasil karena seluruh peserta telah menyadari bahaya

pemanasan global serta sepakat untuk bersama-sama menanggulangi dan

memberikan kontribusi nyata, termasuk dalam hal pendanaan untuk

menanggulangi permasalahan akibat pemanasan global. Untuk pertama kalinya,

AS dan Negara-negara maju lainnya ikut menyepakati program kerja, termasuk

skema pendanaan bersama dalam menanggulangi masalah pemanasan global.

Biasanya, Negara-negara maju yang dimotori oleh AS sering menolak, atau

kurang serius dalam merespons usulan program bersama yang telah beberapa kali

dibahas dalam berbagai forum sejenis. Ini menunjukkan bahwa pemerintah, para

pakar, dan masyarakat dunia telah sangat menyadari bahaya dari proses

pemanasan global dan memulai menanggap penting upaya bersama untuk

mengatasi permasalahan ini. Para ahli mengatakan bahwa salah satu penyebab

terjadinya pemanasan global adalah akibat efek rumah kaca (greenhouse effect).

Hawa panas yang diterima bumi dari sinar matahari terhalang dan terperangkap

tidak dapat keluar dari atmosfer bumi oleh partikel-partikel gas polutan atau yang

sering disebut gas rumah kaca. Gas-gas yang memenuhi atmosfer bumi tersebut,

di antaranya berupa: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), ozon (O2), nitrogen

oksida (NOx), dan chloro-fluoro-carbon (CFC). Menurut laporan para ilmuwan


dari Badan Antariksa AS (NASA) dan Pusat Data Es dan Salju Nasional AS yang

telah memantau dengan satelit sejak tahun 1979, seluruh es di Antariksa pada

tahun 2005 tidak lagi menutupi areal sebagaimana pada tahun 1979 (dalam Nasru

Alam Aziz: Kompas, 13 Desember 2006). Mencairnya di Antariksa ini tentu saja

berakibat pada kenaikan permukaan air laut di dunia. Bisa di bayangkan akibatnya

bagi Indonesia yang wilayahnya terdiri dari puluhan ribu pulau yang dikelilingi

oleh laut dan samudra. Bila pemanasan global tidak dapat dikendalikan, maka

sebagaimana diprediksi oleh Nasru Alam Aziz, pada abad ke-21 ini kenaikan

permukaan air laut akan mengggenangi daratan sejauh 50 meter dari garis pantai

dan akan menenggelamkan ribuan pulau kecil di Indonesia. Selain itu, pemanasan

global juga dapat menimbulan berbagai bencana, seperti kekeringan, banjir, badai

dan topan akibat iklim yang tidak menentu, mengganggu pola hidup flora dan

fauna, mengacaukan pola tanam petani dan pola penangkapan ikan nelayan di

laut, merubah habitat hama dan penyakit, dan sebagainya.

Gas polutan penyebab pemanasan global sebagian besar berasal dari

pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara), yang saat ini menjadi

sumber energi terbesar di dunia untuk industri, transportasi, dan keperluan rumah

tangga. Gas metana berasal dari pembakaran sampah kota dan chloro-fluoro-

carbon (CFC) yang banyak digunakan untuk penyejuk ruangan (AC), Kulkas,

industri plastik, dan sebagai gas pendorong pada aerosol.


Ada laporan bahwa bukan saja telah terjadi penipisan lapisan ozon, tetapi

juga telah terjadi perobekan sehingga menimbulkan lubang pada bagian tertentu

dari lapisan ozon tersebut. Penyebab paling utama dari kerusakan lapisan ozon ini

adalah gas polutan yang disebut chloro-fluoro-carbon (CFC). Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, CFC banyak digunakan untuk penyejuk ruangan (AC),

kulkas, industry plastic dan busa, dan aerosol. Penggunaak barang-barang dari

plastic dan busa yang makin meluas, pemasangan peralatan AC diruangan maupun

pada alat kendaraan/transportasi (mobil, bus, pesawat udara), penggunaan kulkas

sebagai alat pendingin/pengawet bahan makanan dan minuman yan makin meluas

dalam industry perhotelan, catering, pasar-pasar swalayan, industri pengolahan

daging dan ikan segar, rumah tangga, dan sebagainya makin meningkat produksi

gas CFC tersebut. Bila ini tidak dapat dikendalikan, maka gas polutan CFC ini

akan makin banyak memenuhi lapisan ozon sehingga dapat membahayakan apisan

ozon tersebut.

Hujan Asam (Acid Rain)

Perlombaan Pendirian pabrik-pabrik di banyak kawasan industri oleh hamper

semua Negara demi memacu pertumbuhan ekonomi tanpa disertai program

pengendalian limbah asap telah mengakibatkan banyaknya volume asap hitam

pekat yang terus menerus di muntahkah dari cerobong-cerobong pabrik tersebut.

Asap tebal yang berwarna hitam pekat ini kemudian menyatu dengan udara dan

awan, yang pada gilirannya menurunkan hujan asam (acid rain) ke bumi di sekitar

awan tesebut. Sejak beberapa dekade terakhir ini, terutama di kawasan industri

padat Negara-negara maju seperti AS, Kanada, Jerman, Belanda dan lain
sebagainya, sudah sering di basahi oleh air hujan asam. Hujan asam ini ternyata

sangat berbahaya bagi kehidupan di bumi. Bila ini terus berlangsung, maka hujan

asam itu dapat merusak hutan, mencemari air danau, dan bahkan merusak gedung-

gedung.

Sebagaimana dikatakan oleh Bertens (2000), pada tahun 1988 dilaporkan

bahwa akibat hujan asam yang menimpa Kanada telah menyebabkan sekitar

14.000 danau menjadi mati (dalam arti tidak lagi mengandung kehidupan) dan 14

% dari pohon sugar maple telah mati.

Anda mungkin juga menyukai