Anda di halaman 1dari 4

Dear all,

Sesungguhnya email di bawah untuk milis di kampus saya, tapi kalau bisa bermanfaat untuk milister
Beasiswa, why not? Saya posting saja di sini.

Salam,
Pangesti
============ =
Yth. Bapak dan Ibu,
Masih berkaitan dengan soal studi lanjut, bagi para orang tua macam kita, yang mendapatkan
kesempatan studi lanjut, mesti memikirkan juga jika punya anak yg sedang berjuang belajar untuk masa
depannya. Nah .. siap tidak meninggalkan keluarga atau mengajak mereka bersama ortu selama studi?
Atau meninggalkan anak di rumah saat bapak atau ibunya kuliah? Anak akan tinggal dengan bapak jika
ibunya yang kuliah, atau tinggal bersama bapak jika ibunya yg kuliah, utamanya ke LN. Atau anak tinggal
dengan eyangnya ketika ortunya semua kuliah seperti kasus saya. Saya kuliah di Australia, suami saya
kuliah di Belanda, masing2 selama 4,5 tahun, sedangkan anak tinggal bersama eyangnya di Boyolali.
Siapkah meninggalkan anak dalam waktu sepanjang waktu studi?

Ada kalanya keluarga mesti terpisah. Jika diajak dan akan bermasalah, lebih baik ditinggalkan. Masalah
akan macam2, utamanya finansial dan adaptasi ybs, dan adaptasi anggota keluarga dengan lingkungan
baru. Ada kalanya seorang suami yg studi, istri ikut dengan harapan bisa juga belajar alias kuliah di sana,
tapi mereka lupa bahwa mereka membawa balita. Padahal, nitipkan anak di child care lumayan mahal.
Kalau studi master yang setahun bisa beres, ya tampaknya lebih baik menjadi single saja selama
setahun. Ada juga yg ragu meninggalkan anak dan istri dalam setahun itu. Wah ... niat akan belajar mesti
kuat, dari pihak yg studi atau yg ditinggal pergi. Intinya terpisah sebentar tapi untuk masa depan yg lebih
baik, jadi harus bertekad kuat dari kedua belah pihak, dan juga anak.

Keraguan terpisah dari keluarga sering muncul pada mereka yg hendak studi lanjut, utamanya di LN. Jadi
perkenankan saya berbagi, menyempatkan menulis ihwal terpisah dari keluarga. (Btw, saya pernah
diwawancarai SAYA Magazine untuk urusan terpisah dari keluarga, kalau tak salah pada Februari 2007).

Jangan sampai anak menjadi korban ortu yg sedang kuliah ketika sang anak ditinggalkan. Anak di sini
tidak terbatas jenjang pendidikannya, jadi mulai dari TK, SD, SMP, SMA, sampai universitas. Semua ada
strateginya: bagaimana anak mesti smooth menempuh tiap jenjang.

Apakah anak bisa survive ketika jauh dari ortu? Tentu saja bisa! Ketika anak disiapkan sejak dini untuk
mandiri, punya tanggung jawab terhadap diri sendiri, tidak dibesarkan dengan perilaku konsumtif,
sederhana bersikap (tapi tidak dalam berpikir), dan mau belajar apa saja. InsyaAllah, bisa lancar. Hanya
saja, perlu diingat jangan sampai membuat anak stress. Hubungan dengan ortu, dengan bapak atau ibu,
diupayakan dekat secara sebanding, bukan amat dekat dengan salah satunya. Jika hanya dekat dengan
salah satunya, misalnya ibu; ketika anak mesti tinggal dengan bapaknya karena ibu kuliah, wah ... akan
ada sedikit masalah yg mungkin bisa diatasi, tapi mungkin juga tidak. Itu sebabnya, mesti dipikirkan sejak
masing-masing dari mulai kita menjadi ortu. Kesepakatan mesti dibuat sebagai komitmen bersama dalam
keluarga. Sikap tanggung jawab terhadap diri sendiri itu tampak dari hasil belajar, yah ... kayak
parameter, dari TK, SD, SMP, sampai saat SMA bisa masuk PT tanpa tes (via jalur PBUD, PMDK, dsb.)
menjadi rekaman akademik tersendiri. Etos belajar dan hasil yg baik membuat anak bisa mendapatkan
sekolah dengan mudah, perlu ditanamkan.

Itulah yg kami lakukan. Putri kami dalam koridor kesepakatan keluarga, dan akhirnya dia masuk UGM via
jalur PBUD asal Boyolali. Dari 15 siswa yg mendaftar, 10 siswa lulus masuk via PBUD dan ketika
dilakukan tes matrikulasi, yg belum lolos perlu matrikulasi 6 minggu. Ternyata dia lolos dari matrikulasi.
Jadi, selagi siswa lain ikutan matrikulasi di UGM selama 6 minggu penuh, dia bisa bersama kami berlibur
ke Jatim saat kami berdua menyempatkan pulang ke Indonesia.

Dengan melatih punya tanggung jawab, anak menjadi dirinya sendiri, dia tahu masa depannya
tergantung pada upayanya hari ini. Keterampilan tambahan perlu diberikan selain keterampilan di
sekolah. Karena sejak kecil sampai mahasiswa saya terlibat di kegiatan pramuka dan korps suka rela
(saya juga aktif di kegiatan lain saat kuliah: senat mahasiswa, paduan suara universitas selama 3 tahun,
dll) putri kami juga menempuh kegiatan pramuka dan palang merah remaja. Kegiatan pramuka dan korps
suka rela kini jarang ditempuh murid/mahasiswa, padahal bukan main manfaatnya. Belajar sambil
bermain dan manfaatnya luar biasa. Jadi, silakan arahkan anak tempuh bidang kegiatan ekstrakurikulum
ini. Mungkin anak kurang suka, tetapi dengan menunjukkan ortunya dulu aktif di kegiatan itu dan
karenanya menjadi terampil, tak mungkin anak tidak minat ikut. Buah jatuh tak jauh dari pohon.
Ungkapan ini saya manfaatkan. Ternyata ada sekian rekan saya yg kariernya berhasil dan menyatakan,
dia dulu aktif ikut pramuka. ;o)

Yah ... dengan semua itu, putri kami tumbuh kembang lumayan terampil. Makin terampil karena dia makin
tahu apa yg menjadi minatnya ketika dia mulai kuliah. Yg saya amati dan menarik pada putri kami adalah
muncul hobby memasak, dari masakan tradisional sampai berbagai kue. Mengapa menarik? Karena
sehari-hari dia berada di lingkungan mayoritas pria pada bidang teknik, tetapi muncul keinginan belajar
masak, yg diakui para tetangga jika kelak bisnis catering/bakery, pasti oke. Di awal, saya memang
mengajarinya memasak atas permintaannya akibat sering saya tinggal dan akibatnya tidak bisa
memasak. Saya ajarkan memasak cake, dan masakan tradisional lain ala Jatim: rawon, soto, tahu
campur, pepes tahu/udang, pelas tongkol. ;o) Maklum, saya "arema", jadi yg saya ajarkan masakan
Jatim, bukan gudeg meski putri kami lahir dan besar di Yogya. Saya juga fasilitasi dia dengan berbagai
alat masak yg saya beli dari hasil kerja paruh waktu ketika saya kuliah di Sydney. Bayangkan saja
keterampilan memasak ini saya ajarkan ketika saya pulang berlibur semasa studi, dan putri kami itu
sedang sekolah SMA, muncullah fenomena unik, anak SMA kok pandai memasak masakan tradisional yg
biasanya dimasak ibu-ibu rumah tangga tulen. Hobby berkembang sampai dia kuliah. Kini, jangan tanya
deh. Dia punya koleksi dari klipping resep masakan yg dikumpulkan, seabreg. Acara wisata kuliner di tv
mana pun ditongkronginya.

Bukan cuma itu, dia juga belajar jadi tingkat pemula, menjadi reporter di majalah jurusan dia tekuni sejak
semester 1, sampai dia menjadi pimpinan redaksinya. Ini majalah jurusan yg beredar secara nasional,
dan ..... saya menjadi pembimbing majalah itu. Ketika profil saya muncul di Indosiar pada tahun 2003,
crew majalah itu juga muncul. Apa kaitan kegiatan ekstra yg ditempuh putri kami itu dengan aktivitas di
majalah? Dia terbiasa menulis, pun melakukan penyuntingan, lay out majalah, sampai menjadi event
organizer ketika majalah ini mengadakan kegiatan seminar akademik di bidang mereka dan melibatkan
sponsorship dari berbagai company yg mereka undang serta lembaga pemerintah terkait dengan disiplin
ilmu mereka. Alhasil, putri kami jadi terampil menulis dan itu bermanfaat bagi penulisan tugas akhirnya.

Berkaitan dengan tuags akhirnya itu, kini kebetulan saya pulang ke Yogya, mendampingi putri kami yg
sedang presentasi hasil penelitiannya dan kemudian pendadaran pada Senin ini. Di UGM, di jurusan
Teknik Sipil (anak saya studi teknik sipil -transportasi) , mahasiswa harus presentasi hasil penelitiannya
secara terbuka. Ini bagus sebab mahasiswa dilatih presentasi di depan sidang terbuka, juga untuk
sosialisasi temuannya di lapangan. Berikutnya, ujian pendadaran.

Yg menarik, semalam saya sempat membaca draft tugas akhir putri kami itu. Dia meneliti topik moda
transportasi alternatif berdasarkan stated preference para pelaku perjalanan. Untuk itu, dia harus ke
lapangan, survei dengan menggunakan kuesioner terhadap para penumpang angkutan umum, lalu
dianalisis, membuat model, dan studinya ini bisa menjadi studi awal dari studi yg sesungguhnya telah
dicanangkan oleh suatu lembaga tetapi masih dalam batas rencana saja. Atau ada studi, tetapi belum
rinci. Selama dia melakukan tugas itu, saya jauh darinya. Saya sering berada di Jakarta untuk tugas
membangkitkan nasionalisme bangsa dengan cara memfasilitasi para Atdikbud Indonesia yg bertugas di
berbagai negara dalam hal memasyarakatkan budaya dan bahasa Indonesia di negara mereka bertugas.
Bapaknya? sibuk melakukan pengujian pacu landas beberapa bandara di Indonesia, yg kadang bertemu
saya di Jakarta jika mesti berkunjung ke Dephub di Jakarta. Bisa dibayangkan, putri kami harus berjuang
sendiri seperti masa SMA-nya dulu. Hanya saja, saya agak merasa tenang kini karena dia semakin
dewasa sehingga makin mandiri.

Kembali ke draft tugas akhir, saya membaca Bab 1 dan 2 ketika di bandara saat menunggu boarding yg
telat 40 menit itu dan selama terbang dalam GA 214. Begitu mendarat dan dalam perjalanan pulang, saya
bincang-bincang dengan suami saya, bahwa ada sedikit argumen yg perlu ditambahkan. Jawab suami
saya, "Level S1 ya sudah cukup sampai sejauh itu. " He..he... saya jadi teringat rekan2 kerja saya yg
bilang, "Ini S1 Bu, jangan dituntut lebih." Yg saya lakukan adalah, jika ybs pantas digenjot ya saya
maksimalkan, jika tidak ya cukup sekian yg disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa.

Semalam, saya menjadi takjub saat membaca tuntas tulisan putri kami. Logikanya berjalan runtun dan
bahasanya rapi. Dia sendiri tidak pernah membicarakan topik penelitiannya secara rinci ke saya karena
dia tahu saya sibuk di Jakarta. Pada draftnya itu, hanya sedikit input yg saya berikan berupa catatan
tambahan dan sedikit perbaikan ejaan serta hanya ada 2 kata yg salah ketik. Dia termasuk tertib dalam
bekerja dibandingkan dengan mahasiswa saya sendiri. Saya menjadi curiga, adakah rekan2 dari bidang
eksakta memang tertib jika berbahasa? Menarik untuk dikaji. Tapi sebentar, saya baru ingat, ada teman
putri kami yg naskah seminarnya saya baca, bahasanya kurang tertib. Jadi, kemungkinannya aktif di
majalah kampus/jurusan bisa membantu kelancaran berbahasa tulis.

Sampai di sini saya mendapati bagaimana memantapkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan
ilmu dan menuangkannya dalam pemikiran yg runtun. Tentu saja saya telah melakukan hal itu terhadap
mahasiswa saya. Tetapi belajar dari pengalaman putri kami itu, draft yg hanya saya baca ketika sudah
menjadi naskah siap uji, membuat saya belajar darinya. Saya tahu dia bekerja sendiri daripada dari
pembimbingan karena dosennya sibuk sekali, dan kemungkinan memberikan input garis besar saja,
selebihnya dia berkembang sendiri. Saya dapat katakan hal ini karena sang dosen pembimbing adalah
sobat babenya, dan juga sobat saya sendiri (sesama alumni IATSS Forum) yg saya tahu betul
kesibukannya dalam memimpin sebuah pusat studi. Tak beda dari suami saya yg juga berada pada posisi
yg sama.

Intinya, ortu sibuk, tidak berarti anak menjadi terbengkelai. Jika semua disiapkan sejak anak masih kecil
bahkan sejak bayi, insyaAllah anak bisa berkembang dalam kondisi sulit pun, ketika harus berjuang
sendiri, sementara ortunya juga melakukan hal yg sama, hal itu bisa dilakukan anak! Berjuang untuk apa
sih? Berjuang untuk beribadah, karena hidup ini pada hakikatnya beribadah, menyumbangkan apa yg
bisa kita lakukan untuk kelancaran kehidupan di mana kita hidup, di institusi kita, di masyarakat kita.
Kalau hidup untuk mencari duit dan hidup nyaman sih, banyak caranya, mau via jalan lurus, jalan suka-
suka, bisa saja. Life is a choice. Kami tahu, masing-masing punya kontribusi pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

Pagi ini, suami saya mengantar sang anak berseminar, ribet dengan persiapan dari akademik sampai
konsumsi. Saya sudah beres baca draftnya semalam, dan siap dengan hadiah yg saya janjikan untuk
kelulusan putri kami. Yg menjadi masalah kecil adalah, jika saat wisuda, kemungkinan saya atau suami
saya, tidak berada di Yogya karena kami mobile sekali. Putri kami menulis vai sms, "Mungkin aku wisuda
19 November, sebab tidak mungkin sempat mengejar Agustus. Aku entah wisuda atau tidak, karena
belum tentu Mama dan Bapak ada di Yogya. Tapi toh Mama dan Bapak dari dulu juga tidak pernah
wisuda aja kok, ngapain aku juga ikutan wisuda?" Walah ... ini buah tak jatuh jauh dari pohon, atau
ungkapan sindiran? Saya dan suami saya sejak S1, S2, sampai S3 tidak pernah ikut wisuda, sekolah,
selesai, lulus, beres, lanjut ke kehidupan berikutnya ;o) Kami tak suka foto dengan bertoga, apalagi kalau
sampai memajang foto bertoga di rumah, tak pernah terpikirkan! Cuma malas saja berseremonial macam
itu. Tapi kalau putri kami meminta, ya kami berupaya untuk hadir. Wah ... ternyata, barusan putri kami
bilang, usai berseminar, dia benar-benar tidak ingin mengikuti upacara wisuda. Alasannya tidak mau ribet
(wuiiihh .... pagi2 mesti ke salon untuk berdandan cantik, berkebaya, bertoga, seharian duduk rapi dan
berdiri menunggu giliran menerima ijazah; saya pun dulu ogah seperti itu, dan saya bosen suasana
wisuda sebab saya dkk selalu menyanyi untuk wisudawan, giliran wisuda, ogah!! Eh .. lupa, saya ke
Jepang saat teman-teman saya diwisuda, maka usai dari Jepang, saya ogah ikutan, tidak mood lagi,
selain ogah nunggu giliran tampil menerima ijazah). Padahal semua mahasiswa saya ikut wisuda setelah
semua urusan akademik beres. Gelar pertama serasa teramat penting dalam hidup, jadi perlu ikut
upacara wisuda. ;o)

Menyenangkan tahu tugas menyekolahkan akan selesai pada satu level pendidikan. Semoga semua
berjalan lancar. Berikutnya, setelah lulus nanti putri kami siap melanjutkan kursus bahasa Jepang yg
sempat terputus, untuk kemudian mendaftar studi S2 di Jepang, mengikuti jejak bapaknya yg kuliah S2 di
Jepang. Dosen pembimbing putri kami kebetulan akan menjadi dosen tamu di Jepang, dan minggu yal
minta tolong suami saya untuk mengajari membuat tanda tangan dalam bahasa Jepang dalam huruf
Kanji . Saya akan minta rekomendasi sang dosen pembimbing dan agar berkenan kontak profesor di
Jepang untuk pembimbing putri kami (ini syarat beasiswa Monbukagakusho, harus diterima oleh profesor
suatu universitas, baru melamar beasiswa). Selagi masih muda, lebih baik segera studi lagi selagi belum
ribet dengan urusan keluarga. Kalau bisa lulus S3 dalam usia muda, bagus, tinggal berkarya.

So what? Jangan segan untuk belajar, kuliah lagi, ketika Anda telah berkeluarga. Anak dan ortu dapat
berjuang dengan strategi masing-masing, dan saling mendukung.

Nah ... ayo ... jangan segan studi lanjut. Kalau terpaksa harus terpisah dari keluarga, tentu bisa diatur.
Bagi yg belum berkeluarga, jika cari calon pendamping hidup, buat kesepakatan jika kelak mesti studi
lanjut, dsb. Bagi yg baru berkeluarga, silakan merancang masa depan, termasuk jika hendak studi lanjut.
Bagi yg sudah berkeluarga dengan anak yg agak gede, juga masih bisa merancang bagaimana semua
anggota keluarga bisa berjuang untuk penuhi impian masing-masing. Selamat merenda masa depan. ;o)

Salam hangat,
PW

Anda mungkin juga menyukai