Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENELITIAN

TINEA CRURIS
(Eczema marginatum)

Oleh:

Sulistia
EAK10170068

PRODI ANALIS KESEHATAN


POLITEKNIK UNGGULAN KALIMANTAN
BANJARMASIN
2018
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 3
BAB II..................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 4
1. Patogenesis ............................................................................................................................. 4
2. Gejala Klinis .......................................................................................................................... 5
a. Diagnosis ................................................................................................................................ 6
b. Pemeriksaan Fisik ................................................................................................................. 6
c. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................................... 7
B. Farmakologi dengan Agen Anti-Jamur ................................................................................ 10
BAB III ................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................................................ 11
Kesimpulan ........................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Jamur bisa hidup
dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur
bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain
mikosis yang meyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin
jamur yang ada dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi
jamur beracun.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat terbatas pada daerah genitor-krural saja, atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh
yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-
macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.
Kebanyakan Tinea cruris penyebarannya pada musim panas dan banyak berkeringat.
Paling banyak di daerah tropis. Penyebab terseringnya Epidermophyton Floccosum, namun
dapat pula oleh T. Rubrum dan T. Mentagrophytes, yang ditularkan secara langsung atau tak
langsung. Laki-laki sering dijumpai daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Pada
orang dewasa lebih sering dijumpai daripada anak-anak. Pada daerah yang kebersihannya
kurang diperhatikan juga beresiko serta lingkungan yang kotor dan lembap.
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai penegakan anamnesa Tinea Cruris dalam anamnesa, pemeriksaan
fisik, penunjang, penatalaksanaan, serta penanganan prognosis yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan
pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum.
Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya artrospora atau
konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu
menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang
terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga patogen
akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena stratum
korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk pertumbuhan
miselia jamur. Infeksi dermatofita dapat terjadi melalui tiga tahap : adhesi pada keratinosit,
penetrasi dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai elemen
yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus dapat bertahan dari
efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembapan, kompetisi dengan flora normal,
dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar
sebasea bersifat fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada
stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim
musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga
memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada patogensis
tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan penurunan
proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih
dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan
organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami
inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan
kemotatik faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudia menghasilkan faktor
kemotatik berasal dari komplemen
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi dermatofita
yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun tidak berperan
untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe
IV) berperan dalam melawan dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan
oleh interferon Y yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah
mendapatkan paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan,
sebagai hasil dari perceptan tumbuhnya keratinosit.
Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun berupa
reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada
individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang
berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita
dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi
IgE pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini
dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta
mediator proinflamasi lainnya.

2. Gejala Klinis
Gejala yang ditemukan pada pasien dengan tinea cruris adalah adanya rasa
gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal
sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah.
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien
berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Pada pasien ini, didapatkan bahwa terdapat rasa gatal dan kemerahan di
lipatan paha sampai ke pantat, pasien tinggal di daerah yang beriklim agak lembap,
higienitas tidak baik dan pasien menyangkal adanya riwayat diabetes mellitus.
Adanya rasa gatal yang dialami oleh pasien disebabkan oleh antigen dari
dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe cepat. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada
permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat
menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta
mediator proinflamasi lainnya.
Iklim yang lembap dan penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat memicu
pertumbuhan jamur apabila higienitas daerah tubuh tersebut tidak terjaga dengan baik.
Pada penyakit diabetes mellitus, sistem imun menurun sehingga mudah terserang
infeksi, termasuk infeksi jamur.

a. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis tinea cruris pada pasien ini, ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan
dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke
supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika
banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan
yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita
diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit
olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

b. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari
papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya
makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi.
Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.
Manifestasi tinea cruris :
1. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat
paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
2. Daerah bersisik
3. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif. Sedangkan
pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi
4. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang
tersebar dan sedikit skuama
5. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
6. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin
muncul karena garukan
7. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula
folikuler
8. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik
untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang
sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi
KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan →
lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium
a. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium
saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide
(mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun
jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu
b. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–
Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam
Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis berupa gatal dan kulit berwarna kemerahan
seperti yang sudah dijelaskan di bagian gejala. Kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan
plak eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central healing.

Gambar 3.1 Lesi pada daerah Lipat Paha dan Pantat

Plak eritematosa adalah kemerahan pada kulit dengan diameter lebih dari 1 cm yang
terjadi akibat kongesti kapiler. Skuama adalah sistik yang berupa stratum korneum yang
terlepas dari kulit sehingga merupakan akumulasi keratin dalam jumlah besar. Central
healing adalah proses penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi, sedangkan bagian tepi
lesi masih aktif. Umumnya central healing terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh jamur
dikarenakan sifat jamur yang tumbuh secara radier dan adanya produksi enzim keratolisis.
Kemudian dilakukan juga pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10%
ditemukan hifa bersepta.
Pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% adalah salah satu jenis pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis penyakit akibat jamur dengan cara mengerok pada
bagian lesi. Kerokan dilakukan secara satu arah dan umumnya dipilih lesi bagian tepi. Hifa
adalah filamen atau benang yang membentuk miselium fungi. Hifa terlihat pada pemeriksaan
langsung penyakit jamur yang disebabkan oleh jenis kapang (seperti: tinea), sedangkan pada
jenis khamir (seperti: Candida albicans) akan terlihat pseudohifa. Spora adalah unsur
reproduktif yang dapat berisifat seksual atau aseksual dari organisme tingkat rendah.
Berdasar tinjauan manifestasi klinis dan interpretasi hasil pemeriksaan, kemungkinan
besar pasien menderita dermatofitosis, yaitu penyakit akibat jamur Dermatofita yang
menyerang bagian tubuh yang mengandung keratin, misalnya: stratum korneum. Stratum
korneum berifat jauh dari sistem imun, terdiri dari sel mati, serta banyak mengandung lipid
dan karbohidrat sehingga cocok untuk media pertumbuhan jamur. Jenis dematofitosis yang
diderita pasien adalah tinea cruris karena faktor predileksi yang berlokasi di lipat paha.
Dermatofita menghasilkan mannan yang dapat menghambat determinasi jamur oleh hospes
dengan melakukan imunosupresi pada kekebalan dimediasi sel. Penyakit tinea cruris
disebabkan oleh jamur golongan Tricophyton sp., Mycrosporum sp. dan Epidermophyton
fluoccosum. Tricophyton rubrum dan Epidermophyton fluoccosum adalah spesies yang
paling sering muncul. Tinea cruris dapat terjadi pada pria maupun wanita, namun wanita
memiliki kemungkinan lebih besar untuk terserang penyakit ini karena adanya obesitas pada
daerah paha dan sering memakai pakaian ketat.

a. Penatalaksanaan
Infeksi tinea corporis, cruris, dan pedis dapat diterapi dengan agen topikal maupun
sistemik. Untuk mengobati dermatofitosis, perlu dipertimbangkan juga faktor lingkungan
yang menyebabkan infeksi tinea dan memilih terapi topikal yang tepat untuk infeksi 9. Pada
kasus ini terapi dibagi menjadi terapi nonfarmakologi dan farmakologi dengan agen anti-
jamur.

Nonfarmokologi

Fungi atau jamur tumbuh dengan subur pada lingkungan lembab sehingga pasien
disarankan untuk menggunakan pakaian dan kaos kaki yang longgar berbahan katun atau
bahan sintetis yang tidak membuat kulit lembab. Area yang rentan terinfeksi harus benar-
benar kering sebelum memakai pakaian. Pasien juga disarankan untuk menghindari berjalan
telanjang kaki dan berbagi pakaian dengan orang lain.
B. Farmakologi dengan Agen Anti-Jamur

Pada kasus ini diberikan ketoconazole sistemik dan topikal. Agen anti-jamur dapat
dikelompokkan berdasarkan struktur dan mekanisme kerjanya. Dua kelompok agen anti-
jamur adalah golongan azole dan allylamine. Azole menghambat enzim lanosterol 14-alfa-
demetilase, sebuah enzim yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol, yang merupakan
komponen penting dinding sel jamur. Kerusakan membran mengakibatkan permasalahan
permeabilitas sehingga jamur tidak dapat bereproduksi. Allylamine menghambat squalen
epoxidase, sebuah enzim yang mengubah squalene menjadi ergosterol, mengakibatkan
akumulasi squalene sampai tingkat toksik pada sel dan sel mati. Kedua kelas agen anti-jamur
tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Agen lain yang tidak termasuk dalam 2 kelas
agen di atas antara lain tolnaftate (Tinactin), haloprogin (Halotex), ciclopirox (Loprox), dan
butenafine (Mentax) (Tabel 1). Sebagian besar digunakan dua kali sehari selama 2-4 minggu.
Obat per oral yang efektif untuk dematofitosis yaitu ketoconazole yang bersifat fungistatik.
Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200
mg per hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketoconazole merupakan
kontraindikasi untuk kelainan hepar.

Tabel 1
Agen Anti-Jamur dan Bentuk Sediaannya
Agen Rx/OTC Solusio/spray Lotion Krim Gel/salep Serbuk
Tolnaftate OTC Ya Ya Ya Ya Tidak
(Tinactin)
Haloprogin Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak

(Halotex)
Cicloporix Rx Lacquer Ya Ya Tidak Tidak
(Loprox)
Clotrimazole OTC Ya Ya Ya Tidak Tidak
(Lotrimin)
Miconazole OTC Ya Ya Ya Tidak Ya
(Micatin)
Ketoconazole Rx Shampoo Tidak Ya Tidak Tidak
(Nizoral)
Sulconazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Exelderm)
Oxiconazole Rx Tidak Ya Ya Tidak Tidak
(Oxistat)
Econazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Spectazole)
Butenarfine Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Mentax)
Naftifine (Naftin) Rx Tidak Tidak Ya Ya Tidak
Terbinafine Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak
(Lamisil)
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat terbatas pada daerah genitor-krural saja, atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh
yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-
macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.
DAFTAR PUSTAKA

http://gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1085454401,65023
http://doktercute.com/2011/01/tinea-cruris.html
http://dokterolifvia.com/2011/05/infeksi-jamur.html
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-medication#2.
http://academia.edu/tinea-cruris.com

Anda mungkin juga menyukai