Anda di halaman 1dari 24

TUGAS HUMANIORA

“CARA MELAYANI PASIEN”

Oleh:
TITIN SARTINI
NPM : 41217041

DOSEN PENGAMPU :
RINI SUSANTI, M.Pd

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan dan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
meyelesaikan tugas ini dalam bentuk makalah Humaniora dengan pokok bahasan
“Cara Melayani Pasien”

Dalam penyusunan ini, kami sangat menyadari bahwa masih banyak


kekurangan, namun kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan
hasil yang sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kami mengaharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk membantu dalam menyelesaikan tugas ini sehingga lebih
sempurna di masa yang akan datang.

Semoga tugas yang telah kami buat dapat bermanfaat di masa sekarang dan
masa yang akan datang. Atas segala perhatiannya, penyusun mengucapkan banyak
terima kasih.

Batam, Februari 2018

Titin Sartini

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHLUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Sejarah Humaniora dalam Kedokteran ................................... 3
2.2 Humanisme dan etika dalam praktek kedokteraan ................. 9
2.3 Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan ................ 13
2.4 Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan
ilmu kedokteran ...................................................................... 14
2.5 Etika dalam Pelayanan Kebidanan ......................................... 15

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ............................................................................. 20
3.2 Saran ....................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal
yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum,
sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-
nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin,
humaniora artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora”
dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di
Perguruan Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang
mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih
manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik
berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses pendidikan.
Dokter atau petugas kesehatan adalah salah satu profesi yang berhubungan
langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter atau
petugas kesehatan harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya dengan pengetahuan
humaniora ini.
Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum
kedokteran. Karena yang kita harapkan adalah lahirnya dokter atau petugas
kesehatan yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku
yang manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu
saja perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan
bagaimana sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan pengetahuan
ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai apa yang kita

1
harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang akan
dipelajari di dalam humaniora ini.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang berpengaruh
terhadap meningkatnya krisis masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan
terutama pelayanan kebidanan. Menjadi tantangan bagi profesi bidan untuk
mengembangkan kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan praktik
kebidanan serta dalam memberikan pelayanan kebidanan berkualitas.
Sikap etis profesional bidan akan mewarnai dalam setiap langkahnya, termasuk
dalam mengambil keputusan dalam merespon situasi yang muncul dalam asuhan.
Pemahaman tentang etika dan moral menjadi bagian yang fundamental dan sangat
penting dalam memberikan asuhan kebidanan, dengan senantiasa menghormati nilai-
nilai pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Sejarah Humaniora dalam Kedokteran ?
2. Apakah Humanisme dan etika dalam praktek kedokteraan ?
3. Apakah Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan ?
4. Apakah Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu
kedokteran ?
5. Apakah Etika dalam Pelayanan Kebidanan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Humaniora dalam Kedokteran
2. Untuk mengetahui Humanisme dan etika dalam praktek kedokteraan
3. Untuk mengetahui Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
4. Untuk mengetahui Humanisme dan etika dalam penelitian dan
pengembangan ilmu kedokteran
5. Untuk mengetahui Etika dalam Pelayanan Kebidanan

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Sejarah Humaniora dalam Kedokteran


Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter atau petugas kesehatan apakah
Anda kelak? Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter atau petugas kesehatan ideal
itu seperti apa? Mungkin, Anda merasa tertarik melihat dokter atau petugas
kesehatan yang mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Atau
mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter atau petugas kesehatan yang
sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat
pada mereka. Atau Anda bangga melihat dokter atau petugas kesehatan mampu
mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa orang-orang di dekat
Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain.
Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter atau petugas kesehatan
memiliki sejarah perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha
memberi gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter atau petugas
kesehatan yang sejatinya ideal, dokter atau petugas kesehatan yang manusiawi, yang
berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian profesional. Untuk mendapatkan hasil di
hilir yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena
itu disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai
seorang dokter atau petugas kesehatan.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah watak
alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan berkembang sesuai
pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau compassion bukanlah
sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah secara alami
melalui proses yang panjang dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita
kembali kepada jati diri sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, maka kita
tahu bahwa banyak hal yang harus kita pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam

3
hidup ini, apalagi bila dikaitkan dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam
agama Islam diajarkan mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya,
konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja.
Sedangkan, konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya
dunia medis jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang
muslim kita tentu percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada
akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak.
Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang
menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan dengan kehidupan
kita kelak sebagai seorang dokter atau petugas kesehatan, jadi pengetahuan tersebut
mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam
realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal bagi komunitas medis, apa saja
yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata medis, akan mudah melekat karena ada
sekian banyak reseptor yang sensitif dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu
dibutuhkan pengetahuan yang lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan
tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini
terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter atau petugas kesehatan.
Pengetahuan ini harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak
sebagai dokter atau petugas kesehatan. Bidang yang dimaksud antara lain:
a. Praktek kedokteran
b. Pelayanan kesehatan
c. Pendidikan kedokteran
d. Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang
memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika,
kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna
intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan
menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada

4
juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian
manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter atau petugas kesehatan. Etika kedokteran dalam
kamus kedokteran Stedman dirumuskan sebagai principles of correct professional
conduct with regard to the rights of the physician himself, his patients, and his fellow
practitioners. Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip
mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai
dokter atau petugas kesehatan, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dokter atau petugas kesehatan adalah suatu profesi yang berhubungan
langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang
sama berbudaya. Karena itu seorang dokter atau petugas kesehatan harus mengetahui
segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan
bagi setiap dokter atau petugas kesehatan, terutama sebagai dokter atau petugas
kesehatan muslim dalam menjalani kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah
pengetahuan kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai
petugas layanan kesehatan.
Penggunaan konsep perilaku berada dalam pengertian ketunggalannya dengan
konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau banyak, terkait dengan
pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga
halnya dengan seorang dokter atau petugas kesehatan. Untuk proses hulu, lingkungan
pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik
pula.
Ilmu kedokteran khususnya dokter umum atau petugas kesehatanan yang
menangani manusia jelas sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan
dengan hasil kesadaran manusia. Segala penalaran dokter atau petugas kesehatan
sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang
selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan

5
lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter atau petugas kesehatan
berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi
sang dokter atau petugas kesehatan. Sebaliknya kesuksesan dokter atau petugas
kesehatan akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena
segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas,
bagaimana kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme
dan etika dalam berbagai bidang kedokteran atau petugas kesehatanan, terminologi
humanisme awalnya dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa
renaisans Eropa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang
berkenaan dengan perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan
pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada
pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa
takut dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi yang berarti
kepada pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih
lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokter atau petugas kesehatanan lebih
dari sebuah etika. Lebih dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal
yang merugikan fisik dan mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang
sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan positif,
seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada
penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau tindakan yang
meringankan penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan karena definisi ‘belas
kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus utama kedokter atau petugas kesehatanan –
Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama pentingnya dengan
pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter atau petugas kesehatan
yang humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami
profesi kedokt/eran atau petugas kesehatanan saat ini? Apa yang telah terjadi

6
sehingga menyebabkan banyak dokter atau petugas kesehatan-dokter atau petugas
kesehatan senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter atau petugas kesehatan. Fenomena ini telah mendunia
dan juga telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktek medis dan
perawatan pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme
menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokter atau petugas kesehatanan dan
dalam bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam
kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya
sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya, dibutuhkan
lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam kurikulum agar
lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua
mereka.
Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi
dokter atau petugas kesehatan saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya fenomena tersebut, antara lain:
a. emisahan antara jasad dan jiwa
b. Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
c. Penghambaan diri terhadap teknologi modern
d. Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
e. Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter atau
petugas kesehatan berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan
menghadapi masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek,
peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut
menyebabkan para dokter atau petugas kesehatan sangat fokus pada keahlian medis
mereka. Mereka menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien,
yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot
menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori gila
(silakan ke ahli jiwa kalau jiwa terganggu).

7
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-
teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang
sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding
mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam benak para
dokter atau petugas kesehatan. Padahal sangat jelas bahwa para dokter atau petugas
kesehatan pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan penyakit,
bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan
ini. Seorang dokter atau petugas kesehatan tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang
teknologi atau akan dicemoohkan oleh masyarakat yang sudah semakin kritis- tentang
jati dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter atau petugas
kesehatan tidak mengerti tentang perkembangan jaman, walaupun dokter atau
petugas kesehatan itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus didiaminya
selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang
dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan yang
menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis
tentunya akan membuat para dokter akan terus-menerus berhubungan dengan
perkembangan teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu
saja kita tidak dapat menyalahkan dokter atau petugas kesehatan yang berniat
meneruskan minatnya pada ilmu tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat
yang selalu mengandalkan dokter atau petugas kesehatan spesialis dan bertindak
merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta adanya
jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba meraih
gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter atau
petugas kesehatan merasa terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan
perasaan pasiennya? Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-
pasiennya dan meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di
sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak
memerlukan campur tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This is our

8
own life, marilah kita jalani sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu. Kita sendiri
yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini betul. Tapi apakah
memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah semata-mata tangan dingin
sang dokter atau petugas kesehatan saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora memandang kehidupan
seorang dokter atau petugas kesehatan.

2.2 Humanisme dan Etika dalam Praktek Kedokteraan


Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan
humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang
sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa saran/nasihat
dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para warga merespon
permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang berkaitan
dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib
dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa penyakit
adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan perantaraan tuhan atau
makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang
sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena
mereka memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut,
disamping adanya kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam
masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter atau petugas kesehatan, kita
diyakinkan bahwa masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih
terhadap penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter atau petugas kesehatan praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan
dokter atau petugas kesehatan-pasien ’one-to-one’ yang unik dan sangat pribadi,
melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien
terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan dokter atau petugas
kesehatannya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban sosial untuk

9
melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan bergantung kepada
kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter atau petugas kesehatan dulunya tidak
setinggi seperti yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya
dokter atau petugas kesehatan kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter atau
petugas kesehatan pada jaman itu dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah
diundang pada acara-acara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak
seharusnya menerima makanan dari seorang dokter atau petugas kesehatan karena
dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter
atau petugas kesehatan adalah pekerja berat, orang liar, orang asing, dan pengobatan
dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter atau petugas
kesehatan bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas
pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter atau petugas kesehatan di
Perancis sangat miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan kemampuan
para dokter atau petugas kesehatan mempengaruhi perjalanan penyakit secara
radikal, bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran statusnya dari
sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu
kekuasaan dan martabat profesi dokter atau petugas kesehatan juga meningkat
seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokter atau petugas kesehatanan memiliki otonomi,
mengontrol semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi
melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan
tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural
(asosiasi, publikasi, sekolah kedokter atau petugas kesehatanan yang dapat dikontrol)
dan bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter atau petugas

10
kesehatan. Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat
disesuaikan secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang
berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter atau petugas kesehatan pada awal abad delapanbelas
bersifat ‘biaya pelayanan tunggal’ yaitu seorang dokter atau petugas kesehatan
memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun
berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang
di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter atau petugas
kesehatan pedesaan atau dokter atau petugas kesehatan ‘kuno’ atau dokter atau
petugas kesehatan keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut,
berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat
dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter atau petugas kesehatan-dokter atau petugas kesehatan desa perlahan
menghilang dan semakin banyak dokter atau petugas kesehatan menetap di daerah
kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter atau petugas kesehatan pedesaan atau
dokter atau petugas kesehatan keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan
dehumanisasi’ di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri berubah
sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang
kebanyakan dokter atau petugas kesehatan praktek berkelompok di bawah
persetujuan formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan
pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia
kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis yang
kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter atau
petugas kesehatan berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom
dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktek
pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan para dokter atau petugas kesehatan.

11
Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih
berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter
atau petugas kesehatan bergantung pada teknologi semata, semakin mereka
kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal
tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter atau petugas
kesehatan membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien
sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada
aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan
humanistik sang dokter atau petugas kesehatan.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter atau petugas kesehatan di Myanmar
menelaah sebuah film bergenre kedokter atau petugas kesehatanan, berjudul “Patch
Adam”. Dia tertarik pada kritik sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter
Adam: “Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka”
dan saat dia berbicara melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-
saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau
menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter atau
petugas kesehatan yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih?
Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter atau petugas kesehatan yang
memiliki rasa belas kasih karena saya mengenal beberapa dokter atau petugas
kesehatan yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter atau
petugas kesehatan melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh
tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter atau petugas kesehatan melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan
pasiennya. Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini segera
menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.

12
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan humanisme,
dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter atau
petugas kesehatan yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan
memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit
dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana
yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter atau petugas kesehatan yang berwajah
dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter atau petugas kesehatan
yang menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.

2.3 Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan


Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap kesehatan
rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orang-orang sakit
dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk kebidanan dan bedah.
Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin
yang akan dikunjungi oleh dokter atau petugas kesehatan-dokter atau petugas
kesehatan umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokter atau
petugas kesehatanan di negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-
rumah sakit yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan
segala aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi
spiritualnya (memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek
estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu mereka
yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat mereka (seperti
membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan
sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu
kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan
resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat jika terjadi
penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada masa-masa

13
setelahnya mengubah pola tingkah dokter atau petugas kesehatan dan pelayanan
kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak
mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi dengan dokter atau petugas
kesehatan-dokter atau petugas kesehatan yang terlatih di rumah sakit yang sangat
sedikit dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam
masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini,
dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan
keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan
Kesehatan untuk Semua (World Health Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokter atau
petugas kesehatanan telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang.
Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya
meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan.
Idealnya, dokter atau petugas kesehatan mampu melakukan praktek hingga
menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga.
Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan
terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan
keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih
sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

2.4 Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu


kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi
ciri profesi dokter atau petugas kesehatan, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga
kepada para peneliti di bidang kedokter atau petugas kesehatanan. Etika dan
humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai
dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada
aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti
memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah

14
yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam
masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan,
peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter
atau petugas kesehatan harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan
manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar
penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti
diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir
di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan
dalam pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta para
konsumen.

2.5 Etika dalam Pelayanan Kebidanan


Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau
salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. Etika berfokus
pada prinsip dan konsep yang membimbing manusia berfikir dan bertindak dalam
kehidupannya dilandasi nilai-nilai uang dianutnya.
Klarifikasi nilai (values) merupakan suatu proses dimnana seseorang dapat
mengerti sistem nilai-nilai yang melekat pada dirinya sendiri. Merupakan proses yang
memungkinkan seseorang menemukan sistem perilakunya sendiri melalui perasaan
dan analisis yang dipilihnya dan muncul alternatif-alternarif, apakah pilihan-pilhan
ini yang sudah dianalisis secara rasional atau merupakan hasil dari suat kondisi
sebelumnya (Steele dan Harmon, 1983). Ada 3 fase dalam klarifikasi nila-nilai yang
perlu dipahami oleh bidan.
a. Pilihan
a) Kebebasan memilih kepercayaan serta menghargai keeunikan individu
b) Perbedaan dalam keyataan hidup selalu ada, asuhan yang diberikan bukan
hanya karena martabat seseorng tetapi hendaknya prlauan yang diberikan
mempertimbangkan sebagaimana kita ingin diperlakukan

15
c) Keyakinan bahwa penghormatan terhadap martabat seseorang akan merupakan
konsekuensi terbaik bagi semua masyarakat
b. Penghargaan
a) Merasa bangga dan bahagia dengan pilihannya sendiri (anda akan merasa
senang bila mengetahui asuhan yang anda berikan dihargai pasien atau klien
serta sejawat serta suppervisor memberikan pujian atas keterampilan hubungan
interpersonal yang terjadi)
b) Dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut bila ada seseorang yang tidak
bersedia memperhatikan martabat manusia sebagaimana mestinya.
c. Tindakan
a) Gabungan nilai-nilai tersebut kedalam kehidupan atau pekerjaan sehari-hari
b) Upayakan selalu konsisten untuk menghargai martabat manusia dalam
kehidupan pribadi dan profesional, sehingga timbul rasa sensitif atas tindakan
yang dilakukan. Semakin disadari nilai-nilai moral yang dilakukan serta selalu
konsisten untuk mempertahankannya.
Bidan harus memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan
kebidanan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku etis dalam praktik asuhan
kebidanan. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan bidan dan
berlanjut pada forum atau kegiatan ilmiah baik formal atau nonformal dengan teman,
sejawat, profesi lain maupun masyarakat. Salah satu perilaku etis adalah bidan
menampilkan perilaku pengambilan keputusan yang etis dalam membantu masalah
klien. Dalam membantu pemecahan masalah ini bidan menggunakan dua pendekatan
dalam asuhan kebidanan, yaitu:
i. Pendekatan berdasarkan prinsip
Pendekatan berdasarkan prinsip sering dilakukan dalam etika kedokteran atau
kesehatan untuk menawarkan bimbingan tindakan khusus. Menurut Beauchamp
Childress, kesehatan meliputi:
a) Tindakan sebaiknya mengarah sebagai penghargaan terhadap kapasitas
otonomi setiap orang;
b) Menghindarkan berbuat suatu kesalahan

16
c) Dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala
konsekuensinya
d) Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi.
ii. Pendekatan berdasarkan asuhan atau pelayanan
Bidan memandang care atau asuhan sebagai dasar dan kewajiban moral.
Hubungan dengan bidan dengan pasien merupakan pusat pendekatan berdasarkan
asuhan, memberikan perhatian khusus kepada pasien. Perspektif asuhan
memberikan arah dengan cara bagaimana bidan dapat berbagai waktu untuk duduk
bersama dengan pasien atau sejawat, merupakan suatu kebahagiaan bila didasari
etika. Perspektif asuhan meliputi:
a) Berpusat pada hubungan interpersonal dalam asuhan;
b) Meningkatkan penghormatan dan penghargaan terhadap martabat klien atau
ibu sebagai manusia;
c) Mau mendengarkan dan mengelola saran-saran dari orang lain sebagai dasar
yang mengarah pada tamggung jawab profesional;
d) Meningkatkan kembali arti tanggung jawab moral yang meliputi kebijakan
seperti kebaikan, kepedulian, empati, perasaan kasih sayang, menerima
kenyataan (Taylor 1993).
Bidan dalam memberikan asuhan kebidanan dalam praktik kebidanan perlu
meningkatkan:
1. Loyalitas staf atau kolega adalah memegang teguh komitmen terutanma kepada
pasien
2. Prioritas utama terhadap pasien dan keluarganya
3. Bidang peduli terhadap otonomi pasien, bidang harus memberikan informasi yang
akurat, menghormati dan mendukung hak pasien dalam mengambil keputusan.
Ada beberapa unsur pelayanan prifesional:
a. Pelayanan yang berlandaskan sikap dan kemampuan profesional
b. Ditujukan untuk kepentingan yang menerima
c. Pelayanan yang diberikan serasi dengan pandangan dan keyakinan profesi
d. Memberikan perlindungan bagi anggota profesi

17
Bidan harus menampilkan perilaku profesional, adapun kriteria-kriteria perilaku
profesional adalah sebagai berikut;
1. Bertindak sesuai dengan keahliannya dan didukung oleh pengetahuan dan
pengalaman serta keterampilan
2. Bermoral tinggi
3. Berlaku jujur, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri
4. Tidak melakukan tindakan coba-coba yang tidak didukung ilmu pengetahuan
profesi
5. Tidak memberikan janji yang berlebihan
6. Tidak melakukan tindakan yang semata-mata didorong oleh pertimbangan
komersial
7. Memegang teguh etika profesi
8. Mengenali batas-batas kemampuan
9. Menyadari ketentuan hukum yang membatasi geraknya
Pelayanan kebidanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan
kesehatan. Pelayanan kebidanan tergantung bagaimana struktur social budaya
masyarakat dan termasuk kondisi social ekonomi, social demografi.
Pelayanan kebidanan meliputi aspek biopsikososial spiritual dan cultural. Pasien
memrlukan bidan yang mempunyai karakter sebagai berikut: semangat melayani,
simpati, empati, ikhlas, member kepuasan.
Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah pelayanan kebidanan dan dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kebidanan serta peyelenggaraannya sesuai
kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan
Ukuran pelayanan kebidanan yang bermutu:
1. Ketersediaan pelayanan kebidanan
2. Kewajaran pelayanan kebidanan
3. Kesinambungan pelayanan kebidanan
4. Penerimaan jasa pelayanan kebidanan
5. Ketercapaian pelayanan kebidanan
6. Keterjangkauan pelayanan kebidanan

18
7. Efisiensi pelayanan kebidanan
8. Mutu pelayanan kebidanan
Pelayanan kebidanan disuatu institusi memiliki norma dan budaya yang unik.
Setiap institusi pelayanan memiliki norma sendiri dalam memberikan pelayanan
kebidanan yang terdiri dari beberapa praktisi atau profesi kesehatan. Walaupun
demikian subjek pelayanan hanya satu, yaitu manusia atau individu. Sehingga setiap
indiividu harus jelas batas wewenangnya. Area kewenangan bidan tertuang dalam
Kepmenken 900/ Menkes/ SK/ VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan.
Mengenai kejelasan peran bidan diatur dalam standar praktik kebidanan dan standar
pelayanan kebidanan.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau
salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. Etika berfokus
pada prinsip dan konsep yang membimbing manusia berfikir dan bertindak dalam
kehidupannya dilandasi nilai-nilai uang dianutnya.
Salah satu perilaku etis adalah bidan menampilkan perilaku pengambilan
keputusan yang etis dalam membantu masalah klien. Dalam membantu pemecahan
masalah ini bidan menggunakan dua pendekatan dalam asuhan kebidanan, yaitu:
1. Pendekatan berdasarkan prinsi
2. Pendekatan berdasarkan asuhan atau pelayanan
Pelayanan kebidanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan
kesehatan. Pelayanan kebidanan tergantung bagaimana struktur social budaya
masyarakat dan termasuk kondisi social ekonomi, social demografi.
Menurut kode etik bidan internasional adalah bidan seharusnya meningkatkan
pengetahuannya melalui berbagai proses seperti dari pengalaman pelayanan
kebidanan dan dari riset kebidanan.

20
Daftar Pustaka
Assi Ba’l, Z.A. 1992. Dokter atau petugas kesehatan-dokter atau petugas
kesehatan, Bagaimana Akhlakmu. Jakarta : Gema Insani Press

Prasetya, J.T. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Rineka Cipta

Samil, RS. 2001. Etika Kedokter atau petugas kesehatanan Indonesia. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Tu, U.M. 2001. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical
Education and Medical Research. Myanmar : The First Myanmar Academy of
Medical Science Oration

https://shulhana.wordpress.com/ https://shulhana.wordpress.com/

http://nurhidayatiunpdu.blogspot.co.id/2013/03/etika-seorang-bidan.html

21

Anda mungkin juga menyukai