LAPORAN PENDAHULUAN
2.1.Konsep Penyakit
A. Definisi
Deman Typhoid adalah penyakit akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan segala deman, gangguaan pada saluran
pencernaan.(Mansjoer, 2002,; 432)
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang
yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 2001 ).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai
berikut, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang
disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui
oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B. Anatomi Fisiologi
1. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari dua
bagian yaitu:
Bagian atas: gusi, gigi, bibir, dan pipi.
Bagian dalam/rongga mulut.
2. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan (esofagus).
3. Esofagus
Terletak di mediastrium rongga torakal, anterior terhadap tulang
punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang
dapat mengempis ini, yang panjangnya kira-kira 25 cm (10 inci),
menjadi distensi bila maknan melewatinya.
4. Lambung
Terletak dibagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah
tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung
yang dapat berdistensi dengan kapasitas sekitar 1500 ml. Intlet ke
lambung disebut pertemuan esofagogastirk. Bagian ini dikelilingi oleh
cincin otot halus , disebut sfringter esofagus bawah atau springter
kardia. Yang pada saat kontraksi, menutup lambung dari esofagus.
Lambung dapat dibagi kedalam empat bagian anatomi: kardia (jalan
masuk), fundus, korpus dan pilarus (outtlet).
5. Springter Piloris
Otot halus serkuler di diding pilorus yang berfungsi mengontol
lubang diantara lambung dan usus halus.
6. Usus halus
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, dengan
panjangnya kurang lebih 2 m.
1) Lapisan usus halus terdiri dari:
Lapisan mukosa
Lapisan otot
Lapisan serosa (luar)
2) Usus halus terdiri dari 2 bagian yaitu:
Duodenum (usus duabelas jari)
Dengan panjang kurang lebih 25 cm, pada duo denim
terdapat muara saluran empedu dan saluran pankreas.
Yeyunum dan ileum
Dengan panjang kurang lebih 6 m, ujung bawah illeum
berhubungan dengan perantaraan lubang yang bernama orifisim
illeoseikal.
3) Fungsi usus halus:
Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap
melalui kapiler oleh darah dan saluran limpa.
Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
Menyerap karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
4) Dalam usus halus teradapat kelenjar yang menghasilkan getah usus
antara lain:
Entero kinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
Eripsin, menerima protein menjadi asam amino.
7. Usus besar
Usus besar panjangnya kurang lebih 1,5 m, lebarnya 5-6 cm.
Lapisan usus besar terdiri dari (dari dalam keluar):
1) Selaput lendir
2) Lapisan otot
3) Lapisan ikat
4) Jaringan ikat
5) Fungsi usus besar:
Menyerap air dari makanan
Tempat tinggal bakteri coli
Tempat feses
6) Usus besar terdiri dari 7 bagian:
Sekum
Kolon asenden
Terletak diabdomen sebelah kanan, membujur keatas dari
illeum sampai ke hati, panjangnya kurang lebih 13 cm.
Apendik (usus buntu)
Sering disebut umbai cacing dengan panjang kurang lebih 6
cm
Kolon tranversum
Membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden
dengan panjang kurang lebih 38 cm.
Kolon desenden
Terletak dalam rongga abdomen sebelah kiri membujur dari
atas ke bawah dengan panjangnya kurang lebih 25 cm.
Kolon sigmoid
Terletak di dalam rongga pelvis sebelah kiri yang
membentuk huruf ‘S’, ujung bawah berhubungan dengan
rektum.
8. Rektum
Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus.
C. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan
C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan
demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang
sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
D. Patofisiologi
Penularan salmonella thypoid dapat ditularkan melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan
melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan
dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan
yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian
kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah
dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid
disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian
eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus
halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya
merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang.
9.
F. Manifestasi Klinis
Masa tunas typhoid 10 – 14 hari
1. Minggu I
Pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan
malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri
kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan
tidak enak di perut.
2. Minggu II
Pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi,
lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali,
meteorismus, penurunan kesadaran.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan Leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid
terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya
leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam
typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-
batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak
ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan
jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid,
tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan
terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan
laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik
dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang
baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia
berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif
pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu
berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan
obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat
dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang
pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal
dari simpai kuman)
Pada orang normal, agglutinin O dan H positif. Aglutinin O bisa
sampai 1/10 sedangkan agglutinin H normal bisa 1/80 atau 1/160.
1/10. 1/80, 1/160 ini merupakan titer atau konsentrasi. Pada orang
normal tetap ditemukan positif karena setiap waktu semua orang
selalu terpapar kkuman Salmonella. Tes widal dikatakan positif jika H
1/800 dan O 1/400.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar
klien menderita typhoid. Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal
:
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru
dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang
dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan
antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.
Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan
obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat
tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi
karena supresi sistem retikuloendotelial.
Vaksinasi (penanaman bibit penyakit yg sudah dilemahkan ke
dl tubuh manusia) dengan kotipa atau tipa : seseorang yang
divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H
dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6
bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer
aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella
sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal
yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi
dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang
pernah tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi
aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies yang lain.
Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan
mempengaruhi hasil uji widal.
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi
dari strain lain.
H. Penatalaksanaan
1. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
2. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya
tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
3. Diet.
4. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
5. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
6. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
7. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam
selama 7 hari.
8. Obat-obatan (Klorampenikol, Tiampeniko, Kotrimoxazol, Amoxilin
dan ampicillin)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan
elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan
muntah
2. Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan
elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan
muntah
3. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhoid
4. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan kelemahan fisik
5. Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang
informasi atau informasi yang tidak adekuat
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan
elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan
muntah.
Tujuan : Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N
dan RR) dalam batas normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi
1) Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor
kulit tidak elastis dan peningkatan suhu tubuh
2) Pantau intake dan output cairan dalam 24 jam
3) Ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama
4) Catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan
distorsi lambung.
5) Anjurkan klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari,
6) kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na,
Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan
tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
2. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan : Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil
1) Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal,
2) Nilai bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit)
3) Nilai laboratorium normal,
4) Konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Intervensi
1) Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak
disukai klien
2) Anjurkan tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut,
timbang berat badan tiap hari.
3) Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau
hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung,
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi
dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin
dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
analgesik seperti (ranitidine).
3. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan : Hipertermi teratasi
Kriteria hasil
1) Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal
2) Bebas dari kedinginan dan tidak terjadi komplikasi yang
berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi
1) Observasi suhu tubuh klien,
2) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien,
3) Beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila,
lipat paha, temporal bila terjadi panas
4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat
menyerap keringat seperti katun,
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
D. Tindakan Keperawatan
Pelaksanaan merupakan kategori dan prilaku keperawatan, dimana
perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencaspai tujuan dan
hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan Potter dan Perry (1999)
pelaksanaan mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja
aktivitas sehari-hari dengan kata lain pelaksanaan mencangkup
melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan keputuana atau pendapat tentang Carpenito
dan Moyet (2007) sedangkan menurut Rubenfeld dan Scheffer (1999).
Evaluasi adalah tindakan memeriksa setiap aktivitas dan apakah hasil
yang diharapkan telah tercapai.
Adapun tipe-tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam
asuhan keperawatan kepada klien meliputi : evaluasi masalah kolaboratip
yaitu mengumpulkan data yang telah dipilih, membandingkan data untuk
mencapai data normal. Menilai data yang di dapat dengan nilai normal.
Evaluasi diagnosis keperawatan dan peningkatan pencapaian tujuan dan
evaluasi dari status perencanaan keperawatan dan hasil yang di dapat.
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di
harapkan untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah
: tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi
terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti
tentang penyakitnya.
BAB 3
LAPORAN KASUS
Pada bab tiga ini penulis akan membahas laporan kasus pada Ny.B dengan
gangguan system pencernaan : Typhoid Fever diruang Isolasi (H) Rumah Sakit
Umum Daerah Dokter Soedarso Pontianak
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Nama :
b. Jenis Kelamin :
c. Umur :
d. Agama :
e. Pendidikan :
f. Alamat :
g. Status Perkawinan :
h. Suku Bangsa :
i. Pekerjaan :
j. Ruangan :
k. Diagnosa Medis :
l. Tanggal MRS :
m. Tanggal/jam Pengkajian :
3. Data Biologis
a. Pola Nutrisi
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
b. Pola Minum
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
c. Pola Eliminasi
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
d. Pola Istirahatdan Tidur
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
e. Pola Kebersihan
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
f. Pola Aktivitas
Sebelum MRS :
Sesudah MRS :
4. Pemerksaan Fisik
a. Keadaan Umum :
b. Kesadaran :
c. TTV :
d. Pemeriksaan Persistem
1) Sistem Pernafasan
2) Sistem Kardiovaskuler
3) Sistem Persyarafan
4) Sistem Pencernaan
5) Sistem Perkemihan
6) Sistem Penginderaan
7) Sistem Endokrin
8) Sistem Muskuloskeleta dan Integumen
9) Sistem Integumen
5. Data Psikologis
a. S