Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya jika mu’adzin mengumandangkan iqamat pada saat masih ada yang shalat
sunnah qabliyah ataupun taihatul masijid,
Jawaban.
Pertama perlu diketahui, adzan disyari’atkan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah
masuk dan untuk mengundang umat Islam untuk melakukan shalat berjama’ah di masjid. Oleh
karena itu, perlu diberi waktu yang cukup antara adzan dengan iqamat, agar jama’ah dapat
bersiap-siap datang ke masjid. Jika tidak, maka fungsi adzan menjadi sia-sia dan hilang pula
kesempatan bagi orang banyak untuk shalat berjama’ah di masjid. Bagaimana mungkin seorang
muadzin mengajak shalat berjama’ah dengan seruannya “hayya ‘alash- shalâh, lalu ia tidak
bersabar menanti dan tergesa-gesa melakukan iqamat tanpa memperhatikan jama’ah yang sedang
berwudhu’ atau sedang berdatangan?! Ketika adzan dikumandangkan, tentu banyak jama’ah
yang belum berwudhu’. Kemungkinan di antara jama’ah ada yang sedang bekerja, makan,
minum, tidur, buang hajat, atau lainnya, sehingga perlu diberi waktu untuk bersiap-siap.
Demikianlah yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau n :
Dari Anas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Seseorang di antara
kalian tidak beriman sehingga ia mencintai saudaranya (kebaikan) yang ia cintai untuk
dirinya” Apakah seseorang senang, jika ketika ia sedang shalat sunah, lalu iqamat di
kumandangkan? Tentu ia tidak senang. Oleh karena itu, hendaklah muadzin bersabar sebentar
untuk menantinya. Namun, jika memang sudah cukup lama jarak antara adzan dan iqamat, dan
imam sudah datang dan mengidzinkan iqamat, maka tidak mengapa iqamat dikumandangkan
Sumber: https://almanhaj.or.id/4608-hukum-muadzin-iqamah-saat-sunnah-qabliyah.html
Syarat & Rukun Sholat Berjamaah
SYARAT-SYARAT SHALAT
Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan
hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan
membatalkannya. Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:
1 Islam,
2 Berakal,
3 Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk),
4 Menghilangkan hadats,
5 Menghilangkan najis,
6 Menutup aurat,
7 Masuknya waktu,
8 Menghadap kiblat,
9 Niat.
Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari kata syarth
yang berarti alamat. Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang
ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan (tidak sah), tetapi adanya tidak
mengharuskan (sesuatu itu) ada (sah). Contohnya, jika tidak ada thaharah
(kesucian) maka shalat tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak
berarti adanya shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus
memenuhi syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya
dan menghindari hal-hal yang membatalkannya, pent.). Adapun yang dimaksud
dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat tersebut.
1. Islam
Lawannya adalah kafir. Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak
mengamalkan apa saja, dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),
“Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-
masjid Allah padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka
itu, amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal.”
(At-Taubah:17) Dan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan:23)
Shalat tidak akan diterima selain dari seorang muslim, dalilnya firman Allah
‘azza wa jalla (yang artinya), “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Aali ‘Imraan:85)
2. Berakal
Lawannya adalah gila. Orang gila terangkat darinya pena (tidak dihisab
amalannya) hingga dia sadar, dalilnya sabda Rasulullah (yang artinya),
“Diangkat pena dari tiga orang: 1. Orang tidur hingga dia bangun, 2. Orang gila
hingga dia sadar, 3. Anak-anak sampai ia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).
3. Tamyiz
Yaitu anak-anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk, dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun
maka mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Perintahkanlah anak-anak
kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur
sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di
tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” (HR. Al-Hakim, Al-Imam Ahmad
dan Abu Dawud)
4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)
Hadats ada dua: hadats akbar (hadats besar) seperti janabat dan haidh,
dihilangkan dengan mandi (yakni mandi janabah), dan hadats ashghar (hadats
kecil) dihilangkan dengan wudhu`, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang artinya), “Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.” (HR.
Muslim dan selainnya) Dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
artinya), “Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats hingga dia
berwudlu.” (Muttafaqun ‘alaih)
5. Menghilangkan Najis
Menghilangkan najis dari tiga hal: badan, pakaian dan tanah (lantai tempat
shalat), dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan pakaianmu,
maka sucikanlah.” (Al-Muddatstsir:4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Bersucilah dari kencing, sebab kebanyakan adzab
kubur disebabkan olehnya.”
6. Menutup Aurat
Menutupnya dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh),
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),
“Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haidh (yakni yang telah
baligh) kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup seluruh tubuh, seperti
mukenah).” (HR. Abu Dawud)
Para ulama sepakat atas batalnya orang yang shalat dalam keadaan terbuka
auratnya padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki
dan budak wanita ialah dari pusar hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka
maka seluruh tubuhnya aurat selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang
yang bukan mahramnya) yang melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah
tentu wajib atasnya menutup wajah juga.(terdapat iktilaf pada para Ulama’).Di
antara yang menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-
Akwa` radhiyallahu ‘anhu, “Kancinglah ia (baju) walau dengan duri.” Dan
firman Allah ‘azza wa jalla, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian
yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raaf:31) Yakni tatkala shalat.
7. Masuk Waktu
Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril ‘alaihis salam bahwa dia mengimami
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu (esok
harinya), lalu dia berkata (yang artinya): “Wahai Muhammad, shalat itu antara
dua waktu ini.” Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya shalat itu
adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(An-Nisa`:103) Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang telah tertentu.
Dalil tentang waktu-waktu itu adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),
“Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu
disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`:78)
8. Menghadap Kiblat
Dalilnya firman Allah (yang artinya), “Sungguh Kami melihat wajahmu sering
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram, dan di mana
saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (Al-
Baqarah:144)
9. Niat
Tempat niat ialah di dalam hati, sedangkan melafazhkannya adalah bid’ah
(karena tidak ada dalilnya). Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur
(yang artinya), “Sesungguhnya amal-amal itu didasari oleh niat dan
sesungguhnya setiap orang akan diberi (balasan) sesuai niatnya.” (Muttafaqun
‘alaih dari ‘Umar Ibnul Khaththab)
RUKUN-RUKUN SHALAT
2. Takbiiratul-ihraam,
yaitu ucapan: ‘Allahu Akbar’, tidak boleh dengan ucapan lain. Dalilnya hadits
(yang artinya), “Pembukaan (dimulainya) shalat dengan takbir dan penutupnya
dengan salam.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim) Juga hadits
tentang orang yang salah shalatnya (yang artinya), “Jika kamu telah berdiri
untuk shalat maka bertakbirlah.” (Idem)
3. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah adalah rukun pada tiap raka’at, sebagaimana dalam
hadits (yang artinya), “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-
Fatihah.” (Muttafaqun ‘alaih)
4. Ruku’
5. I’tidal (Berdiri tegak) setelah ruku’
7. Bangkit darinya
Wallaahu A’lam