PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial, dan dalam kehidupan sehari-hari kita ada
banyak intraksi dengan dan pengaruh dari orang lain. Sepertinya amat sulit
membayangkan suatu keberadaan yang tak melibatkan kontak dengan orang lain.
Psikologi sosial adalah cabang psikologi yang mempelajari perilaku individu dalam
konteks sosial- bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku kita mempengaruhi , dan
dipengaruhi oleh, orang lain.
Ahli-ahli psikologi telah mengkaji berbagai macam topik dan isu yang
relevan dengan bidang psikologi sosial. Di antaranya atribusi, agresi, altruisme,
konformitas, psikopatologi,cinta dan seterusnya. Karena mencakup topik yang begitu
beragam, psikologi sosial mungkin merupakan cabang psikologi yang paling luas.
Bias negatif ini tak dijumpai di banyak negara dan budaya lain. Di banyak
(tidak semua) negara lain, psikologi sosial mendapat reputasi yang sehat di kalangan
1
komunitas psikologi dan ilmiah lain. Kita bisa melihat bahwa bias ini ada di beberapa
negara tapi tidak di negara-negara lain karena adanya perbedaan dalam bagaimana
budaya memandang hubungan antarindividu dan kelompok. Banyak kebudayaan lain
menganggap kelompok sebagai aspek yang positif dan harus ada dalam fungsi
manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Atribusi
2
Atribusi adalah kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa yang
menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain. Atribusi
penting untuk dipelajari dalam psikologi sosial karena hal ini dapat menerangkan pada
kita bagaimana orang menjelaskan suatu perilaku. Dengan mempelajari atribusi, kita
juga bisa melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang menjelaskan perilaku orang
lain, yang kemudian, pada gilirannya, mempengaruhi perilaku mereka sendiri.
Penelitian tentang atribusi di Amerika Serikat terpusat pada beberapa isu. Salah
satunya terkait dengan tipe atau jenis atribusi yang dibuat orang, terutama dalam
kaitannya dengan sumber atau lokus atribusi kausalitas mereka. Salah satu konsep
populer dalam penelitian atribusi, sebagai contoh adalah adanya pembedaan antara
atribusi internal dan eksternal. Atribudi internal adalah atribusi yang memandang
bahwa penyebab perilaku ada dalam diri pelakunya; atribusi eksternal adalah atribusi
yang memandang penyebab perilaku berada diluar seseorang.
Salah satu model atribusi yang populer adalah model kovariasi dari Kelly
(1967,1973). Model ini mengasumsikan bahwa orang yang mengatribusikan suatu
perilaku pada faktor-faktor penyebab yang ada bersamaan dengan munculnya
perilaku tersebut namun tidak ada ketika perilaku itu tidak orang biasanya
mempertimbangkan tiga jenis informasi-konsistensi, kekhususan, dan konsensus.
Konsistensi mengacu pada sejauh mana perilaku seseorang dalam situasi tertentu
konsisten atau sama. Kekhususan mengacu pada apakah perilaku itu unik atau
secara khusus terkait hanya dengan target tertentu dari perilaku tersebut. Konsensus
mengacu pada apakah seseorang, ketika berada dalam situasi yang sama,
3
cenderung merespons dengan cara sama. Perilaku-perilaku yang memiliki
konsistensi tinggi namun kekhususan dan konsensus yang rendah akan
menghasilkan atribusi-atribusi internal. Perilaku-perilaku yang konsistensi,
kekhususan, serta konsensus tinggi akan menghasilkan atribusi atribusi eksternal.
Teori atribusi lain yang juga penting adalah teori Weiner (1974). Fokus
perhatian teori ini adalah pada konsep stabilitas. Menurut Weiner, stabilitas
memotong dimensi internal-eksternal, dan menciptakan empat tipe atribusi untuk
kesuksesan dan kegagalan: atribusi-atribus internal dan eksternal yang stabil dan
tidak stabil. Penelitian tentang bisa atribusi bisa bicara banyak tentang sifat atribusi
di Amerika yang terkait budaya.4
4
keberuntungan sebagai penentu paling penting. Orang Jerman juga menganggap
latar belakang keluarga sebagai yang paling penting. Orang Australia, berbeda
dengan yang lain, menilai kualitas individu sebagai penentu kemakmuran yang
paling penting.
5
mendasar tidak muncul dalam acara yang sama, atau dengan makna yang sama,
dibudaya lain.7
6
Hendrick,1983). Hipotesi keberbalasan (reciprocity hypothesis) menyatakan bahwa
orang akan cenderung balas menyukai orang lain yang menyukai mereka.
Simmons,vom Kolke, dan Shimizu (1986) meneliti sikap terhadap cinta dan
romantika pada siswa Amerika, Jerman, dan Jepang. Hasilnya mengindikasikan
bahwa cinta romanti lebih dinilai tinggi di Amerika dan Jerman daripada di Jepang.
Para peneliti ini menduga bahwa perbedaan kultural yang mereka temukan di sini
muncul karena cinta romantik lebih dihargai di budaya-budaya yang kurang
tradisional dengan lebih sedikit ikatan keluarga besar yang kuat, dan kurang
7
dihargai di budaya-budaya di mana jaringan kekerabatan punya pengaruh dan
mendukung hubungan antara pasangan yang menikah.10
Konformitas mengacu pada sikap mengalah seseorang pada tekanan sosial, baik
yang nyata maupun yang dibayangkan. Ketundukan secara umum didefinisikan
sebagai sikap mengalah orang pada tekanan sosial dalam kaitannya dengan prilaku
sosial mereka, meski mungkin keyakinan pribadi mereka tidak berubah. Kepatuhan
merupakan salah satu bentuk ketundukan yang muncul ketika orang mengikuti suatu
perintah langsung, biasanya dari seseorang dengan suatu posisi otoritas.
Setiap topik ini adalah isu penting dalam psikologi sosial. Di kalangan psikologi
Amerika, ada bias laten yang negatif terhadap topik-topik ini. Tak pelak, istilah-istilah
tersebut bertentangan dengan beberapa nilai Amerika tradisional seperti keuniukan,
individualisme, dan kebebasan. Penelitian tentang isu-isu ini di Amerika Serikat telah
menunjukkan bahwa ketiganya bisa membawa dampak yang cukup kuat pada perilaku
individual.11
8
Dua diantara kajian paling terkenal pada psikologi Amerika Serikat tentang
konformitas, ketundukan, dan kepatuhan adalah yang dilakukan oleh Asch dan
Milgram. Penelitian-penelitian yang dilakukan Asch (1951, 1955, 1956) melihat
bagaimana respon subjek terhadap suatu tugas penilaian yang sederhana dalam
situasi dimana sebelumnya ada beberapa pembantu eksperimen yang semuanya
memberi jawaban salah. Dari beberapa penelitian dan percobaan, faktor yang paling
berpengaruh adalah ukuran kelompok dan derajat kesepakatan kelompok.
Konformitas paling muncul ketika kelompok dalam eksperimen itu melibatkan tujuh
orang dan seluruh anggota kelompok tersebut sepakat dalam penilaian mereka
(meski penilaian itu jelas-jelas salah). Dalam penilaian Asch ini, ketundukan
merupakan hasil dari tekanan yang halus dan tak langsung atau implisit. Berbeda
dengan ini, di dunia nyata ketundukan dapat sebagai respon terhadap aturan,
permintaan, dan perintah-perintah yang eksplisit.
Dalam rangkaian penelitian yang dilakukan Milgram (1963, 1964, 1974),
para subjek dibawa ke sebuah laboratorium disamarkan sebagai tempat percobaan
tentang dampak hukuman dan pembelajaran. Para subjek diberi instruksi untuk
memberi kejutan listrik pada seorang subjek lain (yang sebenarnya adalah pembantu
eksperimen) bila subjek yang terakhir ini salah memberi jawaban. Pada alat pemberi
kejutan listrik itu diberi label mulai dari “arus kecil” sampai “BAHAYA: Arus
Besar,” dan perilaku si pembantu eksperimen mulai dari lontaran-lontaran sederhana
bahwa ia kesakitan, sampai berlagak diam seperti mati. Dalam kondisi seperti ini,
65% responden mematuhi perintah eksperimeter dan memberi arus listrik sampai
tingkat yang paling tinggi.
Isi dari ketundukan pada eksperimen-eksperimen Asch tidak terlalu
berbahaya (seperti misalnya, penilaian tentang panjang suatu garis). Berbeda dengan
ini, penelitian-penelitian Milgram secara jelas menggarisbawahi potensi negatif dan
berbahaya dari ketundukan dan kepatuhan. Sampai saat ini, penelitian-penelitian di
atas adalah di antara yang paling terkenal dalam psikologi Amerika. Dengan adanya
batasan-batasan etus dan strandar kelakuan baik universitas, kecil sekali
kemungkinan bahwa eksperimen-eksperimen serupa bisa dicobakan lagi.12
9
Banyak penelitian lintas-budaya, terutama pada budaya-budaya Asia,
mengindikasikan bahwa orang dari budaya lain tidak hanya beberapa dalam hal
tingkat perilaku konformitas, tunduk, dan patuh mereka, tapi juga dalam hal adanya
penghargaan yang lebih tinggi terhadap konformitas. Misalnya, Punetha, Giles, dan
Young (1987) memberikan Survei Nilai Rokeach pada tiga kelompok subjek Asia
dan sebuah kelompok subjek Inggris. Orang Inggris jelas-jelas lebih menghargai
aitem-aitem individualistik seperti kemandirian dan kebebasan, sedang para subjek
Asia lebih cenderung pada nilai-nilai sosial, termasuk konformitas dan kepatuhan.
10
Penelitian-penelitian lintas budaya juga menunjukkan bahwa nilai-nilai
pengasuhan anak turut memperkuat nilai-nilai di atas melalui proses sosialisasi. Ada
dua penelitian yang menunjukkan bahwa yang menghargai nilai konformitas dan
kepatuhan sebagai niali-nilai dalam pengasuhan anak tidak hanya subjek Asia, tapi
juga subjek-subjek Puerto Rico (Burgos & Diaz-Perez, 1985; Stropes-Roe &
Cochrane, 1990). Beberapa kajian antropologis tentang budaya Jepang (misalnya,
Benedict, 1946; Doi, 1985) mengindikasikan pentingnya kepatuhan dan ketundukan
dalam pengasuhan anak di budaya tersebut.13
Di bagian ini kita akan mengulas kajian tentang produktivitas individual dan
kelompok. Sebagian besar publikasi tentang topik ini dalam psikologi sosial justru
terkait dengan lawan dan produktivitas : sosial loafing.
11
aktivitas atau adanya pengulangan aktivitas yang sama. Konsekuansinya adalah
menurunnya produktivitas.
Faktor kedua yang sering ditunjuk sebagai kontributor pada kurangnya
produktivitas kelompok adalah pengurangan usaha oleh individu ketika mereka
bekerja dalam kelompok dibandingn dengan bila mereka bekerja sendiri (social
loafing). Latane dan rekan-rekannya (Latane, Wiliams, & Harkins, 1979) pernah
melakukan penelitian untuk menyelidiki ukuran kelompok, koordinasi, dan usaha.
Mereka menemukan bahwa kelompok yang lebih besar memunculkan penuruna
koordisasi dan usaha, yang menghasilkan pengurangan produktivitas. Latane (1981)
menunjuk pada berkurangnya tanggung jawab dalam kelompok sebagai penyebab
terjadinya hal ini. Artinya, seiring membesarnya kelompok, tanggung jawab atas
tuntasnya suatu pekerjaan menjadi taerbagi ke semakin banyak orang, dan banyak
anggota kelompok menjadi kurang semangat karena kontribusi individual mereka
semakin tidak terlihat.14
12
Beberapa penulis menawarkan spekulasi tentang mengapa di budaya lain
yang ditemui adalah keterpacuan sosial. Penjelasan-penjelasan mereka berpusat pada
tingkat kolektivisme arau orientasi kelompok suatu budaya. Budaya-budaya yang
lebih kolektivitistik, seperti Jepang dan Cina, lebih mendorong tumbuhnya
kesalingketergantungan interpersonal dan keberfungsian kolektif kelompok
dibanding budaya Amerika individualistik. Dengan demikian, dalam budaya-budaya
ini, kelompok menjadi lebih produktif justru karena kelompok mendorong
munculnya koordinasi antar anggota kelompok. Budaya-budaya tersebut juga lebih
menghargai kontribusi dalam situasi kelompok.
Menariknya di Amerika Serikat tampaknya muncul tren menuju
keterpacuan sosial. Beberapa penelitian yang melibatkan subjek-subjek Amerika
mulai menantang pengertian-pengertian tradisional mengenai social loafing (sebagi
contoh, Harkins, 1987; Harkins & Petty, 1982; Shepperd & Wright, 1989; Weldon &
Gargano, 1988; Zaccaro, 1984). Jackson dan Williams (1985), misalnya,
menunjukkan bahwa orang-orang Amerika yang bekerja secara kolektif justru
meningkat kinerja dan produktivitasnya. Dengan demikian, pengertian kita tentang
social loafing dan produktivitas kelompok mendapatkan tantangan tidak hanya dari
budaya lain, tapi juga dari dalam budaya Arerika sendiri. Dengan meningkatkan
perhatian Amerika pada gaya-gaya manajemen dan organisasional negara-negara
lain, terutama Jepang, topik ini akan lebih benyak menarik perhatian di masa yang
akan datang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Atribusi adalah kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa
yang menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain. Dengan
mempelajari atribusi, kita juga bisa melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang
menjelaskan perilaku orang lain, yang kemudian, pada gilirannya, mempengaruhi
perilaku mereka sendiri.
13
Penelitian tentang ketertarikan interpersonal dan cinta di Amerika telah menghasilkan
beberapa temuan menarik, terutama tentang faktor-faktor kunci yang berperan dalam
ketertarikan.
DAFTAR PUSTAKA
14