Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, dan dalam kehidupan sehari-hari kita ada
banyak intraksi dengan dan pengaruh dari orang lain. Sepertinya amat sulit
membayangkan suatu keberadaan yang tak melibatkan kontak dengan orang lain.
Psikologi sosial adalah cabang psikologi yang mempelajari perilaku individu dalam
konteks sosial- bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku kita mempengaruhi , dan
dipengaruhi oleh, orang lain.

Ahli-ahli psikologi telah mengkaji berbagai macam topik dan isu yang
relevan dengan bidang psikologi sosial. Di antaranya atribusi, agresi, altruisme,
konformitas, psikopatologi,cinta dan seterusnya. Karena mencakup topik yang begitu
beragam, psikologi sosial mungkin merupakan cabang psikologi yang paling luas.

Dalam sejarah psikologi, tampaknya boleh dibilang bahwa psikologi sosial


sebagai sebuah disiplin tidak dipandang punya daya tarik atau nilai yang setinggi
cabang-cabang psikologi lainnya. Bias yang meremehkan psikologi sosial di masa lalu
ini banyak dipengaruhi oleh pandangan bahwa apa pun yang “sosial “ tak mungkin
bisa “ilmiah”. Sayangnya, pandangan ini masih bertahan sampai sekarang, meski tidak
sekuat dulu.1

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya popularitas psikologi sosial di


Amerika Serikat adalah penekanan budaya Amerika pada yang individual.
Penghargaan kultural yang diberikan orang Amerika pada individualisme unik
seringkali dianggap bertentangan dengan disiplin yang diajukan oleh psikologi sosial.
Kalau seseorang mempelajari psikologi sosial, akan terasa adanya bias negatif
terhadap topik-topik tertentu, misalnya seperti topik konformitas, yang tak pelak
dikaitkan dengan bias kultural kita yang tidak menyukai “grupisme”.2

Bias negatif ini tak dijumpai di banyak negara dan budaya lain. Di banyak
(tidak semua) negara lain, psikologi sosial mendapat reputasi yang sehat di kalangan

1 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


228
2 Ibid

1
komunitas psikologi dan ilmiah lain. Kita bisa melihat bahwa bias ini ada di beberapa
negara tapi tidak di negara-negara lain karena adanya perbedaan dalam bagaimana
budaya memandang hubungan antarindividu dan kelompok. Banyak kebudayaan lain
menganggap kelompok sebagai aspek yang positif dan harus ada dalam fungsi
manusia.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, psikologi sosial tidak hanya


terdiri dari satu topik, melainkan banyak topik yang terpisah, meski masih saling
terkait. Beberapa diantaranya akan kita tampilkan dalam bab selanjutnya berkaitan
dengan : atribusi; ketertarikan interpersonal dan cinta; konformitas, ketundukan, dan
kepatuhan; produktivitas kelompok dan social loafing.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari atribusi?
2. Apa definisi dari ketertarikan interpersonal dan cinta?
3. Apa definisi dari konformitas, ketundukan, dan kepatuhan?
4. Apa definisi produktivitas kelompok dan social loafing?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui tentang atribusi.
2. Paham menganai ketertarikan interpersonal dan cinta.
3. Memahami tentang konformitas, ketundukan, dan kepatuhan.
4. Mengetahui tentang produktivitas kelompok dan social loafing.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Atribusi

2
Atribusi adalah kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa yang
menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain. Atribusi
penting untuk dipelajari dalam psikologi sosial karena hal ini dapat menerangkan pada
kita bagaimana orang menjelaskan suatu perilaku. Dengan mempelajari atribusi, kita
juga bisa melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang menjelaskan perilaku orang
lain, yang kemudian, pada gilirannya, mempengaruhi perilaku mereka sendiri.

Penelitian tentang atribusi di Amerika Serikat terpusat pada beberapa isu. Salah
satunya terkait dengan tipe atau jenis atribusi yang dibuat orang, terutama dalam
kaitannya dengan sumber atau lokus atribusi kausalitas mereka. Salah satu konsep
populer dalam penelitian atribusi, sebagai contoh adalah adanya pembedaan antara
atribusi internal dan eksternal. Atribudi internal adalah atribusi yang memandang
bahwa penyebab perilaku ada dalam diri pelakunya; atribusi eksternal adalah atribusi
yang memandang penyebab perilaku berada diluar seseorang.

Atrubusi banyak diteliti dalam situasi-situasi prestatif, mulai dari setting


akademik sampai konteks olahraga dan pekerjaan. Penelitian-penelitian ini, pada
gilirannya, membuahkan beberapa teori utama tentang atribusi. Penelitian tentang bias
atribusi- kecenderungan untuk menarik tipe-tipe atribusi tertentu meski tidak didukung
bukti telah menghasilkan beberapa konsep yang populer dalam psikologi sosial,
seperti kesalahan atribusi mendasar (fundamental attribution error), atribusi defensif,
dan bias yang menguntungkan diri ( self-serving bias).3

a. Pengetahuan Berdasar Penelitian di Amerika

Salah satu model atribusi yang populer adalah model kovariasi dari Kelly
(1967,1973). Model ini mengasumsikan bahwa orang yang mengatribusikan suatu
perilaku pada faktor-faktor penyebab yang ada bersamaan dengan munculnya
perilaku tersebut namun tidak ada ketika perilaku itu tidak orang biasanya
mempertimbangkan tiga jenis informasi-konsistensi, kekhususan, dan konsensus.
Konsistensi mengacu pada sejauh mana perilaku seseorang dalam situasi tertentu
konsisten atau sama. Kekhususan mengacu pada apakah perilaku itu unik atau
secara khusus terkait hanya dengan target tertentu dari perilaku tersebut. Konsensus
mengacu pada apakah seseorang, ketika berada dalam situasi yang sama,

3 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


230.

3
cenderung merespons dengan cara sama. Perilaku-perilaku yang memiliki
konsistensi tinggi namun kekhususan dan konsensus yang rendah akan
menghasilkan atribusi-atribusi internal. Perilaku-perilaku yang konsistensi,
kekhususan, serta konsensus tinggi akan menghasilkan atribusi atribusi eksternal.

Teori atribusi lain yang juga penting adalah teori Weiner (1974). Fokus
perhatian teori ini adalah pada konsep stabilitas. Menurut Weiner, stabilitas
memotong dimensi internal-eksternal, dan menciptakan empat tipe atribusi untuk
kesuksesan dan kegagalan: atribusi-atribus internal dan eksternal yang stabil dan
tidak stabil. Penelitian tentang bisa atribusi bisa bicara banyak tentang sifat atribusi
di Amerika yang terkait budaya.4

Kesalahan atribusi mendasar, misalnya, merupakan kecenderungan untuk


menjelaskan perilaku orang lain dengan atribusi internal namun memandang
perilaku diri dengan atribusi eksternal. (Jones &Nisbet,1971; Watson,1982). Bias
menguntungkan diri adalah kecenderungan untuk mengatribusikan keberhasilan
seseorang pada faktor-faktor situasional (Bradley,1978). Atribusi Defensif
mengacu pada kecenderungan untuk menyalahkan korban untuk nasib buruk
mereka, sehingga kita merasa lebih kecil kemungkinannya menjadi korban dengan
cara yang sama (Thornton, 1984).5

b. Temuan-temuan Lintas-Budaya tentang Atribusi

Penelitian lintas budaya tentang atribusi sangan penting, terutama untuk


meningkatkan pemahaman kita mengenai interaksi interkultural. Konsekuensi dari
kekeliruan-kekeliruan atribusi bisa amat parah. Ketepatan dalam menfsirkan
penyebab perilaku, terutama yang berkaitan dengan niat dan maksud baik, adalah
hal yang amat penting dalam keberhasilan interaksi sosial macam apapun juga. Tak
terkecuali interaksi interkultural.

Forgas,Furnham, dan Frey (1989) mencatat adanya perbedaan lintas-bangsa


yang cukup besar dalam nilai penting berbagai tipe atribusi khusus tentang
kemakmuran. Penelitian mereka melibatkan 558 subjek dari Inggris, Australia, dan
Republik Federal Jerman. Orang Inggris menganggap latar belakang keluarga dan

4 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


231
5 Ibid

4
keberuntungan sebagai penentu paling penting. Orang Jerman juga menganggap
latar belakang keluarga sebagai yang paling penting. Orang Australia, berbeda
dengan yang lain, menilai kualitas individu sebagai penentu kemakmuran yang
paling penting.

Duda dan Allison (1998), berdasarkan penelitian lintas-budaya,


menguraikan sebuah kerangka untuk meneropong keterbatasan teor-teori atribusi.
Mereka melihat bahwa teori-teori itu terbatas aplikasi intas-budayanya karena
adanya etnosentrisme dalam tiga isu penting. Yang pertama adalah tentang dampak
budaya pada apa yang didefinisikan sebgai keberhasilan dan kegagalan. Bagaimana
orang Amerika memandang keberhasilan dan kegagalan seringkali berbeda dengan
pandangan orang dari budaya lain. Isu yang kedua terkait dengan perbedaan
kultural dalam makna elemen-elemen spesifik dari teori-teori atribusi. Terakhir, isu
yang ketiga berhubungan dengan keterbatasan dalam penggunaan dimensi bipolar
dalam penelitian. Perbedaan kultural dalam dimensi yang penting dalam
memahami dan memprediksi atribusi bisa mengarah pada dugaan-dugaan yang
berbeda dalam gaya-gaya atribusi.6

Beberapa penelitian menggaris bawahi kemungkinan konsekuensi negatif


dari perbedaan kultural dalam atribusi. Tom dan Cooper meneliti 25 guru sekolah
dasar kulit putih tentang prestasi siswa dari kelas sosial,ras, dan gender yang
berbeda-beda. Hasilnya mengindikasikan bahwa guru-guru tersebut cenderung
lebih memperhatikan keberhasilan siswa-siswa kelas menengah berjulit putih dan
luput memperhatikan kegagalan mereka, dibandingkan terhadap siswa dari kelas
sosial atau ras lain.

Penelitian lintas-budaya tentang atribusi in too sejauh ini belum


menghasilkangambaran yang jelas dan konsisten tentang sifat atribusi atau proses-
proses atribusional pada semua budaya dan ras. Tapi pesannya sampai saat ini amat
jelas : orang dari kebudayaan yang berbeda memang punya gaya atribusional yang
berbeda, dan perbedaan-perbedaan ini berakar jauh dalam latar belakang kultural
dan pengasuhan. Ada cukup banyak penelitian yang mempertanyakan daya
penerapan lintas budaya dari berbagai konsep populer tentang atribusi yang terbukti
benar di Amerika. Bias menguntukan-diri, atribusi defensif, dan kesalahan atribusi
6 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm
234

5
mendasar tidak muncul dalam acara yang sama, atau dengan makna yang sama,
dibudaya lain.7

2.2. Ketertarikan Interpersonal dan Cinta

Ketertarikan interpersonal dan cinta mengacu pada perasaan-perasaan positif


terhadap orang lain dan merupakan salah saru dimensi penting psikologi sosial. Ahli-
ahli psikologi menggunakan istilah ini secara longgar untuk mencakup berbagai
pengalaman, termasuk rasa menyukai,peretemanan, kekaguman, ketertarikan seksual,
dan cinta. Penelitian tentang ketertarikan interpersonal dan cinta di Amerika telah
menghasilkan beberapa temuan menarik, terutama tentang faktor-faktor kunci yang
berperan dalam ketertarikan. Sayangnya, dalam literatur belum banyak penelitian
lintas-budaya tentang topik-topik ini. Namun demikian, temuan-temuan dari beberapa
gelintir penelitian yang telah terpublikasi memunculkan petunjuk-petunjuk penting
tentang perbedaan kultural dalam ketertarikan dan cinta.

a. Pengetahuan dari Penelitian di Amerika

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedekatan berpengaruh terhadap


ketertarikan. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orang yan tinggal
berdekatan lebih mungkin untuk saling menyukai. Meski penelitian ini sudah lama
berselang, temuan beberapa penelitian yang cukup baru masih mendukung
kesimpulan diatas. Di akhir 1970-an, misalnya, Ineichen (1979) menunujukkan
bahwa orang yang tinggal berdekatan lebih besar kemungkinannya untuk saling
menikah.8

Daya tarik fisik juga cukup berpengaruh dalam hubungan interpersonal


(Patzer,1985). Meski orang lebih menyukai orang yang menarik secara fisik dalam
hubungan romantis, hipotesis sementara kesetaraan (matching hypothesis)
memperediksi bahwa orang dengan ciri-ciri fisik yang kira-kira setara
kemungkinan besar akan memilih menjadi pasangan. Mirip dengan ini, hipotesis
kemiripan (similarity hypothesis) menyatakan bahwa orang yang hampir sama
dalam usia, ras,agama, kelas sosial, pendidikan, kecerdasan,sikap, dan daya tarik
fisik cenderung membentukan hubungan yang intim (Brehm, 1985; Hendrick &

7 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


236
8 Ibid 237

6
Hendrick,1983). Hipotesi keberbalasan (reciprocity hypothesis) menyatakan bahwa
orang akan cenderung balas menyukai orang lain yang menyukai mereka.

Di antara teori-teori dominan tentang cinta dan kelekatan dalam psikologi


Amerika adalah teori Hatfield dan Bercheid, serta teori Sternberg. Salah satunya
adalah cinta menggelora ( passionate love), yaitu pencerapan pasangan yang
mencakup perasaan-perasaan seksual dan emosi-emosi yang intens. Jenis yang
kedua adalah cinta hangat ( compassionate love) , melibatkan kehangatan, rasa
percaya, dan perasaan toleran kepada seseorang yang kehidupannya amat dalam
terkait dengan diri. Namun lebih lanjut teori Sternberg cinta hangat dibagi kedalam
dua lomponen: keintiman dan komitmen. Keintiman mengacu pada kehangatan,
kedekatan, dan berbagi dalam sebuah hubungan. Komitmen mengacu pada niat
untuk mempertahankan hubungan meski dihadapkan pada berbagai kesulitan.
Dalam teori Sternberg, ada delapan bentuk cinta yang mungkin, tergantung pada
ada tidaknya ketiga faktor diatas. Bila ketiganya ada, hubungan yang terjadi disebut
Sternberg sebagai cinta menyeluruh (consummate love).9

b. Temuan-temuan Lintas-Budaya tentang Ketertarikan Interpersonal dan Cinta

Sebelum melihat kajian lintas-budaya tentang ketertarikan interperosnal dan


cinta, kita perlu mencatat bahwa penelitian lintas-budaya mengenai topik ini tidak
sebayak topik-topik lain. Hal ini barangkali mencerminkan bahwa para psikolog
dari kebudayaan lain kurang memandang cinta, ketertarikan, dan rasa saling suka
sebagai wilayah kajian ilmiah dibanding orang Amerika dan ahli-ahli psikologi
Amerika. Atau mungkin pandangan ini dipegang juga oleh para ilmuwan Amerika
yang berencan melakukan penelitian lintas-budaya.

Simmons,vom Kolke, dan Shimizu (1986) meneliti sikap terhadap cinta dan
romantika pada siswa Amerika, Jerman, dan Jepang. Hasilnya mengindikasikan
bahwa cinta romanti lebih dinilai tinggi di Amerika dan Jerman daripada di Jepang.
Para peneliti ini menduga bahwa perbedaan kultural yang mereka temukan di sini
muncul karena cinta romantik lebih dihargai di budaya-budaya yang kurang
tradisional dengan lebih sedikit ikatan keluarga besar yang kuat, dan kurang

9 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


238

7
dihargai di budaya-budaya di mana jaringan kekerabatan punya pengaruh dan
mendukung hubungan antara pasangan yang menikah.10

Dalam sebuah penlitian, Furnham (1984) menyebarkan Surveu Nilai


Rokeach (Rokeach Value Survey ) pada beberapa kelompok subjek Afrika
Selatan,India, dan Eropa. Subjek-subjek Eropa lebih menghargai cinta ketimbang
subjek Afrika Selatan dan India. Para subjek Afrika Selatan lebih menghargari
perdamaian dan kesetaraan.

Sekali lagi, penelitian lintas-budya mengenai ketertarikan interpersonal dan


cinta tidak memiliki dasar empiris seluas topik-topik psikologi sosial lain.
Kurangnya penelitian tentang tentang topik ini, dan temuan-temuan yang
dipaparkan di bagian ini, menunjukkan adanya perbedaan kultural yang cukup
berarti dalam penilaian dan sikap terhadap cinta dan romantika dengan yang ada di
budaya Amerika tradisional.

2.3. Konformitas, Ketundukan, dan Kepatuhan

Konformitas mengacu pada sikap mengalah seseorang pada tekanan sosial, baik
yang nyata maupun yang dibayangkan. Ketundukan secara umum didefinisikan
sebagai sikap mengalah orang pada tekanan sosial dalam kaitannya dengan prilaku
sosial mereka, meski mungkin keyakinan pribadi mereka tidak berubah. Kepatuhan
merupakan salah satu bentuk ketundukan yang muncul ketika orang mengikuti suatu
perintah langsung, biasanya dari seseorang dengan suatu posisi otoritas.

Setiap topik ini adalah isu penting dalam psikologi sosial. Di kalangan psikologi
Amerika, ada bias laten yang negatif terhadap topik-topik ini. Tak pelak, istilah-istilah
tersebut bertentangan dengan beberapa nilai Amerika tradisional seperti keuniukan,
individualisme, dan kebebasan. Penelitian tentang isu-isu ini di Amerika Serikat telah
menunjukkan bahwa ketiganya bisa membawa dampak yang cukup kuat pada perilaku
individual.11

a. Pengetahuan Berdasarkan Penelitian di Amerika Serikat

10 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


240
11 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm
241

8
Dua diantara kajian paling terkenal pada psikologi Amerika Serikat tentang
konformitas, ketundukan, dan kepatuhan adalah yang dilakukan oleh Asch dan
Milgram. Penelitian-penelitian yang dilakukan Asch (1951, 1955, 1956) melihat
bagaimana respon subjek terhadap suatu tugas penilaian yang sederhana dalam
situasi dimana sebelumnya ada beberapa pembantu eksperimen yang semuanya
memberi jawaban salah. Dari beberapa penelitian dan percobaan, faktor yang paling
berpengaruh adalah ukuran kelompok dan derajat kesepakatan kelompok.
Konformitas paling muncul ketika kelompok dalam eksperimen itu melibatkan tujuh
orang dan seluruh anggota kelompok tersebut sepakat dalam penilaian mereka
(meski penilaian itu jelas-jelas salah). Dalam penilaian Asch ini, ketundukan
merupakan hasil dari tekanan yang halus dan tak langsung atau implisit. Berbeda
dengan ini, di dunia nyata ketundukan dapat sebagai respon terhadap aturan,
permintaan, dan perintah-perintah yang eksplisit.
Dalam rangkaian penelitian yang dilakukan Milgram (1963, 1964, 1974),
para subjek dibawa ke sebuah laboratorium disamarkan sebagai tempat percobaan
tentang dampak hukuman dan pembelajaran. Para subjek diberi instruksi untuk
memberi kejutan listrik pada seorang subjek lain (yang sebenarnya adalah pembantu
eksperimen) bila subjek yang terakhir ini salah memberi jawaban. Pada alat pemberi
kejutan listrik itu diberi label mulai dari “arus kecil” sampai “BAHAYA: Arus
Besar,” dan perilaku si pembantu eksperimen mulai dari lontaran-lontaran sederhana
bahwa ia kesakitan, sampai berlagak diam seperti mati. Dalam kondisi seperti ini,
65% responden mematuhi perintah eksperimeter dan memberi arus listrik sampai
tingkat yang paling tinggi.
Isi dari ketundukan pada eksperimen-eksperimen Asch tidak terlalu
berbahaya (seperti misalnya, penilaian tentang panjang suatu garis). Berbeda dengan
ini, penelitian-penelitian Milgram secara jelas menggarisbawahi potensi negatif dan
berbahaya dari ketundukan dan kepatuhan. Sampai saat ini, penelitian-penelitian di
atas adalah di antara yang paling terkenal dalam psikologi Amerika. Dengan adanya
batasan-batasan etus dan strandar kelakuan baik universitas, kecil sekali
kemungkinan bahwa eksperimen-eksperimen serupa bisa dicobakan lagi.12

b. Temuan Lintas-Budaya Tentang Konformitas, Ketundukan, dan Kepatuhan

12 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


242

9
Banyak penelitian lintas-budaya, terutama pada budaya-budaya Asia,
mengindikasikan bahwa orang dari budaya lain tidak hanya beberapa dalam hal
tingkat perilaku konformitas, tunduk, dan patuh mereka, tapi juga dalam hal adanya
penghargaan yang lebih tinggi terhadap konformitas. Misalnya, Punetha, Giles, dan
Young (1987) memberikan Survei Nilai Rokeach pada tiga kelompok subjek Asia
dan sebuah kelompok subjek Inggris. Orang Inggris jelas-jelas lebih menghargai
aitem-aitem individualistik seperti kemandirian dan kebebasan, sedang para subjek
Asia lebih cenderung pada nilai-nilai sosial, termasuk konformitas dan kepatuhan.

Hasil yang sama secara umu juga ditunjukkan oleh penelitian-penelitian


yang membandingkan Asia dengan Amerika. Hadiyono dan Hahn (1985), misalnya,
menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih menyetujui konformitas daripada orang
amerika. Argyle, Henderson, Bond, lizuka, dan Contarello (1986) menunjukkan
bahwa orang Jepang dan Hongkong lebih setuju dengan kepatuhan dibanding sebjek
Inggris dan Italia. Buck, Newton, dan Muramatsu (1984) menunjukkan bahwa orang
Jepang lebih konformis ketimbang orang Amerika.

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan


ini tidak terbatas pada budaya-budaya Asia. Cashmore dan Goodnow (1986),
misalnya, menunjukkan bahwa orang Italia lebih konformis dibanding orang
Australia-Anglo. El-Islam (1983) mencatat adanya perbedaan kultural dalam
konformitas pada suatu sampel Arab.

Tak pelak, temuan-temuan ini terkait dengan perbedaan kultural dalam


nilai-nilai “grupisme” versus individualisme. Budaya Amerika tradisional
menumbuhkan nilai-nilai individualistik, dan karena itu mendorong perilaku-
perilaku dan keyakinan-keyakinan yang berlawanan dengan konformitas. Di budaya
Amerika, bersikap konformis terhadap sesuatu dianggap sebagai suatu kelemahan
dan kekurangan. Namun, yang berlaku di budaya lain berbeda dengan itu. Banyak
budaya yang menumbuhkan nilai-nilai yang lebih kolektif dan berorientasi-
kelompok, dan konsep-konsep konformitas, ketundukan dan kepatuhan diberi status
yang jauh lebih tinggi dan positif dibanding dengan di Amerika Serikat. Dalam
budaya-budaya ini, konformitas tak hanya dipandang sebagai sesuatu yang “baik”;
hal itu bahkan menjadi prasyarat keberhasilan berfungsinya kebudayaan, kelompok,
dan hubungan interpersonal anggota budaya tersebut.

10
Penelitian-penelitian lintas budaya juga menunjukkan bahwa nilai-nilai
pengasuhan anak turut memperkuat nilai-nilai di atas melalui proses sosialisasi. Ada
dua penelitian yang menunjukkan bahwa yang menghargai nilai konformitas dan
kepatuhan sebagai niali-nilai dalam pengasuhan anak tidak hanya subjek Asia, tapi
juga subjek-subjek Puerto Rico (Burgos & Diaz-Perez, 1985; Stropes-Roe &
Cochrane, 1990). Beberapa kajian antropologis tentang budaya Jepang (misalnya,
Benedict, 1946; Doi, 1985) mengindikasikan pentingnya kepatuhan dan ketundukan
dalam pengasuhan anak di budaya tersebut.13

2.4. Perilaku Kelompok : Produktivitas versus Sosial Loafing

Penelitian mengenai kelompok, yang bukan sekedar tentang individu dalam


kelompok, juga tercakup dalam lingkup kajian psikologi sosial. Penelitian tentang
perilaku kelompok mendapat perhatian yang cukup besar dan literatur yang ada, yang
mencakup topik-topik seperti efek bystander (orang-orang yang kebetulan ada di suatu
tempat kejadian , penerj) dan perilaku altruistik, proses-proses pembuatan keputusan
kelompok, dan produktivitas. Masing-masing bidang ini punya pengaruh pada situasi
dan isu-isu kehidupan nyata dan menjadi basis bagi banyak teknik intervensi, terutama
dalam psikologi organisasi dan industri.

Di bagian ini kita akan mengulas kajian tentang produktivitas individual dan
kelompok. Sebagian besar publikasi tentang topik ini dalam psikologi sosial justru
terkait dengan lawan dan produktivitas : sosial loafing.

a. Pengetahuan dari Penelitian di Amerika Serikat

Penelitian tentang produktivitas kelompok biasanya menunjukkan bahwa


produktivitas individu sering menurun bila berada dalam kelompok-kelompok yang
lebih besar (Latane, Williams, Harkins, 1979). Temuan-temuan ini mendorong
munculnya istilah social loafing. Ada dua faktor yang tampaknya berpengaruh
terhadap fenomena ini. Yang pertama adalah berkurangnya efisiensi sebagai akibat
hilangnya koordinasi usaha atau kinerja yang dilakukan para pekerja. Seiring dengan
membesarnya keanggotaan kelompok, berkurangnya koordinasi antar anggota
kelompok diduga cenderung mengurangi efisiensi, yang berujung pada menurunnya

13 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


244

11
aktivitas atau adanya pengulangan aktivitas yang sama. Konsekuansinya adalah
menurunnya produktivitas.
Faktor kedua yang sering ditunjuk sebagai kontributor pada kurangnya
produktivitas kelompok adalah pengurangan usaha oleh individu ketika mereka
bekerja dalam kelompok dibandingn dengan bila mereka bekerja sendiri (social
loafing). Latane dan rekan-rekannya (Latane, Wiliams, & Harkins, 1979) pernah
melakukan penelitian untuk menyelidiki ukuran kelompok, koordinasi, dan usaha.
Mereka menemukan bahwa kelompok yang lebih besar memunculkan penuruna
koordisasi dan usaha, yang menghasilkan pengurangan produktivitas. Latane (1981)
menunjuk pada berkurangnya tanggung jawab dalam kelompok sebagai penyebab
terjadinya hal ini. Artinya, seiring membesarnya kelompok, tanggung jawab atas
tuntasnya suatu pekerjaan menjadi taerbagi ke semakin banyak orang, dan banyak
anggota kelompok menjadi kurang semangat karena kontribusi individual mereka
semakin tidak terlihat.14

b. Temuan-temuan Lintas-Budaya tentang Produktivitas Kelompok

Beberapa penilaian lintas-budaya menunjukkan bahwa social loafing tidak


bisa digeneralisasi pada budaya-budaya lain. Earley (1989), misalnya, menyelidiki
fenomena social loafing pada peserta pelatihan managerial dalam suatu organisasi di
Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. Para subjek di kedua budaya itu
mengerjakan sebuah tugas dalam kondisi akuntabilitas tinggi atau rendah, dan
tanggung jawab bersama yang tinggi atau rendah. Hasilnya jelas menunjukkan
bahwa social loafing hanya muncul pada subjek Amerika, dimana kinerja individual
dalam kelompok lebih rendah dari pada bila mereka bekerja sendiri. Hal ini terjadi
pada subjek Cina.
Shirakashi (1985) dan Yamaguchi, Okomoto dan Oka (1985) melakukan
penelitian pada partisipan Jepang yang diberi bebrapa tugas. Mereka tidak hany
amenunjukkan social loafing tidak muncul, tapi justru sebaliknyalah yang terjadi.
Artinya, menjadi anggota suatu kelompok justru meningkatkan kinerja individual,
dan tidak menurunkannya. Gabrenya, Wang, dan Latane (1985) juga menunjukkan
adanya social striving (keterpacuan sosial), bukan social loafing, pada suatu sampel
siswa sekolah di Cina.

14 David Matsumoto ,2004,Pengantar Psikologi Lintas-Budaya. Pustaka Pelajar:Yogyakarta.hlm


245

12
Beberapa penulis menawarkan spekulasi tentang mengapa di budaya lain
yang ditemui adalah keterpacuan sosial. Penjelasan-penjelasan mereka berpusat pada
tingkat kolektivisme arau orientasi kelompok suatu budaya. Budaya-budaya yang
lebih kolektivitistik, seperti Jepang dan Cina, lebih mendorong tumbuhnya
kesalingketergantungan interpersonal dan keberfungsian kolektif kelompok
dibanding budaya Amerika individualistik. Dengan demikian, dalam budaya-budaya
ini, kelompok menjadi lebih produktif justru karena kelompok mendorong
munculnya koordinasi antar anggota kelompok. Budaya-budaya tersebut juga lebih
menghargai kontribusi dalam situasi kelompok.
Menariknya di Amerika Serikat tampaknya muncul tren menuju
keterpacuan sosial. Beberapa penelitian yang melibatkan subjek-subjek Amerika
mulai menantang pengertian-pengertian tradisional mengenai social loafing (sebagi
contoh, Harkins, 1987; Harkins & Petty, 1982; Shepperd & Wright, 1989; Weldon &
Gargano, 1988; Zaccaro, 1984). Jackson dan Williams (1985), misalnya,
menunjukkan bahwa orang-orang Amerika yang bekerja secara kolektif justru
meningkat kinerja dan produktivitasnya. Dengan demikian, pengertian kita tentang
social loafing dan produktivitas kelompok mendapatkan tantangan tidak hanya dari
budaya lain, tapi juga dari dalam budaya Arerika sendiri. Dengan meningkatkan
perhatian Amerika pada gaya-gaya manajemen dan organisasional negara-negara
lain, terutama Jepang, topik ini akan lebih benyak menarik perhatian di masa yang
akan datang.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Atribusi adalah kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa
yang menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain. Dengan
mempelajari atribusi, kita juga bisa melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang
menjelaskan perilaku orang lain, yang kemudian, pada gilirannya, mempengaruhi
perilaku mereka sendiri.

Ketertarikan interpersonal dan cinta mengacu pada perasaan-perasaan positif


terhadap orang lain dan merupakan salah saru dimensi penting psikologi sosial.

13
Penelitian tentang ketertarikan interpersonal dan cinta di Amerika telah menghasilkan
beberapa temuan menarik, terutama tentang faktor-faktor kunci yang berperan dalam
ketertarikan.

Konformitas mengacu pada sikap mengalah seseorang pada tekanan sosial,


baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Ketundukan secara umum didefinisikan
sebagai sikap mengalah orang pada tekanan sosial dalam kaitannya dengan prilaku
sosial mereka, meski mungkin keyakinan pribadi mereka tidak berubah. Kepatuhan
merupakan salah satu bentuk ketundukan yang muncul ketika orang mengikuti suatu
perintah langsung, biasanya dari seseorang dengan suatu posisi otoritas.

Penelitian mengenai kelompok, yang bukan sekedar tentang individu dalam


kelompok, juga tercakup dalam lingkup kajian psikologi sosial. Penelitian tentang
perilaku kelompok mendapat perhatian yang cukup besar dan literatur yang ada, yang
mencakup topik-topik seperti efek bystander dan perilaku altruistik, proses-proses
pembuatan keputusan kelompok, dan produktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar Offset

14

Anda mungkin juga menyukai