Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

1. Anatomi Fisiologi Prostat


Pada pria, beberapa organ berfungsi sebagai bagian dari traktrus urinarius
maupun sistem reproduksi. Kelainan pada organ-organ reproduksi pria dapat
mengganggu salah satu atau kedua sistem. Akibatnya, penyakit sistem reproduksi
pria biasanya ditangani oleh ahli urologi. Struktur dari sistem reproduksi pria adalah
testis, vas deferen (duktus deferen), vesika seminalis, penis, dan kelenjar asesori
tertentu, seperti kelenjar prostat dan kelenjar cowper (kelenjar bulbo-uretral). Organ
genetalia pria terdiri dari 6 komponen yaitu:
a. Testis dan epididimis
b. Duktus deferen
c. Vesikula seminalis
d. Duktus ejakulatorius dan penis
e. Prostat
f. Kelenjar bulbo-uretra

Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah interior buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 3 x 4 x 2,5 cm dan beratnya 20 gram. Sebagian prostat mengandung
kelenjar grandular dan sebagian lagi otot involuter dan menghasilkan suatu cairan
yang di sebut semen, yang basa dan mendukung nutrisi sperma. Cairan prostat
merupakan kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Jika kelenjar ini
mengalami hiperlasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membantu
uretra posterior dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih.
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm
dan terletak antara collum vesika urinaria (atas) dan diaphragma urogenitalis
(bawah). Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung
fibrosa, yang merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat
mempunyai basis, apex, permukaan anterior dan posterior, dan dua permukaan
lateral. Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli,
di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau
zona, yaitu : perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior (Mc Neal
1970).
A. Batas-Batas Prostat
1) Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica
urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang
lain.
2) Batas inferior: apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma
urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan
anterior.
3) Anterior: permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,
dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada
cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan
dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica.
Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan
kondensasi vascia pelvis.
4) Posterior: permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan
anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis
(vascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi
dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula
menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
5) Lateral: permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m.
levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.
Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin
untuk sementara, mencegah urine kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu
melakukan ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior.
Uretra posterior terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut
sebagai leher buli-buli dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah spinkter
eksterna uretra. Unit vesikouretra ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu
parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan uretra proksimal dari diafragma serta
saraf somatis melalui nervus pudendus untuk spinkter eksterna. Sistem persyarafan
tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap (fase) yaitu:
1) Fase Pengisian (Resting /Filling Phase)
Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin
dari ginjal yang masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli
selalu rendah, kurang dari 20 cm 𝐻 2 O. Sedangkan tekanan di uretra posterior
selalu lebih tinggi antara 60-100 cm 𝐻 2 O .
2) Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang , mulailah
reseptor “strechtí” yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls
dikirimkan ke sistem saraf otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2
sampai 4 dan sistem syaraf ini menjadi aktif dengan akibat meningkatnya tonus
buli-buli (muskulus detrusor). Meningkatnya tonus detrusor ini dirasakan
sebagai perasaan ingin kencing. Pada saat tonus detrusor meningkat maka secara
sinkron leher buli-buli dan uretra pars prostatika membuka, bentuknya berubah
seperti corong dan tekanannya menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya
dipertahankan oleh spinkter eksterna yang masih tetap menutup. Bila yang
bersangkutan telah mendapatkan tempat yang dianggap konvivien untuk miksi
barulah spinkter eksterna secara sadar dan terjadi miksi. Pada saat tonus detrusor
meningkat sampai terjadinya miksi tekanan intravesikal mencapai 60-120 m.
B. Perdarahan, Penyaluran Limfe, dan Persyarafan
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang arteri vesicalis
inferior dan arteri rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus
prostatiticus yang terletak antara kapsula prostat dan selubung fibrosa. Plexus
prostaticus menerima vena dorsalis profundus penis dan banyak vena vesicalis,
dan mengalirkan darah ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe dari prostat
mengalirakn cairan limfe ke nodi limfatici iliaca interna. Persarafan prostat
berasal dari plexus hipogastricus inferior.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari
volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah
menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan
terjadinya obstruksi saluran kemih.

2. Pengaruh Proses Menua Pada Sistem Reproduksi Pria


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria
akibat proses menua:
1) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur
2) Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler
benigna terdapat pada 75% pria diatas usia 90 tahun.

3. Konsep Dasar Penyakit BPH


A. Definisi
Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-
kanker (noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat
membatasi aliran urin (kencing) dari kandung kemih (bladder). Prostat
Hiperplasia adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat
yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses
penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan urethra, sehingga
hipertropi prostat sering menghalangi pengosongan kandung kemih (Doenges,
2002).
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan
cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang
berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas. Benigna prostat
hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli
ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Adel,2008).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan
pembedahan bagian prostate (sebagian atau seluruh) yang memotong uretra,
bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria
akut.

B. Etiologi
Penyebab dari BPH sampai sekarang belum dapat dipahami dengan
jelas. Tidak ada informasi yang jelas tentang faktor resiko terjadinya BPH.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa BPH banyak terjadi pada orang tua dan
tidak berkembang pada pria yang testisnya diambil sebelum usia pubertas.
Karena alasan ini, beberapa peneliti percaya bahwa faktor yang berhubungan
dengan usia dan testis pria sangat berpengaruh dengan perkembangan BPH. Pria
memproduksi hormon terpenting pada sistem reproduksi yaitu testosteron dan
sebagian kecil adalah hormon estrogen. Pada saat pria mulai berumur maka
jumlah testosteron yang aktif di dalam darah menurun dan kadar estrogen lebih
tinggi. Penelitian yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa BPH
disebabkan oleh tingginya kadar estrogen dalam darah disertai dengan
peningkatan aktivitas dari substansi yang mempercepat pertumbuhan sel.
Walaupun prostat terus membesar selama lebih dari separuh hidup
manusia, pembesarannya tidak selalu menimbulkan masalah sampai pada usia
terakhir manusia. Dengan bertambahnya usia akan terjadi keseimbangan
testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan
angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat dapat ditemukan pada usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopiuk ini terus berkembang akan terjadi
perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan tanda dan gejala klinik.
Penelitian lain mengatakan BPH lebih banyak disebabkan karena
dehidrotestoteron (DHT), yaitu substansi yang merupakan derivat dari
testoteron dalam prostat yang membantu mengatur pertumbuhan kelenjar
prostat. Beberapa binatang kehilangan kemampuannya untuk memproduksi
DHT ketika tua. Walau demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa
walaupun kadar testoteron dalam darah menurun tetapi DHT terkumpul
dtulisalam jumlah besar di dalam prostat. Akumulasi DHT ini mengakibatkan
pertumbuhan sel. Jadi para peneliti tersebut menitikberatkan bahwa pria yang
tidak memproduksi DHT tidak terjadi pembesaran kelenjar prostat..
Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon,
dan faktor perubahan usia, di antaranya:
1) Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-α
reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar
prostat.
2) Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk
merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi
primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang
menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan
bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada
usia dewasa.
3) .Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini
berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya
dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel
yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada
androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan
menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4) Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi
antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor
pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen.
Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau
fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming growth factor- b (TGF - b, akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran
prostat.

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan
kelainan kongenital berupa defisiensi 5-a reduktase, yaitu enzim yang
mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga
prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron
serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen.
Peran androgen dan estrogen dalam BPH adalah kompleks dan belum jelas
benar. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah BPH. Pasien
dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan
pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk
memulai proses PPJ, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen
berperan dalam proses hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang
hiperlpasia epitel.

C. Epidemiologi
Faktor resiko perkembangan BPH masih belum diketahui secara jelas.
Beberapa studi menjelaskan adanya hubungan dengan faktor predisposisi
genetik, dan yang lainnya mengatakan adanya kaitan dengan perbedaan ras.
Hampir 50% pria berumur kurang dari 60 tahun yang menjalani operasi untuk
BPH memeiliki bentuk penyakit yang diwariskan. Bentuk ini merupakan bentuk
autosomal dominant, dan keturunan pertama dari pasien BPH membawa resiko
relatif yang meningkat hampir 4 kali lipat.
D. Tanda dan Gejala BPH
1) Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi (bak tidak lampias)
2) Kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.
3) Rasa nyeri saat memulai miksi
4) Adanya urine yang bercampur darah (hematuri).
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Gejala Obstruktif yaitu:
a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
f) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2) Gejala Iritasi yaitu:
a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

E. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc
Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar
prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar
ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi
yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum
puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.
ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005
F. Pathway

Proses menua Growth Factor Sel prostat berumur Prolikerasi abnormal

panjang sel stroma

Ketidakeseimbangan

hormon estrogen & Produksi sel

progesteron Sel stroma per- Berkurangnya sel stroma berlebihan

tumbuhan mening- yang mati

kat

Hiperplasia epitel & stroma pada kelenjar prostat

BPH

Penyempitan lumen TURP

ureter prostatika

Pemasangan DC

Obstruksi aliran Distensi vesika Iritasi mukosa

urinaria urinaria vesika urinaria Luka Kurangnya

informasi

Peningkatan tekanan Diuresis osmotik Terputusnya Tempat masuknya terhadap

intravesikel jaringan mikroorganisme pembedahan

Kekurangan Volume

Hiperirritable Cairan Rangsangan saraf Resiko Infeksi Ansietas

Pada bladder diameter kecil


Peningkatan kontraksi Gate kontrol

otot detrusor dari terbuka

buli-buli

Saraf aferen

Hipertrofi otot

detrusor trabekulasi Corteks serebri

Retensi Urine Rangsangan nyeri saat

berkemih

Nyeri Akut
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Marilynn, E, Doenges, dkk, (1999:672), untuk memperkuat
diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang, diantaranya:
1) Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah);
penampilan keruh; pH 7 atau lebih (menunjukkan infeksi); bakteria, SDP, SDM
mungkin ada secara mikroskopis.
2) Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia coli.
3) Sitologi urine : Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
4) BUN / kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
5) Asam fosfat serum / antigen khusus prostatik : Peningkatan karena
pertumbuhan seluler dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat
mengindikasikan metastase tulang).
6) Sel Darah Putih : Mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi
bila pasien tidak imunosupresi.
7) Penentuan kecepatan aliran urine : Mengkaji derajat obstruksi kandung
kemih.
8) IVP dengan film pasca-berkemih : Menunjukkan perlambatan pengosongan
kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya
pembesaran prostat.
9) Sistouretrografi berkemih : Digunakan sebagai pengganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan
kontras lokal.
10) Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tidak berhubungan dengan BPH.
11) Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi pada adanya ISK akut
sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif).
12) Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
13) Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine;
melokalisasi lesi yang tidak berhubungan dengan BPH.

H. Klasifikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin,
2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan
BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis:
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan


pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa

4. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH
adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang
disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah;
peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi
karena kekurangan volume cairan.
2) Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
3) Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan
tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena
protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4) Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan
dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5) Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri
suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6) Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang
perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu
adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.
7) Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan
kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa,
kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah
putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan
hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.

B. Diagnosa Keperawatan
1) Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik
pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2) Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia
dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
4) Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya masuknya
mikroorganisme akibat dari pemasangan kateter dan infus.
5) Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih.

C. Intervensi Keperawatan
PRE-OPERASI
1) Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik
pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan: tidak terjadi obstruksi
Kriteria hasil :
a) Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung
kemih
b) Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak
adanya tetesan atau kelebihan aliran
Intervensi Rasional

1. Dorong pasien untuk 1. Meminimalkan retensi urine,


berkemih tiap 2-4 jam dan distensi berlebihan pada
bila tiba-tiba dirasakan kandung kemih.
2. Observasi aliran urine, 2. Berguna untuk mengevaluasi
perhatikan ukuran dan obstruksi dan pilihan intervensi
kekuatan 3. Retensi urine meningkatkan
tekanan dalam saluran
3. Awasi dan catat waktu serta perkemihan atas yang dapat
jumlah tiap berkemih mempengaruhi fungsi ginjal
4. Palpasi atau perkusi area 4. Distensi kandung kemih dapat
suprapubic dirasakan di area suprapubic
5. Awasi TTV dengan ketat, 5. Kehilangan fungsi ginjal
observasi hipertensi, edema mengakibatkan penurunan
perifer, timbang tiap hari, eliminasi cairan dan akumulasi
pertahankan pemasukan dan sisa toksik, dapat berlanjut ke
pengeluaran yang akurat penurunan ginjal total.
6. Beri/dorong kateter lain dan 6. Menurunkan resiko infeksi
perawtan perineal 7. Peningkatan aliran cairan
7. Dorong masukan cairan mempertahankan perfusi ginjal
sampai 300 ml sehari dalam dan kandung kemih dan
toleransi jantung bila pertumbuhan bakteri.
diindikasikan.

2) Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.


Tujuan: nyeri hilang atau terkontrol
Kriteria hasil:
a) Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol
b) Pasien tampak rileks
c) Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional

1. Kaji nyeri, perthatikan 1. Memberikan informasi untuk


lokasi, intensitas (skala 0- membantu dalam
10), lamanya. menentukan pilihan atau
2. Plester selang drainase pada keefektifan intervensi
paha dan kateter abdomen 2. Mencegah penarikan
3. Pertahankan tirah baring kandung kemih dan erosi
bila diindikasikan. pertemuan penis scrotal
4. Beri tindakan kenyamanan, 3. Tirah baring mungkin
misal: membantu pasien diperlukan pada awal selama
melakukan posisi yang fase retensi akut namun
nyaman, latihan nafas dalam ambulasi dini dapat
5. Kolaborasi dalam memperbaiki palo berkemih
pemberian antispasmodik normal dan menghilangkan
nyeri kolik.
4. Meningkatkan relaksasi,
memfokuskan kembali
perhatian dapat
meningkatkan kemampuan
kopling
5. Menghilangkan spame

3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia


dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Tujuan: keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara
Kriteria hasil:
a) Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi
perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab.
Intervensi Rasional

1. Awasi keluaran dengan 1. Diuresis cepat dapat


hati-hati, tiap jam bila menyebabkan kekurangan
diindikasikan. Perhatikan volume total cairan, karena
keluaran 100-200 ml/jam ketidakcukupan jumlah
2. Dorong peningkatan natrium diabsorbsi dalam
pemasukan oral tubulus ginjal
berdasrkan kebutuhan 2. Pasien dibatasi pemasukan oral
individu dalam upaya mengontrol gejala
3. Awasi TD, nadi dengan urinaria,
sering. Evaluasi pengisian homeostatik pengurangan
kapiler dan membran cadangan dan peningkatan resiko
mukosa oral. dehidrasi atau hipovolemia.
4. Tingkatkan tirah baring 3. Memampukan deteksi dini/
dengan kepala tinggi intervensi hipovolemik, sistemik
5. Kolaborasi dalam 4. Menurunkan kerja jantung,
memantau pemeriksaan memudahkan homeostatis
laboratorium sesuai sirkulasi.
indikasi, contoh: 5. Berguna dalam evaluasi
Hb / Ht, jumlah sel darah kehilangan darah / kebutuhan
merah. Pemeriksaan penggantian. Serta dapat
koagulasi, jumlah mengindikasikan terjadinya
trombosi komplikasi misalnya penurunan
faktor pembekuan darah

4) Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya masuknya


mikroorganisme akibat dari pemasangan kateter dan infus.
Tujuan: infeksi dicegah
Kriteria hasil:
a) Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.
Intervensi Rasional
1. Pertahankan sistem kateter 1. Mencegah pemasukan
steril, berikan perawatan bakteri dan infeksi / sepsis
kateter reguler dengan sabun lanjut.
dan air, berikan salep 2. Menghindari reflek balik
antibiotik disekitar sisi urin dapat memasukkan ba
kateter. kteri ke dalam buli - buli.
2. Ambulasi dengan kantung 3. Mendeteksi infeksi sejak
drainase dependen. dini.
3. Awasi tanda dan gejala 4. Kemungkinan diberikan
infeksi saluran perkemihan. secara profilaktik
4. Berikan antibiotik sesuai berhubungan dengan
indikasi. peningkatan resiko pada
prostatektomi.

5) Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih.


Tujuan: ansietas berkurang atau hilang dalam waktu 3 jam setelah dilakukan
Asuhan Keperawatan
Kriteria hasil:
a) Pasien mengatakan cemasnya berkurang.
b) Pasein mengatakan sudah dapat berkemih.
c) Pasien tanpak tenang dan rileks.
d) TTV stabil/normal
Intervensi Rasional

1. Lakukan pendekatan pada 1. Komunikasi terapeutik untuk


pasien dan keluarga dengan menciptakan hubungan yang
komunikasi terapeutik. bersifat potensional dan rasa
2. Kaji tingkat kecemasam saling percaya.
pasien. 2. Mengkaji kecemasan untuk
3. Berikan penjelasan kepada membantu pemberian asuhan
pasein tentang penyebab keperawatan yang tepat.
ketidakmampuan untuk 3. Penjelasan / informasi yang
berkemih. tepat dapat membantu
4. Pantau pola berkemih mengurangi ansietas pada
pasien. pasien.
5. Pasang karakter indweling 4. Untuk mengetahui
jika pasien mengalami perkembangan atau kelainan
retensi urin kontinue atau yang terjadi secara dini.
jika pemeriksaan laborat 5. Karakter dapat
menunjukkan azotemia mendekompresi kandung
(sampah produk nitrogen kemih selama beberapa hari.
dalam darah).
6. Observasi TTV (T, N, S, 6. Untuk mengetahui
RR). perkembangan kesehatan
7. Kolaborasi dengan tim pasien.
dokter terapi yang tepat. 7. Untuk membantu mengatasi
tingkat kecemasan pasien.

POST-OPERASI
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada TUR-P
Tujuan: nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
1. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
2. Ekspresi wajah klien tenang.
3. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5. Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional

1. Jelaskan pada klien tentang 1. Kien dapat mendeteksi gajala


gejala dini spasmus kandung dini spasmus kandung kemih.
kemih 2. Mengurang kemungkinan
2. Beri penyuluhan pada klien spasmus
agar tidak berkemih ke seputar 3. Menurunkan tegangan otot,
kateter memfokuskan kembali perhatian
3. Ajarkan penggunaan teknik dan dapat meningkatkan
relaksasi, termasuk latihan kemampuan koping
nafas dalam, visualisasi 4. Sumbatan pada selang kateter
4. Jagalah selang drainase urine oleh bekuan darah dapat
tetap aman dipaha untuk menyebabkan distensi kandung
mencegah peningkatan kemih dengan peningkatan
tekanan pada kandung kemih. spasme
Irigasi kateter jika terlihat 5. Menghilangkan nyeri dan
bekuan pada selang mencegah spasmus kandung
5. Kolaborasi dengan dokter kemih
untuk memberi obat – obatan
(analgesik atau anti
spasmodik

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan: klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
1. Klien tidak mengalami infeksi.
2. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda shock
Intervensi Rasional

1. Pertahankan sistem kateter 1. Mencegah pemasukan bakteri


steril, berikan perawatan dan infeksi
kateter dengan steril 2. Meningkatkan output urine
2. Anjurkan intake cairan sehingga resiko terjadi ISK
yang cukup ( 2500 – 3000 ) dikurangi dan
sehingga dapat menurunkan mempertahankan fungsi
potensial infeksi ginjal
3. Pertahankan posisi urobag 3. Menghindari refleks balik
dibawah urine yang dapat
4. Observasi urine: warna, memasukkan bakteri ke
jumlah, bau kandung kemih
5. Kolaborasi dengan dokter 4. Mengidentifikasi adanya
untuk memberi obat infeksi
antibiotik 5. Untuk mencegah infeksi dan
membantu proses
penyembuhan

3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan


Tujuan: tidak terjadi perdarahan
Kriteria hasil:
1. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
2. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3. Urine lancar lewat kateter .
Intervensi Rasional

1. Jelaskan pada klien tentang 1. Klien dan mengetahui tanda –


sebab terjadi perdarahan tanda perdarahan
setelah pembedahan dan tanda 2. Dapat menimbulkan perdarahan
– tanda perdarahan prostat
2. Mencegah pemakaian 3. Traksi kateter menyebabkan
termometer rektal, pengembangan balon ke sisi
pemeriksaan rektal atau fosa prostatik, menurunkan
huknah, untuk sekurang – perdarahan. Umumnya dilepas 3
kurangnya satu minggu – 6 jam setelah pembedahan
3. Pantau traksi kateter: catat 4. Deteksi awal terhadap
waktu traksi di pasang dan komplikasi, dengan intervensi
kapan traksi dilepas yang tepat mencegah kerusakan
4. Observasi: Tanda-tanda vital jaringan yang permanen
tiap 4 jam 5. Gumpalan dapat menyumbat
5. Irigasi aliran kateter jika kateter, menyebabkan
terjadi gumpalan dalam peregangan dan perdarahan
saluran kateter kandung kemih

4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan


impoten akibat dari TUR-P
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1. Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
2. Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
3. Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
4. Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Intervensi Rasional

1. Beri kesempatan pada klien 1. Untuk mengetahui masalah klien


untuk memperbincangkan 2. Kurang pengetahuan dapat
tentang pengaruh TUR – P membangkitkan cemas dan
terhadap seksual berdampak disfungsi seksual
2. Jelaskan tentang: 3. Bisa terjadi perdarahan dan
kemungkinan kembali ketidaknyamanan
ketingkat tinggi seperti 4. Untuk
semula dan kejadian mengklarifikasi kekhatiran dan
ejakulasi retrograd (air kemih memberikan akses kepada
seperti susu) penjelasan yang spesifik
3. Mencegah hubungan seksual
3-4 minggu setelah operasi
4. Dorong klien untuk
menanyakan kedokter salama
di rawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan

5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi


Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan
berobat lanjutan
Kriteria hasil:
1. Klien akan melakukan perubahan perilaku
2. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan
3. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan
kebutuhan berobat lanjutan
Intervensi Rasional

1. Beri penjelasan untuk 1. Dapat menimbulkan


mencegah aktifitas berat perdarahan
selama 3-4 minggu 2. Mengedan bisa menimbulkan
2. Beri penjelasan untuk perdarahan, pelunak tinja
mencegah mengedan waktu bisa mengurangi kebutuhan
BAB selama 4-6 minggu; mengedan pada waktu BAB
dan memakai pelumas tinja 3. Mengurangi potensial infeksi
untuk laksatif sesuai dan gumpalan darah
kebutuhan 4. Untuk menjamin tidak ada
3. Pemasukan cairan sekurang– komplikasi
kurangnya 2500-3000 5. Untuk membantu proses
ml/hari penyembuhan
4. Anjurkan untuk berobat
lanjutan pada dokter
5. Kosongkan kandung kemih
apabila kandung kemih
sudah penuh

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi

E. Evaluasi Keperawatan
Pre-Operasi
Dx 1: Tidak terjadi obstruksi
Dx 2: Nyeri hilang atau terkontrol
Dx 3: Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara
Dx 4: Infeksi dapat dicegah
Dx 5: Ansietas berkurang atau hilang

Post-Operasi
Dx 1: Nyeri berkurang atau hilang
Dx 2: Klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Dx 3: Tidak terjadi perdarahan
Dx 4: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Dx 5: Klien memahami pantangan, kegiatan, dan kebutuhan berobat lanjutan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Linda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC:
Jakarta.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai