Anda di halaman 1dari 3

Menurut Fazlur Rahman , fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh barat,

sekularisme modernism islam . Menurut Rahman, akar intektual kaum fundamentalisme, berasal dari
gagasan-gagasan “reformasi pra-modern”., terutama paham reformis kaum Wahabi di Arab Saudi .
kelompok wahhabi memang dikenal bersikap rigid dalam menafsirkan al-Quran dan hadis . Mereka pun
cenderung bersikap “keras”terhadap pandangan-pandangan yang berseberangan dengan ortodoksi.
Sikap ‘keras “terutama bila menyangkut persoalan-persoalan yang mereka anggap sebagai syirik adakan
dalam bidang ibadah).1

Berbeda dengan Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid lebih cenderung memahami gejala munculnya
fundamentalisme karena faktor yang terorganisasi (organized religion) memberikan respon sterhadap
tantangan dunia modern. Akibatnya, sekolompok yang yang mencari alternative-alternatif baru dalam
beragama dengan menunjukkan sikap”penegasan diri” (organized religion) memberikan respons
terhadap tantangan dunia modern. Akibatnya, sekompok orang m,encari alternative- alternative baru
dalam beragama dengan menujukkan sikap “penegasan diri” (self assertion) yang lebih keras , dan
biasanya dipimpin oleh seorang tokoh yang dikultuskan oleh pengikut-pengikutnya.2. Selain faktor
kegagalan agama-agama formal itu, pandangan Nurcholish sama dengan pandangan Stephan
Humphreys. Kedua sarjana ini sama-sama mernggap bahwa faktor-faktor sosial dan politik turut
mengambil peranan. Misalnya,adanya jurang yang semakin lebar antara pendapatan golongan kaya dan
miskin;dan perasaan tidak berdaya karena tekanan dan penindasan 3. Analisis empat dimensi terhadap
asal usul”fundamentalisme” dikemukakan oleh Hraiar Dekmejian. Sarjana ini menafsirkan akar
munculnya “fundalisme “ ialah faktor-faktor sosial,politik,psikologi dan sejarah. Faktor-faktor sosial dan
politik antara lain krisis akibat dominasi pengaruh asing,krisis legitimasi, konflik kelas, ketidakmampuan
tentara negara-negara Arab menghadapi Israel- ini kasus spesipik di Timur Tengah-,dan modernisasi
yang dilakukan secara tiba-tiba sehingga menimbulkan krisis kebudayaan. Faktor faktor psikologisnya
berupa ; aliensi, sikap dogmatic dan ketidakdewasaan memahami dan menerima ajaran agama;perasaan
rendah diri yang kemudian berubah menjadi perasaan superior dan agresif,serta”ketaatan mutlak”
kepada Tuhan dan pemimpin pergerakan yang karismatik.4. Dekmejian juga berusaha menghubungkan
fundamentalisme Islam kini dengan gerakan-gerakan serupa yang sama terjadi dalam sejarah Islam di
masa lampau. Sebagai “ideology protes” dan “ideology kaum oposisi”, menurut Dekmejian,
fundamentalisme muncul sebagai perlawanan terhadap kelas yang berkuasa yang dianggap telah
menyimpang dari ajaran islam .

1
Fazlur Rahman, islam and Modernity, hlm. 162, 169.
2
Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Tentangan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Untuk Generasi
Mendatang”, makalah diskusi budaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Oktober 1992.
3
Stephan R. Humpreys,”Islam and political Values in Saudi Arabia, Egypant and Syria”,artikel dalam Michael
Curtis (ed), Religion and politics in Middle East.Westview,1981,hlm.292
4
Hrair Dekmejian, islam and revolution,hlm. 25-33
Fenomena seperti ini berakar dalam sejarah awal masyarakat islam dengan kehadiran golongan
Khawarij yang menentang khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Tetapi pengikut Ali sendiri kemudian
mengorganisasikan diri ke dalam kelompok syiah untuk menentang kekhalifaan Bani Ummayah,
dan kemudian juga kekhalifaan Bani Abbasiyah. Faktor-faktor sejarah ini, meskipun terjadi di
awal serjarah Islam, menurut Dekmijian, telah memberikan pengaruh terhadap munculnya
fundamentalisme.5

Hamid Enayat dan Hillal Dessouki,dalam prinsipnya mengemukakan faktor-faktor yang sama
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Dekmejian di atas, tetapi berbeda dengan
perinciannya. Enayat dan Dessouki menyusun daftar empat faktor utama yang mempengaruhi
munculnya fundamentalisme, yaitu faktor-faktor budaya, sejarah, sosial, dan politik. Faktor
budaya ialah kegagalan kaum tradisional memberikan respons terhadap sekularisasi, dan juga
kegagalan kaum intelektual modernis merumuskan sintesis antara islam dengan modernitas.
Dessouki menegaskan bahwa faktor kegagalan kaum intelektual dalam merumuskam peranan
yang dapat dimainkan islam di tengah dunia modern, telah mendorong munculnya
fundamentalisme sebagai gerakan alternatif. Faktor lain, adalah sikap agresif dari elit politik
barat, kemunduran ideology secular-liberal, krisis berkepanjangan di Palestina, instabilitas
politik di dunia Arab, keruntuhan moral dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Enayat
menambahkan bahwa faktor-faktor sejarah, seperti kebangkitan gerakan pemurniaan agama
yang dilakukan oleh tokog-tokoh reformis Muhammad ibn Abdul wahhab,dan tokoh-tokoh
modernis seperti Afghani dan Abduh, juga memberikan pengaruh, baik positif maupun
pengaruh negatif terhadap kehadiran gerakan fundamentalisme.6

Seiring dengan kecenderungan penafsirannya terhadap doktrin yang bercorak rigid dan literalis,
fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba
mencakup. Tidak ada masalah - masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di
dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu, ijtihad dengan
sendirinya dibatasi hanya kepada masalah-masalah dimana doktrin tidak memberikamn
petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan. Sesuai dengan kecenderungan
tersebut fundamentalisme memandang preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara
keseluruhan. Hal ini berarti bahwa peseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan
juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme berpendapat bahwa orang-orang yang
hidup di zaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman awal Islam yaitu zaman
nabi dan para sahabat, adalah zaman ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman. Sesuai
dengan pandangan ini, fundamentalisme memandang ijma’ zaman sahabat nabi adalah ijma’

5
Hrair Dekmejian,Islam and revolution,hlm.35
6
Hamid Enayat, Modern Islamic political Thought, hal. 8; Ali E. Hillal Dessouki, “The Resurgence of Islamic in
Egypt”, dalam Alexander C. cudsi dan Ali E. Hillal Dessouki (eds), Islam And Power. Baltimore: The John Hopskins
University Press, 1981, hlm. 107-118.
yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma’ demikian tidak dapat
diubah oleh ijma’-ijma’ yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum
fundamentalisme juga berbeda dengan kaum modernis yang pada umumnya memberikan
apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi pemikiran islam di zaman tabi’in dan
tabi’-tabi’in . juga, pada tradisi pemikiran islam yang diwariskan oleh para ulama di masa
lampau yang dipandang mempunyai otoritas. Sesuai pandangan-pandangan tersebut,
fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pliralisme. Masyarakat
cenderung dilihat secara”hitam-putih”, yaitu antara masyarakat islami yang menyakini dan
mengamalkan doktrin secara kafah(menyeluruh) dengan masyarakat jahiliyah yang tidak
meyakini dan mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai sejarah
pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang disimbolkan dengan sejarah para Nabi
dan para penentangnya. Demikian pembagian masyarakat pada dua golongan itu, maka hikma
tidak perluh dicari dalam masyarakat – masyarakat yang telah “jelas” besifat jahilia. Karna itu,
findamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaftasi dan berkulturasi
dengan prestasi –pretasi peradaban yang telah di kembangkan oleh masyarakat lain. Bagi
fundamentalisme, manusia didunia ini hanya dihadapkan pada dua pilihan, menjadi
“Mukmin”atau menjadi “Kafir”

Anda mungkin juga menyukai