Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri


menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa
tahun terahkir.Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi
kunjungan penderita di klinik rawat jalan. Menurut survey rumah tangga dari
beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga
penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga.
Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter
umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang
menjurus pada kelainan alergi. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam
20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak
usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6
juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari
9 juta orang (Judarwanto, 2005).

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang disebabkan


zat-zat yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak terhadap zat
tertentu yang biasanya, pada orang normal tidak menimbulkan reaksi. Zat
penyebab alergi ini disebut alergen. Alergen bisa berasal dari berbagai jenis
dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Bisa saja melalui saluran
pernapasan, berasal dari makanan, melalui suntikan atau bisa juga timbul
akibat adanya kontak dengan kulit seperti; kosmetik, logam perhiasan atau
jam tangan, dan lain-lain. Zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk
tanaman; jenis rumput tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis;

1
serbuk spora; penisilin; seafood; telur; kacang panjang, kacang tanah, kacang
kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung dan tepung jagung;
sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu. Yang juga tidak kalah
sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap, pewarna dan pengawet.

Sebenarnya, alergi dapat dihindari dengan cara-cara berikut ini;


hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu komposisi atau
kandungan makanan atau obat. Biasakan membaca label yang tertera di luar
kemasan. Jika Anda alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan baru
dalam porsi kecil sehingga Anda dapat mengetahui reaksi alerginya. Penderita
alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen
yang dideritanya. Simpan dalam dompet untuk keadaan darurat. Selalu bawa
obat anti alergi sesuai rekomendasi dokter Anda.
(http://www.anneahira.com/alergi).

B. Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut :


1. Tujuan Umum

Diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan lebih untuk


memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
imunologi pada alergi.

2. Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa dapat :

a. Memahami definisi dari alergi.


b. Memahami etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis dari
alergi.
c. Memahami pemeriksaan diagnostik dari alergi.

2
d. Memahami penatalaksanaan dari alergi.
e. Memahami asuhan keperawatan yang bisa diberikan pada klien
yang menderita alergi

BAB II

3
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Alergi
Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak tepat dan kerap kali
membahayakan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi
alergi merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi
antara antigen dan antibodi. Kalau tubuh diinvasi oleh antigen biasanya
berupa protein yang dikenali tubuh sebagai benda asing, maka akan terjadi
serangkaian peristiwa dengan tujuan untuk membuat penginvasi tersebut tidak
berbahaya, menghancurkannya dan kemudian membebaskan tubuh darinya.
Kalau limfosit bereaksi terhadap antigen, kerap kali antibodi dihasilkan.
Reaksi alergi umum akan terjadi ketika sistem imun pada seseorang yang
rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak
berbahaya (misal debu, tepung sari gulma). Produksi mediator kimia pada
reaksi alergi dapat menimbulkan gejala yang berkisar dari gejala yang ringan
hingga gejala yang dapat membawa kematian (Brunner & Suddarth, 2001).
Sistem imun tersusun dari banyak sel serta organ dan substansi yang
disekresikan oleh sel-sel serta organ-organ ini. Pelbagai bagian dari sistem
imun ini harus bekerja bersama untuk memastikan pertahanan yang memadai
terhadap para penginvasi (yaitu virus, bakteri, substansi asing lainnya) tanpa
menghancurkan jaringan tubuh sendiri lewat reaksi yang terlampau agresif
(Brunner & Suddarth, 2001).
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada
suatu zat (alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.
Namun, sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi
dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit
atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hal ini bergantung pada berbagai
keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi genetik, kecenderungan
untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya infeksi saluran

4
nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan defisensi
IgA.

B. Klasifikasi Alergi
Suatu reaksi hipersensitivitas (alergi) biasanya tidak akan terjadi
sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada
kontak-ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami
sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan antibodi.
Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi
hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi empat
tipe reaksi yang spesifik. Sebagian besar alergi dikenali sebagai reaksi
hipersensitivitas tipe I atau tipe IV (Brunner & Suddarth, 2001).
1. Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika
dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah
terjadi kontak dengan antigen. Kalau mediator kimia terus dilepaskan,
reaksi lambat dapat berlangsung sampai selama 24 jam. Rekasi ini
diantarai oleh antibodi IgE (reagin) dan bukan oleh antibodi IgG atau
IgM. Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan
antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-
sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel
T helper membantu menggalakkan rekasi ini. Antibodi IgE akan
terikat dengan reseptor membrane pada sel-sel mast yang dijumpai
dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat terjadi kontak ulang, antigen
akan terikat dengan antibodi IgE di dekatnya dan pengikatan ini
mengaktifkan reaski seluler yang memicu proses degranulasi serta
pelepasan mediator kimia (histamine, leukotrein, dan ECF-A
[eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis]) (Brunner & Suddart,
2001).
Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala
pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, pari-paru dan
5
traktur gastrointestinal. Gejala klinis ditentukan oleh sejumlah
allergen, jumlah mediator yang dipeas, sensitivitas target organ dan
jalur masuknya allergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat
mencakup anafilaksis lokal dan sistemik.
2. Hipersensitivitas sitotoksik (Tipe II)
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh
karna terbentunya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut
dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan
antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor
komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan
darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan
granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi
alergi tipe ini.
3. Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disni
ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akab mengaktifkan pertahanan tubuh
yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestsi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a) Urtikaria. Angiodema, eritema. Makulopapula, eritema
multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai
pruritus
b) Deman
c) Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi
d) Limfadenopati
e) Lain-lain
- Kejang perut, mual
- Neuristik optik
- Glomerulonefritis
- Sindrom lupus eritematosus sestemik
- Gejala vaskulitas lain

6
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemerian obat, tetapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dlam
waktu 1-5 hari.
4. Hipersensitivitas Tipe-Lambat (Tipe IV)
Reaksi tipe IV disebutDelayed Type Hypersensitivity (DHT) juga
dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada
reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel
T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity):
a) Contaneus basophil hypersensivitasi.
b) Hipersensivitas kontak (contact dermatitis)
c) Reaksi tuberkulin
d) Reaksi granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru
akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat
yang tersering menyebabkan raksi ini yaitu nitrofurantion, Nefritis
interstisial, esenfalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling
sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah
sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau
antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam
setelah obat dioleskan.

C. Etiologi
1. Riwayat Keluarga
Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk
mengembangkan respon imun dalm bentuk reaksi alergi sudah
terbentuk sejak dini pada masa gestasi. Penelitian menyebutkan bahwa
peningkatan kadar IgE total pada tali pusat merupakan faktor resiko
terjadinya alergi pada anak usia 1 tahun. Atopy adalah kecenderungan
genetic untuk memproduksi IgE antibodi terpapar allergen. Suatu studi
epidemiologi keluarga meyokong kejadian alergi, bahwa faktor genetic

7
berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai
penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua
orang tua mempunyai alergi, maka resiko pad anak adalah 50-70%.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan adalah faktor yang cukup banyak berpengaruh
terhadap timbulnya gejala penyakit alergi. Adanya alergen di
lingkungan dapat meningkatkan resiko penyakit asma. Alergen yang
sering mencetuskan penyakit asma antarea lain serpihan bulu binatang
peliharaan, debu, jamur dan kecoa. Debu rumah dapat menigkatkan
permeabilitas mukosa bronchial sehingga memfasilitasi alergen lain
untuk memasuki epithelium dan mensensitasi sistem imun.
3. Faktor Regulasi Sitokin
Sel mast juga merupakan sumber dari beberapa sitokin yang
mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu
yang cenderung untuk laergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Hipersensitivitas
terjadi akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon terhadap antigen
protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang
menimbulkan reaksi alergi sering disebut alergen.
4. Faktor Dietetik
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kekambuhan dermatitis, terutama makanan yang mengandung protein
seperti susu sapi, telur ayam, ikan laut dan kacang-kacangan
(eprints.undip.ac.id/31178/3/Bab_2.pdf)

D. Patofisiologi
Bila suatu protein asing (antigen masuk) berulangkali ke dalam aliran
darah seseorang yang berbakat hipersensitif, maka limfosit b akan membentuk
antibodi dari tipe Ig E. IgE ini yang juga disebut reagin, mengikat diri pada
membrane sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen
(alergen) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi,
maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. (Hoan Tjai: 2007)
8
Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane sel
mast (degranulasi). Sejumlah zat perantara (mediator dilepaskan yakni
histamine bersama serotonin, bradikinin dan asam arachidonat), yang
kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat itu menarik
makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu.
Disamping itu mengakibatkn beberapa gejala, seperti vasodilatasi,
bronchoconstriksi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap
masuknya antigen. (Hoan Tjai: 2007)
Alergi terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi
sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog)
atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti hay fever). (Brooks:
2005)
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:
(Baratawidjaja, 2006).
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai
berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan
disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua
makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang
disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap
epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan
9
reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih
rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
(Rengganis dan Yunihastuti: 2007).
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang
dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel
mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine,
prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi
mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian
dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan
berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis
dan Yunihastuti: 2007).
Di saluran nafas, histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga
menyebabkan penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran
nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan.
Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma. Pada
gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.
Sedangkan pada kulit, manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya
histamine diantaranya adalah benjolan (urtikaria) yang berwarna merah
(eritema) kulit di samping pengaruh lain seperti perangsangan saraf sensoris
yang dirasakan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil
yang mengakibatkan edema.

10
WOC

ALERGEN (obat, makanan, cuaca, debu)

Reaksi imunitas (IgE)

Sel mast, makrofag, limfosit

Pengeluaran mediator kimia

Histamine, bradikinin, anafilaksin

Respiratorik gastrointestinal dermatitis atopic

Kontraksi Permeabilitas sekresieritema urtikaria gatal


otot polos kapiler mukus Muntah,diare
Pelebaran Permeabilita
pembuluh s pembuluh
bronkospa Edema sal. Produksi
darah darah
sme nafas mukus anoreksia

Edema mukosa gg. gg. rasa


bronkial integritas nyaman
gg. pola Deficit volume kulit
asma nutrisi cairan

gg. pola nafas

11
E. Manifestasi Klinis
1. Sistem Pernapasan:
Bersin, batuk, penyempitan cabang saluran paru-paru
(bronchoconstriction), nafasnya berisik (mengi) dan nafas
pendek/tersengal-sengal (dyspnea), kadang-kadang terjadi asma, pada
kasus yang berat saluran pernafasan menyempit karena pembengkakan
saluran ke dalam dan dikenal sebagai pembenkakan saluran pernafasan
(laryngeal edema)
2. Sistem Pembuluh Darah dan jantung:
Palpitasi (berdebar-debar), flushing (muka kemerahan), nyeri dada,
kolaps (jatuh), pingsan, serta tekanan darah rendah.
3. Sistem Pencernaan:
Kembung, mual muntah, diare, sering buang angin (flatus), dan kram
abdomen.
4. Kulit:
Timbul kerak di kulit kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak di bibir,
lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, berkeringat
berlebihan.
5. Mata:
Mata berair, mata gatal, bintil pada mata, kulit di bawah mata
kehitaman.
(http://k34437h.multiply.com/journal/item/282/tanda-tanda_alergi)

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pengukuran kadar IgE total dan spesifik dengan menggunakan metode
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) atau RIA (regulatory
impact assesment).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji antigen dengan antibodi yang
telah dikenal. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dipisahkan dari
antigen dan antibody yang bebas, kemudian diinkubasi dengan substrat
yang tidak berwarna. Substart ini kemudian berwarna karena dihidrolisis
oelh enzim. Intensitas warna dapat diukur dan merupakan parameter untuk
antigen yang diuji. Penelitian Farhoudi menyebutkan kadar serum IgE

12
total lebih dari 100 IU/ml merupakan factor resiko terjadinya penyakit
alergi.
2. Tes kulit untuk menetukan IgE spesifik dalam kulit pasien, seperti tes
tusuk (prick test), tes tempel (pacth test) :
- Tes tusuk (Prick Test)
Hasil tes negatif apabila tidak ada bentol atau eritema atau hasil tes
sama dengan control.
Hasil tes positif apabila terjadi bentul atau eritema
 Positif 1 : bila didapatkan tidak ada bentul dan diameter eritema <
20 mm.
 Positif 2 : bila didapatkan tidak ada bentul dan diameter eritema >
20 mm.
 Positif 3 : bila didapatkan bentul dan eritema.
 Positif 4 : bila didapatkan dengan psudopodia.
- Tes tempel (Patch Test)
Tes negatif bila tidak ada reaksi terhadap zat yang ditempati yang
menunjukkan alergi.
Hasil tes positif
 Positif 1 : bila ada eritema.
 Positif 2 : bila ada eritema dan papula.
 Positif 3 : bila ada eritema, papula dan vesikuler.
3. Tes provokasi untuk alergi makanan :
- Tes hidung
Hasil tes positif bila dalam beberapa menit timbul bersin-bersin, pilek,
hidung tersumbat, kadang-kadang batuk, pada mukosa hidung tampak
bengkak.
- Tes provokasi bronchial
Tes yang sering dipakai adalah tes kegiatan jasmani, tes inhalasi
antigen, tes inhalasi metakolin, tes inhalasi histamin.
4. Pengukuran kadar histamin dalam darah atau urin dengan metode ELISA
atau HPLC (high performance liquid chromatography).
5. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan basophil
dan eosinofil.
6. Foto thorax
Untuk melihat komplikasi asma dan sinus paranasal untuk mengetahui
komplikasi rinitis.
7. Spirometri
13
Untuk menentukan obstruksi saluran nafas baik beratnya maupun
reversibilitas (eprints.undip.ac.id/31178/3/Bab_2.pdf).

G. Penatalaksanaan
1. Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eleminasi.
2. Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian :
- Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast
dapat mengurangi gejala-gejala alergi.
- Kortikosteroid yang dihirup bekerja sebagai obat peradangan dan
dapat mengurangi gejala suatu alergi.
3. Untuk gejala yang berat dan lama, bila terapi lain tidak memuaskan
dilakukan imunoterapi melalui terapi desensitisasi berupa penyuntikan
berulang alergen dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
membentuk antibody IgG terhadap alergen.

14
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien alergi dapat dilakukan melalui: (Carpenito, 1995)
1. Pengkajian Riwayat Kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan dilakukan dengan mengkaji tentang
riwayat kesehatan pasien melalui anamnesa, pengumpulan data biografi,
riwayat keluarga
a) Data biografi
Data biografi ini berisi: usia, jenis kelamin, ras dan latar belakang
etnis, dan lain-lain
b) Riwayat keluarga
“Apakah ada keluarga yang pernah merasakan alergi seperti yang
dirasakan klien?”
c) Riwayat kesehatan masa lalu
- Riwayat alergi yang dialami, apakah pernah mengalami alergi
sebelumnya
- Apakah klien pernah mengalami asma
- Apakah klien pernah mengalami alergi pada makanan tertentu
atau minuman tertentu, pada obat-obatan, udara, binatang

15
- Status imunisasi
- Pekerjaan :lingkungan pekerjaan
- Sakit tenggorokan, bila sering artinya klien rentan terhadap
infeksi
d) Riwayat kesehatan sekarang
- Apakah ada lesi pada kulit
- Adakah pembengkakan di leher, paha atau ketiak
- Bagaimana pembengkakannya, lembut, keras atau merah
- Kapan pembengkakan terjadi
- Sering mengalami gangguan tenggorokan dan penyakit jalan
napas atas
- Apakah mudah timbul bisul/pendarahan yang berlebihan bila
terjadi trauma atau gusi
- Nyeri pada sendi/bengkak, kaku pagi hari atau nyeri bagian
belakang

2. Pemeriksaan Fisik
a) Kaji penampilan umum klien dan hubungan dengan usianya.Bila
terjadi keluhan kelemahan dapat berindikasi penyakit kronik/akut
atau immunodefesiensi.
b) Kaji tinggi badan, berat badan, apakah kehilangan berat badan atau
kurus
c) Observasi gerakan-gerakan klien, dan catat adanya kekakuan
sendi/kesukaran bergerak
d) Catat tanda-tanda vital, kenaikan temperatur dan berindikasi adanya
infeksi atau respon inflamasi
e) Kaji warna kulit, temperatur kulit dan kelembaban kulit.pucat atau
adanya ikterus dapat berindikasi reaksi hemolitik. Pucat dapat
berindikasi supresi pada sumsum tulang sehubungan dengan
immunodefisiensi.
f) Inspeksi kulit dan keadaan adanya rash atau lesi, misalnya
:petechiae/bisul atau luka, catat lokasi dan distribusi lesi dan rash
g) Inspeksi membrane mukosa pada hidung dan mulut, warna dan
kondisi pucat/edema mukosa hidung menunjukkan alergi kronik.

16
h) Catat adanya petechiae/luka pada mukosa mulut dapat berindikasi
hemolisis/immunodeficiency
i) Inspeksi dan palpasi kelenjar limfe leher limfadenopathy
(bengkak)/kekerasannya palpasi kelenjar pada aksila dan lipatan
paha.
j) Pada pengkajian muskuloskeletal, inspeksi/palpasi sendi adanya
kemerahan.
k) Sistem Pernafasan
- Inspeksi: biasanya pada klien alergi terjadi sesak, adanya otot
bantu nafas.
- Auskultasi: adakah kemungkinan terdapat bunyi napas
tambahan, biasanya terdengar mengi.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pada hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang dapat
diangkat yaitu :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan alergen.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (alergen, ex:
makanan).
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,
intrademal sekunder.
4. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang alergi.

C. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan alergen.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
rentang normal.
Kriteria Hasil :
- Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
- Pasien tidak merasa sesak lagi
- Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
- Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

INTERVENSI RASIONAL

17
1. Kaji frekuensi, kedalaman 1. Kecepatan biasanya meningkat.
pernapasan dan ekspansi paru. Catat Dispnea dan terjadi peningakatan kerja
upaya pernapasan, termasuk napas. Kedalaman pernapasan
pengguanaan otot bantu/ pelebaran berpariasi tergantung derajat gagal
masal. napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis atau
nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat
adanya bunyi napas adventisius 2. Bunyi napas menurun/tak ada bila
seperti krekels, mengi, gesekan jalan napas obstruksi sekunder
pleura. terhadap pendarahan, bekuan/kolaps
jalan napas kecil (atelektasis). Ronchi
dan mengi menyertai obstruksi jalan
napas/kegagalan pernapasan.

3. Tinggikan kepala dan bantu


3. Duduk tinggi memungkinkan ekspansi
mengubah posisi. Bangunkan pasien
paru dan memudahkan pernapasan.
turun dari tempat tidur dan
Pengubahan posisi dan ambulansi
ambulansi sesegera mungkin.
meningkatkan pengisian udara segmen
paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter 4. Kongesti alveolar mengakibatkan
secret. batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan atau antikoagulan
berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan. 5. Memaksimalkan bernapas dan
menurunkan kerja napas.
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis:
nebulizer ultrasonic. 6. Memberikan kelembaban pada
membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk
memudahkan pembersihan.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (alergen, ex:


makanan)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
nyeri pasien dapat terkendali/berkurang.

18
Kriteria Hasil :
- Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya berkurang
- Wajah tidak meringis
- Skala nyeri 2
- Hasil pengukuran TTV dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL

1. Ukur TTV 1. Untuk mengetahui kondisi umum


pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
2. Untuk mengetahui faktor pencetus
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai nyeri
dengan kebutuhan 3. Memberikan rasa nyaman kepada
pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
4. Membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik
relaksasi 5. Membantu dalam penurunan
persepsi/respon nyeri. Memberikan
kontrol situasi meningkatkan
6. Observasi gejala-gejala yang
perilaku positif.
berhubungan, seperti dyspnea, mual
muntah, palpitasi, keinginan 6. Tanda-tanda tersebut menunjukkan
berkemih gejala nyeri yang dialami pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam 7. Analgesik dapat meredakan nyeri
pemberian analgesik yang dirasakan oleh pasien.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,


intrademal sekunder.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.

19
Kriteria Hasil :
- Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan eudema
- Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
- Kerusakan integritas kulit berkurang

INTERVENSI RASIONAL
1. Lihat kulit, adanya edema, area 1. Kulit berisiko karena gangguan
sirkulasi perifer.
sirkulasinya terganggu atau
pigmentasi. 2. Edema interstisial dan gangguan
sirkulasi memperlambat absorpsi
2. Hindari obat intramaskular obat dan predisposisi untuk
kerusakan kulit.

3. Meningkatkan pengetahuan
pasien dapat menghindarkan
pasien dari paparan alergen
sehingga kerusakan kulit dapat
berkurang.
3. Ajarkan pasien menghindari 4. Jika kulit digosok pada area yang
paparan terhadap alergen yang kemerahan maka kulit akan
semakin memerah bahkan dapat
telah diketahui menyebabkan kerusakan
4. Anjurkan pasien agar tidak integritas kulit
menggosok area yang kemerahan

5. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang alergi.

Tujuan :

Setelah di berikan asuhan keperawatan diharapkan pasien tidak merasa cemas


lagi.

Kriteria Hasil:

Pasien tidak betanya-tanya lagi tentang penyakitnya.

20
INTERVENSI RASIONAL
1. Orientasi pasien dengan 1. Untuk mengurangi cemas dan pasien
lingkungan mampu beradaptasi sehingga dapat
menenangkan pasien.

2. Keluarga merupaka orang terdekat


2. Ajak keluarga untuk mengurangi yang memahami pasien.
cemas pasien
3. Dengan memberikan pengetahuan
mengenai alergi maka klien dapat
mengetahui apa itu alergi dan
bagaimana penanganannya.

3. Berikan penjelasan pada keluarga


dan pasien mengenai penyakitnya

D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu penilaian terhadap keberhasilan rencana
keperawatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien. Hasil yang
diharapkan pada klien dengan alergi adalah :
1. Klien tidak mengeluh sesak lagi
2. Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak merah-merah lagi
3. Pasien mengatakan tidak merasa mual, muntah dan mencret lagi
4. Pasien mengatakan nyerinya sudah berkurang
5. Berpartisipasi dalam aktifitas sehari-sehari sesuai tingkat kemampuan,
adanya laporan peningkatan toleransi aktifitas.
6. Masukan nutrisi adekuat
7. Klien beristirahat dengan tenang, tidak melaporkan dan atau menunjukkan
bukti-bukti ketidaknyamanan, tidak mengeluhkan perasaan tidak nyaman.

21
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada
suatu zat (alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.
Namun, sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi
dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit
atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hal ini bergantung pada berbagai
keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi genetik, kecenderungan
untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya infeksi saluran
nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan defisensi
IgA.
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan,
yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara
genetik menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi
IgE secara berlebihan.

22
2. Alergi obat reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap
obat tertentu.
3. Dermatitis kontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat
kimia, atau substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.

Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran,


yaitu saluran nafas, gastrointestinal dan kulit.

B. Saran

Mahasisawa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit alergi serta


mampu memberikan asuhan keperawatan jika didapat kasus yang seperti ini, meskipun
masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah asuhan keperawatan ini.

23

Anda mungkin juga menyukai